Siapa sangka sembilan macam obat kini bersemayam di dalam tubuh saya setiap hari. Ini belum termasuk jejamuan herbal yang saya makan rutin sejak saya belum berobat ke dokter ditambah tiga macam lagi produk baru yang dioleh-olehi orang. Jangan pernah mencoba menanyakan mengapa sebanyak itu dan bagaimana rasanya, sebab sembilan macam obat yang pertama saya sebut semua datang dari dokter-dokter di RS karena setelah berobat di sinshe saya diobatkan teman-teman saya ke RS. Sedangkan soal rasa tentu saja tidak enak namun saya biasakan menelannya sebab sejak kecil dulu saya memang penyakitan sehingga harus rutin minum obat.
Dari onkologis saya tak ada obat-obatan yang mesti saya telan karena pada prinsipnya obat-obatan anti kanker itu diinfuskan sebagai kemoterapi. Tapi dokter jantung konsulen kemoterapi menyaratkan saya memperbaiki irama jantung saya lebih dulu diikuti pemeliharaannya dengan vitamin. Jadi beliau memberi empat macam obat agar irama jantung saya yang sempat terganggu akibat kemoterapi normal kembali. Sedangkan dokter ahli penyakit dalam menyaratkan makan obat penurun tekanan darah tinggi sepanjang hidup. Keduanya memang mutlak diperlukan, ditambah obat-obat penjaga stamina saya yang ditambahkan oleh dokter ahli kemoterapi setelah saya mengeluh letih-lemah-lesu dan ngilu di kaki. Itulah yang membuat sembilan macam obat jadi kewajiban konsumsi saya setiap hari kini. Namun semuanya tentu saja sepengetahuan onkologis saya karena selalu dilaporkan kepada beliau.
Meski semula saya berobat di RSK Dharmais, namun saya sempat pindah berobat ke RS di dekat rumah pada onkologis yang bekerja secara tetap di RSKD juga. Itulah sebabnya kini saya berobat di dua RS dengan konsekuensi memiliki dokter yang banyak sebagai konsulen onkologis saya itu. Tapi rekam medis saya di kedua RS tak pernah lupa saya perbaharui setiap kali saya mendapat pengobatan atau penanganan. Jadi tak ada seorang dokter pun yang tak bisa mengamati keadaan fisik saya dari masa ke masa. Bagi saya laporan medis amatlah penting untuk dicatat baik-baik dan diketahui secara lengkap.
Obat dan jamu, dua hal yang fungsinya sebetulnya sama. Saya tetap menyandingkannya karena saya merasa jamu membantu memperkuat stamina tubuh saya yang turut dirusak oleh obat-obatan kemoterapi. Efek samping jamu itu sendiri selama saya menggunakannya sebelum berobat di RS tidak pernah ada. Akibatnya saya mendewa-dewakan jamu sebagai penolong saya menyelamatkan diri dari ganasnya serangan kanker yang tanpa ampun. Saya tak mau mati cepat-cepat seperti para pasien yang tak tertolong itu. Penyanyi kawakan Diana Nasution contohnya, kemarin pagi akhirnya wafat jua di usia yang sama dengan saya oleh kanker payudara juga.
Menurut pemberitaan penyakit yang diidapnya sejak lima tahun lalu sudah menyebar hingga ke tulang seperti yang diderita almarhumah istri kemenakan saya. Padahal kata keluarganya, penyanyi bersuara merdu ini sudah rutin dikemoterapi dan diradiasi tanpa mengenal jeda dan lelah.
Saya kemudian menafsirkan bahwa obat-obatan kemoterapi itu jika berdiri sendiri belum tentu menjamin kesembuhan. Sekalipun pasiennya patuh serta mempunyai tekad kuat untuk melawan sakitnya, jika tidak didukung oleh stamina yang tangguh tak banyak menolong. Apa yang dikatakan dokter dan sinshe saya tentang efek toksik atau meracuni dan merusak organ-organ tubuh dan sel yang sehat ada benarnya.
Itulah sebabnya pasien harus rutin berkonsultasi dengan konsulen ahli penyakit dalam dan ahli penyakit jantung serta meminum vitamin dan mengonsumsi makanan yang nilai gizinya dapat dipertanggung jawabkan. Artinya makanan organik amat penting bagi penderita kanker meski harganya terbilang mahal.
***
Senin pagi, minggu pertama di bulan Oktober habislah sudah. Hingga hari ini saya belum juga menghubungi dokter bedah untuk minta dibiopsi. Soalnya saya tidak mau dipegang dokter lain selain onkologis saya yang memang mengerti betul riwayat tumor di tulang selangka saya yang mesti ditumpas dengan kemoterapi. Selain itu dokter jaga yang dipakai merujuk oleh dokter ahli kemoterapi termasuk dokter yang sibuk. Setiap saya berniat mendaftar di kliniknya pasiennya sudah amat banyak. Saya duga sebagian merupakan pasien dokter-dokter lain yang terpaksa meninggalkan kliniknya karena penugasan dari RS maupun cuti tahunan. Belum lagi dokter ini punya jadwal tugas operasi yang tak bisa ditinggalkan. Akhirnya saya putuskan untuk menunggu dokter onkologi saya sembilan hari lamanya meski artinya saya menyalahi aturan kemoterapi.
Sebetulnya kemoterapi efektif jika diberikan secara terus-menerus tanpa putus setiap tiga minggu sekali. Yang saya dengar dari sesama pasien umumnya mereka mendapat kemoterapi selama enam kali. Dulu saya sudah menjalani sebanyak lima kali dengan koktail obat yang ternyata tak cocok untuk saya. Empat kemoterapi yang pertama saya lakukan sebelum pembedahan dengan maksud mengecilkan ukuran tumor saya. Satu kali lagi adalah merupakan satu di antara dua kali kemoterapi yang direncanakan diberikan setelah operasi untuk menggempur bekas-bekas sel-sel tumor yang dibuang itu. Ini namanya teknik pengobatan neo adjuvant (neo adjuvant therapy). Dokter bedah onkologi menerapkannya pada saya bersandar kepada pengalaman bahwa setiap sel-sel yang tumbuh di tubuh saya dibuang dengan pembedahan di masa lalu, ternyata tumbuh kembali dalam waktu singkat. Jadi neo adjuvant therapy dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan saya agar tak terulang lagi.
Kemoterapi-kemoterapi yang lalu memang mengecilkan tumor saya, tetapi hanya yang di payudara. Padahal tumor saya berada di payudara hingga di kelenjar getah bening ketiak. Kelenjar getah bening ketiak yang memiliki banyak pembuluh darah yang kecil dan tipis ini, tak berhasil dibersihkan semuanya. Onkologis saya mengatakan, jika beliau nekad membedah pembuluh darah saya untuk membuang tumor maka nyawa saya menjadi taruhannya. Nyawa saya melayang, membuyarkan harapan untuk sembuh kembali. Itulah sebabnya beliau lebih memilih untuk menggempurnya dengan obat-obatan kemoterapi dari jenis yang berbeda,
Hasil pemeriksaan pathologi anatomi tumor saya menunjukkan obat apa yang paling ampuh dipakai. Sayang harganya tidak murah, tidak akan terbeli dengan dana Jamkesda pemberian pemerintah. Maka dengan segenap tekadnya saya diajukan kepada koleganya, seorang dokter ahli kemoterapi yang mencari pasien untuk dijadikan objek penelitian obat yang tepat untuk kasus saya. Syarat-syarat peserta penelitian pun ada pada saya. Yakni tumor saya tidak menyebar ke organ tubuh lain, sedangkan kondisi fisik saya boleh dikatakan cukup baik kecuali irama jantung saya yang kemudian segera teratasi dengan pemberian obat-obat jantung yang tepat. Tak bisa tidak, setiap obat kemoterapi memang dapat menimbulkan gangguan kesehatan tak terkecuali pada jantung. Efek cardiotoxic ini membuat denyut jantung melemah sehingga pasien sesak nafas. Ini sempat terjadi pada saya, meski cuma sebentar.
Kakak sulung saya penderita kanker payudara juga yang berumur 71 tahun bahkan mengalami gangguan kesehatan yang jauh lebih parah dibandingkan saya. Pencernaan dan ususnya terganggu membuat beliau tak bernafsu makan lalu lemas. Beliau sempat dilarikan ke IGD RS diikuti perawatan selama empat hari. Mirip kejadian perawat RS yang menderita kanker ovarium. Beliau tak pernah absen mencicipi jadi pasien rawat inap itu sendiri setiap habis dikemoterapi. Selain itu kakak saya mengeluhkan tulang-belulangnya sakit terutama di kaki sehingga mengharuskannya berbaring di kasur. Beliau sempat menduga saya tertolong oleh jejamuan herbal sinshe seperti dugaan saya sendiri kini.
Saat ini saya sedang bertahan bersabar menunggu esok. Karena hari ini onkologis saya akan pulang dari dinas di Luar Negeri. Resiko ini memang tak terhindarkan jika kita memilih berobat ke RS Pendidikan. Tapi tentu saja RS Pendidikan punya fasilitas yang boleh dikata lengkap digawangi oleh para dokter yang pengetahuan serta keterampilannya senantiasa terasah. Mengingat hal ini harapan saya tak bisa pudar, saya akan beroleh solusi dari onkologis saya untuk melumpuhkan sel kanker yang mengerikan ini melalui ilmu yang dimilikinya. Aha! Besok saya siap dibiopsi lagi. Juga siap membujuk-bujuk onkologis saya untuk menjelaskan bahwa obat kemoterapi yang paling cocok untuk saya hanyalah koktail penelitian itu. Apalagi tumor yang kini masih bersarang di pembuluh darah sekitar tulang selangka memang tak cocok dibedah. Saya berharap kemoterapi penelitian ini tetap akan boleh saya terima tanpa beban. Saya duduk hening sejenak meresapi betapa sulitnya menggapai kesembuhan saya. Jelas sekali bangkit dari keterpurukan diserang kanker butuh daya juang yang tinggi. Karena itu, saya belum jadi penyintas sebagaimana para penderita yang masih bertahan hidup melabeli dirinya sendiri.
(Bersambung)
BUnda luar biasa,...*peluk saja
BalasHapusDear mbak Irma, yang luar biasa sekali itu dokter onkologi saya lho. Kemarin saya sudah menghadap beliau, dan beliau berdebat keras dengan pihak peneliti sampai banting-banting telepon segala demi supaya mereka konsisten pada keputusan mereka sendiri, bersedia menerima saya sebagai objek penelitian. Nanti saya tulis juga kok ceritanya di buku harian ini.
HapusPeluk sayang kembali diiringi doa semoga mbak Irma betul-betul tergolong penyintas yang sudah tuntas membasmi kanker ya mbak. Muach!!!