Powered By Blogger

Rabu, 27 November 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (140)

Ibu Linda datang pagi-pagi sekali serta sejumlah tetamu lainnya yang tak terduga, di antaranya bu Netty adik dari teman baik saya sewaktu di Kanada dulu. Dia penderita kanker payudara juga yang sudah sangat lama ingin saya temui.

Kedatangan mereka membuahkan harapan untuk bangkit kembali dan sembuh meski jalan untuk ke sana masih tetap terganjal birokrasi. Obat kemoterapi saya belum jelas pendanaannya karena pihak DKK tak bisa dinegosiasi oleh pihak RS seperti permintaannya sendiri waktu itu. Agaknya mereka tetap ingin bicara dengan dokter onkologi saya meski beliau sulit dicari. Apalagi hari ini para dokter di RS melakukan aksi mogok nasional demi menggalang solidaritas atas kasus dokter ahli yang dipenjara karena tuduhan malpraktek sewaktu mencoba menolong seseorang pasien tapi gagal.

Pihak administrasi RS sebetulnya menyimpan berbagai pertanyaan ketika anak saya melapor dirinya diminta mendesak pihak RS untuk bicara atas nama saya. Hal ini terkesan janggal sebab kini pasien diharuskan datang menghadap ke DKK sendiri membawa perincian harga obat yang dimintakan pendanaannya. Adapun harga obat itu ditetapkan pihak RS, bukan DKK. Tetapi nantinya DKK sendiri yang akan memutuskan dikabulkan atau tidaknya. Di masa lalu, DKK langsung berhubungan dengan pihak RS sehingga pasien tak dilibatkan, tinggal menunggu dengan tenang di rumah. Sekarang ketika peraturan dirubah, DKK justru tak mau bernegosiasi langsung dengan pasien karena menganggap pihak RS yang berhak merundingkannya dan membuat keputusan. Sungguh membingungkan. Saya menduga ini terjadi karena kami dalam masa transisi dari program Jamkesda yang digagas masing-masing Pemda menuju ke program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pihak RS pun menganggap DKK kebingungan dengan aturan baru hasil perubahannya sendiri apalagi menjelang tutup tahun.

Kemudian ketika disampaikan bahwa mereka menyarankan saya dikemoterapi di RSU tertentu, pihak RS kebingungan karena sepengetahuan umum hanya RS tempat kami berobat lah yang menyediakan fasilitas kemoterapi. Ada pasien-pasien RS lain yang dititipkan di sini bersama-sama kami. Saya sering dikemoterapi bersama pasien titipan RS lain itu.

Memang kini terasa ada perlakuan berbeda yang diterapkan DKK kepada masing-masing RS yang menjalin kerjasama melalui program Jamkesda. Ini terlihat sewaktu anak saya ditawari memindahkan pengobatan saya ke RS tertentu dengan alasan di sana semua obat-obat kemoterapi akan didanai. Sebab RS itu katanya tak memerlukan lembar persetujuan permintaan pembelian obat seperti di RS tempat saya berobat. Semua aturan ini menciutkan nyali saya, membuat saya terpukul seakan-akan terlempar keluar gelanggang pertarungan antara sembuh melawan mati.

Untung seorang relawan kanker datang menjenguk saya memberikan penawarnya. Drh. Linda namanya, seorang purnakaryawan Sucofindo sebaya saya dengan penuh semangat melayani pasien-pasien tak mampu terutama pasien kanker. Dia memiliki dua rumah di Jabodetabek, yang sebuah di Bogor. Dengan begitu banyak pasien-pasien tak mampu di Bogor yang didampingi dan menikmati jasanya. Kemarin pagi itu dia datang langsung dari Jakarta, sesuai janjinya hari Sabtu ketika gagal ke rumah saya sebab saya berada di RS.

Dokter saya memang sangat ingin agar saya bertemu dengan beliau. Apa sebabnya tak dijelaskan. Pokoknya sambil tersenyum beliau bilang saya harus mengupayakan bertemu bu Linda. Ternyata inilah jawabannya. Bu Linda dimintai tolong mencarikan bantuan untuk mendanai pengobatan saya yang terancam terhenti.

Kata bu Linda dia baru saja menghubungi Yayasan Kanker Indonesia Pusat untuk mencari tahu bantuan apa yang mereka ulurkan untuk penderita kanker yang tak mampu. Diberitahukannya kepada saya SMS dokter saya yang berisi permintaan tolong untuk saya. "Bu Linda ada solusi?" Itu katanya. Sungguh tak terduga di zaman manusia dianggap mulai berperilaku individualistis dan dokter-dokter dicap kurang memiliki empati, dokter saya amat memperhatikan saya dan ingin sekali membantu. Mengharukan.

"Ya bu Linda. Saya memang belum mau mati sebelum bikin masyarakat di lingkungan kami melek tentang bahaya kanker," kata saya menegaskan seraya mempersilahkan bu Linda yang berpenampilan sedehana dan santai itu menghirup secangkir teh yang dihidangkan si bungsu.

"Saya tahu. Itu juga yang diceritakan dr. Bayu kepada saya soal ibu," sahut bu Linda sambil tertawa. Gigi-giginya yang putih nampak kontras dengan T-Shirt merah yang dikenakannya.

"Apa sih ceritanya?" Saya mulai terbangkit penasaran. 

"Nggak dokter Bayu bilang ibu baru rela mati kalau beliau dan ibu sudah kasih pecerahan untuk masyarakat mengenai bahaya kanker. Dokter terkesan lho bu. Makanya katanya carikan solusi untuk nolong ibu hihihihi......," bu Linda membuka kartu sambil tertawa membuat saya pun tertawa juga sambil mengangguk-angguk mirip boneka temanten Yogya.

"Siiip dong. Bu Linda pasti kasih banyak bantuan untuk saya," sahut saya nakal. 

"Ya, ini ada formulir dari YKI, bisa ibu baca syarat-syarat permohonan bantuannya dan nanti ibu ke sana untuk minta dibantu," Kata bu Linda seraya menunjukkan formulir yang diambilnya dari YKI Pusat untuk saya atas permintaan dokter saya tadi. Saya menerimanya lalu mencermati. Di situ tertulis YKI bersedia mengulurkan bantuan berupa pembelian obat-obatan dengan harga murah karena disubsidi.

"Mas Koko ini contact personnya, ya bu?" Tanya saya melihat nama yang ditulis dengan tangan di halaman muka lembaran itu.

"Ya. tapi ibu mesti bawa resep yang ditulis dr. spesialis KHOM ya," jawab bu Linda seraya menegaskan maksud tulisan KHOM di sampingnya.

Saya pun mengerti. "Oh, jadi resepnya bukan ditulis dokter Bayu dong, saya perlu minta dari dr. Noorwati, gitu?" Tanya saya kemudian mengingat dr. Noor adalah konsulen ahli kemoterapi yang sangat dipercaya dokter saya untuk menangani kemoterapi saya meski kami melakukannya di kampung saja.

"Betul. Ibu ke dr. Noor ya?" tanya bu Linda kemudian.

"Ya, saya masih tetap pasien RSKD ikut dr. Bayu dan dr. Maria teman saya," jawab saya menegaskan sementara itu pembicaraan kian menjadi hangat.

Bu Linda mengisahkan awal mula dirinya berkecimpung di pelayanan sosial begini. Waktu itu beliau berniat berhenti bekerja, namun ingin mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang berarti. Beliau lalu berkunjung ke RS St. Carolus dan mencari tahu kemungkinan untuk itu sesuai dengan agama yang dianutnya. Dipertemukanlah dia dengan pasien-pasien penderita penyakit berat yang perlu dibantu. Hatinya tersentuh sehingga dia menekuni pekerjaan itu dan melepas kariernya demi orang sakit.

Sejak itu dia punya komitmen untuk membantu penderita-penderita kanker. Di Bogor sini, di mana rumah keduanya berada dia justru "naik gunung" menyelusup desa untuk membantu warga miskin yang tak bisa mengakses pengobatan dokter dari berbagai agama, tak terbatas Katholik saja. Mereka dibantu untuk mengurus Surat Keterangan warga Tidak Mampu (SKTM) hingga membawanya ke dokter. Acap kali dia bekerjasama dengan Yayasan Sosial Dompet Dhuafa yang jelas-jelas milik muslim yang bersedia mengulurkan banyak bantuan termasuk menyediakan transportasi pasien dengan ambulans. 

Dia banyak berkisah tentang itu dengan nuansa yang mengharukan yang membuat saya ingin menangis jadinya. Sebab drh. Linda hanya seorang yang sederhana yang hidup sendirian dan kemana-mana mengandalkan moda transportasi umum. Seperti pagi itu ketika dia datang langsung dari Jakarta menjenguk saya. Bayangkan, manusia yang juga punya keterbatasan masih punya kepedulian untuk makhluk lain yang lebih papa. Luar biasa!

"Oh ya bu, ada lagi lho Leucogen dijual dengan harga murah di RS. Ibu bisa tanya-tanya sama bu Elies, pasien dr. Denny di sini, dijamin di bawah harga apotek YKI sekali pun," tiba-tiba bu Linda teringat satu lagi kebutuhan penting saya.

"Ah masa' sih?!" Seru saya tak percaya. Bayangkan suntikan untuk meningkatkan sel darah putih yang amat saya butuhkan itu harganya membuat perut menjerit keroncongan.

"Betul, belinya di orang dalam RS. Silahkan tanya bu Elies sendiri sekalian kenalan, nih nomornya ada di saya," tegas bu Linda meyakinkan. Ada kesungguhan di bola matanya yang kecil sebab sebagai warga keturunan Cina dia punya mata sipit meski memancarkan kecerahan. Saya kemudian mencermati kata-katanya. Ah, bu Linda sungguh baik budi.

"Bu Julie, urusan Jamkot memang ribet ya? Mendingan di DKI atau di Kabupaten sekalian deh," tiba-tiba bu Linda bicara soal ruwetnya birokrasi untuk pengguna Jamkesda seperti saya.

"Iya tuh bu," sahut saya.

"Saya 'kan juga suka nolong orang kota. Tapi aduh ampun deh urusannya bikin emosi aja," keluh bu Linda membuat saya geli sendiri. Ini relawan kena batunya, kata hati saya. Tapi dia akan menjemput nikmatnya kelak di surga, itu kepercayaan saya.

Setelah sadar bahwa adzan kaji memanggil saya untuk bersembahyang dhuhur bu Linda buru-buru minta diri. Dia mengaku keasyikan mengobrol dengan saya karena dianggap cocok. Saya pun membenarkannya meski mengaku juga bahwa saya sudah lelah menerima tamu. Saya ucapkan terima kasih karena sudah mengingatkan saya untuk tidak mau dicium tetamu sebab kondisi saya yang lemah dalam masa kemoterapi ini.

Sore harinya saya berkirim SMS kepada bu Elies sesuai saran bu Linda untuk mendapatkan obat suntik dengan harga murah di RS. Meski tak segera dijawab tetapi saya menjadi lega karena ternyata beliau pasien dr. Noorwati juga, sehingga memudahkan saya untuk memperoleh harga yang sama sebab dr. Noor type dokter yang banyak membantu juga. Nyatanya sesekali dana jamkes kasiho saya datang dari kantung beliau hehehehe.....

Lalu ketika saya selesai bersembahyang Ashar, tiba-tiba An teman baik saya menelepon dari ruang praktek sinshe menyatakan ingin menjenguk saya serta menanyai apakah saya perlu dibawakan sesuatu jamu dari sinshe kami? Memang dua hari sebelumnya sinshe mengecek kondisi saya lewat anak saya, yang dijawab bahwa saya sangat lemah dan untuk itu minta dikirimi enerji positif saja sebab tak mampu lagi ke sinshe. Beliau menjanjikan akan melakukannya. Katanya alasan beliau menelepon anak saya juga terdorong nalurinya yang mengatakan saya perlu dibantu. Subhanallah! 

Tak dinyana An datang bersama Netty, adik teman lama saya yang saya belum pernah mengenalnya. Kondisi kanker payudaranya seperti saya dulu, pecah. Sinshe pun tak sanggup mengobatinya sehingga kami disuruh berobat ke dokter. Tetapi kondisi Netty belum separah saya. Kelenjar getah bening ketiaknya masih sehat hingga sekarang, meski luka tumor di payudaranya tetap tidak mengering dan menutup sempurna sepenuhnya.

Netty tak dioperasi. Entah apa sebabnya. Meski ternyata kankernya menyebar jauh hingga ke tulang dan paru-parunya, Netty cukup berobat di dr. Noorwati saja. Dengan obat kemoterapi yang katanya paling ringan. Namun alhamdulillah obat itu menolongnya. Setelah habis hanya satu siklus kemoterapi enam kali yang membuatnya sempat tak mampu berjalan seperti saya, Netty dinyatakan sembuh total. Saya bangga atas hasil kerja keras dokter kami. Perempuan yang menurut saya segagah Srikandi. Dan di dalam lubuk hati saya, saya iri kepada Netty. Terus terang saya menjeritkan pinta ingin sembuh! Dan saya berharap di tangan dr. Noor dan dr. Bayu itu akan terjadi.

Mata saya menerawang ke langit-langit membayangkan lakon-lakon perjuangan yang dramatis. Saya dan mereka berdua adalah pelakunya. Tiba-tiba mata saya buram terbalut air mata apalagi begitu saya menyadari An dan Netty berpamitan memunggungi saya pergi.

"Selamat istirahat Julie, tetap semangat, kamu pun pasti bisa sembuh," kata mereka serempak seraya meninggalkan sisi pembaringan saya. 

"Amin, insya Allah," jawab  saya seraya mengucap terima kasih dan salam selamat petang. Matahari pun mulai tenggelam menuju ke peraduannya membiarkan gelap menerpa.

(Bersambung)

Senin, 25 November 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (139)

"Saya belum mau mati." 

Itu tekad tegas yang saya tanamkan dalam diri saya dalam-dalam. Sebab saya hanya akan rela mati sewaktu masyarakat semakin mengerti tentang bahaya penyakit kanker. Tidak lagi seperti saya yang bodoh dan membesar-besarkan rasa takut berobat karena merasa diri miskin, sedangkan pengobatan kanker tak mungkin bisa terjangkau kantung seorang miskin.

"Pokoknya tolong saya dok. Kita harus berhasil mengalahkan malaikat maut. Kalau menang nanti, maka kemenangan ini adalah sukses besar untuk anda," itu yang selalu saya tekankan kepada onkologis saya selama ini. Beliau tak pernah berani menjanjikan apa-apa selain mengulum senyum. Karena saya tahu beliau pun berprinsip yang menyembuhkan hanyalah Tuhan, sehingga beliau sendiri secara pribadi tak memiliki kuasa apa-apa.

Sakit kanker sungguh tidak nyaman, menyiksa. Rasanya yang menyakitkan ditambah tantangan maut membuat penderitanya harus segera mendapat pengobatan. Hal ini tidak mudah sebab komponen-komponen pemeriksaan penunjang penegakkan diagnosa penyakit, ongkos pembedahan serta pembelian obat-obatan amatlah mahal. Banyak penderita yang harus menjual hartanya untuk berobat tetapi pada akhirnya tidak tertolong juga. Betapa menyakitkannya. Di sinilah pentingnya campur tangan pemerintah untuk mengatasi keadaan. Pertama pemerintah sebaiknya gencar melaksanakan penyuluhan kanker sebagai langkah preventif pencegahan kanker. Selain itu bagi masyarakat yang sudah terkena kanker, sebaiknya disediakan jaminan kesehatan yang dimaksudkan untuk membantu pendanaan pengobatan mereka. Sebab tanpa uluran tangan pemerintah, mustahil penderita bisa menolong dirinya sendiri.

***

Saya kembali mengalami kesulitan itu. Permohonan pendanaan obat-obat sitostatika untuk kemoterapi saya yang dua minggu yang lalu sempat dikucurkan, kini nyaris terhenti dengan tiba-tiba. Pasalnya permintaan ini dianggap tidak ringan sama sekali.

Bulan lalu saya sempat datang menghadap sendiri ke Dinas Kesehatan Kota untuk memohon pendanaan obat-obatan sebesar 43 juta rupiah sekali kemoterapi. Jumlah yang sangat fantastis itu saya sadari tidak akan mudah dikabulkan mengingat banyaknya penderita penyakit-penyakit berat yang juga perlu dibantu pemerintah. Tapi sudah terbukti bahwa kanker saya tidak cocok diobati dengan obat sitostatika terdahulu yang juga dibelikan pemerintah, sehingga harus diganti dengan obat yang sekarang saya ajukan. Berhubung harganya yang sangat mahal itu, maka saya dan dokter sudah bersepakat untuk membuang saja satu macam obat yang termahal agar saya masih tetap bisa diobati dengan obat-obat sisanya yang berharga 15 juta rupiah belum termasuk obat suntik dan obat-obat lain sejumlah dua juta rupiah yang bisa saya upayakan membeli sendiri.

Kini yang terjadi sungguh di luar dugaan. Selain obat suntik saya ditolak didanai sesuai kesepakatan, obat-obat kemoterapi saya pun ditolak. Mereka hanya bersedia membelikan obat seharga tiga juta rupiah saja, yang artinya dua belas juta rupiah lainnya harus kami beli sendiri. Seharian penuh anak saya mengurus hal tersebut di Dinas Kesehatan Kota tanpa hasil. Alangkah sedihnya.

Mula-mula mereka menyuruh anak saya menunggu cukup lama untuk penyelesaian persetujuan permohonan pendanaan obat saya, sebab mereka perlu berunding dahulu dengan pihak dokter saya dalam hal ini RS.  Karena dokter saya sulit dikontak, mereka mengambil keputusan sepihak, hanya mendanai obat termurah sesuai daftar obat yang dikeluarkan pihak RS tempat saya berobat. Tentu saja ini membingungkan kami, mengapa daftar obat ditetapkan sepihak oleh pihak RS bukan oleh pemerintah selaku penyandang dana.

Ketika anak saya menanyakan mengapa waktu terdahulu permohonan obat dikabulkan kedua-duanya, mereka tak bisa menjawab. Anak saya kemudian minta dipertemukan dengan pejabat yang berwenang yang kebetulan pada hari itu tak nampak di kantornya. Sayang kata mereka pejabat yang dimaksud sedang cuti tahunan,. Lalu anak saya beralih minta dipertemukan dengan atasan beliau penandatangan persetujuan pembelian obat itu. Kali ini mereka menjawab ibu yang bersangkutan ada di dalam tapi tak berkenan bertemu. Sebagai penawarnya anak saya diminta melapor ke RS agar pihak RS yang datang menghadap sendiri. Atau saya disarankan untuk pindah RS ke RSU yang dapat dipastikan semua permohonan obatnya akan dikabulkan.

Tentu saja anak saya terkejut. Sebab lain RS dikenai perlakuan dan kebijakan yang berbeda. Anak saya dengan tegas menolak usulan mereka, karena berganti RS tentu berganti pula dokternya sehingga pengobatan saya sangat mungkin diulang lagi dari awal. Gagasan ini sama sekali tak pernah singgah di benak kami. Sebab saya tak mau dipegang dokter lain lagi mengingat penatalaksanaan pengobatan saya sudah berjalan dan terencana dengan sangat baik hingga sekarang. Saya tak mau disakiti oleh dokter yang sama sekali tak tahu kasus saya.

Akhirnya anak saya pulang membawa kekecewaan yang dalam. Dia langsung mengayunkan kakinya dengan pikiran galau menuju ke RS. Keinginannya saat itu cuma satu : Menemui Perawat Kepala memohon agar beliau segera menghubungi pihak DKK menegosiasikan obat-obat kemoterapi saya. 

Perjalanan yang jauh dengan berganti-ganti angkutan kota tak dihiraukannya. Dia cuma ingin memburu waktu cepat tiba di RS sebelum zuster Maria, perawat yang amat baik kepada pasien itu pulang sebab hari sudah sore.

Betul saja, dia melamun di atas angkutan kota yang melaju sehingga nyaris kebablasan seandainya sopir angkot tak mempersilahkannya turun. Dan begitu tiba di RS kedapatan bu Maria sudah pulang. SMS yang dikirimkan anak saya tak dijawab, sedangkan telepon pun juga dibiarkannya. Baru kemudian karena merasa terusik, beliau menjawab singkat tidak bisa dihubungi karena sedang beristirahat. Semakin lunglai lah anak saya meski dia tak sampai patah semangat.

"Betul-betul bad luck bu," lapor anak saya ketika tiba kembali di rumah menjelang maghrib. Wajahnya kelelahan dengan keringat yang mengucur menuju ke dagunya.

"Ada apa sih?" Sambut saya penasaran. Saya pandangi dia yang nyaris menangis sedih.

"Permohonan kita cuma dikabulkan satu, alasannya nggak jelas," jawabnya seraya menarik kursi untuk duduk mendekati saya yang kebetulan sedang dijenguk para kemenakan, anak-anak mereka dan kakak saya yang sekarang benar-benar tinggal seorang. Jadi sejak pagi saya memang tidak bisa berbaring-baring di kasur menerima mereka yang tak putus-putusanya mendoakan saya sambil berunding mencari jalan mendapatkan uang untuk pembelian obat saya. Terus terang saja, kondisi saya menimbulkan keprihatinan yang yang sangat pada seluruh keluarga saya. Sebab meski bungsu, tetapi saya dituakan di keluarga kami.

"Kamu bicara sendiri dengan bu R, mas?" tanya saya ingin tahu seraya menyebut nama pejabat yang berwewenang yang biasa melayani pengguna Jamkesda dan selalu jatuh iba jika melihat saya menghadap sendiri. Pernah beliau menegur anak saya untuk tidak usah membawa saya mengurus keperluan Jamkesda mengingat kondisi saya yang lemah. Namun waktu itu tak bisa lain, sebab si adik pergi kuliah sehingga tak ada yang menjaga saya di rumah.

"Nggak. beliau sedang cuti pulang kampung. Acc ini yang menandatangani bu drg. Maeghareta, langsung," jawab anak saya lagi.

"Kamu ketemu beliau dan tanya mengapa sekarang ditolak?" Tanya saya lagi.

"Nggak, bu Marghareta nggak ke counter pelayanan. Cuma kata staff di counter beliau cuma bisa meng acc satu, nggak boleh lebih dari tiga juta soalnya," jelas anak saya membuat saya terkejut-kejut.

"Apa?! Tidak boleh lebih dari tiga juta?! Kenapa tiba-tiba berubah?" Tanya saya separuh memekik. Saya tak percaya sebab dulu dikatakan tak boleh lebih dari lima belas juta rupiah. Penurunan nominal yang drastis begini tentu saja di luar kesepakatan yang telah kami buat dan jadi sangat mengejutkan.

"Mbuh. Entahlah. Makanya aku sempat berdebat panjang tadi. Tapi mereka tetap tak mau kasih penjelasan dan menyuruh pihak RS yang bicara untuk kita," cetus anak saya bersemangat namun menyiratkan kejengkelannya.

Kami menghela nafas dalam-dalam. Sungguh sesak rasanya di dada. Penyakit kanker ternyata memang tidak menyenangkan dengan biaya pengobatannya yang tidak murah itu.

"Mas, kalau obat suntik Leucogen disuruh bayar sendiri, okay lah. Tapi obat-obat kemo itu tak lagi didanai sesuai kesepakatan, maunya gimana?"  Terlontar satu pertanyaan yang saya yakini anak saya pun tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Benar saja dia cuma mengangkat bahunya jengkel.

"Di atas lima belas juta mereka bilang kebanyakan, mahal. Di bawah itu, Leucogen sejuta setengah juga kemahalan, tapi kita dianggap mampu bayar sendiri. Lha sekarang, cuma minta lima belas juta saja seandainya nggak boleh beneran minta Leucogen ya ditolak juga, cuma boleh tiga juta, Terus maunya gimana???" Kembali anak saya yang melontarkan kebingungannya. Lalu kami pun saling bertatapan dalam kebingungan.

Saya kemudian beranjak ke dalam kamar dan membaringkan diri di kasur. Penat seketika menyergap saya, sehingga kedua anak saya ikut merebahkan diri atau duduk di dekat saya. Saya raih ponsel saya untuk memberitahukan masalah ini kepada dokter sekaligus minta waktu tunda kemoterapi seminggu karena mau tidak mau saya harus mencari dana dulu menerima uluran tangan atau usulan keluarga saya yang baru saja selesai berunding untuk membiayai pengobatan saya. Terus terang saja seperti yang disebut-sebut mantan suami saya, kini kami tak lagi berharta dan juga tak berdaya. Semua telah habis untuk pengobatan-pengobatan saya yang terdahulu hingga di luar negeri.

"Aslmkm. Dok. Mhn maaf DKK hanya mendanai C. B yg mahal tdk diberikan tp mrk blg mau dinegosiasi. Mrk minta RSKB sendiri yg bicara dng mrk. Jd bsk Andrie mau bcr dng pihak RS. Seandainya mrk butuh wkt utk negosiasi atau sy cari uang sndiri, blhkah kemo mundur seminggu? Tks arahannya," demikian ketik saya menuju ke dokter onkologi saya sebagai pemegang kendali pengobatan saya.

Tak berlama-lama SMS saya dijawab, "Wass. Bu. Wah.... kok bgt ya? kalo mmg diperlukan sy beri surat tdk apa2. Ato ganti jenis lain yg isinya sama jg tdk apa2... Bgmn brp sih harganya B?" 

Belum sempat saya jawab masuk pula SMS berikutnya, "harusnya 3 minggunya kapan bu?"

"Harga B 14 jt 449.500 menurut apotek RS. Gpp kl misalnya nanti ttp tak dikabulkan kami cari uang sndiri. hanya mhn izin perlu wkt sminggu. kemo tgl 30 hr Sabtu ini," demikian jawaban saya.

"Knp ditolak bu, trus utk selanjutnya bgmn?" Sahut dokter saya mulai menyiratkan kegundahannya.

"Blm jelas. Td pjbtnya sdg cuti. Atasannya blg hanya mau mendanai C yg 3 jt tdk 2-2nya lg spt dl. Makanya bsk pihak RS diminta bcr sndri dng DKK. Selanjutnya kami cari uang sndiri," jawab saya.

"Perlu surat dr sy?" Tanya dokter saya simpatik.

"Kl berkenan membuatkan blh saja. Hr Rabu sy ambil di poliklinik 16. Maaf jd sgt merepotkan," tulis saya harap-harap cemas. Sebab saya tak tahu pasti apakah beliau akan pulang kampung dan membuka kliniknya si sini. Banyak kesibukan beliau yang sering menghambat langkahnya meninggalkan kantor lebih cepat demi kami di sini meski itu di luar kemauannya.

"Ok. Tunda 1 mgu tdk apa bu tp kita coba tgu hsl pembicaraan RS dng DKK. Baru kemudian kita tentukan alternatifnya," Tulis dokter simpatik berjiwa sosial itu menenangkan saya dan anak-anak.

"Mtr nwn sgt dok. Trs trg harini kelg kami melepas saja 1-1nya harta peninggalan simbah spy kemo sy bs ttp berjln drpd terganjal birokrasi n sy mati, hiks! Itulah makanya kami minta wkt smggu," Timpal saya membuka rahasia keluarga saya yang terdalam. Demi nyawa saya akhir-akhir ini saya merasa tak lagi malu-malu menceritakan semua keadaan kami kepada beliau.

"Oke gpp bu. Utk penundaan ckp dgn srt rawat kemo yg kmrin. Nanti minta tlg pak Omrin utk atur ulang jadwal kemo ibu. Kt coba dl tembus birokrasi jgn pake harta simbah ah...," jawab beliau simpatik sekali membuat mata saya berkaca-kaca. Dan saya teringat lagi suasana ketika beliau nyaris menangis minta agar saya dikasihani kolega di kantornya dulu. Di zaman seperti ini beliau adalah sosok yang langka dan mengagumkan sekali. Dokter yang bekerja tak hanya dengan otaknya, melainkan melibatkan hati nuraninya juga.

"Oh baiklah kl bgt.Tks bnyk 1x lg. Sy blm mau mati msh bnyk org buta kanker di sekitar mas dr. Kt hrs buat mrk melek :-)," jawab saya mengakhiri pembicaraan kami yang juga ditutupnya dengan pesan saya harus bersabar menunggu hasil negosiasi pihak RS dengan DKK selaku penyandang dana Jamkesda.

Setelah itu saya merasa lega membayangkan di RS masih banyak orang sayang kepada saya. Termasuk dokter onkologi saya yang selalu bekerja sepenuh hati. Saya membuka lembaran telapak tangan saya, menengadahkan wajah menatap langit di kejauhan. Bermohon supaya Allah menyayangi kami selalu.

(Bersambung)

Sabtu, 23 November 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (138)

Ada banyak yang saya nikmati di masa saya didera kanker yang menakutkan ini. ALHAMDULILLAH adalah satu di antaranya, yakni kata-kata yang mengungkapkan rasa syukur kepada Allah sang Maha Agung karena telah mencurahkan nikmat yang banyak kepada saya dan anak-anak di balik cobaan yang telah ditimpakan kepada kami.

Setiap kali kata ALHAMDULILLAH itu dibunyikan mulut saya, maka artinya saya baru saja menerima bantuan dari berbagai pihak untuk mengupayakan kesehatan diri. Contohnya ketika akhirnya anak saya membawa kabar kurang menggembirakan berupa ditolaknya permohonan bantuan pembelian obat suntik leucogen yang amat saya butuhkan itu, tiba-tiba teman-teman SMA saya datang menjenguk sambil mengulurkan bantuan.

Seharian itu saya memang merasa amat sangat lemah. Sehingga berbaring-baring cuma satu-satunya jalan untuk menyandarkan tubuh yang sama sekali tidak bugar. Sedang saya terjaga di sore hari, tiba-tiba Butet datang bersama Ade. Sudah sering Butet menengok saya, setidak-tidaknya berkirim doa lewat SMS. Perempuan karier yang memilih melajang selama hidupnya ini, selalu punya kasih sayang untuk siapa saja termasuk untuk para kemenakannya yang betah tinggal bersamanya. Katanya dia mendengar kondisi terakhir saya serta kematian kakak saya yang terkesan tiba-tiba dari sepupu saya sahabatnya di gereja. Sepupu saya menangis membuatnya ikut larut dalam duka sepupu saya itu. "Saya jadi ikutan nangis. Habis mbak Jekti ceritanya sambil mewek terus. Jul, sekarang tiap saat teduh kusebut kalian bertiga. semoga Allah menguatkan dan memberi jalan terbaik untuk kalian anak-beranak, amin..............," katanya sambil mengalirkan air mata itu lagi.

Ade seorang janda yang ditinggal mati suaminya enam tahun lalu pun ikut-ikutan menangis. Tapi dia salut melihat saya masih mampu bercerita panjang lebar. Dan semuanya masih teratur serta mengesankan melewati segala jalan yang tak mudah. Saya cuma tersenyum menyatakan terima kasih saya atas apresiasinya. Apalagi kini dia kesepian seorang diri karena anak-anaknya sudah menikah semua dan tinggal terpisah.

Selepas maghrib Maria datang seorang diri. Dengan kulit tetap mulus lembut sebersih kulit bidadari, tubuhnya yang juga tetap kecil mungil nyaris tak kelihatan belum sempat dibersihkan. Katanya dia baru saja selesai menutup tokonya. Katanya dia mendengar kabar saya dari BB Group teman SMA. Dan besok, lapornya, teman-teman berencana datang menjenguk mengulurkan bantuan. Sebab mereka tahu entah dari siapa saya sedang berjuang mendapatkan dua ampul obat suntik yang saya perlukan. Tercengang saya mendengarnya. Subhanallah! Sungguh bantuan itu selalu diberikan Allah tanpa terduga.

Betul saja. Tanpa didahului SMS seperti biasanya serombongan teman-teman masuk ke kamar tepat ketika saya baru saja menyelesaikan sembahyang Ashar. Meski menyedihkan tetapi saya memang cuma mampu shalat sambil berbaring saja sekarang ini. 

"Assalamu'alaikum, Jul, lagi tidur ya?" Kedengaran suara berat serak-serak basah di telinga saya. Terbayang aksinya ketika sedang asyik menjeritkan lagu-lagu slow rock.

"Aih, Icuy," saya menyebut nama Suryamah teman saya di kelas 3 SMA dulu yang duduk sebangku dengan Lily.

"Baik amat sudi nengok saya...., nggak ngrepotin 'kan?!" Sambut saya senang dibalas dengan kecerahan pada wajah dan nada suaranya.

"Nggak lah, senang aja ingatan kamu masih terang, nih teman-teman lain ya," sahutnya lalu melepaskan tempatnya di sisi saya untuk teman-teman lain. Ada Enen, Elly, Yani, Wenti, Lina dan kak Iwan suaminya, Susi, Tame, Pudjo, Udin dan tentu saja Ian teman yang kerap menyemangati saya dengan kata-kata indahnya. Ternyata bahkan Icuy pun didampingi suaminya yang pernah sekali saya lihat menjemputnya di rumah Wawan dulu.

Mereka sangat ingin tahu kondisi saya, dan karenanya mendengarkan dengan cermat apa yang saya coba tuturkan. Terlontar banyak komentar dari mulut mereka yang menunjukkan kekaguman mereka. Hingga anak-anak saya pun didekati untuk ditanyai secara jelas tentang keadaan saya sejujurnya. Saya perhatikan wajah mereka nampak amat serius. Sesekali mereka nampak mengangkat alis, mendecak-decak kagum dan semacamnya yang seolah-olah menggambarkan isi pikiran mereka. 

Tapi mereka tak lama di tempat saya karena akan ke RS menjenguk dua teman lagi yang dirawat di sana, Mia dan Meijahr. Saya tahu Mia sudah lama mengidap hepatitis kronis karena dia guru anak saya semasa di SMA. Sedangkan Meijahr konon jatuh sehingga kakinya bermasalah. Maklum kami sekarang sudah mulai tua. Saya melepas kepulangan mereka dengan terima kasih yang tulus dan salam untuk teman-teman yang sakit.

Subhanallah! Mereka meninggalkan sejumlah uang juga rupanya di samping buah-buahan pilihan untuk memperbaiki kondisi fisik saya. Inilah sekali lagi bukti bahwa Allah ada di tempat kami dan mengucurkan uang yang betul-betul kami perlukan. Sudah dua minggu suntikan Leucogen saya tak terbayar karena ketiadaan biaya serta permohonan saya ditolak pemerintah. Pihak DKK mengatakan kepada anak saya, tak bisa lagi mengucurkan uang satu juta lebih untuk pembeli obat yang saya butuhkan itu. Buru-buru saya mengucap doa syukur serempak dengan anak-anak saya yang wajahnya jadi berseri-seri.

"Mohon izin tanya mas dokter, besok praktek kah? Keadaan ibu masih mengkhawatirkan dan belum dapat surat perintah kemo," anak saya langsung berkirim SMS kepada dokter onkologis saya. Sebab ada kalanya beliau pulang kampung dengan tujuan melakukan tindakan operasi sehingga klinik ditutup untuk pasien-pasien rawat jalan. Anak saya yakin besok saya dapat langsung disuntik oleh beliau sendiri di klinik tanpa harus dilayani dokter jaga di IGD seperti biasanya. Obat suntik itu sudah di depan matanya dibayar dengan pemberian teman-teman saya. Alhamdulillah tanpa menunggu lama beliau mengiyakan dan berharap segera bertemu saya. Jadi semalaman saya mencoba tidur nyenyak.

Kesibukan di jalanan memberi tanda hari sudah pagi. Bahkan semakin siang lalu lintas semakin padat nyaris tak bergerak. Saya bimbang bagaimana mencapai RS dalam keadaan begini. Sebab biasanya angkutan kota jadi jarang yang mau melintas di depan rumah kami. Tapi untunglah kemenakan saya bersedia mengantar jemput sehingga saya bisa sampai juga di RS bahkan menunggu cukup lama. Agaknya dokter melepas rindu lebih dulu dengan ibundanya yang setia memelihara rumah induk mereka. Memang disebabkan volume pekerjaannya di ibu kota dokter hanya sanggup pulang di akhir pekan.

Tiba di RS pun saya nyaris tak mendapat kursi roda karena entah mengapa kata anak saya hari itu kosong. Akan tetapi mujur selalu berpihak kepada saya. Begitu saya tiba di lobby seseorang berkursi roda pulang, seolah-olah menyodorkan kursi yang dipakainya untuk saya. Subhanallah sungguh tak terkira lagi.

Belum sampai di RS saya menerima SMS dari bu Linda seorang relawan kanker yang sudah sering menghubungi saya lewat telepon. Rupanya dia berniat berkenalan sambil menjenguk ke rumah dalam perjalanannya ke Jakarta. Tapi terpaksa saya tolak karena saya akan ke RS. Akhirnya dia hanya menitipkan salam untuk dokter saya. 

Ketika tiba giliran saya dipanggil, perawat sengaja tidak meneriakkan nama saya lantang selain menjemput dan lalu mendorong kursi roda saya. Agaknya penampilan saya yang sudah hancur-hancuran menerbitkan iba bagi siapa yang tahu diri saya. Saya terhibur karenanya.

Dokter tentu saja prihatin menyaksikan saya. Keadaan saya diperiksanya. Ketika saya laporkan bahwa saya belum jadi disuntik karena DKK tak lagi mendanai pembelian obat itu beliau sedih. "Yah..... terus gimana dong kalau gini?"

Saya segera memasang wajah tenang dironai senang. "Tapi tenang, saya sudah dapat dana kasihonya. Bisa untuk dua ampul. Yang seampul sudah dibayar ada tuh di apotik, tinggal suntik di IGD," ujar saya.

"Alhamdulillah. Dari mana lagi?" Tanya dokter penuh senyum. kini lega wujudnya.

"Dari teman-teman SMA kemarin sore dan biasa, dari fans saya di LN. Hehehehe........ percaya 'kan Allah itu ada di sisi saya?!" Saya jadi tersenyum juga.

"Ya udah ambil ke apotik, kenapa harus ke IGD sih?" Tanyanya.

"Ya 'kan proseduralnya gitu," jawab saya tak disanggah perawat.

"Wis mboten prosedural-proseduralan. Sini aja saya kok yang lakukan. Ambil ya nDrie," pintanya pada anak saya menyebabkan perawat pun menganga takjub.

"Mas, tapi saya lebih berani dioperasi dari pada disuntik leucogen gini sensasinya itu lho serem ihhhh..........," ungkap saya menceritakan kengerian pada jarum suntik yang akan ditusukkan di perut saya.

"Lha kok, memang kenapa bu?" Dokter tampan itu kebingungan.

"Lha jarumnya ditusukkan di perut gitu sih," jawab saya jujur.

"Nggak di lengan aja bisa," kata perawat yang menerima obat dari tangan anak saya.

"Oh, bisa, tapi ya di perut aja deh. Lebih aman kok," kata dokter saya seraya menginstruksikan perawat berkumis yang juga simpatik karena ramahnya itu mempersiapkan alat suntik.

"Memang kenapa sih mas kalau di lengan?" Saya mengejarnya dengan pertanyaan aneh.

"Kalau jadi infeksi bahaya ah. Wis sini, merem ya, nih," kata dokter sejurus kemudian. saya dimintanya duduk tenang.

"Bismillah. srrrrttttt......," kedengaran suara mendesis yang ternyata berisi cairan antiseptik dingin sebagai pendahuluan. "Merem, nih ......"

"Wis tha?" Tanya saya tak percaya sebab tak terasa apa-apa. Anak-anak, dokter dan perawat tertawa menciptakan sebuah koor yang mengejek nenek-nenek.

"Merem, diem bu," kata dokter tak kuasa menahan geli.

Dan, selesai jugalah apa yang mengerikan saya itu dengan baik dan damai.

"Hahahaha........ terima kasih. Unik ya? Mending dioperasi sisan gitu lho," kata saya geli sendiri.

Setelah itu dokter menuliskan persiapan kemoterapi yang terjadwal persis seminggu lagi lalu sebelum menyalami saya menanyakan apakah saya sudah berhubungan dengan bu Linda. Tiba-tiba saya teringat pesan darinya yang belum saya tunaikan.

"Oh ya sudah, cuma belum ketemu. Dia tadi mau ke rumah tapi saya sudah mau ke sini. Akhirnya dia malah titip salam. Ada apa sih mas?" Tanya saya jadi penasaran.

"Ada aja........ Pokoke kontak beliau ya tante," pesannya misterius. Sama misteriusnya dengan jawaban bu Linda ketika saya SMS kemudian.

Duh, hidup saya ini kok penuh misteri ya???

(Bersambung)



Rabu, 20 November 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (137)

Ada satu lagu yang akhir-akhir ini bergantung di ingatan saya. Rindu Purnama judulnya. Bukan hanya disebabkan karakter suara penyanyinya yang khas, melainkan karena penggalan-penggalan syairnya amat mengena di hati saya. Lagu yang mengisahkan seseorang dalam kesendiriannya namun dia tetap tersenyum untuk bertahan hidup. Sebab dia merasa masih banyak yang menyayangi, dan itu sangat disyukurinya.

Berulang kali saya minta si bungsu memutarkannya untuk saya hingga telinganya merasa bosan sendiri. Tapi saya beruntung karena dia tidak protes selain bertanya, "ada apa sih kok tiba-tiba ibu mau dengar lagu ini terus?" Dan jawaban saya adalah liriknya mengajari kita yang tengah terbuang untuk selalu bersyukur karena justru di dalam masa "pembuangan" ini kasih sayang datang melimpah dengan sendirinya menutupi duka yang menyelimuti.

Dia terdiam sejenak baru menyetujuinya. "Ah, iya juga ya," ucapnya seraya tersenyum.

Senyum anak saya adalah kesejukan untuk saya. Rasanya sakit saya yang membuat tubuh panas dingin seakan-akan tersiram guyuran air sumur. Ya memang tubuh saya tidak demam. Tapi hati saya "demam" oleh harga obat suntik yang harus segera saya peroleh. Sebab seingat saya dulu saya pernah membeli secara pribadi ketika tak punya waktu untuk mengurus permintaannya ke DKK sebanyak kurang lebih satu juta rupiah. Uang itu kini tak mudah saya peroleh, habis terkuras untuk kebutuhan lain penunjang pemulihan kondisi saya. Hidup memang pahit bagi kami meski tak sepahit yang dihadapi pengguna-pengguna Jamkesda lainnya. Sebab ternyata Tuhan selalu menjulurkan "tangan-tangan emas" untuk mengantarkan uang itu ke rumah kami.

Saya tiba-tiba teringat teman-teman DWP saya. Sikap mereka yang sangat pedulian membuat saya ingin minta didoakan terus. Saya kirimi salah seorang di antaranya sebuah SMS singkat tentang kondisi terkini saya dan rencana saya memenuhi kewajiban kontrol keesokan harinya ke RSKD. Tapi tentu saja tak saya ungkapkan kesulitan dana pembeli obat itu.

"Masya Allah adikku, gmn kl teteh kirim 4life yg prnh dikasih itu mau?" Jawaban segera saya terima tak lama kemudian. Tentu saja akan saya terima dengan senang hati, namun saya katakan saya yakin tak sanggup membayar harganya

Si teteh murah senyum itu membalas kembali, "jng bingung teteh akan urus."

"Tapi teh saya merepotkan orang terus dong?" Balas saya.

"Jgn lupa dik. Sebagian harta yg kami peroleh adlh utk menolong org yg membutuhkan. Kuatkan dirimu ya," jawabnya menyejukkan. Hampir saya menitikkan air mata karenanya, terlebih-lebih ketika ada SMS susulan yang menyebutkan uang pembeli obat suntik itu pun ada di tangannya, datang dari karib kami di luar negeri. Subhanallah! Inilah satu di antara nikmat itu jua.

Malam itu saya tidur cukup nyenyak. Bahkan lonceng penanda subuh pun nyaris tak terdengar. Padahal seharusnya saya segera bangun dan mandi untuk ke RSKD. Jalanan akan padat di Senin pagi.

Sambil beranjak dari kasur saya bangunkan anak saya. Dia salah seorang asisten setia saya yang amat penuh perhatian. "Dik, hampir jam lima, nanti pak Jamil keburu datang," kata saya lembut. Ya suara saya kini tak selantang biasanya. Kali ini dia langsung bereaksi, menggeliat sekejap dan bergegas bangkit sementara saya cuma diam menunggunya membantu saya.

Ritual bangun tidur seperti ini kini mau tak mau jadi kebiasaan. Termasuk mandi dan sarapan saya. Semua dalam bantuan anak-anak. Untuk itu saya tak bisa merasa malu lagi dipegang-pegang lawan jenis.

****

Pukul enam kami berangkat. Pak Jamil nampak prihatin menyaksikan keadaan saya sekarang. Dia bertanya kelanjutan pengobatan saya. Begitu saya jawab dia langsung mengucap nama Allah dan mendoakan yang terbaik. Kelihatan betapa tulus kebaikannya dari nada bicaranya meski sesungguhnya dia bukanlah siapa-siapa kami. Persaudaraan itu ternyata tak harus terikat darah.

Jalanan seperti dugaan sudah padat sejak ke luar dari rumah. Bahkan ada konvoi truk Marinir yang entah datang dari mana dalam keadaan kosong. Jakarta pun di luar kebiasaan, menjadi lebih tertib pada jalur Bus Trans Jakarta. Tak nampak lagi kendaraan-kendaraan pribadi yang ikut menyerobot kecuali sepeda motor yang semakin mirip lautan laron.

Di RS pun pengunjung sudah meluap sehingga saya terpaksa berjalan tertatih-tatih menuju lobby sebelum memperoleh kursi roda yang katanya sedang dalam antrian. Dan nyatanya begitu antrian dibuka, pengunjung pun serempak berlari memperebutkannya sesuai daftar tunggu. Padahal jumlah kursi roda nampaknya sudah bertambah melihat yang saya peroleh terlihat masih baru dengan roda-rodanya pun masih dilapisi pembungkus plastik. Sungguh tak mudah rupanya mencari kursi roda di RS besar. Setidak-tidaknya dibandingkan di Bogor, di mana banyak tersedia di suatu sudut tertentu yang bebas dipinjam tanpa perlu meninggalkan KTP sebagai penjamin.

Untung saya masih mendapat nomor di dokter yang saya tuju, meski nomor besar. Begitu saya nampak di muka ruang perawat mereka langsung menyambut saya dan menyuruh saya masuk untuk registrasi, mengukur tensi dan menimbang bobot. Kedapatan bobot saya turun tiga kilogram, dengan tensi yang rendah. Segera perawat yang mengasisteni onkologis saya membawa saya ke dokter ahli kemoterapi sebelum beliau menyela prakteknya untuk menjenguk pasien-pasien yang sedang dikemoterapi pada hari itu. 

"Ini bu Julie datang dok, tolong jangan naik dulu," ujar perawat favorit anak saya yang menurut kami memang sangat penuh kasih sayang itu. Agaknya onkologis saya sudah berpesan padanya untuk segera menghadapkan saya kepada beliau begitu saya nampak sebelum saya menemui dokter onkologis saya sendiri. Pun onkologis saya sudah bicara lebih dulu dengan seniornya ini.

"Assalamu'alaikum mbakyu dokter," saya langsung mengucap salam dan menebar senyum. Hati saya begitu senang bisa bertemu lagi dengannya untuk menyatakan isi hati saya yang sesungguhnya.

"Lho mbak, kok sudah di kursi roda?!" Reaksi beliau sambil membelalakkan matanya. Nampaknya beliau terkejut tak seperti perawat yang agaknya sudah mendengar kemunduran saya dari onkologis saya.

"Sudah, sudah. Duduklah di situ, tidak mengapa," lanjutnya lagi seraya menebar senyum dan mengulurkan tangan. Kelembutan kulit itu terasa mengantarkan kehangatan ke dalam diri saya.

"Iya bu, leukosit saya drop. Cuma 1250 saja. Kaki-kaki saya pun berulah jadi manja sekali. Ngilu pada pangkal paha, kaku dan lemas," jawab saya. "Tapi saya ingin mengucapkan terima kasih sudah mendampingi mas Bayu memformulasikan obat yang cocok untuk saya, panjenenengan hebat bu."

"Ah nggih mboten tha mbak. Yang hebat itu Allah," jawabnya merendah. "Jadi sudah kemo?"

"Sampun mbakyu. Tapi saya cuma dapat Brexel-Carbo, daripada mboten ding, 'kan nggih lumayan," jawab saya.

"Kapan?"

"Tanggal sembilan," sahut anak saya.

"Saya mengemis sendiri ke DKK minta didanai. Benar mas Bayu. Trastuzumab ditolak. Tapi saya mengemis minta setidak-tidaknya didanai Brexel dan Carbo lalu saya tunjukkan SMS kesepakatan dokter dengan saya karena pagi itu saya berunding dulu dengan beliau," terang saya seraya mengambil nafas sejenak. Sedih sekali rasanya akhir-akhir ini saya mudah terengah-engah lagi. "Mereka lalu minta waktu untuk menghubungi dokter dan pihak RS. Tapi tentu saja tak tersambungkan meski saya diminta menunggu hingga siang. Akhirnya saya terangkan bahwa mas Bayu sedang di ruang operasi di RSKD. Jadi silahkan ambil keputusan berdasarkan SMS beliau tadi. Dan akhirnya saya diberi yang dua itu saja. Tak apa lah saya tunggu sampai siang," tutup saya.

"Oh, berjuang terus nih," gurau dokter keibuan yang kini sudah akrab dengan saya. "Mana hasil lab nya?" Tanyanya.

Anak saya lalu mengangsurkan berkas-berkas di tangannya, dan dokter menarik lembar hasil laboratorium. Mengambilnya sebuah kemudian menyimpannya di berkas Rekam Medis saya. 

Saya meresapi gurauan bu dokter yang sudah doktor yang memimpin lembaga penelitian dan pengembangan di RS besar ini. Betul kata mbak Maria koleganya yang membawa saya berobat pertama kali. Saya adalah pejuang tangguh yang penuh semangat sehingga tim medis yang menangani saya pun semakin bersemangat mencari cara untuk menangani kasus saya yang sedemikian beratnya. Di dalam konferensi harian para dokter sering saya dibicarakan. Begitu kata mbak Ria seorang dokter yang ditugasi mendampingi pasien-pasien dengan tingkat kesakitan tinggi dan harapan hidup yang rendah.

"Oh ya rendah. Nanti diatasi dengan suntikan," ujar dokter itu.

"Ya, saya sedang mengupayakan diberi Leucogen juga. Mudah-mudahan dikabulkan. Kalau tidak akan saya carikan dana segera. Terus terang mbakyu, capek mengalami hal begini," cetus saya.

Disertai senyumnya yang tulus beliau menyahut, "saya tambahi antibiotik dan vitamin."

"Tapi saya tidak batuk kok," sahut saya spontan. 

"Ah ya nggak harus batuk. Pokoknya dihabiskan, ya?" Tegasnya membuat saya mengangguk-angguk mengerti.

"Mbakyu, obat pilihan panjenengan terbukti ampuh sangat. Ini tumor di cranio mulai mengecil dan menurut mas Bayu yang di clavicula pun melunak," lapor saya lagi seraya mengekspose tubuh saya. Jilbab saya angkat untuk itu.

"Mana?" Beliau bangkit dari kursinya setelah selesai menulis. Dihampirinya saya dan diraba serta diperhatikannya tumor saya cermat-cermat sebelum memulai pemeriksaan dada. 

"Insya Allah menolong ya mbak. Kita coba terus. Kapan jadwal kemo berikutnya?"

"Tanggal 30," sahut anak saya manajer pengobatan saya di lingkungan keluarga.

Dokter lalu kembali ke tempatnya. Melanjutkan kembali menulis di Rekam Medis saya.

"Inggih sampun mbak, kita ketemu lagi di waktu berikutnya," tutup bu dokter menyudahi pemeriksaan hari itu serta menyerahkan lembaran resep ke tangan anak saya untuk nanti ditiru oleh onkologis saya di kampung halaman.

Saya mengucapkan terima kasih dan kami pun bersalam-salaman kembali. Beliau langsung menutup pintu kliniknya sebelum melangkah naik memeriksa pasien-pasiennya yang sedang dikemoterapi, sedangkan saya kembali ke selasar ruang tunggu menanti kesempatan ke onkologis.

Ternyata menurut perawat, onkologis saya sudah bertugas di lantai dasar, tapi tadi meminta saya menunggu di sini di tempat yang lebih bersih karena lebih sepi. Saya patuh meski ternyata membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Dalam pada itu saya menilai betapa profesionalnya beliau menangani pasien. Tak seorang pun yang dalam keadaan sangat lemah diizinkan terekspos keramaian kerumunan orang. Teringat lagi alasan beliau menyetujui saya beristirahat di rumah saja daripada harus di rawat di bangsal kelas 3. Saya tersenyum-senyum bangga membayangkannya lalu kembali merasa sangat yakin bahwa kolaborasi kami berdua pasti akan membuahkan hasil yang menggembirakan dan mencengangkan kolega-kolega beliau yang sudah senior di situ.

Masa menunggu itu dihabiskan anak saya untuk browsing sehingga saya duduk-duduk melamun sambil memperhatikan tempat-tempat tidur serta kursi roda dengan pasien tak berdaya yang akan dibawa ke ruang radiologi. Dulu di Singapura saya adalah salah satu di antaranya.

Rasanya tak sabar saya menunggu meski banyak yang juga masih menunggu dokter mereka masing-masing termasuk bu dokter ahli kemoterapi yang kemudian kelihatan sudah kembali setelah selesai memeriksa mereka yang tengah dikemoterapi. 

"Dik, tolong naik dan tanyakan apa mas dokter jadi turun ke sini? Kalau masih lama di atas kita naik aja deh, minta tolong zuster yang masuk menyerahkan resep," pinta saya meluapkan rasa lelah di tubuh.

Anak saya mengangguk lalu beranjak pergi. Namun perawat mengingatkannya bahwa dokter pasti akan turun karena sudah berpesan agar saya disuruh menunggu di situ. Akhirnya dia duduk lagi dan masa menunggu diteruskan. Kata perawat masih banyak pasien beliau yang juga sama-sama menunggu di bawah. Saya pun tak bisa berkata-kata lain.

Saya tangkap pasien di dekat saya juga menunggu dokter yang sama dengan saya, meski saya lihat dia tak mengeluh karenanya. Saya jadi malu dibuatnya. Namun rasa letih yang terus saja menyergap akhir-akhir ini membuat saya ingin segera pulang, sampai di rumah lalu tidur. 

"Dik, udah lah......., naik aja. Tanya perawat di UDT," pinta saya lagi mengusik anak saya. Maka kali ini dia langsung pergi tanpa menoleh-noleh dan segera kembali menyampaikan temuannya, "eh, ternyata beliau baru aja tutup klinik dan kata perawat dah turun. Eh, beneran, ada tuh sedang di pos nya perawat," yang ternyata ketika saya menoleh ke arah situ beliau sudah muncul menuju klinik.

Perawat kemudian menyeru sebuah nama sebelum memanggil nama saya untuk giliran berikutnya. "Ibu Julie setelah ini ya," gerakan tubuhnya meminta saya bergeser ke muka pintu klinik yang ditempati beliau.

Tak lama kemudian tiba giliran saya. 

"Monggo bu," sapanya profesional. "Sudah ke dr. Noor?"

"Sudah boss! Ditambahi antibiotik dan vitamin. Njenengan bener lagi deh, diantibiotiki aja meski nggak batuk. Nurut saya sekarang," jawab saya sambil tersenyum.

"He...he..he..he..., lha iya 'kan?! Terus resepnya mana?" Beliau tertawa sambil melakukan tugasnya. 

Anak saya menyodorkan berkas-berkas resep serta blanko kosong yang harus beliau isi dengan meniru resep itu."Silahkan," kata anak saya.

"Oh nggih okay, masih sama ya?" Ujarnya sejenak kemudian sambil mengamat-amati komposisinya. Kami sih cuma diam saja tidak mengerti. "Eeeee...., leucogennya sudah dapat?"

"Oh sedang diurus Andrie ke DKK. Kalau gagal nanti saya cari uang beli sendiri aja deh mas. Wis kesel, aku ra kuat," jawab saya.

"Nggih," sahutnya pendek. "Bertahan ya bu," sarannya seperti biasa sambil terus menulis.

"Ah saya senang kok nggak harus dirawat. Nanti dapat kelas 3 rawan penyakit menular bahaya banget. Njenengan bijak deh mas," puji saya mengungkapkan kegembiraan saya.

"Ya, nggak cuma itu sih. Ruwet dan ribet deh di sana. Mending di rumah aja sih memang," tukasnya kemudian mengembalikan berkas-berkas resep ke tangan anak saya. "Istirahat dan jaga asupan makanan ya," pintanya.

Dokter muda nan simpatik itu bangkit dari kursinya bersamaan dengan bunyi di telepon genggamnya. Kemudian dia mengatakan sudah selesai dengan pasien di atas dan tidak lagi kembali ke sana sebab sudah mulai dengan pasien di basement. Kedengarannya ada pasien menunggu di lantai dasar.

"Wah, mas Surgonc beneran ngetop sekarang. Laris manis pasien makin mbludak," komentar saya.

"Ah, nggih mboten tante. Alhamdulillah ada sih," sahutnya merendah.

"Wuih, ra ngaku. Zuster, di kampung ya, kalau beliau nggak nongol banyak yang kecewa berat. Begitu praktek, nomor antrian dalam sekejap habizzzzz," cerita saya kepada perawat yang mengasisteninya membuat beliau tersipu-sipu malu.

"Pamit ya mas," ujar saya minta diri. Disambut olehnya dengan menyalami saya dan seperti biasa memegang sebelah bahu saya.

"Selamat istirahat, sampai ketemu lagi," katanya dengan hangat.

"Terima kasih. Sukses selalu ya mas," balas saya.

"Yang penting ibu tetap semangat," kata perawat sambil mendorong kursi roda saya menuju pintu keluar.

"Pasti dong. Saya mau sembuh untuk membanggakan beliau," janji saya sambil menjauh dari klinik.

Siang makin menjadi-jadi. Tapi di selasar masih sangat banyak pasien menunggu gilirannya. Semoga mereka pun menjemput harapan mereka mencapai kesembuhan.


(Bersambung)

Senin, 18 November 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (136)

"The happiest people don't necessarily have the best of everything, they just make the best of everything,"

Serangkai kata-kata indah tertuang di layar ponsel saya begitu saya bangun tidur pagi ini. Ini sapaan dari Ian, teman saya di SMA dulu yang memang kerap menyemangati saya dengan kata-katanya yang indah, cenderung puitik. 

Ian bukan siapa-siapa. Meski kami dulu bertetangga, tetapi hubungan pertemanan kami tidak terlalu akrab. Namun kini setelah beranjak tua, dia berubah jadi pedulian terhadap teman-temannya. Contohnya hari kemarin selepas subuh dia telah berkirim pesan singkat tentang wafatnya ibunda salah seorang teman kami.

Saya merenungi kata-kata mutiara teman saya itu sambil membangun kekuatan di atas kasur sebelum kaki saya benar-benar bisa menjejak tanah. Entah mengapa sekarang kaki-kaki saya jadi semakin berulah. Malas dibawa bergerak, tertahan oleh rasa lemas dan ngilu yang tak jelas di pangkal paha saya. Mungkin memang ini juga efek samping pengobatan kanker payudara saya. Apa boleh buat. Saya pun sempat menyaksikan kondisi ini pada almarhumah kakak saya setelah kemoterapinya.

Nampaknya saya harus mampu meredam semua rasa sakit ini agar saya bisa beroleh kondisi yang enak. Tanpa rasa sakit yang menyiksa batin. Seram sekali, karena itu tak mudah.Tapi toch saya harus mau mencobanya. Sebab kini setiap malam tiba saya akan merasa kesakitan. Dan jeleknya saya bisa merintih-rintih tak sengaja mengejutkan anak-anak saya yang tak pernah lepas dari sisi saya.

Seperti tadi malam. Obat penahan nyeri yang dulu dibekalkan dokter onkologi saya sejak sehabis operasi, kini tak manjur lagi. Bagaimana mungkin saya bisa tidur nyenyak kalau begini? Padahal saya sudah mencoba istighfar, menyebut nama Allah, memohon kekuatan dariNya dalam doa-doa yang tak berkesudahan. Cengeng sekali saya sekarang. Berurai air mata di dalam dada, meski saya tak berani mengalirkannya di sepanjang lekuk pipi saya.

Haramkah orang sakit menangis? Tentu saja tidak. Tetapi akal sehat saya mengatakan tangisan yang membuncah cuma akan medatangkan kepanikan dan kegelisahan saja. 

Dan itu yang terjadi semalam, meski saya cuma mengaduh. Anak saya segera meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Tangannya sigap mengetik-ngetik di ponsel tuanya itu, sehingga saya tergerak untuk menanyainya.

"Itu kamu ngontak siapa?"

"Mbak Ninik. Mau minta dibuatkan resep pain killer dari dokter Suks, lihat tuh, pain killer ibu tinggal sebutir," jawabnya menyebut perawat yang kebetulan kerabat kami. "Lha kalau besok siang ibu makan, malamnya gimana coba?" Dia menggambarkan kepanikannya membayangkan hari-hari esok yang akan saya lalui. Sementara itu tumor di kepala saya pun terasa berdenyut-denyut.

Saya menarik nafas mencoba menenangkan diri, memincingkan mata ingin tidur. Di dalam bayangan saya, di saat-saat seperti ini maka tidur adalah hal yang bisa menenteramkan kami semua. Saya tak ingin mengejutkan anak-anak saya dengan segala rintihan itu.

***

Saya benar-benar tak bisa menguasai diri keesokan harinya. Sakit menyiksa ini membuat saya harus berbaring selama 24 jam kecuali melakukan perjalanan ke kloset yang menjadi sering saya lakukan. Ini memang efek samping kemoterapi seperti yang dialami pasien-pasien lainnya. Bedanya baru kali ini saya mengalami agak hebat. Karena biasanya saya selalu masih merasa bugar untuk bisa melakukan apa saja secara mandiri.

Akibat kondisi ini maka saya terpaksa meninggalkan jurnal ini berlama-lama. Bahkan mulai kemarin saya terpaksa menggunakan kursi roda di dalam areal rumah sakit ketika akan kontrol kesehatan. Saya pun terpaksa menyewa angkutan kota untuk sampai dan pulang dari rumah sakit. 

Begitu saya tiba di rumah sakit, saya segera melakukan cek laboratorium. Petugas laboratorium pun nampaknya terheran-heran menyaksikan saya di atas kursi roda karena biasanya saya sigap berjalan. Ternyata hasil hitung darah putih saya kembali melorot seperti 2 kali sebelumnya. Anak-anak saya menganggap hal ini dikarenakan obat baru yang dikemoterapikan untuk saya memang keras seperti kata dokter saya. Terbukti juga mereka melihat tumor di kepala saya mulai mengecil walau belum signifikan.

Di muka klinik onkologi banyak orang-orang yang mengenali saya di antaranya ibu Rustini, pasien lama yang sampai sekarang masih perkasa walaupun tumornya sudah tumbuh kembali dan pecah seperti saya dulu.
 

"Bu Julie kunaon?" tanyanya ketika melihat saya lewat dengan kursi roda. Saya mengatakan sudah berhari-hari keadaan saya amat lemah. 

Setelah selesai dari laboratorium saya dan anak-anak beranjak ke kantin masih dengan kursi roda itu juga. Orang-orang di kantin pun mulai tercengang-cengang seperti mereka yang melihat saya sebelumnya. Saya terpaksa menjelaskan bahwa kondisi saya sekarang amat melorot. 

Untuk saya, saya memesan semangkuk soto mie tanpa daging dan kubis. Karena saya ingin makan sesuatu yang berkuah panas. Terus terang saja kondisi perut saya dan selera makan beberapa hari ini terus memburuk membuat anak-anak saya sebetulnya gelisah. Tapi saya akui mereka adalah anak-anak yang tangguh yang berupaya dengan segala cara untuk memberikan asupan makanan. Herbalife pemberian teman saya Iwan tak lupa selalu disiapkan anak bungsu saya. Sehingga saya merasa ternyata masih banyak cinta di sekitar saya dan karenannya saya harus berupaya membalasnya dengan makan walau hanya beberapa suap saja. 

Tak sampai soto saya habis, tiba-tiba perut saya berontak. Sia-sialah semua yang saya paksa masukkan. Tanpa terbendung saya mengotori suasana nikmat di kantin RS itu. Pemilik warungnya mengasihani saya. Perempuan tua itu mengira saya menderita stroke. Tetapi begitu saya menyebut pasien kanker, terkejutlah beliau. Ternyata beliau teringat almarhum suaminya seorang penderita kanker juga. Didoakannya saya supaya bisa berjuang, bertahan dan sembuh kembali. Cinta untuk saya memang ada di mana-mana.

Tak lama kemudian kemenakan saya memberitahu bahwa dokter sudah mulai praktek. Saya bergegas masuk ke klinik menembus hujan rintik-rintik. Ternyata beliau baru tiba, sehingga giliran saya masih sangat lama, dan kemenakan saya sekarang ditugaskan di klinik lainnya. Namun karena itu saya jadi disapa seorang lelaki yang mengenali anak saya. Dia pasien yang ditunjuki anak saya kepada onkologis mana dia mudah mendapat pertolongan. 

Rupanya dia sudah datang sekali, dan onkologis kami memberikan diagnosa yang tepat. Dia penderita kanker usus yang telah dioperasi ahli bedah umum lalu dianjurkan dikemoterapi. Di tangannya ada resep-resep obat kemoterapi tulisan dokter saya. Betul, katanya, dokter memudahkan segalanya termasuk memberi masukan untuk minta bantuan pemerintah. Sebab dia pun sudah kehabisan dana serta daya yang selama ini terpakai oleh sakitnya.

Kali ini saya benar-benar jadi pasien yang mengejutkan. Zuster Maria perawat kepala pun tak sanggup menahan keterkejutannya menyaksikan kondisi saya. Sungguh bertolak belakang dari keadaan di ruang kemoterapi minggu sebelumnya. Beliau tetap berpesan untuk tabah, mengikhlaskan kepergian kakak saya dan memelihara semangat hidup seperti yang selalu dibangga-banggakannya kepada para pasien. Saya mencoba tersenyum untuknya. Karena kali ini saya memang betul-betul mirip pecundang.

Ketika tiba giliran saya, perawat membantu anak-anak mendorong kursi roda saya. Dokter pun tampak terkejut-kejut. Tapi beliau puas atas laporan anak-anak saya dan hasil rabaannya sendiri terhadap tumor saya. Ukurannya mulai mengecil, setidak-tidaknya melunak. Antara prihatin dan bingung beliau menganjurkan rawat inap. Rasanya mengingat sel darah putih saya amat rendah dan saya mengalami gangguan pencernaan dirawat di RS adalah cara yang baik. Akan tetapi setelah berpikir sejenak serta mendengar penolakan saya, beliau pun membuat keputusan bijak. 

Sebagai pasien yang didanai Jamkesda saya akan ditempatkan di bangsal kelas 3 berbaur dengan penderita berbagai penyakit termasuk penyakit menular. Ini membahayakan karena rawan terjadi penularan. Pun juga bangsal kelas 3 ruwet seta tak nyaman. Asalkan saya bisa menjaga diri di rumah pemberian suntikan yang bisa minta didanai pemerintah sudah cukup. Terlihat lagi betapa menyenangkannya di bawah perawatan beliau. Tetapi saya tetap diminta berkonsultasi dengan ahli kemoterapi konsulen beliau di RSKD pada hari Senin. Nyata benar betapa beliau begitu profesional. Apalagi saya dengar dari keluarga seorang pasien ahli kemoterapi ini merupakan dokter yang bagus di situ serta mengetuai lembaga penelitian. Alhamdulillah. Saya pun siap melakukannya kembali.

(Bersambung)

Minggu, 10 November 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (135)



Hari Sabtu (09/11) sepertinya akhir pekan yang cerah untuk saya. Matahari menembusi kaca jendela dan kisi-kisi rumah untuk menyampaikan selamat bahwa hari itu saya mencapai keinginan besar saya untuk dikemoterapi.

Semalam sebelumnya menurut teman-teman saya di seluruh penjuru dunia, saya adalah makhluk abnormal. Mana ada coba ada orang suka diobati dengan kemoterapi? Sebab obat-obat pelumpuh sel kanker ini jahatnya luar biasa. Dia tak hanya meracuni sel-sel kanker pengganggu itu, melainkan juga memakan sel sehat sehingga menyakiti manusianya. Buktinya, kakak saya wafat sehabis hanya tiga kali saja dikemoterapi karena jadi kehilangan nafsu makan dan sakit pencernaan kelas berat. Nah saya itu perkecualian. Saya merasa sehat-sehat saja bahkan cenderung gemuk meski kanker saya justru meruyak ke mana-mana.

Pasalnya koktail obat kemoterapi saya dulu tak cocok dengan penyebab kanker saya. Jadi akibatnya sel jahat itu tetap hidup bahkan makin mengganas pasca dilukai dengan operasi. Dengan begitu saya tentu saja kegirangan waktu mau menerima obat lain meski juga bukan yang terampuh untuk saya. :-) Prinsip saya, yang penting diobati sebab urusan sembuh dan selanjutnya kan ada di tangan Allah, ya?!

Pagi itu saya datang sebagai pasien terpagi di ruang kemoterapi. Loket penerimaan pasien pun baru dibuka, sedangkan ruang kemoterapi justru baru akan disapu. Ini gara-gara saya terlalu bersemangat menuju ke Rumah Sakit. Penuh sesaknya angkutan kota ke luar perumahan oleh anak-anak sekolah tak saya hiraukan. Toch saya tak lagi mampu naik kendaraan umum, disebabkan kaki saya yang sakit. Jadi akibatnya saya pasti menyewa angkutan kota itu khusus untuk diri sendiri. Uenak tenaaaannnn.........!

Para perawat datang agak siang. Maklum hari ini cuma ada 3 orang yang dilayani. Sesungguhnya sih 4 pasien. Yang dua orang pasien baru. Tapi yang seorang ditolak, sebab sebagai pasien yang didanai Askes dia tidak membawa surat rujukan dari Puskesmas di tempat tinggalnya sesuai aturan yang berlaku.

Seorang pasien baru lainnya datang kesiangan, sehingga menghambat dimulainya kemoterapi. Tapi maklum lah saya karena para pasien itu bukan pasien onkologis saya. Jadi aturan yang ditetapkan dokternya sedikit longgar. Walau merasa dirugikan, saya sabar sebab merasa boleh berobat gratis pun saya sudah sangat senang. Toch ini bukan kejadian kali yang pertama. Sikap para pasien dokter lainnya itu nyaris seragam, tak menghargai kerja dokter jaga yang mengawasi dan bertanggung jawab untuk kelancaran program kami. Karena seharusnya mereka yang sudah cukup sibuk itu bisa mulai pukul delapan pagi di ruang kemoterapi, sebelum melanjutkan berjaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Saya cuma bisa menggerutu dalam hati sambil teringat keluhan perawat bahwa pasien dokter yang satu itu memang umumnya sulit menerima instruksi RS, berbeda dari pasien dokter saya yang mudah memahami.

Hari itu alhamdulillah kondisi saya baik-baik saja kalau tak boleh dikatakan prima. Sel-sel darah merah, putih dan thrombosit saya baik. Bahkan kadar kreatinin dan ureum yang menandakan protein di ginjal pun bagus. Juga rekam jantung saya yang bisa terbukti dengan lancarnya aliran darah sewaktu perawat akan memasukkan jarum infus yang sesungguhnya amat halus itu. Kata zuster Shinta, kali ini dia tak kerepotan padahal dia sudah cukup khawatir menerima kedatangan saya. Beliau teringat saat terakhir di mana pembuluh darah saya yang terkenal di kalangan paramedis sangat halus itu sulit ditusuk dan denyutnya membuat darah saya kurang lancar mengalir. Persis seperti keluhan teknisi laboratorium seminggu sebelumnya. Saat itu hanya untuk dua tabung darah saja, dia butuh waktu lama.

Seperti prosedur biasanya, kemoterapi dimulai dengan memasukkan cairan garam (Natrium Chlorida) ke dalam aliran darah saya untuk membersihkannya. Kali ini dokter saya pun memberikan banyak cairan. Kata perawat dua kali lebih banyak dibandingkan dokter lainnya. Ini menandakan beliau sangat cermat dan berhati-hati dalam menatalaksana pengobatan penyakit pasien-pasiennya.

Setelah itu satu demi satu obat kemoterapi dimasukkan dengan tekanan yang cepat. Saya memang tak diberi obat utama yang mahal itu, jadi hanya dua tabung obat saja. Meski sedikit sedih, buat saya ini lebih baik. Sebab saya pikir yang memberi kesembuhan toch Tuhan juga. Persis kata bu Linda, seorang dokter hewan relawan kanker yang menyemangati saya dengan SMS waktu saya akan berangkat pagi-pagi sekali. "Obat 'H' sdh jngn disebut2 lg bu, mesti dihapus dr memori n hati ibu biar ibu bs sembuh. Krn skrg lah cara yg terbaik yg Tuhan sediakan......" Sangat tajam menyentuh hati sehingga saya pun membenarkannya dengan senyum..

Kalau kembali ke kaidah agama, memang demikian. Manusia tak berhak mengatur ingin sembuh jika tidak yakin akan adanya Allah yang Berkuasa. Intinya manusia wajib beriman, lalu dengan berlandaskan keimanannya manusia wajib memohon Allah menentukan jalan terbaik bagi dirinya.


Matahari itu kembali tersenyum cerah lagi waktu saya pulang ke rumah sore harinya. Selalu saja saya pulang lebih lambat dibandingkan pasien lain meski obat saya lebih sedikit. Pasalnya onkologis saya selalu memberi obat pendamping sebagai pengantisipasi dampak buruk obat-obat sitostatika lebih banyak dibanding yang mereka terima. Termasuk empat ampul suntikan. Padahal kata perawat, itu sudah lebih sedikit dibandingkan yang dulu biasa diresepkan ayahandanya kepada para pasiennya.

Meski hari cerah tapi saya tetap menyewa angkutan kota agar nyaman. Saya pun bisa menghindari kemacetan di jalanan meski nyatanya justru terjebak macet persis di muka rumah dokter saya itu di dalam perumahan kami. Kalau dipikir-pikir ironis sekali di Bogor sekarang ini, sebab kemacetan mengular di perumahan.

Saya lagi-lagi amat bersyukur hari ini. Di RS tadi saya sudah berhasil minta maaf dan menyampaikan terima kasih kepada dokter bedah umum yang juga pernah menangani almarhumah kakak saya, atas meninggalnya beliau. Dokter Hadian ~begitu namanya~ terkejut bukan main. Sebab baru beberapa hari yang lalu beliau merawat kakak saya yang masih bisa mengobrol panjang lebar dan kelihatan bertenaga. Seperti halnya zuster Maria Perawat Kepala di situ, beliau heran sebab kakak saya tak termotivasi oleh saya yang jelas-jelas didiagnosa semakin parah dan sudah sampai di stadium terminal. Kepada saya dr. Hadian menyemangati untuk tak lelah-lelah berjuang. Beliau bersedia merawat saya lagi mendampingi onkologis saya yang pastinya kebingungan juga. :-) Alhamdulillah, terima kasih dokter Hadi. Barakallahu!

***

Malam harinya selain merasakan gelombang panas (hot flushes) sehingga membuat pendingin ruangan dinyalakan dalam suhu rendah, saya mulai merasakan kesakitan lagi di lengan saya. Ngilu, pegal dan sejuta rasa yang tak terkatakan menghunjam tajam. Saya atasi dengan menelan obat pereda nyeri yang diberi dokter, tetapi tak menolong. Ini terus berlanjut setiap malam hingga hari ketiga sesudah kemoterapi. Dalam keadaan begini saya jelas merindukan suntikan morphine yang kuat yang dulu biasa saya peroleh untuk mengatasi nyeri sehabis operasi-operasi saya. Tapi sayang itu tak mungkin dilakukan sekarang. Sehingga saya hanya mampu berbaring dan duduk-duduk saja dengan gerakan terbatas. Belum lagi kaki-kaki saya mulai lemah membuat sesekali saya terduduk dan akhirnya terpaksa bersembahyang dengan berbaring. Kelemahan ini tak boleh saya anggap suatu kekalahan, demikian kata guru sekolah saya dulu. Jadi sambil berbaring pun Allah tetap akan menerima ibadah saya, meski semalam saya akui saya benar-benar tak mampu melakukannya karena konsentrasi saya buyar oleh kondisi tidak nyaman di tubuh saya. Alangkah mengecewakannya.

Ada satu kondisi lagi yang saya deteksi sewaktu saya mandi pagi ini. Kulit lengan saya berbercak-bercak merah, masih sangat sedikit. Saya memang cukup waspada akan hal ini, karena kemarin Carboplatin obat yang saya terima, mempunyai efek merusak thrombosit (kepingan darah yang dibuat di sum-sum tulang) saya. Sebetulnya thrombosit berguna untuk pembekuan darah pada pembuluh-pembuluh darah yang pecah dengan menyumbatnya. Seharusnya saya tak perlu terlalu risau akan keadaan ini karena saya telah makan vitamin B kompleks dan asam folat yang saya kira dimaksudkan untuk mengantisipasi dan mengatasi keadaan ini. Namun daripada salah penanganan, saya telah melaporkannya kepada onkologis saya lewat laporan harian dengan E-mail kepada beliau. Tinggal saya menunggu saran beliau nanti malam sepulang kerja. Beginilah untungnya diobati dokter muda yang canggih, terbuka dan karenanya informatif. Sekali lagi saya amat bersyukur.

Hari ini artinya saya juga sudah dua hari mengalami konstipasi. Tapi ini pun dalam kewaspadaan saya. Itu sebabnya saya minum air putih dan makan buah segar serta sayur lebih banyak. Tak mengapa, kita lihat saja hasilnya kelak karena konstipasi dan diare serta mual-muntah memang efek sampingan yang akan dialami pasien yang dikemoterapi. Kita sikapi saja dengan menyesuaikan pola diet kita. Jadi, kesimpulannya : "Sakit kanker, dikemoterapi, siapa takut?! Tak usalah ya, sikapi saja dengan bijak seraya bermohon kepada Allah. Bismillahirrahminirrahim. Laa haula wa la quwwatta ilabillah!!!"

(Bersamnbung)

Jumat, 08 November 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (134)

Mempunyai dokter yang bisa diajak berkomunikasi dengan mudah memang sangat menguntungkan. Kita bisa mengungkapkan apa saja yang kita rasakan termasuk perasaan hati kita yang sedikit banyaknya saya percaya berdampak juga pada kesehatan seseorang. Dan saya menerima keberuntungan itu. Sebab saya sedang ditangani tim medis yang begitu peduli.

Seperti sudah saya ceritakan berulang-ulang onkologis saya amat berpihak pada pasiennya di sela-sela kesibukan kerjanya yang amat padat sebagai PNS di luar kota. Artinya jika beliau tak sempat pulang kampung menangani pasiennya sendiri, maka kami diserah terimakan untuk sementara kepada dokter ahli bedah umum senior yang sangat berpengalaman, sehingga proses pengobatan kami selalu berjalan sesuai program. Beliau ini didampingi seorang konsulen dokter ahli penyakit dalam yang selain berkompeten mengawasi kesiapan fisik pasien onkologi sebelum dikemoterapi, juga senantiasa memberikan dukungan moral lewat serangkaian nasehat yang berguna. Contohnya nasehat yang diberikannya kepada saya untuk tak marah baik kepada Tuhan maupun diri sendiri, serta selalu menjaga kemurnian ibadah. 

Hari Kamis lalu pun ketika saya berkonsultasi sambil menyampaikan kabar wafatnya kakak saya yang juga pasien beliau, beliau menasehati saya untuk tetap bersemangat tanpa larut dalam kesedihan. Sesungguhnya beliau tahu benar bahwa saya amat memprihatinkan kondisi kakak saya yang cenderung lemah sebelum ajalnya. Beliau teringat saya memohon-mohon agar beliau bisa mendorong semangat kakak saya untuk sembuh, sebab saya tak ingin kehilangan pengganti orang tua. Waktu itu beliau tak bisa berkata apa-apa selain tersenyum kecil tanpa janji.

Kematian itu soal takdir. Dokter pun tak bisa menolaknya jika saat itu tiba, sebab dokter juga cuma manusia biasa. Saya membenarkan pendapat itu. Sebab adik ibu saya seorang dokter meninggal di usia yang masih muda secara tragis di RS tempatnya bertugas sebagai tentara. Penyebabnya kini saya tahu pasti, infeksi nosokomial yakni kena kuman di dalam RS. Barangkali saja RS di daerah itu kecil, di luar Jawa pula sehingga perawatan kebersihannya kurang terjaga di awal tahun '80-an dulu. Setahu saya bahaya infeksi nosokomial waktu itu pun belum banyak dikampanyekan, sehingga merenggut nyawa pelaku utama pemelihara kesehatan itu sendiri.

Kepada dokter ahli penyakit dalam ini saya serahkan hasil pemeriksaan laboratorium saya yang akan dipakai sebagai surat perizinan kemoterapi. Sebab alhamdulillah akhir pekan ini saya boleh mulai dikemoterapi lagi dengan obat-obat seadanya yang sebetulnya bukan obat yang paling pas untuk penyebab kanker saya. Obat-obat ini bukan obat terapi target, cuma obat-obat tambahan di baris kedua sebagai pendukungnya. Inilah yang dulu membuat onkologis saya tak bisa melakukannya di Bogor sehingga "menabrak" sana-sini untuk mencarikan obat terapi target yang digratiskan. Sayang saya tak beruntung, sehingga mau tak mau saya memaksa beliau untuk nekad mencoba terapi seadanya di kampung saja. Kenekadan yang akan kami mulai segera.

Setelah memeriksa fisik saya dengan pemeriksaan palpasi dan membaca hasil laboratorium, dokter menarik nafas lega seraya mempersilahkan saya turun dari meja pemeriksaan. Kelihatan wajah beliau cerah, sehingga matanya yang kecil jadi semakin sipit tertarik oleh garis senyum di bibirnya. Saya jadi ikut tersenyum juga sambil membayangkan jika saja kacamata hitam kesukaannya di luar ruang praktek dikenakannya untuk menyamarkan matanya yang mungil itu persis seperti ketika beliau bermusik dan menyanyi bersama band nya. :-D

"Bagaimana, dok?" Tanya saya sambil meraih kerudung penutup gundul saya yang tidak seksi apalagi telah ditumbuhi tumor.

"Alhamdulillah, bagus semua. Bismillah," jawabnya.

"Tapi saya baru dapat jadwal echo besok sore dok, sedangkan kemo lusa," kata saya lagi menginfokan.

"Nggak masalah, EKG sudah baik, sudah turun dari minggu lalu," katanya lagi seraya menyebutkan angka yang selisihnya drastis dalam seminggu. Beliau kemudian mulai mencatat dengan serius,

"Eh, jadi ini kemo siklus ke berapa ya bu?" Lanjutnya tiba-tiba seraya memandangi wajah saya yang sedikit menyeringai menahan nyeri ketika memasang kerudung.

"Ke dua ulangan, yang pertama di Jakarta dengan koktail baru. Berhubung meta maka saya dikembalikan ke sini. Dan saya serta mas dokter onkologis nekad siap bahu membahu dengan memakai obat second line seadanya," jawab saya.

"Oh, ini ganti obat?" Selidiknya.

"Ya, yang dulu tidak membawa perbaikan apa pun. Sudah lumayan dok daripada tidak dikemo. Terus terang saya sudah sangat kangen kemo je. Saya belum mau mati gitu lho, masih ingin menyelenggarakan penyuluhan kanker payudara di kelurahan kami bersama beliau. Dokter Puskesmas menerima usulan saya, juga Kasi Kesra di Kelurahan. Dokter Bayu pun menyambut gembira, siiip 'kan ya?!" Kata saya panjang lebar disambut tawa sang dokter penyuka musik ini.

"Kenapa dok, unik ya saya? Ah biar saja, daripada cepat mati 'kan mending diulur dengan obat apa saja. Kasihan dokternya sudah berjuang mati-matian kok nggak ada hasilnya???" 

"Oh ya deh. Selamat kemo ya, bismillah terus," sahut beliau.

"Terima kasih. Oh ya, nanti saya berdosa. Tadi ada salam dari jeng Rahmi yang dosen itu," tiba-tiba saya teringat titipan salam salah seorang pasien beliau.

"Bu Rahmi mana? Dosen UIN itu tho?" Tanyanya.

"Ya, tadi kami saling sapa dengan SMS," saya membenarkan.

"Memang apanya ibu? Saudara juga?" Lanjutnya menyelidik.

"Ah, saudara sesama pasien onkologis, tapi perhatiannya luar biasa terhadap saya. Baiiiiik banget, alhamdullllah. Mari dok, assalamu'alaikum," saya pun beranjak ke luar walau ternyata sudah terjegal pasien berikutnya yang buru-buru akan masuk.

"Waalaikumussalaaam, selamat ya," tutup dokter saya masih dengan gayanya yang menyenangkan.

Lalu saya pun melenggang pergi, menjemput kesempatan melakukan pemeriksaan echo keesokan sorenya. Dalam pada itu onkologis saya segera saya lapori dengan pesan singkat mengingat tengah hari adalah kesempatan beliau mengoperasi pasiennya. Untuk itu saya tak memerlukan balasan. Yang penting laporan diterima. Bahkan bila perlu bisa saya dobeli dengan E-mail agar semua lengkap.

Dan, hari ini laporan saya kepada dokter onkologis saya pun lengkap lah. Maghrib tadi konsulen ahli jantung yang beliau tunjuk membuktikan bahwa jantung saya sudah kembali normal. Artinya saya besok bisa menjalani kemoterapi. Dengan bahagia walau nyaris menangis karena terlalu lama menunggu beliau mengulur waktu sebab terlambat tiba di ruang prakteknya sebelum ke Instalasi Radiologi untuk memeriksa saya, segera saya kabari onkologis saya mohon izin untuk melaksanakan kemoterapi besok pagi. Saya yakin hari itu pasien beliau tak terlalu padat. Jadi beliau mungkin sedang membersihkan tubuh sudah tiba di apartemennya tak jauh dari kantor beliau.

Walau tak segera dijawab, saya tak akan kecewa. Benar saja jawaban masuk ke ponsel saya setibanya saya di rumah. Beliau mengizinkan dengan senang hati. Katanya jadwal beliau besok adalah operasi besar dan artinya poliklinik ditutup. Tapi beliau memastikan perawat tak lupa menghubungi beliau untuk melaporkan jalannya kemoterapi.

"Tks beneran. Soalnya tnp keberanian dr utk nekad bersama sy gmn kt bisa menghambat ca ini he3," kata saya waktu beliau mengucapkan selamat, mengingatkan untuk terus berdoa dan memelihara semangat.

Beliau membalas dengan tawa juga plus menegaskan persetujuannya untuk mengadakan penyuluhan di Kelurahan bekerjasama dengan Puskesmas. Ah, hati saya jadinya semakin berbunga-bunga tak sabar menunggu segalanya terlaksana. Benar-benar saya tak rela mati kalau masih banyak masyarakat sebodoh saya di sekitar pakar onkologi cemerlang. Selamat malam, salam sehat dan tetap semangat!

(Bersambung)

Pita Pink