Powered By Blogger

Kamis, 23 April 2009

"PERSINGGAHAN"

Di bilik pengakuan dosa

Menatap hati lurus ke sorga

Menyiksa kata

Menguak nurani yang pernah alpa

:  "Ave Maria!"


Inilah saat Tuhan berhadapan pandang

Mencari makna

Kejujuran yang seharusnya ada

Terpulang tanya

pada siapa

yang pernah jatuh dan cedera

Adakah kesucian itu akan abadi

:  "Ave Maria!"


(In memoriam S. Elizabeth
yang pernah hadir dan mengukir mimpi bersamaku)

Di sini cinta ini pernah bersemi bersamamu, cantik

"WAHANA"

Dari puisi aku makan sepotong roti

yang dijuluki kasih sayang

Datang dari langit mendung

Membawa hujan kepedihan hati anak-anak manusia

Puisiku ruamh harapan

Penuh cinta dan pengertian yang dalam

Tempatku berbagi rasa

Sepanjang luka masih setia menganga

Sampai entah bila


Hofzeile 12, 1180 Vienna
11.06.93

Diperbaharui di Chatsworth Road, Singapore
Juni, 2004

Dikemas kembali di Edinburgh Drive, Cape Town
April, 2009

Minggu, 19 April 2009

KERINDUAN

Kutuliskan puisi pagi ini
Untuk seraut wajah yang mengembara entah dimana
dalam anganku

Kutitipkan sebait syair
Yang mengalun di kabut-kabut putih
Untukmu pengelana jiwa
yang entah dimana

Ada segenggam rindu memburu
Disini pada selasar dadaku
Di sepanjang lorong iga yang membentang
Menghidupi jiwaku

Tolong jangan tanya kenapa aku merinduimu
Karena duka itu begitu pekat
dan sarat dengan kenangan yang melekat
tentang dirimu

Andai suatu hari nanti kau dengar
Gelak murai di rumpun bambu
Akulah itu
yang membunyikan serulingnya
dari atas punggung kerbau peliharaanmu

Tolong segera kembali
menyusuri jalan kenangan yang tak lagi pernah kau singgahi
Dan temukan cincin kita di sisi semaknya
Lalu pakaikan di jari manisku
Yang kiri saja dahulu
Persis seperti dulu
waktu baju kita masih hijau
berpadu putih
Putihnya hati

Di batas cakrawala pagi
Aku menanti
Hingga sore membentang
Mengawinkan kaki langit dengan ombaknya laut
Adakah kau kembali
Di saat itu
Dengan sarat rindumu
menjemputku pergi
Ke baris peraduan yang terakhir?


(Di bawah rintik hujan yang menembusi atap rumahku
pagi hari, duapuluhenam April di Cape Town)

Selasa, 14 April 2009

MUNAJAT MALAM

Ku ketuk pintu-Mu, Tuhan
Waktu seikat mawar ku onggokkan di depan arsy-Mu
Ada salam dari anak-anakku
Yang memintakan maaf atas kelalaian kami menjalankan sabda-Mu.

Mohon jangan bukakan neraka
Yang dipenuhi asap dari api-api yang mengganas
Sebab aku takut pada-Mu, Tuhan
Ketika Kau permalukan aku di hadapan anak-anak kami.

Kusambut panggilan-Mu, Tuhan
Dalam dingin yang menggigilkan jantung
Jangan marahi aku lagi, Tuhan
Kuakui aku telah salah melangkah.

Dengan seonggok lumpur yang kelabu
Aku pernah mandi di Kali Birahi
Berkubang cinta dan nafsu hayati
Yang tertuang dalam bibir berlumur lipstick murahan
Dan keringat pandan wangi campur oli.

Pagi tadi
Waktu malam baru mengatupkan matanya
Aku beranikan diri menghadap pada-Mu
Dengan memalingkan wajah membuang malu-ku
Kuketuk pintu-Mu ya Tuhan
Adakah Kau dengar aku
Dan kau baui cucuran peluhku
Yang kini telah tercampur darah
Dari luka yang menganga di dasar jiwa
Dan mata yang telah kerontang
Sejak aku tak punya lagi harga diri.

Di haribaan-Mu aku mengiba
Menadahkan tangan membelasah tubuh
Mohon jangan Kau singkirkan aku
Dengan hinaan yang dina sangat
Ampuni aku
Dan bawalah kini jadi budak setia-Mu
Supaya boleh aku mencicipi rumah-Mu
Jannatul na'im yang Maha Agung dan Suci.


(Dalam kepasrahan di sepertiga malam hariku
Saat angin membawa kabut turun dari Devil's Peak
Selasa empatbelas April tahun sembilan)


Minggu, 12 April 2009

JAKARTA UNDER KOMPOR DI CAPE TOWN




Arham Kendari, karikaturis dari media daerah di Sulawesi sana sudah mendunia. Dia dibawa oleh buku kocak yang ditulisnya menuju ke berbagai negeri, berbagai belahan bumi bahkan sampai ke Cape Town di Afrika Selatan.

Arham Kendari berteman dengan anak saya Harry ketika mereka masih sama-sama "ngeblog" di Indosiar, dan pertemanan itu berlanjut terus hingga sekarang. Dengan senang hati Harry memenuhi keinginan Arham untuk membawa Jakarta Under Kompor keliling Cape Town.

JIWA

Jangan lagi panggil namaku
Sebab kereta telah lama berlalu
Perjalanan tiada mungkin terhenti
Di kelok waktu yang membuahkan angan-angan
Aku sudah pergi
Membawa harap yang belum lagi pasti
Dan terus mencari
Apa yang jadi kebenaran sejati
padaku.
Pada akhir hidupku kutemukan sangsi
serta keraguan teramat berat
Akan kehidupan yang senantiasa sarat dilakoni
Pembual-pembual kelas satu
Yaitu mereka yang tanpa sungkan
Berpesta ria di tengah manusia-manusia sengsara.
Tolong jangan panggil namaku.
Keretaku tak akan pernah kembali
Ke tengah-tengah gelanggang
Yang seakan-akan cuma rumah sandiwara.


(Vienna, 11.09.93 di sudut Werthemstein Park
Diperbaharui di Singapura, pertengahan 2004
Dan dimaknai kembali di Bishopscourt, Cape Town, malam hari 13.04.09)



HAMPA

Menoleh ke masa lalu
Adalah penyesalan yang datang terlambat
Berjalan ke hari depan
Cuma harapan yang sia-sia

Waktu adalah kini
Kepastian yang tiada arti
Antara impian dan kenyataan
Yang tiada pernah lepas landas

Terpulang kembali
Kepada tanya
Mengapa semangat hanya
Membara
Tanpa membuahkan arti
Dan makna yang berguna?


(Vienna, tepian Donau di Nussdorf, pagi hari Ahad, 04.09.94
diperbaharui di Cape Town, di kaki Devil's Peak, gelap malam 13.04.04)

Sabtu, 11 April 2009

SISI KELAM SEBBUAH DUNIA YANG TERPUTUS

Konon terentanglah tali dengan ujung-ujung yang tiada terkait. Lalu dua dunia tak lagi saling menyapa : kiri dan kanan

Pada sebuah perjumpaan gemintang menggantung di angkasa. Dua dunia bisu. Permata malam jadi saksi. Ada sisi gelap dan terang sebuah rumah.

Tak ada lagi anak kuncinya. Tertutup rapat semua pintu. Terkunci jendela serta cerobong asapnya sekali.

Begitulah hidup harus dilakoni. Setegar hati tanpa gentar. Bahkan nyawamu tiada lekat pada sebuah rumah yang tunggal. Pentas sandiwara yang senantiasa siap merenggut harga diri.

Ibarat suatu sisi kelam dunia yang terputus : akan mengalir air mata yang mengantarkan kearifan. Penuntun ke alam abadi. Bersihnya sebuah diri yang diisi jiwa murni, semata pengabdian kepada petunjuk Illahi.

Allahu akbar! Tuhan Maha Agung! Hiduplah untuk-Nya! Untuk sebuah nyawa yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya! Kelak di rumahmu yang akan datang, di istana agung itu!

Vienna, 01.25.1994
Renewed in Cape Town, 04.11.2009

Minggu, 05 April 2009

PEKUBURAN ISLAM ASAL INDONESIA DI AFRIKA SELATAN




Ini adalah pemandangan di pekuburan cikal-bakal penyebaran agama Islam di Repbulik Afrika Selatan. Mereka yang dimakamkan disitu umumnya adalah orang-orang Indonesia yang terbuang oleh pemerintahan kolonial Belanda (VOC) kira-kira empat ratus tahun yang lalu.

Sabtu, 04 April 2009

NOSTALGIA RUANG GELAP DI DADA PEREMPUAN YANG TERHINA

"Kala ku mendengar suara murai berkicau
Lincah nian bergurau di atas dahan
Kuteringat saat itu kau di sampingku
Menunaikan sumpah setia dan cintamu.

Suatu saat kumendengar elang berbunyi
Jauh nian terpencil di puncak pohon
Hatiku tersentuh menahan air mata
Kuteringat pada waktu perpisahan."

Perempuan itu menyenandungkan lagunya. Lagu dari masa kecilnya, yang dijeritkan batin yang terluka dan hampa. Yang ditangiskan dari sekeping hatinya yang kosong, dibawa pergi kenangan lalunya.

Tak beringsut dia dari gua pertapaannya. Cuma matanya yang nyalang merayap-rayap menguak gelap. Yang ditimbulkan hujan. Dan badai dari harinya yang penuh duka.

Pada suatu masa, dia pernah muda. Pernah cantik dengan gairahnya yang membara.

Dia memang bukan perempuan biasa.

Di sebuah taman, dia ibarat bunga mekar kepagian. Yang harumnya mengoyak jantung lelaki yang bangun subuh.

Warnanya yang kemuning gading adalah seronce cempaka di sudut jendela. Di bawah bayang-bayang manusia yang memiliki rumahnya.

Perempuan itu harta simpanan yang tak terkuak. Oleh sembarang orang dengan tangan-tangannya yang kotor.

Dia Maha Dewi yang gemulai, lembut dan menebar cinta.

Perempuan itu rapsodhy yang dikungkung orkestra. Dari kamar musik orang tuanya. Keelokan semata. Bagai serangkai keindahan penawar gundah dan gulana jiwa. Bagi siapapun makhluk yang mendekatinya. Rapsodhy jiwa pengelana muda pencari rumah asmara.

~ 00000 ~

Kini perempuan itu terbaring, di lantai gua tanpa secarik kain. Menatap jauh lurus pandangannya ke sorga. Menyibak-nyibak Malaikat yang pernah berjanji menopangnya. Ketika dia melucuti harga dirinya. Di tangan lelaki yang merampas harkat kemanusiaannya. Dulu, tanpa ampun.

Yang ada hanya gelap. Mendungnya firdaus yang diciptakannya sendiri. Dengan mengirim air mata berdikit-dikit, ketika dia tidak pernah sudi menumpahkannya di dunia. Di dekat lelaki yang amat dibanggakannya. Dulu, suatu masa, di ketika itu.

Mendung itu menyibak kelamnya. Menampakkan seorang perrempuan muda yang tak lagi perawan. Lalu dengus-dengus nafas dan kucuran-kucuran air dari mata air di dasar hati lelaki yang merayunya. Dalam rajutan rajuk yang menjelma asmara. Sepasang kekasih yang terlarang.

Perempuan itu mengusap perutnya. Merabai dadanya. Dan menggigiti bibirnya. Menjalin jemari dalam kepalan doa, penghapus noda dan dosa mereka. Perempuan itu mengurai mayang dari matanya yang menyimpan duka. Perempuan itu kini sendiri.

Nafas cinta itu telah berlalu. Bersama harga dirinya yang terenggut bebas. Ketika ia meliukkan tubuhnya menarikan cinta. Di lipatan paha lelakinya dulu.

Astaghfirullah aladzim! Semoga Tuhan mengampuni dosanya.

~ 00000 ~

Di peluk malam dalam kelam gua dia tertidur. Tanpa mimpi, tak kenal lena. Hanya diam, bisu dan mati. Meratapi duka yang ditumpahkan padanya. Dari pelukan lelaki yang dulu merayunya dengan debar dada dan rona-rona cinta.

Sekeping hatinya menganga. Menebarkan bau dari luka yang meroyak.

Aku padanya. Menjemput dukanya dalam genggaman buku do'aku di sajadah panjang malam hariku

(Bishopscourt, ketika hawa panas menyembul di antara pokok-pokok kastanyet, April 2007)

Jumat, 03 April 2009

PAGELARAN PERTAPAAN DI RUMAH DUKA

Dua anak manusia terkungkung oleh keangkuhannya masing-masing. Berdiam di pertapaan sepi. Tinggalkan sifat duniawi, dan harkat manusia mereka.

Di pertapaan sepi, di sudut persimpangan jalan, di semak-semak bunga, cinta tak lagi ada terasa. Semua kesat, dan mengabur di pandangan yang buram. Selapis sutera hitam menjuntai, menggelapkan kejenihan nurani yang sirna dikoyak nafsu.

Hidup jadi bagai lakon di atas panggung. Dengan pemain-pemain pantomim yang asyik sendiri-sendiri membiarkan gelora jiwanya menyala-nyala sesuka hati Di bawah sana, anak-anak yang terlahir dari gua garba ibunda menatap iba, tajam tapi tak mengerti. Sedih campur bimbang. Seperti belati-belati yang mencari mangsa tak pasti.

~ 00000 ~

Sang perempuan menoleh ke belakang. Menembusi dinding gua yang sarat kelam.

Disana dulu, pada bagian belakangnya dia pernah ada. Menjalani hari-harinya dalam penjara waktu. Ketika dia terikat dalam sebuah komitmen perkawinan untuk kebersamaan.

Berkubang duka dia pernah ada. Melayari lautan cinta tanpa pernah keluar dari kungkungan ombaknya. Yang abadi menari-nari.

Lelaki itu penyebabnya. Setelah dia tahu bahwa lelaki itu bukan untuknya.

Lelaki itu bebas melantunkan sabdanya. Memberinya sederet aturan dan sebaris daftar dosa. Dengan semau hatinya.

Lelaki itu benci padanya. Pada setiap langkah ynag dilakukannya. Pada setiap pantun yang dibunyikannya. Pada dirinya yang tak lagi menjelma dewi. Di dalam tidur larut malamnya.

Keangkuhan lelaki itu adalah mahkota yang abadi. Dari kurun waktu ketika ia berupa merpati yang terbang bebas. Hingga ia jadi induk dari lagu cericit liirh di dahan pohon, yang ditumbuhkan cinta di halaman rumah mereka.

Perempuan itu pernah ternista. Tersiksa oleh apa yang tidak pernah dilakukannya. Tanpa hak untuk menjawab, tanpa ada pembelaan diri yang boleh disebut dari ujung lidahnya.

Di gua ini, perempuan itu melihat lagi. Dirinya yang dilucuti dari cinta dan ditelanjangi semena-mena. Oleh lelaki yang dulu menjemputnya dengan mahar janji surgawi. Lelaki itu yang kini menistanya.

Kini dia ingat lagi. Betapa malam itu dia membulatkan diri jadi milik lelaki itu. Di ranjang kapuk yang nyaris lapuk. Tanpa menuntut apapun. Hanya sebatas dengusan nafas yang menyentuh gendang telinganya.

Dulu perempuan itu begitu percaya dan dia telah bersyukur. Akan wujud cinta yang amat sederhana, layaknya tembang-tembang keroncong di piringan-piringan hitam tua.

Begitu melodius namun penuh bermakna dan membiuskan jiwa yang dilamun cinta.

Dulu, itu dulu sekali. Pada sebuah masa, ketika dunia belum dewasa. Lalu berubah tua. Dan menjelma manusia durjana.

~ 00000 ~

Lelaki itu mendongak ke angkasa. Mencari rembulan dan bintang yang mengangguk-angguk keletah.

Dia butuh mereka, untuk menuntunnya mencari pembenaran. Atas sangkaan yang pernah dituduhkannya pada sang perempuan. Jati dirinya sendiri.

Malam, oh gulita semata yang ada di bumi. Tak sepercik sinar, selarik embun datang ke permukaannya. Cuma dingin dan gelap yang kelam.

Lelaki itu terus mencari. Dan memutar kembali ingatannya mencari pembenaran diri.

Perempuan itu ada di sana. Pada singgasana yang berlainan rupa. Perempuan itu jadi makhluk asing untuknya, terlibas oleh anak-anak wayang yang melintas di kaki-kakinya. Dalam balutan sampur warna-warni dan topeng tembaga.

Lagu perempuan itu adalah alarm kematian yang bergaung cepat. Tinggi mengerit-ngerit menggigiti jiwa. Memekakkan telinga dan membutakannya. Bagai sederet Epitaph.

Pada hamparan padang yang lain. Wanita-wanita bergigi emas bersanggul konde bergoyang hilir-mudik. Mencabik-cabik hatinya, menoreh-noreh lukanya.

Bagai air mawar di atas secawan madu. Adalah obat ternikmat yang ingin dihisapnya.

Lelaki itu mabuk kepayang, hingga menulikan apa yang tak harus ditutupnya. Membutakan apa yang harus dilihatnya. Lelaki itu terserang durjana semata.

Allahu Akbar! Tuhan Maha Bear!

Maka dia ada diguncangan ombak. Yang memadati samudera kehidupannya. Kemudian melemparnya jatuh sendiri. Ke kedalaman bumi yang kekal.

Maka, adakah kini dia sadari? Bahwa hidup adalah sederet lakon. Yang butuh lelaki-lelaki setia dan perempuan bijak?

Bulan berkalang duka. Di balik bukit batu. Adakah hawa surga akan menciumnya?

Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

(Ketika luka menjeritkan nyeri di suatu tempat, Bishopscourt, April 2009)

Kamis, 02 April 2009

DARI BUMI YANG TERBELAH : PERGULATAN MELAWAN KEANGKUHAN

Bumi gonjang-ganjing. Egoisme dua anak manusia meluluhlantakkan kebahagiaan. Mengusir kebanggaan yang dulu dipupuk tinggi agar menjulang menjelang mega keberkahan.

Bumi gonjang-ganjing adalah prahara tak bertuan, milik ibu dan bapaknya yang dikuasai syaithon.

Hati itu menguncup pedih. Mengunci diri di dada yang sempit.

Senyum itu tak lagi cerah. Tanpa kilau mentari dan kilasan angin di sudut-sudutnya. Mata itu begitu redup. Laksana sekawanan awan menggendong hujan. Berat bergelayut siap menangis. Menangiskan kesedihan yang datang bagai mimpi yang tak terbayangkan.

“Innalillahi wa innailaihi roji’un. Kami ini milik Allah semata, dan hanya kepada Allahlah kami akan dikembalikan.” Terucap kepasrahan dari sepasang bibirnya. Bibir yang belum pernah digunakannya untuk berkata buruk. Bibir yang penuh kehangatan cinta dan kasih sayang.

~ 00000 ~

“Aku tak pernah minta dilahirkan. Aku tertakdir sebagai korban nafsu birahimu. Tak ada lagi kini sayangmu padaku, makhluk yang tak pernah tahu apa-apa?”

Terlontar tanya dari hatinya kepada kedua insan dewasa yang telah menyebabkan dirinya lahir di dunia ini. Yang telah meluncurkannya dari perut jannah yang menjatuhkan Adam dan Siti Hawa dahulu ke bumi.

“Kau telah menelan buah khuldi itu. Kau melanggar buah terlarang. Kau penyebab segalanya.”

Teriakan itu begitu keras, menggema memadati relung hati, menjalari jantung yang pernah berdegup sangat kencang. Dia merentangkan tangannya. Menghalau segala makhluk yang masuk mengganggu bapak dan ibunya. Dia maju menghadang, dengan mata memerah saga dan muilut membuncah busa. Dia menangis kuat-kuat, meledakkan dadanya di tengah rumah mereka.

~ 00000 ~

Kedua budak-budak cinta itu saling berpagutan. Memaknai anaknya dengan kemarahan yang saling membakar.

Manusia dewasa selalu merasa sebagai Maha Dewa. Yang unggul dan serba ingin dibenarkan. Keji melindas harga diri anak-anaknya sendiri. Makhluk-makhluk yang lahir karena nafsu birahi mereka semata.

“Takdir adalah bagian dari keimanan yang harus kau yakini, anakku. Terimalah dia apa adanya.”

Si ayah membelah jantung anaknya. Dengan sepagut gigitan yang pedas.

Di balik punggungnya, si ibu meratapi pedih, seraya mengusap-usap anak rambut itu dengan kelima jemarinya silih berganti.

“Bukan maksudku melukaimu, sayangku. Ayahmu benar belaka. Takdir itu tak bisa dielakkan. Songsonglah ia dengan kelapangan hatimu, bukan dengan kemarahan yang menyala di dalam dadamu.”

Kembali si buyung budak cinta mengaum garang.

“Ya Tuhanku! Sungguh aku berlindung kepada-Mu dari segala godaan syaithon yang terkutuk dan mimpi-mimpi buruk!”

Lalu tangannya bersedekap di dada. Debur jantung itu begitu nyata, menembusi rongga-rongga kulit arinya, menjalarkan panas dan rona merah ke segenap permukaan wajahnya. Juga pada lekuk liku mata dan hidungnya. Lelaki muda itu begitu terluka.

Bumi gonjang-ganjing. Tiada purnama empat belas di belantara malam berbintang. Hanya gelap dimana-mana. Di seluruh permukaan bumi yang dipijaknya.

Lalu desir angin itu, bagai melagukan kematian dengan seruling bambu. Yang kerap ditemukannya di sisi-sisi sungai di kampung ibunya. Lelaki muda itu begitu tersayat.

~ 00000 ~

Dua makhluk Tuhan telah melampaui harkat dirinya, kembali kini mereka bagai seonggok daging tak bernyawa. Tak berotak, tak kenal malu.

Mereka saling berebut, bergelut melucuti diri. Membiarkan dada mereka terbuka menjaring luka.

Sang lelaki tetaplah teguh. Pada hasrat kelaki-lakiannya yang ingin menguasai perempuan.

Perempuan itupun memaparkan lukanya, yang dulu ditorehkan sendiri oleh bapak dari anak-anaknya. Yang pernah meminangnya dengan segumpal senyum, sederet puisi serta seonggok mawar yang mengandung romantisme.

Dua makhluk Allah tak lagi mengenal malu, di hadapan buah-buah cinta mereka.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat yang telah Kau anugerahkan, dan lunturnya keselamatan yang telah kau berikan kepadaku. Dan aku berlindung kepada-Mu dari  musibah dan murka-Mu yang datang dengan tiba-tiba.”

Lelaki muda itu berseru lagi. Dengan seluruh daya yang tersisa diisak tangisnya, lelaki yang penuh duka.

Aku berdiri di dekatnya. Membaui semua lelehan keringatnya. Mengecup semua cucuran air matanya. Aku tetap bersamanya. Berjuang dalam doa-doa malam mengharap ridha Tuhannya untuk kelanggengan biduk yang dibangun ayah-ibunya.

 

(Tertangkap di Bishopscourt, Maret-April 2009)

Rabu, 01 April 2009

ANAK-ANAK TANPA DOSA DI BALIK RUMAH YANG TERBELAH

Malam temaram di lembah bukit batu. Sepasang manusia menekur di tanah yang basah. Angin sepoi mengoyak pengap yang dihembuskan ombak samudera. Keduanya bicara dengan mata hati.

 

Sang lelaki menyampaikan isi perasaannya. Dalam kalimat-kalimat tegas yang tak minta penjelasan.

 

Si perempuan menajamkan telinganya, lalu mengasah lidahnya. Sebaris kata meluncur tegas, tangkas tanpa kesia-siaan.

 

Lelaki itu menghunjam jantungnya. Dengan sekali tatap yang bulat penuh. Di mulutnya ada sumpah serapah, yang membantunya melenguhkan kepahitan.

 

Perempuan itu tak tinggal diam. Sepantun lagu disenandungkannya serupa gita malam yang dibawa angin turun ke kaki gunung. Bening bola mata itu tetap menyala di dalam cekungannya yang  jernih yang tertutup embun.

 

~ 00000 ~

 

Anak-anak mereka di dekatnya. Bersandar pada malam yang menggelayutkan kelam.

 

Anak-anak tak berdosa itu. Korban nafsu birahi dan egoisme orang tuanya.

 

Anak-anak itu tetap pada harkatnya. Manusia-manusia kecil yang tak pernah minta dilahirkan. Yang tak tahu harus berpegangan kemana. Anak-anak yang tiada dosa.

 

Di persimpangan jalan, bahtera mereka terkandaskan ombak. Yang melambung memantul jauh naik ke daratan. Anak-anak itu berada di atasnya. Pada palka kapal yang menyusupkan angin.

 

Dalam diam mereka merunduk. Menepiskan gundah yang singgah di jiwa. Mengapa bumi akan terbelah? Rintih hati lelaki kecut yang jadi bagian dari lakon orang tuanya meletup keras.

 

Lelaki muda itu mereguk anggurnya. Yang tertuangkan tiba-tiba di piala-piala cinta. Padanya, pada anggur itu diharapkannya ada kehangatan, juga kenikmatan walau cuma semu semata.

 

Lelaki muda itu melepas gundahnya. Dia menelan ludahnya sendiri. Membaurkan wangi anggur yang bercampur khamar dengan kenisbian dirinya.

 

Lelaki itu tampil perkasa.

 

Digamitnya lengan sang bunda. Perawan suci yang tak tertakdir lahir sebagai perawan. Diremasnya ujung jemari rapuh itu. Dan dibalurinya dengan kehangatan yang menjalari kulit lelakinya.

 

“Ibunda, tataplah mataku. Ada kesungguhan padaku. Pada kelamnya bola mataku yang mengandung kepedihan itu. Ketika aku bersaksi bahwa bunda cuma perempuan ternista.”

 

Getar-getar bening suaranya mendawai biola. Menusuk telinga dan jantung siapa saja yang disapanya. Menegaskan kesungguhan yang apa adanya. Lelaki itu anak kecil yang tiba-tiba menjelma makhluk dewasa.

 

Sang bunda mengulum senyum. Mengulurkan jabat hangat digenggaman kedua kepalnya. “Terima kasih anakku. Engkau telah bersaksi untuk kebenaran Tuhanmu.”

 

~ 00000 ~

 

Lelaki tua itu jatuh terduduk. Terperangah dalam kepogahannya sendiri yang dulu pernah dibangunnya dengan kebanggaan yang tiada tara.

 

Ingin dia bicara banyak-banyak. Melibas kendala yang tiba-tiba datang menghadangnya. Tanpa dinyana, tiada terduga.

 

Lelaki itu mabuk kepayang. Meronce-ronce rangkaian kata yang siap tertumpah dari benaknya. Berputaran dia di atas kursinya. Lelaki itu terbebat bingung.

 

Di susurinya sudut-sudut mata buah hatinya. Juga sisi-sisi lidah anak wayangnya. Setelah itu dia menyelam ke kedalaman hati anaknya sendiri. Tak ada noda tertumpah melekat disitu.

 

Lelaki itu menekuri tanahnya. Sebelum dia menemukan kembali jati dirinya.

 

Dia bukan pembohong. Tidak juga anak kecil itu. Dia juga bukan pembohong.

 

Lelaki itu membuang pandang ke sela-sela rimbunan pohon untuk mencari sinar gemintang yang biasa menggantung di angkasa malam. Adakah disana keberaniannya tersimpan?

 

Lelaki itu tak dapat berkata-kata lagi. Dia menunduk menganggukkan kepala. Menekuri apa yang tercatat dalam lemari ingatan istri dan anak-anaknya sendiri. Lelaki itu tak bisa membantah.

 

~ 00000 ~

 

Malam itu, semburat bulan tak lagi hadir. Semua hanya menyisakan kelu yang kelam.

Anak-anak manusia itu kini akan mengakhiri lakonnya, ataukah memperjuangkan munculnya lelakon baru?

 

Lelaki itu, perempuan yang jadi istrinya, juga anak-anak buah cinta mereka sama berharap. Semoga kedamaian menemani mereka kembali. Menjemput semua keresahan yang bermuara pada kebosanan hidup sepasang anak manusia. Yang telah lelah mengembara, menggembalakan cinta putih mereka di padang-padang rumput bertahun-tahun lamanya. Tanpa jeda.

 

(Tertulis di Bishopscourt, April Mop 2009)

Pita Pink