Powered By Blogger

Kamis, 10 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (118)

Benar adanya bahwa saya termasuk manusia yang sangat beruntung sebab ditangani oleh tim medis yang penuh dedikasi, empati dan kasih sayang. Demi Allah, dokter onkologi saya kemarin melakukannya untuk saya tanpa pamrih. Beliau yang amat kecewa mendapati saya diancam dikeluarkan dari program penelitian yang dilaksanakan senior beliau di kantornya karena masalah ketidak tegasan sikap dan kekurang cermatan pihak tim medis, terbangkit emosinya begitu hebat. Beliau menegur keras pihak koordinator penelitian melalui telepon dari klinik RS tempatnya berkantor menangani saya.

Muka beliau yang selamanya selalu cerah menyiratkan keramah-tamahan kali itu berubah keruh sambil membuka-buka Rekam Medis (RM) saya sewaktu saya tiba  di hadapan beliau. "Waalaikumussalam bu. Terima kasih," balasnya menyambut sapaan saya seperti biasa. "Ada apa sih ini kok tiba-tiba mereka minta biopsi lagi? Open biopsy pula?" Ujar dokter bedah onkologi saya dalam nada tak mengerti seraya mencermati tulisan di lembar RM saya lalu memandangi saya sebelum saya sempat bicara apa pun mengungkapkan niat kedatangan saya. Betul, saya menghadap beliau untuk minta dibiopsi lagi atas permintaan dokter ahli kemoterapi yang menangani saya pasca pembedahan.

Jika kita berobat di RS Kanker administrasi pengobatannya jelas berbeda dari di RS Umum. Di RS khusus begini bagi setiap pasien yang akan dikemoterapi atau diradiasi, disediakan sejumlah dokter khusus ahli kemoterapi juga khusus ahli radiasi. Sehingga dokter bedah onkologi tidak harus menangani semuanya sendiri seperti dokter-dokter di RSU yang tidak begitu besar. Untuk itulah onkologis saya merujuk saya ke dokter ahli kemoterapi yang kebetulan diketahuinya sedang melaksanakan penelitian obat yang sesuai untuk mengobati kasus saya. Obat yang ditelitikan itu berasal dari pabrik besar yang sudah sangat terkenal, tapi akan menetapkan metoda baru untuk cara pemakaiannya.

Seperti yang sudah saya ceritakan dulu, banyak pasien berebut mendapatkannya. Karena itu dilakukan penyaringan yang sangat ketat dan selektif. Penilaiannya terutama selain menyangkut kondisi fisik pasien yang fit, tumor yang akan diobati tidak menyebar ke organ tubuh mana pun. Semua ini dibuktikan dengan serangkaian pemeriksaan penunjang menggunakan mesin-mesin yang canggih ditambah pemeriksaan uji laboratorium lengkap serta test fungsi jantung. Soalnya kemoterapi merupakan pengobatan yang berat disebabkan sifatnya menyerang sel-sel manusia di dalam tubuhnya termasuk sel-sel yang sehat.

Saya telah berhasil mendapatkannya lewat serangkaian perjuangan keras plus adu argumentasi yang pantas. Banyak orang yang berbahagia atas peruntungan saya itu. Saya pun tak lupa bersujud ke hadiratNya. Sebab tanpa campur tangan dan kuasa Allah tak akan semua jalan menuju kesembuhan saya terwujud. Itulah sebabnya onkologis saya kini amat kecewa.

Dalam teleponnya beliau menanyakan alasan yang menggugurkan kesempatan saya. Setelah mendengarkan jawabnya dari anggota tim penelitian yang menjadi contact person untuk saya, mulailah dokter saya menyatakan kekecewaannya. Sebab, alasan mereka mengenai tumor saya terkesan mengada-ada. Sejak semula saya diusulkan onkologis saya untuk diteliti, tumor itu sudah ada sehingga ini menjadi alasan kuat untuk menunjang penelitian itu. Tumor yang mencuat setelah tak bisa diangkat dengan pisau bedah pada waktu operasi pengangkatan payudara dan kelenjar getah bening ketiak saya dulu, letaknya memang di tempat yang rawan. Di pembuluh darah di area tulang selangka (supra clavicula). Karenanya hendak dicobakan lewat obat kemoterapi yang diklaim super keras. Waktu itu peneliti sudah diberi tahu lewat catatan yang ditulis onkologis di RM saya. Tak ada komentar apa pun, sehingga bisa diartikan keadaan ini bisa diterima. Tapi kini secara tiba-tiba hanya dua hari sebelum jadwal kemoterapi saya yang kedua, mereka mempersoalkannya sehingga kemoterapi saya dihentikan dulu.

Saya sendiri memang merasa sedih dan terpukul. Apalagi saat itu dokter saya baru bertolak ke luar negeri untuk sebuah tugas sehingga saya harus dibiopsi dokter lain yang dilimpahi sebagai dokter jaga tapi sama sekali tak mengerti kasus saya. Tentu saja saya tak memenuhinya demi alasan akurasi kasus. Benar saja langkah ini, dokter onkologi saya pun sependapat dengan saya. Dan ternyata onkologis saya justru lebih sedih dibandingkan saya.

Suaranya bergetar di telepon menahan marah campur kecewa. Beliau bilang sebetulnya kami tidak memaksa diikutkan seandainya persyaratan kondisi pasien dijalankan sesuai persetujuan semula. Nyatanya peraturan itu kini agak dibelokkan sehingga saya harus dibiopsi ulang dengan cara pembedahan. Nah, biopsi model begini tak pernah disukai onkologis saya dikarenakan pasien harus dilukai dengan sayatan dan menginap di RS. Beliau selalu melakukan biopsi jarum yang sederhana, mudah dan terutama murah namun hasilnya akurat seperti yang sudah terjadi dulu. Pasien tidak kesakitan di tengah-tengah sakit yang sedang dideritanya, juga tak perlu ke kamar bedah. Biopsi jarum cukup dilakukan di klinik onkologi saja.

Lama juga beliau berdebat. Selama itu pula lawan bicaranya menjawab balik tanpa jeda. Kedengaran dokter saya menyatakan bahwa pembuat diagnosa pasien secara resmi adalah dokter bedah sebagai dokter utama pasien, bukan pihak-pihak lain. Entah apa yang mengakibatkan beliau menekankan itu. Tapi yang jelas beliau tidak keliru karena sejak semula saya hanya ditanganinya tanpa campur tangan pihak lain. Apalagi saya sempat berobat padanya di RSU kecil di kampung halaman sehingga mau tidak mau beliau bekerja secara mandiri. Hanya bantuan ahli bedah pathologi di RS Kanker sajalah yang pernah dimintai tolong untuk memeriksa sifat-sifat sel tumor saya karena peralatan yang diperlukan tak lengkap di daerah kami.

Lalu lagi-lagi beliau menekankan bahwa tak ada yang disembunyikan pada kondisi saya, bisa dilihat sendiri di RM saya pada halaman bertanggal sekian-sekian-sekian. Kesungguhan beliau memperjuangkan keikutsertaan saya dalam penelitian itu disalurkannya lewat emosi yang dalam. Terngiang-ngiang di telinga saya katanya bahwa lawan bicaranya harus mengingat andaikata nasib begini dialami oleh ibundanya sendiri. Bagaimana sedihnya menyaksikan ibunda sendiri sangat kesakitan dan putus harapan? Jangan pernah memberikan harapan kalau hanya setengah hati. Beliau bilang, jika dari semula saya ditolak beliau akan mencoba sanggup mengemoterapi saya secara mandiri di kampung halaman. Meski kelihatan mustahil tapi saya memang pernah ditanganinya secara mandiri di kampung dulu. Kedengarannya beliau menahan tangis waktu kata-kata menyentuh perasaan saya yang tak terduga itu keluar dari mulutnya. Matanya dialihkan menjauhi saya dan anak saya lalu mengedip-ngedip. Entah bagaimana gejolak perasaannya, tak ada yang tahu. Baru sekali ini saya melihat lelaki menangis dalam diam! Akhirnya perdebatan diakhiri juga dengan ucapan terima kasih onkologis saya dan bantingan tangkai telepon yang dikembalikan ke tempatnya.

Saya dan anak saya berpandang-pandangan selagi onkologis saya tercenung sejenak. Perawat yang mengasisteninya berdiri terpaku di sisi meja tanpa bisa berkata-kata. Tak juga mendapat tugas apa pun. "Ibu," ujarnya kemudian setelah menata hatinya. "Jangan mau dibiposi ulang, apalagi open biopsy. Hasilnya pasti sama dengan yang dulu kita lakukan. Saya nggak mau ibu semakin sakit didedel-dedel," tegasnya kepada saya sambil menyisipkan kata-kata berbahasa daerah nenek moyang kami meski kami terlahir di tanah Pasundan. "Sudahlah sedang kesakitan, harus disakiti lagi. Kita tunggu keputusan mereka segera. Kalau dililuskan tapi minta syarat biopsi, kita lakukan needle biopsy lagi. Saya nggak suka cara mereka yang begini. Kalau mau ditolak karena ada tumor, tolak dari semula. Tidak usah minta-minta sama mereka, kita juga akan sanggup sendiri, seperti kemoterapi yang dulu," tegasnya.

Lalu beliau menyobek sehelai formulir dan menuliskan resep pembelian jarum biopsi untuk berjaga-jaga sambil merancang apa yang akan kami lakukan. Menurut beliau, kemoterapi saya tetap harus berjalan minggu depan setelah tertunda oleh kasus ini. Saya akan dipegang dokter lain kolega ahli kemoterapi yang kini menangani penelitian, dengan dana yang akan kami upayakan bersama-sama. Sebab katanya kasus saya tergolong sangat berat sehingga tak mungkin ditangani di kampung halaman. Diingatkannya selalu ada jalan bagi kesembuhan saya, sepanjang pengamatannya selama ini. Benarkah demikian? Tak mungkin saya menjawabnya sebab semua yang ada tergantung kepada Kasih Sayang dan Kuasa Allah Swt semata. Saya benar-benar yaqqin akan ini.

(Bersambung)


4 komentar:

  1. Deneng bund?..waduh semoga cuma kesalahan yang gak perlu bund.....tetep semangat lah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kuwe lah kenyataane. Kaya dinggo dolanan koh. Apa maning jare akeh sing nyrondol-nyrondol arep nggagalna nyonge mewn deweke sing ulih. Para dokter pada rebutan ulih jatah nglebokna pasiene koh.

      ya bener urip lan berjuang kudu nganggo semangat.

      Hapus
  2. yang kuat ya bun... Alloh pasti selalu bersama bunda.

    pelukk... :*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Allah nak Rin. Saya coba ya, lha wong saya ya cuma manusia biasa yang lemah serba terbatas. BTW gimana sakit yang di kelenjar getah bening nak Rin, udah sembuhkah?

      Hapus

Pita Pink