Powered By Blogger

Sabtu, 07 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XIV)

Kurasa Ami ada dalam balutan mimpi buruk. Sebab di mataku dia seperti perempuan yang sedang tertidur lelap. Dan dalam tidurnya, Ami tak bisa menyaksikan realita hidup yang sesungguhnya. Apa yang diperbuat Taufik padanya senantiasa dianggapnya suatu kewajaran belaka. Ami dengan keluasan hatinya selalu punya alasan untuk memaklumi dan memaafkan Taufik.

"Kasihan juga suamiku Nik kalau terus-terusan harus membimbing dan menolong aku. Dari dulu aku sudah jadi bagian dari rutinitas kesehariannya," alasan Ami selalu itu dan itu saja.

"Maksudmu apa sih mbak?" tanyaku tak sabar. Seandainya aku yang jadi Ami, aku tak rela diperlakukan demikian. Dikurung di dalam rumahnya sendiri. Oh, masya Allah, aku telah menelurkan suatu definisi yang naif, "dikurung". Tapi ya, Ami memang menyatakan bahwa sepulangnya dari Indonesia dulu dirinya tak boleh lagi keluar rumah, bahkan menerima telepon atau berhubungan dengan orang lain sekalipun. Apalagi istilah yang paling tepat untuk menggambarkannya selain "dikurung"? Ibu-ibu lain kerap mencibirnya dan menertawakan kedunguan serta kepolosannya.

Selain itu dalam keadaan sakit, suaminya tega menyuruhnya berangkat sendiri ke dokter. Padahal untuk menggerakkan anggota tubuhnyapun Ami sudah kesulitan.

"Eh, aku tuh sudah sejak dulu selalu merepotkan mas Taufik. Bahkan jauh sejak kami belum resmi jadi suami-istri," tegasnya.

"Lho 'kan itu pak Taufik juga yang mau?" bantahku menyadarkan.

"Ya, betul, tapi kalau mas Taufik nggak melakukan itu aku juga nggak bisa apa-apa lho Nik," balasnya lagi tetap dengan nada sabar. Dia tersenyum sangat manis. Dan kami hanya berdua saja di sekretariat organisasi kami siang itu, sebab aku sedang menyiapkan surat yang diminta ibu ketua selagi Ami membereskan laporan Bidang Sosial-Budaya termasuk memeriksa kelengkapan Arumba serta angklung yang akan kami pakai main dalam waktu dekat.

"Tapi mbak Ami benar-benar sudah merasa sehat sekarang ini?" desakku lagi. Aku khawatir penyakitnya akan kambuh jika dia harus memimpin kami berlatih musik tanpa makan obat pemberian dokter, setidak-tidaknya tanpa diperiksa dokter terlebih dahulu.

Ami mengangguk cepat. Ada ketegasan di sana, setidak-tidaknya ketegaran di raut wajahnya. "Biasanya penyakit ini baru akan kambuh dua-tiga hari menjelang menstruasi dan berakhir kira-kira seminggu sesudahnya. Aku sudah terbiasa kok Nik, don't worry-lah," katanya sambil tersenyum. Mau tak mau aku ikut tersenyum kecut. Tapi kuyakinkan diri bahwa aku akan memaksanya lagi untuk ke dokter walau apapun yang akan keluar dari mulutnya sebagai jawaban.

-ad-

Suatu hari kudapati sepucuk surat dari Ami yang ditujukan kepada Ibu Ketua dan penasehat organisasi kami. Sebagai seorang sekretaris, akulah yang harus membukanya lebih dulu sebelum kuagendakan dan kuserahkan kepada mereka yang berhak menerima.

Mataku menatap rangkaian huruf-huruf itu separuh tak percaya. Ami mengundurkan diri. Begitu intinya. Ami menyebut bahwa dirinya bukan seorang pendamping suami yang baik, dan karenanya dia merasa harus mengundurkan diri. Tapi tak ada kata pamitan untuk meninggalkan negeri ini.

Kepalaku mendadak pusing tujuh keliling. Rasanya dunia di bawah telapak kakiku berputar tak tentu arah. Benarkah Ami menyatakan mengundurkan diri? Kubaca sekali lagi dengan lebih seksama. Ya, tak salah, Ami mengundurkan diri dan telah menyiapkan seberkas laporan pelaksanaan tugasnya.

Buru-buru ku-copy lembaran itu kemudian kucatatkan di agenda surat masuk, dan keduanya kuamplopi lagi untuk kuserahkan segera kepada Ibu ketua dan Ibu Penasehat. Aku yakin beliau pasti akan sama terkejutnya bahkan kemudian memanggil kami untuk menuntaskan masalah ini.

Keluar dari keanggotaan, bukanlah suatu hal yang dapat dibenarkan. Sebagai konsekuensi dari pekerjaan suami kami, maka kami mau tidak mau harus jadi anggota guna membantu kelangsungan pelaksanaan tugas di kantor suami kami. Dan selama ini Ami telah membuktikannya dengan sempurna.

-ad-

Dugaanku benar. Tak menunggu lama, seluruh pengurus dikumpulkan untuk membahas hal itu. Ibu Penasehat menekankan bahwa apa yang dilakukan Ami adalah sesuatu yang sangat tak dapat dibenarkan sekalipun Ami pernah absen lama dari kepengurusan dengan alasan sakitnya dulu itu. "Bu Tri tahu apa yang sebenarnya terjadi? Tahu apa maksud bu Taufik dalam surat ini?" selidik Ibu Penasehat sambil memandangku sangat tajam. Aku merasa jengah, sebab aku merasa dikait-kaitkan dengan persoalan Ami yang sesungguhnya aku sendiri tak tahu.

Aku menggeleng menyatakan ketidak tahuanku. Tegas sekali kunyatakan itu sambil kembali kutatap mata beliau. Aku tak mau dijadikan "tertuduh" sekalipun oleh istri pimpinan kantor suamiku sendiri. "Saya tidak tahu sama sekali bu. Saya tidak pernah mengobrol dengan bu Taufik mengenai keluarganya," jawabku mantap.

Mata bu Narto kulihat juga menatap tajam padaku, seakan-akan menjadikanku tertuduh. Mulut nyinyir itu mulai memberengut lagi sambil berbisik-bisik dengan orang di sebelahnya yang juga menampakkan wajah tak ramah padaku. Ia mengangguk-angguk dan mencuri-curi pandang padaku juga.

Akhirnya rapat memutuskan untuk tidak mengabulkan permintaan Ami, bahkan akan minta bantuan bapak pimpinan kantor untuk memanggil pak Taufik guna menanyai alasan dasar istrinya mengundurkan diri dengan menyebut dirinya bukan orang baik-baik,

Sepulang rapat, segera kuhubungi telepon Ami. Sayang tak dijawabnya, Aku jadi panik dan gelisah sendiri. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu hak padanya. Bahkan sampai keesokan harinya Ami tetap tidak menjawab, hingga aku kemudian terpikir untuk menghubunginya lewat SMS.

Pada percobaan SMS yang ketiga baru aku menerima jawabannya. Dia memaparkan bahwa dia betul-betul sakit dan perlu pengobatan. Karenanya dia memilih untuk mengundurkan diri sesuai anjuran dari suaminya. "Maksud mas Taufik sih baik lho Nik, dia hanya ingin aku istirahat supaya cepat pulih," demikian antara lain tulisnya.

Membaca jawabannya kubayangkan bahwa ternyata Taufik memang sangat sayang pada istrinya. Tapi dia mengungkapkannya secara keliru. Dan kami di luar keluarganya, juga memaknainya secara keliru. Maka timbul niatku untuk menelepon Ami kembali guna mendapatkan alasannya rinci yang dapat menjembatani pandangan kami masing-masing supaya selaras.

Lagi-lagi Ami menolak mengangkat teleponku. maka sadarlah aku bahwa Taufik kembali melarang istrinya untuk berhubungan dengan orang lain. Tak ada cara lain, aku menggunakan SMS untuk menyatakan pertanyaanku.

Cerita Ami, suaminya menganjurkan dia untuk beristirahat sehubungan dengan sakitnya. Tapi mereka khawatir pimpinan tak mengijinkan, apalagi Ami kini semakin aktif dengan kegiatan yang dibebankan kepadanya. Dan suaminya mencium gelagat bahwa pergaulan di antara kami tak sejalan dengan keinginannya, sehingga dia berniat menjauhkan istrinya dari kami semua. Menurut Taufik yang juga disetujui Ami, Ami dapat berjalan sendiri sebagaimana dulu dia membina pergaulannya dengan Elis yang nyata-nyata seorang anggota masyarakat Indonesia belaka. Dan pergaulannya dengan Elis justru tidak menimbulkan masalah atau benturan apa pun, tidak sebagaimana halnya pergaulannya dengan teman kami yang dulu ingin jadi primadona.

Ah, sesungguhnya alasan yang sepele sekali. Tapi yang menggemaskanku, mengapa Ami memberikan alasan "bukan pendamping suami yang baik" hanya untuk melancarkan rencananya? Karenanya kudesak lagi dia dengan pertanyaan soal kalimat itu.

"Aku cuma disuruh mas Taufik, Nik. Tadinya sih kutulis bahwa aku sakit dan anak-anakku juga memerlukan bimbinganku, sehingga aku khawatir tak bisa melaksanakan tugas organisasi yang jadi tanggungjawabku," katanya. Aku menghela nafas, meluapkan semua ketidaksetujuanku. Duh Ami, mengapa begitu mudahnya dia mengalah pada kehendak suaminya? Padahal jelas-jelas suaminya telah menghinanya. Ini bagiku sama dengan sebuah penghinaan, pelecehan yang merendahkan harkat diriku sebagai ibu rumah tangga dan pasangan setara suami. Seandainya hal ini terjadi padaku, aku pasti akan melawan suamiku, batinku geram. Tanganku mengepal di atas keyboard PCku sebelum aku membalas jawaban Ami.

"Mbak, kenapa sih mbak mau disuruh menulis begitu oleh Pak Taurfik? Itu 'kan pelecehan buat mbak, sadar 'kan?" demikian sepenggal surat elektronikku. Tak sabar aku ingin mendapat jawabannya. Dua hari berlalu tanpa kabar, hingga suatu sore kembali kudapati E-mail Ami yang menyatakan rasa terima kasihnya namun dengan tambahan penjelasan bahwa dia melakukan semua itu atas dasar kesadarannya dan ingin membahagiakan seluruh keluarganya. Dia tak ingin saling berbantahan dengan suaminya yang kemudian justru akan menyebabkan dia dimusuhi lagi,

Aku cuma bisa tersenyum kecut dan merenungi betapa sederhananya pemikiran Ami serta betapa mulianya niat hatinya ingin membahagiakan suami dan anak-anaknya sebelum dia membahagiakan dirinya sendiri. Andaikata aku bisa meminta pada Allah, akan kumintakan sekapling ruang di surga abadi bagi Ami sahabatku yang menurutku cantik hatinya ini.

-ad-

Senja merambat naik ke malam. Gelap di luar gedung menyajikan malam yang kelam. Aku tak berharap terlalu banyak akan bertemu dengan Ami dalam perpisahan keluarga Sunarto ke Jakarta malam ini. Sebab yang kutahu, seakan-akan belum ada tindakan apapun dari pimpinan kantor kepada pak Taufik.

Semua orang sudah membayangkan suasana pertemuan yang sepi. Mesin karaoke yang dinyalakan tiada artinya tanpa disemarakkan oleh suara Ami yang nyaris tak pernah membosankan sekali pun dia gemar menyanyikan lagu-lagu tua.

Tak dinyana, Pak Taufik muncul dengan menggandeng Ami diringi anak-anak mereka. Bunga di hatiku kembali mekar, merebakkan senyum di bibirku dan binar di bola mataku. "Mbak Ami, apa kabar? Lama nggak ketemu," seruku menghampirinya dengan pelukan hangat. Ibu-ibu yang lain juga terseret arus, memandang ke arah pintu masuk dan sama-sama menyalami Ami. Pak Taufik tersenyum lalu melepaskan gandengan istrinya. Dia mengangguk kepada kami mengucapkan selamat malam, dan membaur bersama para staff lainnya.

Ami bercerita bahwa penyakitnya masih datang dan pergi, tapi dia sudah mendapat pengobatan. Karenanya dulu dia mengirim surat pernyataan pengunduran dirinya, yang tak pernah dapat dikabulkan itu, Dia berjanji akan aktif kembali sedapat-dapatnya, dan mohon maklum atas segala keterbatasannya. Satu demi satu ibu-ibu senior menasehatinya dan memberinya dukungan moral untuk mencapai kesembuhannya kembali. Aku sangat bersyukur untuk Ami.

Ketika aku dapat kesempatan untuk berdua-dua dengannya, dia mengatakan bahwa suaminya sempat dipanggil dan diberi pengarahan oleh bapak pimpinan untuk tidak membiarkan Ami mengundurkan diri. Dan beliau tidak sependapat dengan isi surat Ami yang menyatakan bahwa Ami bukanlah seorang pendamping suami yang baik.

"Saudara harus melihat bahwa di balik kesuksesan anda mendapatkan posisi yang nyaman seperti sekarang ini, ada seorang perempuan yang ikhlas dan senantiasa rela mengorbankan dirinya demi anda. Apa jadinya diri anda tanpa dukungan istri anda? Penyakitnya bukanlah sesuatu yang merepotkan anda. Juga kegemarannya mengobrol tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan siapa-siapa. Biarkan dia menjadi dirinya," demikaian cerita Ami berdasarkan pengakuan suaminya. "Malam itu dia menciumku NIk, dan menyatakan terima kasihnya padaku dengan tulus," papar Ami. Semburat merah nampak di pipinya yang mulus. Aku bahagia untuknya. Sebahagia hatinya ketika dengan penuh penghayatan ia melantukan "Woman" yang biasa disuarakan John Lennon,  ".......... and woman, I will try to express, my inner feelings and thankfulness, for showing me the meaning of success............"

Mata itu begitu menyala-nyala merajut cinta seperti percintaannya dengan Taufik. Di deretan para pegawai Taufik menatap istrinya dengan penuh senyum. Ada rasa cinta di matanya. Lalu dia mengambil setangkai mawar dari rangkaian bunga di meja tanpa permisi, menghampiri Ami dan menyerahkannya disertai ciuman di jemari Ami. Kami semua terpana memandangi mereka. Tuhan Maha Pengasih, dan Tuhan telah menunjukkan kebenaran yang hakiki. perlahan-lahan air mata haru tumpah hampir di mata setiap orang yang menyaksikannya, Dan kuyakin mereka merekamnya di dalam kenangan abadi. Lalu aku pun turut tersenyum bahagia bersama bunga cinta di hati mereka. Senyumku untuk Ami sahabatku.

(BERSAMBUNG)

32 komentar:

  1. Setelah membaca cerita ibu sampai ujung sini, bolehkah saya menyarankan kalau judulnya menjadi:"Bulan Rebah Di Kelam Malam"

    BalasHapus
  2. belum lengkap baca sekuel sebelumnya tapi saya coba mengikuti alurnya dari sini aja

    BalasHapus
  3. ohhhh so sweet................
    semoga itu permulaan yang bagus...............

    BalasHapus
  4. bunda bsambung mulu.. hehe penasaran :D

    BalasHapus
  5. Hahaha.... si bapak ikutan baca tulisan nini-nini geuningan? Wah jadi surprise buat saya. Boleh juga tuh judulnya. Tapi, nanti dulu ya pak........... heheheu...... nuhun ah.

    BalasHapus
  6. Silahkan, silahkan asal jangan lupa kerjaanmu nomor satu lho!

    BalasHapus
  7. Tengkyu, thank's alot sweetie yang kayak gula. Aduh jadi malu *tersipu-sipu*

    BalasHapus
  8. Kayaknya gitu ya dik Lely. Hmmmm maunya!

    BalasHapus
  9. Hehehe..... pantesan si teteh sering nongol kesini. Sabar, sabar aja lagi!

    BalasHapus
  10. ini si taufik emang bener satu kepribadian yg sangat labil, undecisive. ketauan punya suami kek rm super decisive tp kitanya jelas gimana mau ngikutinnya..

    BalasHapus
  11. Hehehe..... terima kasih, akhirnya ibu kita yang jago nulis ini mau komen di mari!!! Ya, saya bikin biar orang bingung, gemes terus mau gebugin dia!

    Terima kasih ya bu.......... gimana editannya udah bereskah?

    BalasHapus
  12. hahaha.. gara2 kepanter ma fesbuk upload poto berhari2 gak bisa, gue penasaran. there should be something i can do. tapi tetep aja gak bisa. tapi tetep aja penasaran diubek2 sampek mooodddyyyaaarrrr...

    editan dah selesai. wait 3-4 days lagi :)

    BalasHapus
  13. Kwakakakakka...... syapa suru ikutan mesbuk? Gw dong biar my boss mesbuk, gw tetep gak tertarik, tetep aja mau main di empi. BTW ikut seneng ya sudah selesaikan editan.

    BalasHapus
  14. kecilin dulu fotonya, nanti bisa deh.

    BalasHapus
  15. aku merasakan juga kebahagian Ami. semoga kebahagian itu tidak sesaat saja.

    BalasHapus
  16. Insya Allah abadi bu Yudi. Nanti saya bilangin sama ynag cerita, skenarionya suruh dibikin begitu.

    BalasHapus
  17. Akhirnya saya selesai juga baca dari awal sampai episode ini, Bu... (tapi belum baca komen-komennya, jadi mohon maaf kalau yang saya sebutkan nanti sudah pernah dibahas sebelumnya).
    Saya suka cerita ini karena detil. Waktu Elis diajak main-main sama anak Nonik, misalnya. Selipan yang mungkin nggak terpikirkan, atau salah-salah bisa jadi seperti asal ditempel. Adegan-adegannya wajar dengan lokasi yang 'tepercaya', soalnya kadang cerita dengan setting luar negeri bisa terkesan maksa lho.
    Karakternya juga membumi dan konsisten. Mungkin agak ekstrem, tapi nggak mustahil. Ami yang (terlalu?) baik, Taufik yang banyak menuntut... dan posisi Nonik sebagai pencerita yang luwes. Punya rasa ingin tahu yang wajar porsinya, karena penasaran dan ingin membantu tapi tidak sampai ikut campur terlalu jauh.

    BalasHapus
  18. Terus ada selipan lagu-lagu pula.... Deskripsinya juga kreatif, mendekati puitis tapi nggak sampai mendayu-dayu bikin ngantuk.

    BalasHapus
  19. Halah mbak Leila, dadi isin aku! Alhamdulillah kalo suka bacanya. Orang-orang bilang daripada saya taruh cuma di sini aja mending di bawa ke penerbit. Tapi kok saya ragu-ragu, apa laku ya? saya tuh nggak kayak mbak Leila yang pe-de gitu........

    Terima kasih ya udah mau baca percobaan membuat karangan dari seorang perempuan nggak berpendidikan hahahahha........

    BalasHapus
  20. Eh, beneran lho Bu, coba saja kirimkan ke penerbit... Cari yang pernah mengeluarkan buku serupa.

    BalasHapus
  21. Ah, jadi tanda tanya. Adakah yang mau terima?

    BalasHapus
  22. Kalau kirim ke lomba cerbung Femina yang tahunan itu, Bu? Kayaknya tema luar negeri begini sering menang deh.

    BalasHapus
  23. Oh gitu ya? Tapi apa iya ada orang mau baca? Dilirik aja nggak akan lah mbak, maklum yang nulis nini-nini ora mangan sekolahan (wong nyatane sekolahan iku atos, ddi ora tedas, tur dudu panganan pisan!).

    Terima kasih atas moral supportnya.

    BalasHapus
  24. Daripada nyesel karena nggak coba lho Bu, mendingan tahu rasanya mencoba :).

    BalasHapus
  25. Aduh, aku kedatengan Jeng Provo (kaator)......... mau-mau, tapi malu.

    BalasHapus
  26. Bunda, saya setuju sama Sudara Niwanda. kirim aja. ayo, aku supporter-in niiih

    BalasHapus
  27. Aduh, terima kasih. jadi tersipu-sipu malu daku nih.......

    Sudah kukatakan ini percobaan aja dulu. Heuheuheu.....

    BalasHapus
  28. ternyata aku dah ketinggalan banyak ya (ngga papa ya budhe) ... tadi mundurny jauh benerrr ...
    tapi baca cerita ini emng harus puya waktu khusus, biar mudah mncernanya ....

    BalasHapus
  29. Halah, kasihan nak Siti. Ini sudah sampe bab 25. Iya bacanya mesti lagi santai. Saran budhe, simpen aja di flash disk, kapan-kapan kalau santai dibaca.

    Sebetulnya nggak dibaca ya nggak 'pa 'pa kok nak, wong ini cuma karangan orang iseng aja tuh........ anyway terima kasih ya udah kepengin baca. Tidur dulu ah, baru postingin yang ke 25 tuh.

    BalasHapus

Pita Pink