Powered By Blogger

Jumat, 20 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXII)

Penyerahan hak beasiswa kepada tiga orang pegawai di kantor suami kami telah kulaksanakan bersama bu Syarif tadi pagi. Bu Taufik alias Ami tidak menghadirinya. Konon Ami sedang tidak enak badan. Karenanya kuputuskan untuk melaporkan pada Ami lewat telepon. Bu Syarif juga akan segera menelepon Ami sesuai tugasnya.

Di seberang sana telepon diangkat oleh seorang perempuan, bukan Ami. "Bu Taufik ada bu, baru pulang dari dokter, sedang sakit," jawab perempuan itu.

"Saya Ibu Triatman mau melaporkan kegiatan organisasi, boleh mengganggu beliau?" tanyaku sesopan mungkin.

Perempuan itu memintaku menunggu sejenak, kemudian kudengar Ami di ujung teleponnya, "Ya, Nik, bagaimana tadi pagi?"

"Alhamdulillah bu, sudah diserahkan dengan baik. Bahkan ada yang langsung kepada anaknya karena dia dibawa oleh orang tuanya, tiga orang semuanya terkabul," jawabku langsung ke pokok persoalan.

"Syukurlah. Ibu Ketua tidak menanyakan saya 'kan?" tanya Ami lagi.

"Sudah saya beri tahu lebih dulu bahwa ibu mohon izin ke dokter," jawabku.

"Ya sudah, semoga beliau paham. Untung kamu ada di barisanku ya Nik," timpal Ami. "Andaikata suami kita berlainan kantor, wah, berabe, dikira saya yang memang nggak mau kerja," dia tertawa renyah. Walau dalam keadaan sakit Ami akan selalu nampak riang tanpa setetespun air mata kemurungan. Aku ikut tertawa mendengarnya.

"Penyakit di kandunganku itu lagi lho Nik, makanya hari ini keponakanku menginap di rumah dan mengantarkan aku ke dokter. Biasalah, kalau punya suami sibuk, selalu dia tak ada waktu untuk kita," kata Ami tanpa kutanya.

"Memang pak Taufik ke luar negeri lagi?" tanyaku berpura-pura tidak tahu, padahal tadi pagi kulihat beliau ada di kantornya.

"Ada sih, nggak ke mana-mana, cuma beliau ada tamu dari luar kota, jadi nggak sempat antarkan aku ke dokter," jawab Ami ringan.

"Hasil pemeriksaannya bagaimana?" pancingku lebih lanjut.

"Ada kista lagi di indung telurku, tadi sudah di-USG. Solusinya cuma operasi, tapi ya nanti dulu deh, mesti aku pertimbangkan baik-baik. Mungkin lebih baik aku bertahan dengan suntikan lagi. Aku rasa lebih baik saat nanti suamiku tugas di luar negeri lagi baru aku jalankan operasi. Mungkin dokter di luar negeri punya pendapat lain atas kasusku, semoga bisa menghindari operasi maksudku" jawab Ami panjang-lebar.

"Kau bertahan mbak?" kembali aku menyapanya dengan nama kecil secara tidak sengaja. Mungkin memang itu cara Tuhan untuk mendekatkan hubungan kami.

"Apa boleh buat Nik, dalam jaman susah begini, semua orang mesti tahan, sabar," katanya. Kubayangkan dia sedang tersenyum manis walau meringis menahan nyeri.

"Mulai besok aku disuntik lagi, tadi keponakanku baru dapat obatnya, jadi besok aku kembali ke Rumah Sakit untuk suntik," lanjutnya tenang.

Aku menggigit bibir, menelan ludahku sendiri yang tiba-tiba terasa pahit.

"Ya sudah kalau begitu, aku do'akan semoga mbak segera pulih ya, jangan lupa kalau butuh bantuan kami sekeluarga siap membantu," tutupku mengakhiri pembicaraan yang dijawab dengan pernyataan terima kasihnya. Aku terharu mendengarnya.

Terbayang kembali di mataku seorang Taufik yang bebas melenggang kesana-kemari dengan perempuan lain. tapi selalu kehabisan waktu untuk istrinya sendiri. Pedih di dalam batinku, tak habis pikir juga aku kemanakah Taufik yang pernah tiba-tiba jadi begitu romantis dengan menyodorkan sekuntum mawar pada istrinya saat menyanyi dulu itu.

-ad-

Kini secara rutin setiap minggu kutelepon Ami untuk memantau keadaannya sekaligus melaporkan apa saja yang terjadi di kepengurusan organisasi kami. Biasanya Ami akan melanjutkan dengan curahan hatinya, kira-kira seperti apa yang dulu disampaikan kepada almarhumah Elis.

Selalu diungkapkan kesendirian dan kesepiannya. "Mas Taufik jarang di rumah, dan setiap pulang sibuk dengan Hand Phone di tangannya, dia tak ada waktu untukku lagi," celotehnya.

"Sabar ya mbak Ami, semua ini 'kan untuk kesukesannya juga," hiburku.

"Ya, untung anak-anakku penuh pengertian semua. bahkan mereka sekarang mulai mengambil alih peran ayah mereka di rumah tangga, si Rizqi sudah mulai ikut-ikut rapat pengurus RT karena bapaknya nggak sempat aktif lho," cerita Ami.

Meskipun demikian dikisahkannya bahwa setiap malam suaminya selalu makan bersama dengan seluruh keluarga, serta mengantarkan si bungsu ke mana saja di akhir pekan. "Akhir pekan hanya tersedia buat kami anak-beranak," itu kata Ami. Aku mengiyakan dengan sepatah kata syukur.

-ad-

Akhir pekan itu kami diundang Ami dan keluarganya untuk menghadiri acara perpisahan mereka. Kudengar dari mas Tri, pak Taufik akan berangkat ke luar negeri lagi, ke suatu tempat yang bergengsi dan jadi incaran orang banyak. Hatiku melonjak gembira, karena aku tahu mereka patut mendapatkan tempat itu. Apalagi Ami yang begitu penuh dedikasi dan sabar dalam mendampingi suaminya.

Aku bawakan sepasang patung pengantin Jawa untuk kenang-kenangan mereka. Aku menemukannya di Sarinah Thamrin terselip di antara banyak kerajinan tangan. Patung keramik yang cantik dengan pakaian dodot.

Mas Tri tersenyum senang melihatnya, "aduh kamu pintar sekali memilih barang bagus," pujinya. "Pasti bu Taufik akan senang," dia menjentik pipiku.  Aku tersenyum malu.

Pesta kebun itu dihadiri banyak orang. Tidak hanya staff kantor suami kami, melainkan juga kerabat kerja pak Taufik lainnya dan handai-taulannya. Anak-anak mereka berdandan serasi, rapi menyenangkan mata. Rizqi sudah tampak dewasa sekarang, begitu juga Ridho kulihat mulai bongsor.

"Saya memutuskan akan melanjutkan sekolah di sini tante, sampai kuliah nanti pun saya tidak akan pergi," jawab Rizqi waktu kutanya soal sekolahnya. "Adik yang akan ikut pindah, sebab ibu 'kan perlu ditemani terus, takut ibu butuh bantuan dan bapak nggak sempat nolong," jelas Rizqi. Aku terkagum-kagum menyaksikan kedewasaan sikapnya. Kutahu Rizqi baru pertengahan SMA dan si bungsu baru naik kelas 1 SMP.

Semua mata menatap pasangan itu dengan kebahagiaan teramat bahagia, saat pak Taufik menyampaikan salam perpisahannya dikitari anak-istri di kiri-kanannya. Hanya aku yang tahu bagaimana perasaan bu Taufik. Mata itu begitu bangga, namun sekaligus bercerita bahwa dia telah mengorbankan semua perasaannya untuk menemani suaminya sampai ke posisi terhormat ini. Suaranya yang merdu tiba-tiba seakan menguap begitu saja, entah ditelan keharuan atau lainnya, saat diminta menyanyi.

Ami terdengar parau, agak sedikit sengau. Nadanya terlalu rendah seperti ditekan, tepatnya malah tertekan. Aku membuang pandang ke rerumputan hijau di kebun bunga sana. Ada rasa sesak dan sebak di dadaku. Aku tahu, betapa perasaan Ami amat rapuh. Antara bangga dan sedih mengenangkan cap yang pernah ditimpakan oleh suaminya sendiri ke pundaknya.

"Saya menunjuk ibu Triatman untuk menyanyi sebagai hadiah persahabatan bagi keluarga kami," tiba-tiba lamunanku buyar dikejutkan oleh suara Ami dari arah depanku sana.

Aku tergagp-gagap tak siap. Diam tak beranjak dari kursiku di bawah tenda biru itu. Tukang es cendol di bawah pohon mangga asyik mengedarkan pandangannya mencari-cari bu Triatman yang dimaksud.

"Bu, ayo bu, dipanggil tuh," seru teman-temanku. Sebagian malah mendorong-dorong aku untuk maju. Aku bingung menoleh ke kanan dan ke kiri, sampai Ami menghampiriku sendiri minta aku menghampiri keyboardist di depan sana.

"Ini dia, ayo Nik, kau pasti tahu lagu apa yang cocok untukku," katanya sambil menarik-narik lenganku.

Dengan malu-malu karena kutahu suaraku tidak layak, kubuka-buka buku kumpulan lagu yang tersedia di sisi keyboard. Semua orang serasa memandangku menimbulkan keringat dingin. "Ya, ini dia," kataku pada sang pemusik sambil menunjukkan halaman yang dimaksud. Dia segera menyetel keyboardnya dan menyesuaikan dengan suara kaleng rombengku.

"Vison of you, in shades of blue

Smoking, shifting. lazily drifting

My darling I miss you so........"

Lantunku memecah ketegangan seiring dengan cucuran keringat dinginku itu. Kurasakan mata-mata itu menatapku, menghunjam, terutama mata Suratmi sahabatku di meja utama sana. Begitu tajam walau dengan guratan pedih yang tak terucapkan.

(BERSAMBUNG)

17 komentar:

  1. Si nonik ga demam panggung ya bun?

    BalasHapus
  2. Orang dibilang gugup nggak siap jadi...........?

    BalasHapus
  3. Bu Ami sabar sekali ya bun ? Pak Taufik sekali2 kasih pelajaran tuchhh....sudah selingkuh, karier bagus terusss....besar kepala dia... duuuhhh...kenapa jadi aku yang sewot yaaa.... :( nunggusambungandotcom azzaaa dechhh...

    BalasHapus
  4. bestfriends are exist in life

    even they r gone..

    BalasHapus
  5. Hahahaha...... aduh geli sendiri jadinya.
    Berhasil dong aku ngaduk-gaduk emosi orang?!

    Sabar ya suz, pengarangnya lagi belum ada ide mau diapain keterusannya biar bikin tambah sebel yang baca.

    Week-end gini ngapin dan kemana? Mata bang Qq udah baik?

    BalasHapus
  6. Hallo pendatang baru...........

    Bagus juga tuh komentarnya. Iya ya, persahabatan nggak bisa putus hanya karena ada beda pendapat. Yang bener kayak Ayay, Otek, Linda dkk selalu nyantel terus dengan mencoba untuk saling memahami dan sejalan dalam pemikiran. Kunciinya ada di kata sabar.

    BalasHapus
  7. bu julie... kado yang untuk bu ami namanya Loroblonyo ya.
    lagunya bu triatman itu favoritenya bu hera juga. wah saya bisa membayangkan pasti suaranya bu tri bagus. tukang cendol aja penasaran.

    BalasHapus
  8. Penasaran karena orangnya dipanggil-panggil nggak nongol juga. Dia bingung dan bengong, tiba-tiba dicari sama bossnya gitu...........

    Kurang dimengerti ya kalimatnya. Gimana ya Wat aku kudu ngerubahnya?

    BTW lagu ini lagunya Cliff Richard lagi aku masih SD kelas 5 apa 6 gitu.

    BalasHapus
  9. Iya Bu, bagian tukang cendol itu nyelipnya memang agak mendadak jadi kurang nyambung. Kalimat Rizqi seperti menyiratkan kalau sang ayah tidak terlalu punya waktu untuk ibu mereka ya.

    BalasHapus
  10. saya sih ok ok aja.
    tapi kalo disuruh ngerubah, waduh... bu julie salah alamat nih

    BalasHapus
  11. Ya betul. Sehari-hari hanya sibuk dengan urusan dians dan relasi dinasnya gitu. Akhir pekan, sibuk dengan anak-nakanya, jadi si ibu dicuekin. Xian deh loe!

    Hahaha..... aduh tukang cendol, kamu kenapa sih jadi nyangkut di scene ini????

    *ku tak tahu..... ku tak tahu...... ku jemu! (eh, itu mah lagunya Koes Plus ya, suaranya mas Murry)......*

    BalasHapus
  12. Ya udah, nggak usah dirubah aja ya Wat? Thank's!

    BalasHapus
  13. Bener nihhhh...bunda sudah berhasil 'mengaduk-aduk' emosi ku, dah mo tumpah nihhh....
    Pastinya sabar dong menanti kelanjutannya :)
    Week end kemarin 'jaga kandang', karena bank QQ ada tugas sekolah untuk buat Buku Tahunan, Alhamdulillah mata bank QQ sudah mendingan, kata dokter memang lagi musim sakit mata, lucu yaaaa...musim koq sakit mata, yang musim mach duren, rambutan, mangga, gitu ya bun :)

    BalasHapus
  14. mau bikin novel ya Bu Julie? coba aja bu di kirim ke publisher...

    BalasHapus
  15. Iya, tapi nggak pe-de mbak Lia. Gimana ya? Aduh, malu......

    Terima kasih udah mampir kesini. Apa kabar teman-teman di Singapura? Adik-adik di Penampungan udah ganti orang baru semua ya?

    BalasHapus
  16. aku bisa ngebayangin mbak.. ini pun pernah aku rasain tapi bukan di posisiku sebagai istri, tapi posisiku sebagai anak hehe..

    BalasHapus

Pita Pink