Powered By Blogger

Rabu, 16 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (122)

Demi menghalau sakit para ilmuwan berlomba-lomba mengadakan penelitian untuk membuat obat yang ampuh. Tak terkecuali untuk penyakit kanker payudara yang dicetuskan oleh unsur Her2 (: dibaca Her two) seperti yang saya idap. Harian nasional terbesar yang saya baca bahkan pernah menurunkan artikel bahwa obat generik trastuzumab dinyatakan terbukti menjadi obat terampuh. Saya mempercayainya, seperti banyak orang lain juga. Itu sebabnya obat sangat keras yang harganya sekitar 20 jt rupiah sekali pakai itu sangat saya ingini didukung oleh onkologis saya. Beliau bahkan rela berpikir keras demi mencari jalan agar saya bisa mendapatkannya semurah mungkin, bahkan bila tercapai gratis pula.

Di Amerika Serikat sana, trastuzumab juga diburu orang sehingga memicu keinginan yang besar untuk saya mendapatkannya. Sebab siapa sih yang meragukan kemampuan ilmuwan Amerika? Tak heran kiranya jika saya mendewa-dewakannya. Bahkan rasanya saya pernah bermimpi dirawat di Majo Clinic yang sangat terkenal itu oleh pakar dari American Cancer Society. Sungguh khayalan yang tak sepadan dengan kondisi keuangan keluarga saya yang terpaksa berobat mengandalkan belas kasihan orang lain belaka.

Pikiran itu kini tiba-tiba berubah cerita ketika saya dipaksa menyerah pada keadaan. Sebab tak ada pihak yang bisa mengulurkan bantuan untuk saya, dan lagi dokter onkologis membuka keran komunikasinya dengan saya semakin lebar. Kata beliau, trastuzumab tak ubahnya obat-obat lain, yakni belum tentu menjamin pasien tidak kambuh. Dalam kasus penyakit berat seperti saya di stadium akhir ~oh, semoga Allah masih sayang dan berkenan menyehatkan saya lagi~, kekambuhan itu besar kemungkinannya. Menurut hasil penelitian yang diketahuinya, hanya 20% saja pasien yang tak kambuh-kambuh. Apakah itu sebanding dengan harganya yang mahal dan efek sampingnya yang keras?! Jadilah dia pertanyaan yang menggema di liang telinga saya minta dipahami. Saya harus memikirkannya sebelum kami kemudian merasa sia-sia. "Ibu akan sangat lemah dan sakit karena obat mahal ini, sedangkan kekambuhan tentu saja bisa terjadi," dokter onkologis saya menggambarkan dalam konsultasi saya yang terakhir Sabtu lalu.

"Oh, makanya mbak dokter Ria bilang bu dr. Noor akan mengemo saya dengan docetaxel dan carbo yang murahan ya waktu kita terkatung-katung menunggu kelulusan saya di penelitian?" Komentar lugu saya langsung terucap begitu saja di hadapan sang pencari keselamatan nyawa saya, dokter belia cerdas nan budiman ini. 

"Iya bu. Pakai dua itu saja dulu, obat second linenya. Mungkin sudah memadai. Daripada ibu makin susah," jawab dokter saya membenarkan seraya menatap saya tajam. Tapi senyumnya tak luntur.

Dulu dokter Maria ahli paliatif teman saya membawa kasus saya ke rapat dewan dokter. Diinformasikannya kemudian bahwa dr. Noor koleganya yang ditunjuk onkologis saya untuk menangani kemoterapi saya akan meresepkan dua obat yang harganya lebih murahan saja daripada saya tak terobati. Lagi-lagi dikatakan saya berlomba dengan waktu. Jadi saya segera harus mencari dana sendiri untuk pembelian obat itu. Meski belum sempat juga terlaksana dan saya kemudian beruntung diluluskan di dalam penelitian ini sebelum akhirnya kini dinyatakan terancam diputus lagi. Ah, hidup memang sedang disisipi rasa pahit untuk saya. Mungkin beginilah rasanya buah pare yang tidak pernah saya sukai itu. :-p

Efek mengerikan docetaxel belakangan mampir juga di tubuh saya. Sehabis kemoterapi yang terakhir darah saya terganggu. Saya mengalami buang air besar berdarah yang saya duga dikarenakan turunnya kadar thrombosit di dalam darah saya. Gangguan hematologis seperti ini dibenarkan oleh onkologis saya yang saya hubungi lewat SMS ketika itu terjadi. Faktanya memang demikian, saat itu angka thrombosit dalam darah saya cukup rendah. Itu sebabnya dokter onkologi saya ingin meminimalisasi kemungkinan saya kesakitan dan menderita lebih banyak lagi sekarang ini. Saya rasa pengaruh dari terbukanya kran komunikasi dua arah antara dokter dengan pasiennya turut menyumbang suksesnya misi pengobatan yang dilaksanakan.

Saya beranggapan bahwa di Fakultas-Fakultas Kedokteran perlu diajarkan ilmu dasar komunikasi supaya para dokter mempunyai kemampuan yang cakap untuk mengomunikasikan pengetahuannya tentang penyakit dan perawatan pasiennya. Di satu sisi, pasien pun seyogyanya didorong untuk senantiasa banyak mencari tahu tentang penyakitnya agar mudah diajak bekerja sama memahami pengobatannya. Inilah yang belum banyak didapatkan masa kini, meski satu dua orang dokter sudah menerapkannya. Saya beruntung memiliki dokter lain lagi yakni ahli penyakit dalam yang juga mau diajak berkomunikasi dan mudah menjelaskan apa yang perlu diketahui pasiennya. Sedangkan ada dokter yang berperanan penting di dalam penentuan pengobatan saya, justru terkesan dingin dan kurang responsif terhadap paparan pasiennya. Hal yang begini potensial menimbulkan kesalah pahaman yang berakibat fatal dalam penatalaksanaan penyakit pasiennya. Alangkah menyedihkan.

***

Hari Rabu (16/10) kemarin dokter ahli kemoterapi yang memberikan kesempatan kepada saya untuk ikut dalam penelitiannya menemui saya. Belum sampai beliau bicara saya sudah tahu dengan sendirinya bahwa keikutsertaan saya akan digugurkan karena beliau menganggap metastase terjadi di tulang selangka (supra clavicula) saya sehingga tak sesuai kriteria penelitian yang juga digawangi World Health Organization (WHO) yang kantor pusatnya di Jenewa, Swiss pernah saya lihat puluhan tahun lalu.

Saya sampaikan saya siap mundur dari penelitian jika memang pihak onkologis saya melakukan kesalahan dengan mengirimkan saya kepadanya. Sekaligus saya nyatakan bahwa kondisi tumbuhnya tumor saya sebetulnya tercatat dengan baik pada Rekam Medis saya ketika saya diajukan sebagai calon peserta penelitian. Artinya tak ada yang ditutup-tutupi sebelumnya.

Namun peneliti senior yang saya tahu mempunyai kedudukan cukup tinggi di RS nasional ini mengatakan bahwa itu seharusnya tak boleh terjadi. Hal ini saya tangkal dengan menyatakan bahwa tak pernah ada kejelasan sebelumnya mengenai kriteria metastasis atau penyebaran yang dilarang untuk diikut sertakan dalam penelitian. Dalam hal ini baik saya maupun onkologis saya menganggap bahwa yang dianggap metastasis dari tumor payudara adalah tumbuhan baru di sekitar paru-paru, tulang atau hati bukan yang lain-lain. Dan lagi ketika saya berobat untuk pertama kalinya dilanjutkan kemoterapi diakhiri pengangkatan payudara dan kelenjar getah bening ketiak, saya memang mengalami tumor di payudara dan daerah sekitar dada mencapai ketiak dan area clavicula. Sayangnya keparahan ini tak tertangani semuanya dengan pisau bedah sehingga menyisakan sel di pembuluh darah terutama di area clavicula itu sendiri yang segera mencuat ke permukaan segera setelah operasi. Kondisi inilah yang membuat onkologis saya memberanikan diri untuk menawarkan saya kepada beliau sebagai bahan penelitian, bukan hal-hal lainnya. Sebab kami bukan hendak mencari untung.

Dokter yang biasanya bersikap cenderung dingin itu kemudian menjawab dengan baik. Sungguh di luar dugaan, kali ini bicaranya amat lancar dan menggairahkan. Katanya, kriteria metastasis yang saya dan onkologis saya maksudkan adalah termasuk kriteria "distance metastasis" alias penyebaran ke luar lokasi mengenai organ tubuh lainnya. Tapi, bagaimana pun juga penyebaran dari payudara ke kelenjar ketiak saya juga tergolong metastase. 

Faktanya penelitian ini sebetulnya menyaratkan pasien peserta penelitian harus berada dalam kondisi tumor stadium dini, bukan stadium lanjut sehingga sedari awal mestinya saya sudah tertolak. Tapi tak kalah debat saya kemukakan lagi bahwa fakta itu tak pernah sampai dengan jelas ke meja para onkologis, setidak-tidaknya kepada pihak kami sehingga kami berani menawarkan diri. Saya pun waktu itu sudah mempersilahkan beliau meneliti dan mengecek ulang kondisi saya sebaik-baiknya dengan tujuan agar saya benar-benar bisa dimanfaatkan untuk kemajuan ilmu kesehatan.

Dokter senior itu agak terperangah mendengar perkataan saya. Dengan lembut beliau menyatakan minta maaf tak mungkin lagi mempertahankan saya demi alasan agar kredibilitas RS ini tak turun oleh kasus saya. Sehingga kemudian saya pun minta maaf atas ketidak nyamanan ini dengan harapan di masa yang akan datang semua pihak bisa saling terbuka agar tak terulang hal yang sama. "Ya begitulah, sejak semula 'kan saya sudah meragukan ibu, tapi ada pihak-pihak tertentu yang bersikeras memakai ibu sih....," sesalnya mengejutkan. Saya tersenyum masam, sebab saya tahu siapa-siapa mereka yang dimaksudkannya. Dan ini jeleknya memicu emosi saya yang sejak sakit memang menjadi sangat labil. Dengan penuh egoisme yang jumawa saya nyatakan rasa terima kasih saya dan onkologis saya sambil mengatakan kami akan menerima pengunduran diri ini dengan besar hati karena saya yakin onkologis saya akan mampu berupaya sekuat tenaga melaksanakan penatalaksanaan pengobatan saya secara mandiri di kampung halaman saja. Dan bahwasannya hal ini bahkan kelak saya yakin akan jadi sarana berlatih bagi onkologis muda penuh enerji itu. Tak lupa saya sampaikan bahwa kasus tumor saya yang sudah sangat lanjut, ukurannya pun masif alhamdulillah sudah berhasil tertangani dengan baik olehnya. Saya salut dan angkat topi serta sekali lagi bersyukur kepada pihak RS yang telah berkenan merelakan fasilitasnya dipakai mengobati kasus pasien yang tidak mampu dan punya derajat kesulitan berat dari daerah. Dokter senior itu pun kemudian tersenyum lega.

Setelah menghela nafas beliau menyarankan saya menggunakan kartu Jamkes untuk pengobatan saya. Terpaksa saya sampaikan bahwa daerah kami tak menjalin kerja sama di situ sehingga saya selama ini menggunakan kebaikan jasa dokter-dokter yang berdedikasi kepada kemanusiaan. "Saya ditolong didanai dengan dana Jamkes Kasiho dok," itu saya ucapkan juga pada akhirnya membuat dokter terbengong-bengong. "Jamkes Kasiho itu apa, saya baru dengar?"

"Jaminan kesehatan saya karena belas kasihan orang dok, saya dibiayai pribadi dokter onkologis saya dan dokter Ria teman saya di DWP, karena walau pun saya bertetangga dengan onkologis saya tetapi saya tak punya penghasilan untuk dana berobat kepada beliau," jawab saya seraya tertawa kecil. Sudah saya duga beliau akan kebingungan mendengar jawaban Kasiho tadi. Beliau nampak mengangguk-anggukkan kepalanya kini, lalu berpikir sejenak sambil memandangi stoples berisi keripik yang saya perhatikan selalu ada di meja kerjanya.

"Bagaimana kalau pakai Askesnya, 'kan anggota DWP toch?" Tanya beliau kemudian.

"Tidak mungkin bisa dok, karena saya tidak pernah lagi memegang kartu Askes itu," jawab saya lalu menjelaskan keadaan keluarga kami yang sesungguhnya kini. "Itulah sebabnya dok saya diambil alih oleh teman-teman DWP saya untuk diantarkan berobat ke dokter Bayu," tutup saya getir. Barangkali saja suara saya mulai agak bergetar menutupi resah.

Dokter pun termangu-mangu. Diedarkannya pandangannya ke sekeliling ruang klinik yang tidak luas itu. "Bagaimana kalau pindah ke Jakarta ikut keluarga di sini dan minta KJS? Ada kesempatan dua bulan hingga Desember mendatang menggunakan dana yang disebut hibah, lumayan itu," usulnya kemudian.

"Ya, saya tak punya keluarga di sini dok," sahut saya seraya melenguhkan keluh.

"Ya cari akal lah.......," kata beliau lagi.

Semudah itu kah? Tidakkah akan beresiko bagi saya kelak? Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba mengaum minta jawaban seperti singa lapar minta makan. "Dok, saya kira tidak mudah, sekali pun dokter Ria atau dokter Bayu sendiri menawari saya menumpang alamat di tempat kediaman beliau di sini saya tak mungkin menerimanya, terlalu beresiko untuk saya hanya sekedar mengejar obat gratis dua bulan saja," jawab saya gamblang. Kini saya tak merasa perlu sungkan atau malu-malu lagi menghadapi beliau. "Dokter Bayu pun saya yakin sanggup menyediakan alamatnya untuk saya, tapi saya pikir lebih baik saya terima kesanggupan beliau menangani saya di kampung kami saja. Dulu kami biasa bahu membahu dengan seorang dokter ketua komite medik yang bukan ahli kemoterapi dan hasilnya penyakit saya masih terkontrol meski mengingat beratnya kasus tak bisa ditangani dengan obat-obat pemberian pemerintah," tutur saya panjang lebar.

"Ya sudah kalau begitu, maaf ya, sampaikan dokter onkologisnya," tutup beliau sebelum saya salami untuk berpamitan seraya mengucap terima kasih.

Pintu sudah rapat benar tertutup untuk saya. Saatnya saya melanjutkan rencana merancang penatalaksanaan pengobatan selanjutnya. Sore ini juga saya harus bisa menemui onkologis saya untuk berdiskusi. Maka segera saya langkahkan kaki ke area klinik beliau di lantai dasar. Perawat yang mengasisteninya membenarkan bahwa beliau akan segera ke Bogor sehabis menutup kliniknya karena tak ada jadwal pasien operasi seperti minggu sebelumnya yang disibukkan oleh kasus gawat darurat. Saya pun bernafas lega, menebar senyum dan menitip pesan untuk disampaikan kepada dokter saya bahwa saya akan berkonsultasi di Bogor. Petang hari tiba, meski masih jauh dari senja. Perjalanan saya kini mesti mulai dari titik nol lagi, menembus belukar rimbun yang entah bagaimana di dalamnya sana.

"La haula wa la quwwata ila billah........""

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink