Powered By Blogger

Minggu, 13 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (120)

Sore yang penuh warna menyapa saya. Saya memperoleh gambaran buruk dari onkologis saya mengenai kemungkinan kelanjutan kemoterapi saya menggunakan fasilitas penelitian. Juga gambaran yang buruk mengenai kondisi kanker saya termasuk harapan hidup saya. Tapi saya sekaligus menemukan kejutan manis karena bertemu kembali dengan bu Rustini pasien yang sudah cukup akrab saya kenal serta sedang bertanya-tanya tentang nasib saya. Lebih dari itu secara mengejutkan saya tiba-tiba disapa oleh seorang pasien yang mengaku sebagai pembaca buku harian saya di dunia maya ini setelah mesin pencari Google mendaratkannya di tempat ini. Dia membuktikannya lewat gadget yang tengah dipegangnya yang memuat laman buku harian elektronik saya. Penilaiannya blog saya sangat informatif untuk mendidik para pasien kanker ditulis dalam gaya bahasa yang luwes namun sistematik. Hampir copot cuping hidung saya karenanya lantaran terkaget-kaget betul. Pasalnya bagi saya buku harian saya sangat apa adanya persis isi buku harian konvensional saya dulu.

Hari ini saya memang sengaja kembali ke RS untuk minta pengarahan onkologis saya tentang apa yang harus saya sampaikan serta bagaimana bersikap di hadapan dokter ahli kemoterapi besok lusa. Seperti sudah saya ceritakan kemoterapi saya lewat program penelitian terancam dihentikan karena kesalah pahaman tim medis di dalam menilai kasus saya. Besok lusa saya diminta menghadap dokter ahli kemoterapi untuk menerima keputusannya. Kemungkinan besar saya tak jadi diikut sertakan serta harus mendanai diri sendiri. Sungguh suatu keadaan terburuk yang tak pernah saya impikan setelah saya diluluskan dalam uji kepatutan beberapa waktu yang lalu.

Ya, inilah hakikat hidup. Manusia tak selamanya senang. Gelombang pasang pasti akan terjadi, menanti saatnya untuk mengingatkan manusia akan Allah Sang Pencipta semesta pemilik lakon yang mendalangi hidup kita. Dengan mendapat cobaan manusia jadi tahu bahwa dirinya bukanlah apa-apa meski tergolong sebagai makhluk hidup yang paling sempurna. Karenanya saya tak boleh menyombongkan diri.

***

Saya tiba bersamaan dengan onkologis saya di kliniknya. Beliau baru hendak memarkir mobil jantannya yang gagah hitam mengilap waktu saya berada di area pintu masuk lobby RS. Saya sudah menyangka ini. Bahkan naluri saya mengatakan mobilnya keluar bersamaan dengan angkutan kota yang saya tumpangi melintas di pertigaan dekat rumahnya. Hanya kami mengambil jalan yang berbeda karena angkutan kota harus memutar jalan. Saya sempat bertegur sapa dengan bu Umi zuster sepuh yang saya hormati sambil membisikkan info mengenai nasib kemoterapi saya dan pembelaan dokter saya yang nyaris mati-matian. Lalu bu Umi memberi tanda bahwa beliau sudah masuk gedung. Saya menoleh ke pintu masuk, sehingga kami saling melempar salam. Wajahnya tetap cerah ceria meski hari-harinya habis begitu saja di RS.

"Selamat sore, saya masuk dulu ya. Nanti kita bertemu di klinik," ujarnya lembut. Kemeja putih bergaris-garis biru yang dikenakannya nyaris menyamarkan bahwa dirinya seorang dokter ahli bedah tumor. Profesi yang langka dan bergengsi di kota kelahiran kami. Saya balas sapaanya dengan anggukan. "Silahkan, saya cuma ingin diarahkan untuk pertemuan saya di klinik kemo besok lusa kok, supaya saya tak salah," jawab saya seraya mengekor beliau dan mendudukkan diri di selasar klinik bersama para pasien lain. Sore itu agak istimewa. Klinik dokter di dekatnya sepi kegiatan tak sebagaimana biasanya.

Saya duduk di bangku deretan depan menjejeri lelaki yang mengerti dengan sendirinya untuk menggeser duduknya agar anak saya bisa duduk bersama saya. Baru saja saya mengucapkan terima kasih, tiba-tiba bu Rustini pasien lama menghambur dari kejauhan. "Eh, ini dia. Kemana saja? Rasanya sepuluh kali kita nggak ketemu ya," serunya bernafsu seraya mendaratkan ciuman di pipi saya. Dipeluk-peluknya tubuh saya sebelum beliau menyadari bahwa anggota tubuh saya kini berubah. Lengan saya berbalutan menggendong boneka kera sekedar untuk merenggangkan ketiak cacat saya dari bagian sisi tubuh. 



Saya terangkan keberadaan saya dan kondisi saya sesungguhnya, "Ya Allah, kenapa begitu? Saya juga punya tumor di kelenjar getah bening sekarang, juga yang ini sudah pecah berdarah seperti ibu dulu yang dibalut pampers itu lho," ujarnya seraya menunjuk dadanya. "Tapi yang di kelenjar getah bening kecil segini," lanjutnya lagi sambil menjentikkan jarinya. Sekali lagi saya jelaskan penyebab bengkak di lengan saya yang menetap ini hingga beliau memahaminya. Kemudian saya pertunjukkan foto lengan saya yang bengkak tanpa pembalut kepadanya. Matanya langsung membelalak ngeri. "Ya Allah....... kuatkanlah....," doanya penuh keprihatinan namun terputus oleh tepukan bu Ani guru yang menjadi pasien warisan onkologis kami dari klinik almarhum ayahnya. "Saya pikir bu Julie nggak datang lagi, karena tadi pagi saya cuma ketemu anak ibu," sapanya. "Saya memang nggak mendaftar sendiri kok bu, sedang drop nih," jawab saya memberikan alasan. Tak disangka banyak pasien mengenali saya dan mencari-cari keberadaan saya. Wah rasanya saya jadi senang dikenali banyak orang begini.

Saya lalu mengobrol dengan bu Rus yang kini mendobeli pengobatannya dengan sarang semut, obat herbal jenis baru asli Papua. Obat itu diklaim anti kanker yang mujarab dengan cara pemakaian direbus lalu diminum airnya. Ini dilakukan berulang-ulang hingga air rebusannya menjadi bening dari yang semula kemerah-merahan. Cerita bu Rus, sarang semut seharga Rp. 120.000 itu berguna selama sebulan. Rasanya segar menyejukkan, akunya.

Tapi pembicaraan belum selesai teh Ade perawat junior bu Umi telah mempersilahkan saya menunggu di muka klinik. Itu tandanya giliran saya hampir tiba. Senang juga rasanya mendapat nomor-nomor awal hingga tak takut pulang kemalaman. Dan saya pun melenggang masuk membawa rasa bimbang saya akan saran dokter yang mungkin kurang membahagiakan kami. Maklum kami pasien yang berada dalam serba keterbatasan belaka.

Telinga saya menangkap pembicaraan dokter di dalam sana menerangkan perihal tindakan yang harus dilakukan dan dipertimbangkan pasiennya. Semua dijabarkan dengan gamblang menggunakan kalimat-kalimat sederhana yang mudah dipahami orang awam. Nadanya benar-benar tak menggelisahkan memperkuat penilaian masyarakat akan kualitas pribadinya. Penuh empati belaka.

Inilah kekurangan fasilitas pelayanan RS di daerah. Sebelum dokter selesai memeriksa pasien di dalam klinik sudah ada pasien lain di sekitarnya sehingga privasi tentu saja kurang terjaga. Tapi memang beginilah kenyataan keterbatasan RS-RS daerah yang tentu dimaklumi pasien.

***

Dokter onkologis saya langsung mengerti tujuan saya tanpa saya perlu berpanjang lebar. Beliau minta saya menjelaskan bahwa tumor saya yang dipermasalahkan sudah ada sejak semula saya diajukan onkologis saya ke peneliti. Kemunculannya ke permukaan dipercepat oleh proses operasi bulan sebelumnya. Saya langsung teringat kata sinshe saya sel kanker memang akan cepat tumbuh tak terkendali jika dilukai dengan cara apa pun terutama dibedah. Dan sewaktu operasi selesai, onkologis saya sudah minta maaf tak sanggup mengangkat semua sel kanker saya disebabkan ukurannya yang masif. Sebagian sel-sel itu terserak di sekitar pembuluh-pembuluh darah yang halus. Jumlahnya dua prosen. Inilah yang sekarang menonjol itu. 

Dengan riwayat seperti ini yang sudah dicatat onkologis saya seusai pembedahan dan sewaktu tumor diketahui telah mulai muncul lagi, semestinya kategori tumor saya bukanlah penyebaran (metastase) karena berada di wilayah sekitar lokasi operasi. Sebab biasanya metastase diistilahkan untuk tumor yang tumbuh di tulang, paru-paru atau hati penderita kanker payudara. Dalam nada yang tenang jernih dokter mengatakan, jika toch dianggap ahli kemoterapi sebagai metastase maka ini boleh saja namun di luar pemahaman dokter bedah. Ah manisnya sore ini. Onkologis saya sudah tidak lagi terkaget-kaget sehingga bisa menguasai diri tanpa emosi yang meledak-ledak seperti di kantornya kemarin dulu sewaktu menelepon pihak koordinator penelitian. Saya menjadi semakin terpesona kepadanya. 

Untuk itu onkologis saya menghendaki saya menanyakan apa tujuan open biopsy (biopsi dengan cara pembedahan) diminta untuk dilakukan? Biopsi ini menyakiti pasien dan makan waktu serta biaya. Meski hasilnya lebih lengkap dari pada needle biopsy (biopsi dengan tusukan jarum untuk mengambil contoh jaringan), tetapi onkologis saya lebih memilih melakukan needle biopsy untuk mendiagnosa pasien. Selama ini hasilnya boleh dikata selalu akurat termasuk pada kasus saya. Biasanya hasil open biopsy sama saja dengan needle biopsy yang dulu dilakukannya untuk mendiagnosa saya.

Jika ahli kemoterapi menjawab open biopsy dimaksudkan untuk menetapkan bisa berlanjut atau digugurkannya kepesertaan saya dalam penelitiannya, maka onkologis saya akan menarik saya kembali dan mencari jalan lain untuk mengemoterapi saya. Tapi jika tujuannya untuk mengetahui profil kanker saya secara cermat, beliau bersedia melakukannya sebab dipandang menguntungkan juga. Dengan open biopsy dapat dilihat bagaimana kadar hormon estrogen pasien. Jika estrogen bersifat positif, maka dokter punya satu obat lagi yang akan menjadi penawar estrogen pengganggu itu.

Penjelasan ini membuka pengetahuan saya tentang kegunaan biopsi. Bahkan tak hanya itu dokter ramah ini menjelaskan juga bahwa tumor saya sebelum dioperasi dulu keadaannya sangat mengerikan. Ukurannya masif tumbuh tak hanya di payudara, melainkan juga di kelenjar getah bening ketiak yang strukturnya diisi banyak pembuluh darah yang halus. Untuk membedahnya dokter bedah harus bekerja secara cermat dibantu tim ahli. Sebab, jika sampai terjadi salah potong pembuluh darah, ternyata lengan pasien menjadi korban harus diamputasi. Dokter menegaskannya kepada saya untuk mengoreksi pengertian kami yang keliru selama ini. Sebab dalam benak kami bukan saya akan terkorban jadi buntung, melainkan saya kehabisan darah dan terancam mati. "Oh....., gitu ya mas?" Sambut saya spontan dengan mulut menganga dan ekspresi yang saya yakin menunjukkan keluguan saya.

"Iya, itu yang membuat saya kerja keras empat jam sampai keringatan di ruang bedah. Ingat 'kan?!" Sahutnya meyakinkan sambil memandang wajah anak saya yang dulu diajaknya bicara mengenai proses operasi saya. Saya pun langsung teringat cerita anak saya soal keringat dokter dan nafasnya yang terengah-engah begitu menemui anak-anak saya selesai operasi bulan Juni lalu. Anak saya membenarkan. Agaknya pengalaman itu memang tak akan pernah hilang dari laci ingatannya. Yaitu bahwasannya saya telah diperjuangkan oleh dokter yang pekerja keras demi untuk membuang sel jahat yang busuk di tubuh saya. "Ya mas dokter, saya tahu itu. Saya amat bersyukur anda melakukannya untuk saya. Ini yang membuat saya berhutang budi sekali pada anda sekeluarga. Hutang budi yang tak mungkin terbalaskan," sahut saya setuju. Tahulah sendiri sudahlah operasi saya memerlukan kerja keras, jasa beliau pun tak dibayar karena saya tidak dapat memanfaatkan fasilitas Jamkesda untuk pengobatan saya di kantornya yang berbeda propinsi. Maka beliau benar-benar menihilkan ongkos operasi berat itu. Persis seperti pesan guru sekolah kami yang terus digaung-gaungkan setiap kami berkesempatan berkumpul yakni hendaknya para alumnus saling tolong-menolong yang mampu membantu yang kesulitan tanpa memandang perbedaan angkatan.

Beliau kemudian berterus terang bahwa sesungguhnya beliau tak sanggup menangani saya seorang diri. Tumor saya sudah sangat besar membahayakan. Dia tak bisa dioperasi karena tumbuh di pembuluh darah. Pengobatannya harus dengan kemoterapi bahkan mungkin juga perlu diradiasi oleh para dokter ahli masing-masing. Jadi karena di Bogor tak ada mereka, jika besok saya diputus dari penelitian, maka saya harus kembali ke dokter ahli kemoterapi yang pertama-tama dimintai tolong menangani saya di RSKD. Dokter perempuan ini tidak meneliti jadi obatnya harus saya beli sendiri. Obat-obat kemoterapi second line ini menurut beliau dulu berharga tujuh juta Rupiah setiap dosisnya. Saya bisa membelinya dengan harga di bawah harga pasaran di Yayasan Kanker Indonesia Pusat. Waktu yang ditetapkan sebagai deadline adalah minggu ini. 

Bingung saya memikirkan kemungkinan ini. Apalagi dokter menekankan bahwa kami berlomba dengan waktu. Ya Allah, mengerikan sekali. Lagi-lagi saya seakan-akan dipurukkan ke lorong gelap. Sebab mencari dana sebesar itu setiap bulan ditambah ongkos-ongkos pemeriksaan kesehatan tak mudah bagi saya. Kami anak-beranak pengangguran semua yang selama ini dihidupi dari belas kasihan pihak-pihak tertentu.

Seperti bisa membaca pikiran saya onkologis simpatik nan terkenal cerdas di kalangan teman-teman sekolahnya dulu bilang, beliau mengerti hambatan finansial kami namun tak ada pilihan lagi. Maka saya terpaksa menjanjikan akan segera mencari dana walau artinya harus berutang dulu. "Ya, begitu saja deh, soalnya ini menyangkut nyawa," dokter saya seperti senang saya berani mengambil utang-piutang. "Baru kalau tak dapat, saya beranikan diri nekad mengemo ibu di sini dengan dana Jamkesda. Walau ini resikonya sangat besar," lanjutnya lagi memutuskan dengan rencana yang fantastis. Di dalam hati saya berkata sendiri, kasus saya akan saya niatkan untuk memfasilitasi beliau melatih kemampuan dan keterampilannya sekedar sebagai tanda terima kasih dan sayang saya yang telah dibantu dan diperjuangkan untuk hidup mati-matian. Saya meneguk liur saya sendiri mencoba membasahi kerongkongan saya yang tiba-tiba terasa kering. Tak lama dari itu saya berpamitan pulang diiringkan para perawat yang selalu mengamat-amati kasus saya dari dekat.

Sambil melangkah ke luar klinik saya berpamitan kepada bu Rustini yang mendapat giliran setelah saya meski sudah menunggu di mushala RS sejak pagi karena rumahnya yang jauh di perbatasan Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Tangerang Selatan. Mendadak seorang perempuan berumur sebaya kemenakan perempuan saya menghadang saya di muka pintu klinik. "Maaf, assalamu'alaikum, ibu blogger bu Julie Utami pemilik blog ini ya?" Serunya tak terduga sambil menyorongkan gadget di tangannya yang memuat laman blog saya.

Saya terpaksa berhenti untuk meladeninya sambil tercengang-cengang kaget. "Oh ya, itu blog saya. Maaf ada apa?" Jawab saya. "Saya Rahmi bu dosen di IPB dan UIN, fans blog ibu. Setiap hari pasti saya datangi bersama teman-teman komunitas saya karena teredukasi oleh ibu," katanya lagi santun.

Kemudian dia menjelaskan bahwa gaya penulisan saya yang sistematis dan lengkap memikat hatinya. Dalam penilaiannya gaya penuturan saya luwes untuk diikuti membuatnya ketagihan membaca blog saya setiap hari meski tidak jadi follower saya. Semula dia yang juga pasien di sini memasukkan kata kunci "kanker payudara" ke mesin pencari Google. Hasilnya banyak, dan dia memilih membuka blog saya yang tidak ditulis sebagai artikel ilmiah. Suatu hari dia menyadari bahwa saya berobat pada onkologisnya. Maka dia menanyakan kepada dokter kami apakah merasa memiliki pasien penulis blog. Banyak tulisan di blog yang dibacanya menyangkut kanker payudara, mencakup proses pengobatan dan hambatan-hambatan dana untuk menjangkaunya. Tentu saja jawaban dokter kami "tidak tahu". Sampai sewaktu saya baru tiba dia mendengar obrolan saya dengan bu Rus dan bu Ani. Lalu dia berinisiatif untuk menanyai para perawat mengenai identitas saya sambil menunjukkan blog saya. "Oh ya, itu pasiennya yang sedang konsultasi," jawab mereka serempak melegakan hatinya.

Malam baru menjelang tapi rasanya saya sudah menemukan kembali secercah sinar dari mata perempuan itu yang nampak berbinar-binar bahagia. Hidup itu pada diri saya selalu penuh warna. Oh-la-la indah dan gundah adalah teman setia yang selalu meramaikan perjalanan hidup saya. Akankah besok saya gundah lagi karena saya diputus dari kepesertaan penelitian? Semoga hasilnya kelak adalah kemoterapi yang rutin terjadwal karena Allah kembali memberikan jalan menggapai kesembuhan kepada saya. Maka jika saya berhasil mengenyahkan kanker itu seperti saya berhasil menjaga stamina saya, kesembuhan itu akan saya persembahkan sebagai kebanggaan bagi onkologis saya dan anak-anak saya yang berjuang keras bahu-membahu merawat saya. Semogalah terkabul karena Tuhan!

(Bersambung)

4 komentar:

  1. Kangen, Bunda Julie....

    Bunda, itu boneka sekaligus menggambarkan sehebat apa seorang ibu bernama Julie sehingga dalam sakitnya pun Tuhan membuatnya memeluk seekor monyet - walau hanya boneka.

    Semangat ya, Bunda... Aku jarang nengok blog-nya tapi be sure I pray for you from a distance....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kangen juga sama jeng Rike dan kucingnya :-)

      Saya nggak hebat ah, cuma mencoba tetap tegar gitu lho. Terima kasih doanya. Doa yang indah-indah juga untuk jeng Rike.

      Hapus
  2. Balasan
    1. Assalamu'alaikum mbak Laras! Hallo! Apa kabar? Di mana rumah barunya sekarang? Salam kangen........

      Hapus

Pita Pink