Powered By Blogger

Kamis, 05 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XII)

Betul, perempuan itu bernama Ami, dan akulah justru orang terakhir yang mengendus di mana keberadaan Ami serta apa yang melatar belakangi sakitnya Ami. Di pertemuan bulanan organisasi kami para ibu asyik membicarakan Ami dalam kelompok kecil-kecil setengah berbisik. Mereka segera beralih pembicaraan dan menjadi riuh kalau aku ada di dekat mereka.

Erna yang sekarang jadi sahabat baruku menceritakan bahwa mereka justru meragukan ketidaktahuanku. Mereka menuduhku berpura-pura tidak tahu untuk menutupi "hilang"nya Ami dari tengah-tengah kami. Siapa lagi yang mencurigaiku kalau bukan bu Sunarto si ibu kawakan itu? Umurnya sudah lebih dari setengah abad dan jam terbangnya sudah tinggi, Mungkin ini akan jadi pos terakhir bagi suaminya di luar negeri. Mulutnya agak nyinyir khas ibu-ibu tua bersasak tinggi.

Aku dianggapnya sebagai satu-satunya sahabat Ami sejak aku menghambakan diri di kantin Ami. Dan karenanya aku sering berhubungan dengan Ami. Apa yang terjadi pada rumah tangga Ami, tentu akulah tempat curhatnya, begitu perkiraan bu Narto. Aku cuma mengelus dada.

Atas desakan ibu-ibu yang secara tidak sengaja pernah juga melihat Ami di kendaraan umum, pimpinan kantor suami kami berinisiatif menyelesaikan masalah Ami yang kini terungkap sudah. Suami Ami ditugasi untuk mengetuai panitia kesenian Indonesia di suatu forum, dan bapak pimpinan meminta Taufik untuk menghadirkan istrinya kembali di pos.

Taufik tak mungkin mengelak. Kutahu dia satu diantara pegawai yang terbaik yang dimiiliki perwakilan kami, karenanya jadi idola suamiku. "Jadi orang mesti seperti pak Taufik Ma, pekerjaannya selalu selesai tepat waktu sehingga bisa sinkron dengan tugas-tugas bidang lain. Aku jadi terbantu untuk cepat menyelesaikan tugas administratifnya," suamiku pernah berkata padaku. Atau lain kali dia memuji, "di waktu week-end kulihat pak Taufik ada di kantor menyelesaikan tugasnya sambil mengawasi petugas piket karena beliau perwira piketnya. Luar biasa, pak Taufik selalu ada waktu untuk urusan dinas." Karenanya apa yang ditugaskan pimpinan pasti akan dikerjakannya tanpa membantah.

Dan siang itu selepas makan, aku jadi orang paling bahagia di dunia ini. Ibu Ketua organisasi kami telah mengumumkan jadwal latihan arumba sejak kemarin sehingga kami datang berlatih siang itu. Tak peduli siapa yang akan memimpin, tapi latihan harus berjalan juga mengingat penampilan tim kesenian Indonesia harus berlangsung dalam waktu dekat dan tak boleh memalukan. Dulu Ami telah memberi "cap" bahwa kami termasuk pelaku-pelaku seni yang handal.

Kudengar pintu ruang kesenian dibuka orang, lalu suara seorang yang sangat kukenali mendayu-dayu menyapa kami, "hallo, hallo, hallo, hallo, kita jumpa lagi......." senandungnya renyah menirukan artis di kaset-kaset oldies itu. Semua mata tertuju padanya.

Perempuan itu bernama Suratmi. Ibu Taufik pemimpin band arumba kami. Pekik tertahan terdengar dari seluruh penjuru ruang. Ibu-ibu bergegas meletakkan stick pemukul instrumennya dan menghambur menciumi serta memeluk Ami sebagai pelepas rindu. Aku tentu saja tak mau kalah.

Di dadaku Ami tersenyum lewat matanya yang sayu. "Aku juga kangen padamu," bisiknya. Semua berebut menanyakan kondisi kesehatannya, yang segera dijawabnya dengan satu kalimat, "terima kasih atas doanya, saya berangsur membaik sekarang ini." Hanya itu tanpa kelanjutan apa-apa.

Pak pendeta pelatih kami yang masuk belakangan juga turut menyapa senang lewat jabat tangannya yang erat. "Puji Tuhan kalau bu Taufik sudah kembali pulih, sebab saya dengar bu Taufik sakit di kampung bukan?" Ami hanya mengangguk sambil mengatur kembali posisi instrumen kami sebelum mempersilahkan pak pendeta mulai melatih.

-ad-

Enam kali latihan pada periode ini terpaksa dicukup-cukupkan sekalipun dua diantara kami sudah pulang ke Indonesia dan hanya mendapat satu pengganti, yaitu Erna. Namun seperti yang sudah-sudah Ami selalu berhasil menggiring kami kepada kegemilangan dan harumnya nama Indonesia. Ya Tuhan, begitu sayangnya Engkau kepada kami. Engkau ingin mengembalikan penilaian orang bahwa Ami punya kemampuan yang berharga juga, batinku.

Sehari setelah pementasan itu kami pergi beramai-ramai makan malam untuk merayakan kebahagiaan kami. Ami sang bintang hadir bersama kedua anak dan suaminya melengkapi kebahagiaan kami. Lalu esoknya kami berjanji untuk memasak bersama di rumah Ami. Aku akan datang belajar membuat gudeg di tempat Ami.

Rumah itu masih tetap rapi seperti ketika masih ada pembantu mereka. Sekarang Ami dan anak-anaknyalah yang bahu-membahu mengerjakan pekerjaan rumah tangga selagi Taufik mengelap mobilnya tiap hari. Tak ada yang berubah pada keseharian mereka, serba teratur dan terawat.

"Aku yang memasak, mencuci, menyetrika, serta mengepel. Sementara anak-anakku menyapu dan mengelap perabotan serta menutup meja dan mencuci piring," terang Ami. "Oh ya, urusan mencuci juga kerap dilakukan mas Taufik sekalian belanja mingguan," lanjutnya. Senyum tersungging di bibirnya menambah kecerahan wajahnya.

"Wah hebat mbak, suami mau turun tangan ngurus rumah," pujiku terkagum-kagum. Sebab selama ini, suamiku nyaris tak pernah berbuat apa-apa selain mengasuh anak dan memandikannya.

"Sudah biasa sih. Dulu waktu masih anak-anak dia terpaksa harus sanggup mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena ibunya tak punya pembantu sedangkan dia anak tunggal," jawab Ami. "Aku dulu malah si anak manja yang nggak mandiri lho, hihihihihi.......," Ami masih terus berkata-kata sambil tertawa sendiri.

Kini terlengkapi lagi susunan puzzle di otakku -dan Elis sebenarnya- tentang keluhan Taufik terhadap istrinya dulu. Ami si anak manja dan Taufik si maha pelindung. Itulah yang menyebabkan kebosanan Taufik.

"Manja dan males kok ngaku ya mbak?" sambutku bergurau juga disertai tawa.

Ami mencubit lenganku, "idiiiih, ngeledek deh," balasnya sambil tetap tersenyum ceria. "Ayo ah mulai, nanti keburu sore, acara njemput anak pulang sekolah kan nggak bisa ditunda," lalu Ami menarik kursi dapur mendudukkan aku di sana sambil menyuruh aku melihat dia menakar bumbu-bumbu yang akan dipakainya memasak. Sederet kaleng berisi nangka muda bermerek Ayam Jago buatan Malaysia berdiri di dekat tanganku. Kami bekerja sambil mengobrol.

-ad-

Tanpa kutanya Ami menceritakan kisah pertikaiannya seperti yang pernah diceritakannya pada Erna. Lengkaplah sudah kini puzzle garapanku yang bergambar Ami dan kehidupannya.

Waktu aku memujinya dengan sepatah kata, tegar, Ami hanya tersenyum malu dengan semburat merah di pipinya. Lama dia tak bisa berkata-kata sambil menggigit bibirnya menahan air bening di pelupuk bawah matanya.

"Aku hanya menyerahkan masalahku pada Tuhan semata," katanya tiba-tiba. "Tanpa mengenang dan mengingat-Nya aku tak mungkin ada disini melanjutkan kehidupan ini, bukan? Anak-anak itulah yang menggugah semangatku untuk tabah dan tegar menghadapi kehendakNya."

Dia berdiam diri cukup lama sebelum kemudian melanjutkan lagi, "Mas Taufik hanya manusia biasa yang punya sisi-sisi baik dan sisi-sisi buruk pada sifatnya. Sangat amat manusiawi. Dan aku tak boleh memprotes Allah yang telah mengaturnya," bibir tipis itu berkata bijak di dapur sepi apartemennya yang hanya diisi aku dan dia semata. Laba-laba kecil di dinding merayap pelan-pelan mencari mangsa mungkin seekor nyamuk yang tak pernah kulihat di musim dingin begini.

"Jadi kau tahu waktu pak Rudi datang lalu sakit dan wafat disini?" tanyaku.

Ami mengangguk pasti. "Ya, aku ada di dalam rumah ini. Bahkan ketika pak Rudi dalam keadaan kritis, bell telepon kami bunyi saling bersambungan mungkin dari rumah sakit dan keluarganya mencari suamiku. Tapi aku tak mengangkatnya. Kubiarkan saja, karena aku diminta untuk berpura-pura tak ada di sini," jawab Ami.

"Atas suruhan suamimu?" tanyaku takjub. Luar biasa, tak terbayangkan padaku seorang suami tega menyuruh istrinya untuk berpura-pura tak ada dan tak boleh pula keluar dari "sangkarnya". Aku menggeleng-geleng tak percaya sambil menatapnya lekat ke mataku.

Dia mengangguk lagi." Ya, bagaimana lagi sih, kan aku ingin menyenangkan suamiku," jawabnya tenang,

Aku pusing tujuh keliling sekaligus terpana. Inilah Amiku seorang perempuan berhati mulia yang tunduk patuh pada imam di keluarganya seperti apa yang diajarkan Al Qur'an. Aku salut kepada Ami. Bukan tak mungkin kalau aku yang diminta suamiku untuk melakukan itu, pasti akan kulawan dengan perdebatan dan pertengkaran sengit yang berbuntut permusuhan abadi.

Dalam senyumnya Ami menjawab, "jangan kedepankan emosimu Nonik. Sebuah kesedihan hanya bisa dilawan dengan pertolongan Allah. Berdoalah selalu padanya," urainya sambil menggenggam kedua tanganku.

Tangan Ami terasa sejuk, senyum itu terasa sangat menenangkan. Lalu aku bangkit berkaca memperhatikan mukaku yang tak secantik Ami. Mengapa aku yang jelek ini tak bisa meneladani sikap Ami? Dia benar. Dia tak perlu melawan suaminya, cukup mendoakan yang terbaik untuknya agar dia memperoleh imam yang baik di rumah tangganya. Itulah hikmah dari kebersamaanku dengan Ami hari ini. Di luar salju basah mulai menitik lagi.

(BERSAMBUNG)

18 komentar:

  1. huhuhuhuh...terharu...ni dah ending bun???

    BalasHapus
  2. yang menarik kursi maksudnya ami ya budhe?

    BalasHapus
  3. Erna yang sekarang jadi sahabat baruku menceritakan bahwa mereka justru meragukan ketidaktahuanku. Mereka menuduhku berpura-pura tidak tahu untuk menutupi "hilang"nya Ami dari tengah-tengah kami. Siapa lagi yang mencurigaiku kalau bukan bu Sunarto si ibu kawakan itu? Umurnya sudah lebih dari setengah abad dan jam terbangnya sudah tinggi, Mungkin ini akan jadi pos terakhir bagi suaminya di luar negeri. Mulutnya agak nyinyir khas ibu-ibu tua bersasak tinggi.

    saya paling gak suka nih sama orang2 diatas ini.... pasti nyebelin
    jadi sekarang bu julie udah bisa masak gudeg ya.
    masih bersambung kan?

    BalasHapus
  4. Absen bun, hari ini ga konsen bacanya...

    BalasHapus
  5. Mbak kok Aminya jadi Elis.............salah ketik niyyyy.
    Wah ceritanya happy ending sekalipun banyak pertanyaan yg masih menggantung.
    Mo bikin cerita jilid duanya yach mbak ??? hehehe ..........

    BalasHapus
  6. Belum....... jalan ke surga masih panjang jeng. Sabar ya, tapi nggak maksa juga kok untuk balik lagi hehehe......

    BalasHapus
  7. Eh iya, maaf ngetiknya salah. Terima kasih dikoreksi. Aku benerin dulu ya.

    BalasHapus
  8. Udah bu KRTku di dapur atas pesanan boss. Beliau paling doyan gudegku yang gurunya adalah bu Dadang Sukandar. Mau Wat? Sini ambil, bawa rantang.

    BalasHapus
  9. Hehe, iya, keburu-buru sih tadi mau pergi jemput boss ke airport terus cocktail party i residence konjen Inggris. Tapi sekarang udah saya koreksi tuh. Terima kasih ya.

    Siapa bilagn selesai disini? Dunia masih lebar, jam masih jalan terus, jadi ceritanya juga masih banyak. Mau baca lagi? Mungkin seminggu ini saya rada telat bikinnya karena ada boss jadi saya mesti nemenin beliau.

    BalasHapus
  10. akhirnya selesai ya bunda?...waah..ditunggu episode selanjutnya yaa...

    BalasHapus
  11. Saya tergantung permintaan mbak Ita aja ah.......... kalo kata mbak Ita selesai, saya udahin. Kalo belum, masih panjang kok kishnya yang bisa kita petik untuk pembelajaran hidup. Terima kasih ya mbak udah main ke tempat saya. Sekarang saya diupahin kerupuk melaratnya itu dong, sama sambel kacang, please!!!

    BalasHapus
  12. oooohhh kirain dah tutup buku .............abis biasanya ada tulisan bersambungnya tapi waktu baca tadi tdk ada.............hehehe sengaja yach mbak buat kita penasaran ?
    Alhamdulillah kalo jalan masih berliku, ditunggu kelanjutannya.

    BalasHapus
  13. Oh kelupaan, ketinggalan tulisannya. Tuh masih ada di meja kerjaku. Hahahahah,,,,,,, BTW si dik Pipiet kemana?

    BalasHapus
  14. Wakakakak mbak ini kalo bikin orang penasaran tidak tanggung2 hehehe....:)
    Lagi supeeeer sibuk sekarang........... kan hari ini JK berkunjung ke Belgia.............sebagai anggota DWP kan mesti berperan aktif tul kan mbak ?

    BalasHapus
  15. Oh ya lah Pipiet sibuk banget pastinya. Apalagi dalam posisi junior memang kita dilatih kerja, supaya kalo udah sampe ke posisi semacam saya, tahu bagaimana cara mengorganisasikan orang dan pekerjaan.

    BalasHapus
  16. langsung kelar 3 series... ngejar Suratmi sampai ketemu :)

    BalasHapus
  17. Aduh, capek ya habis marathon pak? Huh, lega ya, sekarang Suratmi sudah ketemu. Terima kasih atas perhatiannya terhadap latihan menulis ini. Pak Iwan posting apa ya, saya kok terlalu banget nggak pernah mampir nengok, Wah jadi malu...........

    BalasHapus

Pita Pink