Powered By Blogger

Rabu, 02 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (116)

Kemarin Senin (30/09) adalah hari yang memurukkan saya kembali ke lorong gelap. Setelah sebelumnya saya begitu bersemangat menyongsong jadwal kemoterapi saya kedua hari Rabu besok, tiba-tiba saya kembali dihadang persoalan yang mengguncang batin. Seperti tak boleh tenang pengobatan saya dinyatakan tertunda oleh kondisi fisik saya yang selama ini luput dari pemantauan dokter ahli kemoterapi yang dititipi onkologis saya untuk menangani kemoterapi saya. Dokter ahli kemoterapi yang baru sekarang menyadari adanya tumor di tulang selangka saya yakni pada pembuluh darah yang halus tiba-tiba mendakwa bahwa itu tumor hasil penyebaran (metastase). Karenanya saya harus digugurkan sebagai objek penelitian sesuai persyaratan mereka. Padahal faktanya, justru tumor yang tidak mungkin dibuang dengan cara operasi itulah yang membawa saya kepada beliau untuk diteliti; sebab tak ada tumor lain pada organ yang berbeda. Artinya tumor saya tidak bermetastase. Buktinya semua hasil pemindaian mesin nilainya bagus. Bahkan termasuk kecurigaan tumbuhnya tumor di rongga kepala saya tak terbukti.

Kaget benar saya menerima dakwaan ini yang berujung saya harus kembali ke onkologis untuk minta dibiopsi lagi. Tak pernah terbayangkan saya harus dibiopsi untuk sebuah kasus yang sama. Sungguh menyedihkan. Terbayang pengalaman para pasien yang pernah saya dengarkan ceritanya mengenai pengalaman biopsi mereka yang menyakitkan yang tak pernah saya alami sebelumnya karena ketelitian dan kehati-hatian dokter yang membiopsi saya dulu.

Suatu kekecewaan yang dalam tumbuh bersamaan karena onkologis saya pada saat ini sedang melakukan kunjungan kerja ke luar negeri selama seminggu, sehingga biopsi saya harus dilimpahkan kepada onkologis lain yang mendapat giliran sebagai dokter jaga. Onkologis pengganti ini tentu tak tahu sejarah tumor saya, sehingga tak mungkin menjelaskan ihwal keberadaannya dengan baik kepada ahli kemoterapi. Dapat dibayangkan saya akan tertolak dalam penelitian yang baru saya ikuti dengan suka cita ini. Alangkah bingungnya hati saya. Sebab artinya saya harus mengupayakan membeli semua obat-obatan saya secara mandiri. Duh, suramnya masa depan saya.

Seketika saya ingat dokter Maria teman saya. Dari kliniknya lah saya bisa kemudian berobat di RSK Dharmais. Teman-teman kami sesama anggota Dharma Wanita Kemenlu berbaik hati mengumpulkan dana untuk pengobatan saya yang dikoordinasi oleh mbak Ria ini. Beliau juga yang kemudian mengantarkan saya berobat ke klinik dr. Bayu tetangga saya yang tak pernah berani saya datangi karena saya yakin tak mampu membayar biaya pengobatan padanya. Walau ternyata dikemudian hari usaha dan upaya dokter Maria dan dokter Bayu juga lah yang menolong saya memperoleh pengobatan yang benar, tetapi saya tetap belum kunjung sembuh sehingga kini kebingungan lagi mencari dana untuk pengobatan ini. 

Untungnya saat saya kontrol kemarin dulu, teh Nanan koordinator dari teman-teman yang bersimpati membawa saya berobat datang menemani saya di RS. Sejak minggu sebelumnya beliau sudah berniat menemui dan sesekali mendampingi saya ke klinik meski saya tolak secara halus mengingat kesibukan beliau sebagai wiraswastawan yang sangat banyak. Tapi teh Nanan memang sangat sayang kepada saya, beliau tetap nekad datang seorang diri membuat saya terkesima dan sangat menghargainya. Maka keputusan dokter untuk tak melanjutkan memberikan obat kemoterapi gratis kepada saya, pertama kali didengar oleh teh Nanan juga. Meski sama galaunya dengan saya, tetapi teh Nanan mengatakan akan segera bergerak lagi bersama teman-teman lain mencarikan jalan untuk meringankan beban kami. Termasuk mengontak dr. Maria siang itu juga namun saya cegah sebab saya tahu beliau sangat sibuk. Hari-harinya sebagai dokter paliatif justru banyak dihabiskan di rumah-rumah pasien yang menjadi tanggung jawabnya. 

Teh Nanan kemudian mengajak saya ke kantin RS untuk makan siang sambil melepas ketegangan. Kantin yang sempit itu masih nampak padat karena para pengunjung RS juga duduk-duduk makan di sana atau sekedar mengobrol. Hari memang sudah cukup siang, nyaris mendekati pukul dua. 

Saya memosisikan diri di muka kedai bu Pur langganan saya sambil memesan sepiring siomay yang katanya organik. Teh Nanan dan anak saya ikut-ikutan memesan juga meski kami cuma minum air putih. Entah mengapa siang itu saya tak ingin minum teh manis seperti biasanya kalau saya makan di tempat itu. Bu Pur tersenyum manis, mengira suasana hati saya sedang bahagia. Ah, batin saya, seandainya beliau tahu apa lagi kini yang tengah menghadang saya, pasti bu Pur pun akan seperti biasanya mengiringi saya dengan doa-doa yang indah. Semua orang nampaknya memang amat baik dan sayang kepada saya. Itu yang saya rasakan sejujurnya meski hati saya kerap menangis diam-diam.

Dalam keresahan teh Nanan tiba-tiba mengejutkan saya dengan berita mengenai seseorang dari masa lalu kami yang katanya prihatin atas keadaan saya lalu siang itu berniat menengok saya. Tak dinyana, beliau kemudian menghubungi seorang mantan pejabat tinggi di kementerian tempat mantan suami saya bertugas yang kini sudah beralih menjadi wiraswastawan. Dalam pembicaraannya teh Nanan bilang saya memang sedang membutuhkan obat alternatif pada masa ini sehingga keinginan bapak pejabat yang budiman itu sangat tepat jika dilaksanakan sekarang. 

Semula saya tak mengerti apa maksud teman saya ini. Tapi kemudian terungkap bahwa bapak pejabat itu ingin memberi saya semacam obat yang hanya dijual secara Multi Level Marketing yang katanya sudah dipresentasikan kepada para ahli kanker termasuk dokter-dokter saya. Obat itu berasal dari Amerika Serikat diakui kehebatannya oleh dokter-dokter di sini meski belum bisa dipergunakan secara resmi disebabkan belum terstandar dan terdaftar secara resmi di lembaga pengawasan pengadaan obat. Harganya konon tidak murah, tetapi jelas tak semahal obat-obatan kemoterapi yang kini mencekik leher saya lagi ini. Dengan begitu, saya akan sangat beruntung jika mendapatkannya secara gratis untuk dicoba dulu. Bapak mantan pejabat tinggi itu berhasil menyelamatkan diri dari kanker prostat yang pernah mengganggunya hanya dengan makan produk ini selama dua-tiga bulan saja. Begitu pun salah seorang kenalan mereka berhasil sembuh dari kanker kelenjar getah bening yang diidapnya. Saya terpana mendengarnya meski merupakan hal yang biasa berbau promosi. Di dalam hati kehadiran pak pejabat beserta niatnya menolong saya terasa amat menyentuh hati saya, mengharukan dan mendebarkan. Kejadian ini bak mimpi di siang hari.

Anak bungsu saya nampak gelisah menunggu kedatangan tamu kehormatan kami yang tak diduga-duga itu, namun kemudian ikut tersenyum senang dan larut dalam obrolan kami dengan pria gaek berusia 75 tahun itu. Beliau tak seorang diri, bersamanya ada dua orang muda yang mempresentasikan produk itu kepada saya dan teman saya. Semua dibicarakan dengan singkat namun gamblang meski ternyata makan waktu cukup lama hingga tak terasa RS sudah kosong ditinggalkan pengunjung dan pegawainya. Tapi kami pulang dengan membawa buah tangan yang insya Allah akan bermanfaat untuk kesehatan saya sekali pun saya tertolak mendapatkan obat kemoterapi gratis dan harus mencari sendiri uang pembelinya kelak.

Kami tiba di rumah bertepatan dengan kumandang adzan maghrib tanpa diperiksa oleh onkologis yang diminta dokter ahli kemoterapi membiopsi tumor saya lagi. Tentu saja kecewa di hati tak tergantikan, meski kata anak saya besok lusanya, Rabu (02/10) saya boleh datang ke dokter onkologi lain yang menerima limpahan pasien para sejawatnya yang tengah bertugas ke luar negeri. Rasanya entah mengapa ujian kesabaran dari Allah senantiasa datang bergantian dengan kebahagiaan yang senantiasa menyapa hidup saya.

Tiba saatnya hari Rabu, saya juga tak bisa menemui onkologis pengganti karena hari itu pasien di klinik beliau amat banyak sedangkan beliau dijadwalkan akan mengoperasi dua orang pasien sekaligus. Agaknya tak seperti onkologis saya dokter-dokter lain tak punya jadwal khusus untuk mengoperasi pasien mereka. Sedangkan yang saya ingat, onkologis saya menyediakan hari-hari khusus untuk operasi sehingga tak mengganggu jadwal operasional praktek di kliniknya. Rasa-rasanya kalau sudah dalam keadaan mendesak begini ingin sekali saya menyusuli onkologis saya meski puluhan ribu kilometer bentangan samudera memisahkan kami. Lalu akal sehat saya pun muncul lagi dengan gagasan mengirimkan pesan singkat tentang kondisi saya yang terhambat dikemoterapi. Meski beliau belum tentu bisa menerima SMS ini tapi setidak-tidaknya dalam pikiran saya beliau sudah saya beritahu secepatnya. Bagi saya selalu ada jalan untuk membelokkan keresahan dan kegundahan hati saya.


Akhirnya saya "lari" kepada dokter Maria. Saya kirimi beliau SMS dan juga E-mail minta tolong untuk menyampaikan kepada dokter ahli kemoterapi agar memperkenankan saya terus menjadi objek penelitian mereka karena tumor saya sesungguhnya adalah tumor primer yang tak bisa dibuang dengan pisau bedah. Jawaban dokter Maria untuk saya tak begitu penting, karena saya yakin beliau pasti akan membawa kasus saya ke dalam agenda kerjanya untuk dibicarakan dalam rapat dewan dokter nantinya. Soalnya mbak Ria begitu penuh dedikasi kepada tugasnya mendampingi pasien-pasien yang berada di ambang kematian atau keputusasaan. Apalagi pasien itu beliau sendirilah yang membawanya ke RS.

Kini saya cuma bisa menenangkan diri di rumah dengan serangkaian doa-doa lagi seperti yang biasa saya sampaikan ke haribaan Tuhan. Akan kah Tuhan meninggalkan saya? Saya tak yakin benar, meski kemungkinan itu tentu saja akan ada. Tuhan bukanlah sesuatu yang bisa kita "setir" sesuai dengan keinginan kita. Sebab Tuhan adalah Pemilik kita yang Maha Segala. Tapi kita tentu masih punya jalan untuk mengetuk pintu SurgaNya. Saya akan melakukannya sedapat-dapatnya. Insya Allah saya ingin membuat Hati Allah senang sehingga doa saya pun kembali diperkenankanNya seperti apa yang telah saya rasa dan alami di waktu-waktu yang lampau. Sambil menunggu kepulangan onkologis saya minggu depan saya akan mencoba produk baru yang dihadiahkan orang secara tak terduga sebagai buah tangan bagi saya. Bukankah ini merupakan hadiah tak ternilai atas Kasih Sayang Allah kepada saya juga?! Alhamdulillah, selalu ada titik terang di sela-sela ruang lorong gelap kehidupan saya. Allah Maha Agung dan Maha Kasih!


(Bersambung)

6 komentar:

  1. betul bunda disaat semua terasa gelap, muncul insya allah setitik cahaya. dan saya selalu meyakini itu adalah jawaban dari doa2 kita.

    salam
    /kayka

    BalasHapus
  2. Hehehe........ semoga bener nih kak Ika, ini merupakan jawaban untuk menuju kesembuhan juga. Ngomong-ngomong mana nih nastarnya yang menggiurkan itu?

    BalasHapus
  3. kita terus berdoa ya bun....

    btw bun, tangkep nastarnya yaaa....

    salam
    /kayka

    BalasHapus
  4. Bener juga kalo Tuhan menutup satu pintu, Dia akan membuka pintu yang lain....
    Semangat, Bund...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga produk baru ini jadi penyambung nyawa saya ah. Allah memang selalu punya jalan untuk ummatNya yang yaqin akan kebesaranNya ci.

      Selamat akhir pekan, salam buat anak-anak ya.

      Hapus
  5. Kayaknya harus lewat doa aja deh untuk minta belas kasihan Allah Swt.

    Tapi nastarnya jangan dilempar dong, nanti hancur.

    BalasHapus

Pita Pink