Powered By Blogger

Senin, 14 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (121)

Ngilu di engsel tulang paha saya semakin menjadi-jadi akhir-akhir ini. Sehingga saya agak terpincang-pincang sewaktu melangkahkan kaki. Tapi terus terang saja, saya tidak mau menggunakan kursi roda untuk mobilitas saya di RS yang luas. Sebab saya merasa masih bisa berjalan sendiri meski kini tak lagi semanis jalannya para peragawati di panggung peragaan.

Penyakit kanker ini benar-benar menyiksa. Sama menyiksanya dengan pengobatan yang seharusnya saya peroleh untuk membasminya. Sebab soal pengobatan itu, kemarin malam saya mendapat berita dari koordinator penelitian obat bahwa dokter ahli kemoterapi sang peneliti utama masih berada di luar kota untuk urusan keluarga yang tak terduga. Jadi hari ini kliniknya akan tutup sehingga saya tak bisa menghadap untuk mendapatkan kejelasan dari kelangsungan pengobatan gratis saya. 

Ketika mendapati jalanan lengang begitu berangkat, saya langsung sadar bahwa hari ini orang-orang berlibur panjang. Sebagian pasti pulang mudik. Maka mobil yang dikemudikan pak Jamil mencapai Jakarta dalam waktu tempuh yang relatif lebih singkat dibandingkan biasanya. Tapi jangan salah, halaman RS tetap saja padat dengan deretan kendaraan bermotor.

Kami mendapat nomor pendaftaran yang relatif kecil. Sambil menunggu giliran yang sebetulnya singkat saya melihat bu Ani guru SMP sesama pasien onkologis saya dengan suami dan putrinya yang konon juga pasien. "Selamat pagi bu Ani," sapa saya mendekatimya. Tak menyangka bertemu saya di situ beliau agak sedikit terkejut. Seraya menoleh beliau membalas sapaan saya. "Berangkat jam berapa bu?" Tanyanya. "Jam enam, tapi hari ini enak, perjalanan lancar," terang saya. Kami kemudian terlibat obrolan seputar pendaftaran pasien rawat inap karena ini adalah kali pertama keluarga beliau akan menempuh perawatan di sini. Tak lama kemudian kami berpisahan karena nomor kami masing-masing telah dipanggil petugas. Lalu saya ke Instalasi Rehabilitasi Medik untuk menjalani fisioterapi sambil mendengarkan laporan anak saya bahwa onkologis saya libur setengah hari.

Suasana lengang itu memang terasa di mana-mana termasuk di tempat yang saya tuju. Ternyata meski para tenaga medis ada yang nampak, tetapi pelayanan ditutup karena diliburkan. Terpaksa saya menganga dan meringis menahan pegal nyeri di lengan saya yang sakit sambil menggerutu di dalam hati. Batin saya, setiap akhir pekan panjang pasti berakibat pelayanan umum ada yang tak normal. Akhirnya kami memutuskan turun ke lantai bawah tanah untuk menyusul keluarga bu Ani supaya bisa menemui dokter onkologis kami. Daripada sia-sia, itu tentu jauh lebih baik.

Beliau pun nampak cuma bertiga di selasar ruang tunggu pasien onkologis meski pelayanan tetap normal terbukti dari lalu lalangnya para perawat berbaju hijau muda yang menawan. Agaknya liburan panjang meliburkan keinginan pasien-pasien berobat. "Bu, maaf, nanti kalau giliran putri ibu masuk saya ndompleng semenit-dua menit ya, cuma mau minta surat rujukan kok. Dokter kita libur setengah hari, soalnya......," pinta saya memberanikan diri kepada kenalan baru ini. "Oh silahkan, nggak apa-apa kok," jawabnya setuju sambil tersenyum manis melegakan hati saya. "Terima kasih ya," balas saya seraya masuk ke ruang kerja para perawat. Kata sang perawat dokter belum datang, tapi dia heran tak mendapati nama saya di daftar pasien. "Ibu belum daftar ya?" Tanyanya. "Enggak, saya cuma minta izin bicara semenit aja, soalnya jadwal di UDT 'kan diliburkan ya bu?" Jawab saya separuh merayu minta izin. "Oh iya sudah, silahkan ditunggu ya, belum datang kok," katanya melegakan sambil melirik jam di dekatnya. Baru sekitar jam delapan pagi rupanya.


Ternyata beliau baru datang sejam kemudian, dan klinik paliatif gelap seperti libur. Saya langsung teringat bahwa dokter Maria Kepala Instalasinya sedang berkongres di Thailand dan baru akan pulang hari ini. Begitu dulu dia berpamitan meninggalkan saya, supaya saya bersabar menunggunya untuk melaporkan perkembangan pengobatan saya agar kalau Ibu Ketua DWP menanyainya beliau bisa menjawab. Maklum beliau ditugasi teman-teman untuk mengawasi pengobatan saya yang digagas oleh teman-teman anggota DWP Kemenlu.


Entah lewat mana dokter kami datang, tahu-tahu beliau sudah keluar dari ruang kerja perawat. "Dok, dicari bu Julie," bisik perawat yang mengasisteninya membuat beliau agak terkejut, "Eh, selamat pagi, gimana?" Ujarnya kepada saya. Langkah kakinya dihentikannya meski perawat terus melaju ke klinik seraya menpersilahkan putri bu Ani masuk. "Pagi dok, laporan ya. Dokter Nu masih di luar kota, akhirnya beliau benar-benar dalam suasana duka cita, saya milih ke dokter Noor sekarang ya?" Kata saya langsung ke pokok sasaran. 


"Oh, gitu ya? Oke deh, nggak usah bertele-tele silahkan. Secepatnya lebih baik, atur kemungkinan yang terbaik ya, konsultasikan dengan dokter Noor sebaiknya bagaimana," kata onkologis saya menyenangkan. Giginya yang rapi nampak mengilap. "Perlu bawa surat rujukan ya dok?" Tanya saya lagi. 


"Alah nggak, dokter Noor tahu persis kok, semua lengkap tertulis di status. Saya juga sudah sempat diskusikan masalah kita, silahkan ya," jawabnya ringan. "Nanti kabari saya lagi," pesannya seraya berlalu ke klinik. Saya pun mengangguk mengucapkan terima kasih dan doa selamat bekerja semoga beliau penuh berkah.


Dokter Noor ahli kemoterapi yang dimaksudkannya memang dokter yang pertama dituju merujuk kasus saya sebelum beralih ke tangan peneliti. Saya tahu beliau pun amat memahami segala kesulitan kami, karena dokter Maria berkawan akrab dengan perempuan Jawa asli Malang yang keibuan ini. Beberapa waktu sebelumnya saya sudah bertemu beliau di selasar itu dan menyampaikan keinginan saya untuk berkonsultasi di lantai atas setelah beliau selesai di situ. Dengan lemah-lembut bu dokter mempersilahkan tanpa syarat. Artinya insya Allah kemoterapi saya pasti akan ditanganinya secara pribadi. Ya sudah daripada saya lekas mati, lebih baik saya bergerak mencari dana pribadi untuk pelaksanaan kemoterapi pada beliau, begitu pikir saya meski belum tahu akan berutang kepada siapa. Terus terang saja kami tak punya jaminan apa-apa saat ini. Semua harta kami sudah lama habis untuk membunuh sel-sel jahat di tubuh saya ini meski saya tak jadi kering kerontang. Sebab jika melihat fisik saya tak bakalan ada orang percaya saya pasien stadium akhir kanker. Padahal rahim, indung telur bahkan usus halus saya sudah pernah "dikorbankan" di hari-hari raya Idul Qurban dalam kurun waktu sewindu terakhir hidup saya. Semua tanpa hasil selain menyedot keuangan kami belaka.

Tiba-tiba saya teringat suatu episode di negara bermusim empat ketika saya dan sejumlah kecil rombongan anggota DWP mengadakan widya wisata ke negeri orang. Kebetulan di tempat penugasan mantan suami saya waktu itu banyak anggota yang suaminya bukan diplomat karier. Mereka ini hanya sesekali bertugas di luar negeri, itu pun tak selalu di negeri bermusim empat. Itu sebabnya kami menggalakkan program menabung yang hasilnya kami gunakan untuk berkunjung ke perwakilan lain sebagai sarana penambah wawasan. Kami keluar masuk museum dan tempat-tempat bersejarah yang selama ini hanya kami lihat gambarnya di media-media cetak saja. Hasilnya tentu saja positif. Pengetahuan mereka bertambah dan wawasan pun semakin maju. 

Saat itu saya kebetulan menjadi Ketua DWP atas penunjukkan istri atasan suami kami. Dengan demikian meski fisik saya amat lemah, tak mungkin saya menolak melaksanakan program ini atau mengalihkan tanggung jawabnya. Sebab korps Pejambon 6 nyaris tak ada bedanya dengan korps Tidar Magelang. Baik kepangkatan pegawai yang berjenjang maupun disiplin yang ketat, kami miliki juga. Saya pun akhirnya pergi dengan beban bawaan  yang amat minim agar saya masih sanggup mengangkat kopor saya sendiri. Tak akan pernah sempat orang lain mengurusi barang-barang orang lain dalam situasi yang sedemikian padatnya.

Nyaris seminggu kami menginjakkan kaki di 3 negara Eropa. Pada hari pertama, kedua dan ketiga, saya masih sanggup berdiri. Tapi jangan ditanya, di hari keempat saya tumbang tak mampu bangkit membuka mata. Jadi hari itu tuan rumah terpaksa mengantarkan saya kembali ke hotel untuk beristirahat sendirian. Hingga larut malam saya benar-benar serupa centeng penjaga bangunan kosong dengan kekuatan yang minim untuk menghalau segala gangguan. Meski sedih tapi itulah kenyataanya bahwa tubuh saya tak lagi pernah perkasa. Padahal saat itu, umur saya belum lagi setengah abad. Selanjutnya di atas langit yang membentang menaungi kedua benua saya cuma bisa duduk dalam diam menanti matahari tropis menghangatkan tubuh saya kembali lalu dokter-dokter dan perawat itu memasangkan selang infus ke tangan saya segera setelah pesawat jarak jauh itu mendarat.

"Bu, makan dulu sih," usik anak saya membuyarkan lamunan itu. Di hadapan saya sepotong tahu isi dan dua arem-arem sayur teronggok belum tersentuh. Sedangkan anak-anak saya sudah mulai menggigiti roti-roti mereka. Kantin RS memang sudah mulai sepi dari kegiatan sarapan. Yang duduk-duduk kelihatan merebahkan kepala mereka di meja seakan-akan mengistirahatkannya dari beban berat menghadapi keluarga mereka yang sakit. 

Saya mencoba tersenyum lalu mulai menyuapkan potongan kecil nasi berbalut daun itu. Sementara itu di sisi kiri kami seorang lelaki tua tiba-tiba terkulai di kursinya membuat istri dan orang-orang di sekitarnya panik. "Tuh, kalau malas makan gitu tuh," mungkin itu yang digumamkan anak saya sehingga saya pun mengikuti keinginan mereka menghabiskan porsi sangat kecil makanan saya sambil menunggu jam praktek dr. Noor. Kedengarannya si pasien yang terkulai sulit menemui dokternya karena dokter belum nampak di RS. Duh kasihan sekali, batin saya terbayang seandainya saya menjadi seperti dirinya.

Akhirnya kami putuskan masuk ke klinik meski petugas pendaftaran belum memanggil nama saya. Saya yakin tak akan diusir satpam karena perempuan yang pernah saya juluki singa betina itu sudah hafal kepada saya yang nongol tiap dua hari sekali di RS. 

Betul saja, kursi tunggu di selasar tidak penuh orang. Sehingga kami bisa duduk santai sesuka hati di mana kami mau. Kata zuster Helen dan Theresia dr. Noor belum kelihatan, jadi saya belum  terlambat. Saya dipersilahkan naik ke timbangan dan mengukur tensi yang ternyata mulai meninggi lagi. Ya ampun, keluh saya, setiap mengalami persoalan tekanan darah saya langsung naik mencuatkan kecemasan saya. Sekali lagi zuster mengukur tensi saya untuk mendapati kebenarannya lewat mesin manual. Sebab saya memang agak kurang percaya terhadap mesin digital sih. Hasilnya memang sama, tensi saya di atas normal.

Pasien-pasien di klinik-klinik lain sudah banyak yang masuk berganti-ganti menimbulkan tanda tanya pada kami semua. Apakah kami bisa diperiksa dr. Noor mengingat secara resmi RS libur setengah hari.

Saya sampai terkantuk-kantuk sambil menahan nyeri yang diakibatkan tumor saya. Saya rebahkan kepala saya di bahu anak saya yang asyik membaca koran di samping saya untuk pengisi waktunya. Cukup lama rasanya waktu saya terjaga kembali. Pasien dokter-dokter lainnya sudah tinggal sedikit, tapi dr. Noor konon belum juga tiba. Tapi saya yakin beliau buka praktek sebab tadi tak menolak saya. Sangat boleh jadi beliau mampir dulu di ruang rawat singkat untuk mengawasi pasiennya yang sedang dikemoterapi. Siapa tahu ada kegawat daruratan di sana sepeti kadang-kadang saya jumpai di tempat kemoterapi saya. Konon kata anak-anak saya, mulut saya mulai merintih-rintih. Ah ya, tak terasa memang, namun mereka pasti tak berdusta sebab nyeri kanker saya tak terkatakan lagi. Itulah sebabnya mengapa kemoterapi saya mesti disegerakan. 

Sejurus kemudian dokter datang lalu praktek dimulai. Pasien pertamanya di sini tak hadir, cuma diwakili oleh suaminya entah mengapa. Berikutnya seorang nenek yang tubuhnya sudah menyusut kering meski belum sepayah kondisi kakak saya di rumah penderita kanker stadium II.

Saya masuk sebagai pasien ketiga diantarkan anak-anak saya yang membuka percakapan soal rencana kemoterapi saya sekarang. Saya katakan nampaknya saya akan dikeluarkan dari penelitian, lalu disuruh onkologis saya untuk menghadap beliau kembali minta tolong ditangani. "Sebab pengertian onkologis saya sama dengan saya, tumor yang di supra clavicula bukan tumbuhan baru karena sudah ada sejak sebelum saya diserahkan ke hadapan peneliti dok. Ada catatannya di status tanggal 13 Juli. Itu yang tak mungkin dibuang dengan sayatan scalpel sehingga perlu ganti obat kemo dok," saya menerangkan kasus saya yang segera disikapi beliau dengan membuka-buka dan membaca detail catatan di Rekam Medis saya. Beliau secara cepat menemukannya serta memahami isinya. Kelihatan beliau mengangguk-angguk seraya tersenyum tenang sekali. Rasanya tak nampak kemarahan atau kekecewaannya kepada kami. "Pengertian onkologis saya sejalan dengan saya, sepanjang tak ada tumbuhan tumor di paru-paru, hati atau tulang, artinya tumor saya tidak bermetastase, begitu.... meski mungkin kami keliru. Jadi kami mohon dokter berkenan mengambil saya kembali untuk menangani sedapat-dapatnya sesuai kemampuan kami," tutur saya mengakhiri masalah ini.

Ibu yang sederhana namun nampak cerdas ini menyetujui. "Monggo, ya kita atur pembelian obatnya. Beli sendiri 'kan ya? Bisa lebih murah langsung di pabriknya," kata beliau seraya mengambil kertas resep. Ditoreh-torehkannya nama obat-obat itu beserta perkiraan dosisnya. "Berapa berat badan panjenengan bu?" Telitinya. "Enam lima," jawab saya agak lambat sebab entah mengapa tiba-tiba otak saya seperti beku. Menyebalkan sekali.

Dokter ini tak perlu bantuan siapa pun untuk menghitung dosis yang tepat bagi saya. Saya teringat ketika akan diberi resep penelitian dulu, dibutuhkan asisten dokter untuk menghitungkan dosis yang tepat. Aha! Ada bedanya juga rupanya. Kemudian dokter mempersilahkan saya naik ke meja pemeriksaan. Di saat itu beliau terkejut mendapati tumbuhnya tumor yang sangat cepat. "Wah, iya nih, dokter bedahnya tepat, ini kasus kemoterapi yang tidak boleh ditunda," begitu kira-kira gumaman beliau.

"Wis nak sini, catat nomor telepon pegawai pabrik obat ini....., eh, ayo mana HP mu, buruan," kata beliau gelisah ketika selesai memeriksa saya. "Sudah budhe, ya, siap," jawab anak saya ditegaskan ulang perawat yang mendampingi. Lalu serangkaian nomor meluncur memberi informasi sangat berguna bagi kami. Dalam pada itu si bungsu mengemukakan gagasan bahwasannya jika kami tak berhasil memperoleh pinjaman uang, maka kami minta izin untuk dikemoterapi di Bogor sesuai resep beliau supaya bisa meminta bantuan Jamkesda. Selanjutnya kontrol-kontrol rutin akan dilakukan pada beliau. Onkologis kami sudah menyatakan kesediaannya jika kelak terpaksa. "Oh monggo..... monggo, boleh sekali begitu. Saya akan bekerjasama dengan dokter Bayu," kata dokter Noor melegakan sambil lagi-lagi tak lupa menebar senyum. Ah, di dunia ini ternyata selalu ada orang yang baik kepada kami.

"Cepat ya nak hubungi orang ini dan bantu Mama mengatasi sakitnya," tegas dr. Noor lagi. Kami benar-benar berlomba dengan waktu agaknya. Beliau menyaratkan kemoterapi bisa berlangsung dalam minggu ini juga selambat-lambatnya awal pekan depan. Terpikir kini apa sebab onkologis kami menganggap kasus saya perlu disegerakan. Lagi-lagi beliau sudah menimbang-nimbang dengan cermat. Saya pun angkat topi untuk staf muda yang berperforma unggulan itu.

Si sulung segera menelepon onkologis saya supaya beliau bisa berbicara langsung dengan dr. Noor tapi ya tentu saja tak dijawab sebab beliau termasuk seseorang yang sibuk. Kemudian sambil melangkah meninggalkan klinik anak saya mengirimkan SMS. Rincian penatalaksanaan pengobatan dijabarkan untuk dipahami onkologis saya. Tak berselang lama sambil menyantap makan siang seadanya di kantin RS yang sudah mulai kosong jawaban diterima. "Ya oke, siap laksanakan ya. Kita ketemu di RSKB Rabu atau Sabtu, segera," perintah dan persetujuannya menyenangkan sekali. Saya pun tersenyum geli mengingat canda diri sendiri ketika para tetangga mengingatkan orang tua beliau adalah pribadi yang saleh dan budiman yang kerap menolong orang serta menyantuni anak yatim-piatu hingga sekarang. Waktu itu saya sahuti, "mas Bayu juga lho, menolong dan menyantuni saya yang yatim-piatu hihihihi......" Gema tawa para tetangga kini mengiang-ngiang.lagi di telinga. "Itu makanya sampaikan terima kasih saya bu Julie sudah diambil jadi pasiennya," sahut bu Ati yang pernah duduk sekelas dengan salah seorang kakak saya waktu remaja dulu. Beliau memang berkawan akrab dengan dokter onkologis saya sekeluarga besarnya meski kami berlainan Rukun Warga.

Hari ini saya memperoleh sedikit penyelesaian masalah, meski belum tuntas. Jadi persoalannya seandainya sebagian obat tak bisa dibeli dengan dana Jamkesda, berapa besar kami harus berhutang. Kepada siapa pula? 

Gelap membayang-bayangi otak kami, sehingga di perjalanan pulang si bungsu langsung menelepon pihak pabrik obat. Pembicaraan intens segera tercapai. Setelah lebih dari lima menit dia bisa langsung memberitahu abangnya. Harga obat yang keras dan mahal itu, dua puluh juta kurang sekian puluh ribu saja. Sedang dua lainnya bukan produk mereka. Tapi dia mengerti kisaran harganya per mililiter. Jadi jika dikalkulasikan menurut kebutuhan saya, kira-kira seharga tujuh juta lebih. Sungguh kedua-duanya bukan jumlah yang ringan. Getir benar untuk mengucapkannya di lidah. Meski begitu tak ada jalan lain. Saya mesti berembuk dengan sanak-saudara saya akan kemungkinan meminjam uang-uang itu setiap bulan selama satu tahun ini. Ya Tuhan, berat benar cobaan saya, Bolehkah saya menawar minta diringankan lagi?! Tanda tanya itu mengawang-awang lari melintasi seluruh sudut pikiran saya. Hidup dengan kanker betul-betul menyakitkan!

(Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink