DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR
Gedung tua di sebelah lapangan olah raga kota kami yang dulu dijuluki "Stadion Purana" masih saja berdiri seperti dulu. Saya banyak menyimpan kenangan di situ. Dulu salah seorang kerabat mantan suami saya berdinas di sini, dan saya kerap datang kepadanya untuk mengurus asuransi kesehatan orang tua saya. Selain itu, di sampingnya arah ke belakang berdiri Puskesmas Kecamatan tempat tinggal kami sekarang, di mana untuk pertama kalinya saya mengenal pemeriksaan mata semasa di bangku SD dulu. Waktu itu tidak setiap Puskesmas yang masih diistilahkan Poliklinik/BKIA memiliki alat pemeriksaan mata. Termasuk poliklinik desa saya meski di tengah-tengah kota. Pokoknya kantor ini menggugah banyak kenangan termasuk soal rasa Soto Mie yang dulu berada di gerobak panggulan yang mangkal di muka pintu gerbangnya. Saya senang mengudapnya sambil duduk di bangku kayu seadanya.
Kemarin saya pun ke sana lagi. Seperti biasanya kali ini justru untuk mengurus keperluan diri sendiri. Memohon pendanaan obat-obat kemoterapi saya. Seperti yang ditugaskan apotik RS tempat saya berobat dengan bantuan dana Jamkesda Kota, pasien atau keluarganya harus menghadap pejabat DKK sendiri untuk pengajuan pembelian obat yang mahal.
Tak begitu lama saya menunggu, meski masyarakat cukup ramai. Seorang ibu yang saya kenali sebagai pasien kanker payudara dari RS lain ada juga. Kelihatannya dia sudah akan pulang. Tapi begitu melihat saya dia langsung menyapa, mengikuti saya ke bangku tunggu lalu duduk menanyai saya. Ternyata dia sekarang berganti dokter dan pindah RS ke tempat saya. Soalnya dokter yang merawatnya dulu di RS DKT dimutasi ke kota lain. Dia kini berobat pada onkologis kakak saya, dan harus mengulang kembali sesi kemoterapinya karena seperti halnya saya tumornya tumbuh lagi meski cenderung lebih lambat, yakni enam bulan sehabis dioperasi.
"Encan cageur keneh wae?" Tanyanya mengenai diri saya demi melihat saya masih saja seperti dulu. Bahkan kaki saya mulai terpincang-pincang.
"'Ncan," jawab saya membenarkan juga dalam bahasa daerah yang kasar kebiasaan masyarakat awam di kampung halaman saya. Lalu saya ceritakan meski sudah berhasil dioperasi dengan selamat di Jakarta, tapi dokter tak sanggup membasmi sel-sel kanker saya. Masih banyak tersisa di pembuluh-pembuluh darah yang mengakibatkan saya telah diserang lagi sehingga harus berganti obat dengan yang terkuat.
"Hoooorrrrr....., mun kitu kumaha sayah? Cocok teu kira-kira ku kemo ieu?" Tanyanya menyiratkan kebimbangan sambil memperlihatkan berkas kemoterapinya.
Saya melihatnya. Ah, itu koktail obat lama saya. Tapi saya bukan dokter, sedangkan dokter pun masih meraba-raba dalam meresepkan obat pasiennya.
Saya katakan saya tak tahu, sebab penyebab kanker seseorang berbeda-beda. Pasti obatnya pun lain-lain. "Ieuh, ubar sayah mah rek dibere nu pang mahalna ceunah mah. Soalna ku nu kitu geus teu mempan," kata saya. "Tapi meureun ieu ge teu dibikeun, da pan mahal pisan tea. Opat puluh tilu jutaeun kabehanana, sabulan," saya sudahi keterangan saya yang membuat wajahnya jadi terkejut-kejut. "Duh ya Alloh........ mahal amat." Matanya menatap kosong ke kertas resep di tangan saya.
Mulut itu terus mengoceh lagi. Sama-sama menyuarakan kesakitan lahir dan batin kami. Katanya dulu dia mendanai semua obat kemoterapinya sendiri, karena dia tidak berobat di tempat yang disetujui DKK. Sudah habis hartanya terjual, tinggal menyisakan sepotong rumahnya. Benar-benar cuma sebelah karena yang sebelah depan digadaikannya pembeli obat-obat mahal yang tak kunjung menyembuhkan itu. Saya perhatikan kepahitan di wajahnya. Meski dia kelihatan lebih segar dan sigap dibandingkan saya, tapi jelas dia pun kepayahan. Setiap malam dia tidak bisa tidur merasakan nyerinya, persis keadaan saya. Sementara itu bocah lelaki kecilnya terus berulah mengganggu suasana di sekitar kami hingga menguras kesabarannya. Saya semakin yakin bahwa kanker itu potensial memiskinkan manusia termasuk kesabarannya.
Saya katakan dokter onkologi saya pernah mencoba mencarikan obat gratis untuk saya. Tapi tak ada yang memberi karena kanker saya segera mengganas kembali. Ini sebabnya pagi ini saya datang akan "mengemis" belas kasihan pemerintah. Dia mengangguk-angguk selagi saya terus juga bercerita bahwa karena DKK tak bisa mendanai operasi saya di RSKD tempat onkologis saya berkantor, maka beliau turun tangan sendiri mendanai saya dan banyak lagi lainnya. "Subhanallah!" Akhirnya itu terlontar juga dari mulutnya sebelum berpamitan pulang. "Dokter saha?" Dia agaknya jadi penasaran mendengar pengakuan jujur saya.
Tiba giliran saya dipanggil. Sambil gemetaran saya sodorkan resep obat saya disertai permasalahan yang saya hadapi. Ibu Kepala Unit Kerja di situ yang biasanya selalu bicara dan bersikap tegas mau mendengarkan saya dengan seksama. Bahkan ketika saya ingatkan bahwa saya pernah diizinkannya dioperasi dokter saya di RSKD tanpa didanai Jamkesda, namun boleh kelak meminta biaya obat-obatan kemoterapi, pejabat itu membenarkan. Agaknya beliau memang ingat betul kepada saya.
Resep saya diperhatikannya. Cerita saya soal upaya ikut penelitian obat tapi gagal itu juga disimaknya. Sekaligus mencermati tumor yang saya pertontonkan. "Ya, orang 'kan nggak ada yang mau sakit ya bu. Pemerintah akan coba membantu ibu. Tapi melihat obat-obat ini baru pernah dimintakan kepada kami, saya harus bicarakan dulu di dalam ya, ibu bisa tunggu lagi," ujarnya kemudian.
"Silahkan bu, terima kasih. Seandainya yang teratas tak bisa dikabulkan, tolong berikan saya obat kedua dan ketiga saja. Saya sudah minta izin onkologis saya, ini ada SMS nya," kata saya lagi mengiba. Saya memang betul-betul ingin berobat dan berupaya sembuh. Karenanya penatalaksanaan penyakit saya selalu jadi bahan pemikiran cermat antara dokter saya dan saya. Sebagai dokter beliau mau bekerjasama dengan pasiennya.
Tadi pagi sambil sarapan saya berkomunikasi lagi dengan beliau melaporkan hasil pertemuan saya dengan pihak apotik RS kemarinnya yang belum sempat saya infokan dengan E-mail. Sekaligus saya laporkan akan ke DKK. Saya mohon pertimbangan beliau obat-obat mana saja yang harus saya minta seandainya si obat utama yang "eksklusif" itu ditolak DKK.
Tadi pagi sambil sarapan saya berkomunikasi lagi dengan beliau melaporkan hasil pertemuan saya dengan pihak apotik RS kemarinnya yang belum sempat saya infokan dengan E-mail. Sekaligus saya laporkan akan ke DKK. Saya mohon pertimbangan beliau obat-obat mana saja yang harus saya minta seandainya si obat utama yang "eksklusif" itu ditolak DKK.
"Ya, minta yang dua B&C nya itu aja. Boleh bu, oke," pesan dokter saya yang tumben kali ini cepat sekali merespons SMS bersahut-sahutan. Agaknya beliau juga sedang sarapan pagi akan ke kantor.
"Hatur nuhun pisan pak, barakallahu! Sy sadari gak perlu mendewa2kan obat itu lagi. Slmt tgs, smg semakin membanggakan kami di kampung!" Jawab saya yang tak dinyana dijawabnya juga dengan canda tawa, "He.... he.... tp kampung kita 'kan keren ya bu. Pokoke Cimanggu pancen ouw ye!!" Membuat saya tersenang-senang bersemangat. Semangat ini tetap belum luntur sampai saya beroleh keputusan tentang pendanaan obat saya.
Cukup lama saya menunggu hingga satu demi satu nomor antrian dipanggil. Kedengaran seorang wanita muda berbusana rapi bertengkar hebat dengan petugas muda yang melayaninya. Biasanya orang semacam ini baru pertama kali datang mengurus sehingga secara prosedural persyaratan yang harus dilengkapinya kurang. Sebagai akibatnya ketika dia diminta pergi melengkapinya dia kecewa. Lalu berusaha membela diri dengan mengatakan yang sebaliknya. Kali ini kedengaran dia mengatakan bahwa si petugas tak mau mendengarkan permasalahannya baik-baik sejak semula, sehingga membuat si petugas cantik itu berang. Singkat cerita dia akhirnya pergi juga sambil menggerutu. Hilang sudah wajahnya yang terpelajar.
"Bu Julie, kami sudah bicara, juga sudah mengontak RS, tapi RS tak berhasil mengontak dokter untuk mendiskusikan obat ibu," kata pejabat yang melayani saya pada akhirnya. "Ini sudah jam istirahat. Kami berhenti dulu ya bu, sekarang silahkan ibu menunggu di luar atau pergi makan siang. Sambil menunggu jawaban dokter ibu ya," beliau berkata lembut. Adzan dhuhur memang belum lama dikumandangkan orang. Pasti ini jam dua belas, batin saya seraya melihat ke layar ponsel saya. Tak ada cara lain, saya pun mengikuti instruksi itu, ke luar gedung menuju jalan raya akan mencari makan siang. Kota kami kebetulan sedang tak terlalu terik.
***
Sambil makan siang soto mie yang kini tak lagi berani saya beli di tepi jalan plus juga tak mau lagi saya makan dagingnya saya mengobrol dengan anak saya. Kebetulan suasana di tempat makan itu kondusif. Pengunjung duduk agak berjauhan sehingga obrolan tak akan terganggu bising dari meja sebelah. Saya peringatkan anak saya untuk bertanggung jawab terhadap asupan makannya, sehingga dia memilih sepiring siomay yang jelas-jelas terbuat dari ikan, bukan daging ditambah telur, tahu dan kentang serta kubis sebagai sayurannya. Siomay ini makanan yang biasa saya makan setiap hari ketika saya masih rutin berobat tiga kali seminggu di Jakarta. Jadi hari ini saya memilih menu lain yang cenderung segar.
Kemudian pembicaraan beralih ke gaya hidup dan pola makanan yang menjadi pencetus kanker. Kami dulunya memang penggemar berat daging-dagingan, meski juga makan sayur dan kedelai. Tapi sayangnya kami lalai berolah raga walau tak merokok dan tak minum alkohol. Kesalahan ini makin fatal sebab anak-anak paling suka jajan makanan dalam kemasan kedap udara, bukan snack kiloan yang biasa saya beli di pasar. Sebab menurut mereka keripik singkong, kacang telur dan semacam itu rasanya kurang gurih.
Kini saya sudah menerima akibatnya yang menyakitkan dan menimbulkan kesulitan. Tapi kata banyak orang saya tetap kelihatan optimis bisa melewatinya. Saya sendiri tak terlalu percaya, sebab sesungguhnya rasa sakit dan persoalan penanganan penyakit saya ini sempat membuat saya berkecil hati.
"Ah, itu 'kan kata ibu. Nyatanya ibu tetap mau mengupayakan cari jalan berobat. Buktinya sekarang sakit-sakit ibu mau datang sendiri ke DKK," bantah anak saya berusaha menaikkan semangat hidup saya. Saya lihat wajahnya bersungguh-sungguh.
"Habis 'kan ya mas, kalau ibu nggak jalan sendiri nanti pihak DKK nggak percaya bahwa ibu betul-betul membutuhkan obat-obat ini," begitu alasan saya.
"Iya gitu. Makanya namanya ibu masih optimis bisa sembuh, punya semangat juang," sahut anak saya. Dikunyahnya siomay yang tak terlalu menggoda selera saya kali ini. Sebab beda sih dengan siomay warung langganan saya di Jakarta. Kalah variasi dan lagi bumbu kacangnya kasar.
Tiba-tiba terlintas lagi tayangan di sebuah stasion TV yang saya tonton pagi harinya. Di suatu RS digambarkan kunjungan komunitas relawan pemerhati anak-anak sakit keras yang dirawat di RS. Mereka datang menemani, memberikan hiburan sambil sesekali mengajak jalan-jalan pasien-pasien kecil itu untuk bermain bersama.
Ada yang menderita kanker, juga penderita thalasemia yakni kelainan darah. Di wajah-wajah mereka masih terpancar sinar-sinar kehidupan. Sehingga si relawan berkomentar bahwa langkah kaki mereka untuk sering mendampingi para bocah itu terdorong oleh sikap optimisme yang mereka pancarkan sendiri. Para relawan ingin mengisi hari-hari suram yang sebagian artinya mendekati pintu sorga untuk memberikan kasih sayang kepada mereka sekaligus bercermin diri untuk menyukuri rahmat kesehatan yang selama ini mereka terima sebagai anugerah Tuhan. Tersimpulkan juga oleh saya pada akhirnya bahwa jika penderita penyakit berat memperlihatkan aura yang bagus, itu akan membawa dampak positif bagi sekelilingnya. Persis seperti ujaran dokter Maria teman saya, bahwa kegigihan saya berusaha sembuh membuat para tim medis yang menangani saya semakin bersemangat untuk mengupayakan kesembuhan saya. Tak terasa mata saya basah. Sepercik air mulai menggenangi pelupuk mata saya. Saya tetap masih dalam wilayah abu-abu hingga siang itu, akan kah saya beroleh obat yang saya butuhkan untuk meringankan pikiran dan kerja keras para tim medis saya?
"Bu," tiba-tiba anak saya berkata lagi memecah pikiran saya.
"Hm, ya?"
"Kenapa ya bu kalau katanya pola makanan yang mengandung daging-dagingan merah maupun putih nggak bagus, bisa memicu kanker, kok dokter malah nyuruh pasien makan apa aja?" Meluncurlah pertanyaannya yang polos. Anak saya memang senang bertanya ini-itu sejak kecilnya dulu.
Setelah saya meneguk air putih yang melunturkan sisa-sisa kuah soto yang untungnya bening, saya pun menjawab tanpa berpikir lama. "Ya, 'kan sehabis dikemo pasien pada sakit tuh. Staminanya lemah, jarang lah yang seperti ibu. Jadi ya mesti diperbaiki lewat asupan sehat. Disuruh lah makan apa saja. Makanya ibu pilih makan ikan, atau kalau pun ada unsur dagingnya, sesuatu dengan kuah bening begini tapi jangan dimakan dagingnya."
"Eh, iya juga ya."
"Ayo ah, dah lama nih, nanti DKK keburu tutup kantor," ajak saya menyudahi makan siang. Sebetulnya sih saya segera ingin tahu apakah obat-obatan saya dikabulkan semua.
***
Kantor itu sudah kembali melayani masyarakat. Ibu kepala ruangan itu segera melambaikan tangannya begitu melihat kami datang. Bersamanya ada atasannya serta seorang koleganya. Ketiga perempuan itu nampaknya sedang membahas masalah saya.
"Begini bu, RS tidak bisa juga terhubung dengan dokter ibu, jadi kami tidak bisa bicara," ibu R ~inisial perempuan itu~ mendahului bicara seraya menatap kepada pimpinannya bergantian.
"Oh, ini pasiennya ya?" Ibu pimpinan berwajah mirip sahabat Pramuka saya Agnes waktu remaja dulu tersenyum kepada saya.
"Ya, bu. Jadi bagaimana keputusan ibu?" Pancing saya.
"Begini, obat ini di atas plafon Jamkesda. Jadi kami harus bicara dengan dokter yang meresepkan bagaimana sebaiknya, tapi ya itu, belum tersambung juga."
"Ya bu, beliau setiap Selasa-Kamis ada jadwal di ruang bedah. Sulit mencarinya," sahut saya menerangkan. Kini saya hafal dengan sendirinya jadwal-jadwal onkologis saya setiap hari kerja. Hihihihi.... betul-betul sok tahu.
"Ya sudah ibu tunggu lagi ya," kata beliau dengan ramah.
"Tapi bu, seandainya susah dihubungi berikan saja B&C nya dulu, saya sudah menerima instruksi beliau tadi pagi via SMS yang penting kemo saya jalan akhir pekan ini. Saya benar-benar tak tahan lagi," pinta saya mengiba.
Beliau kembali tersenyum, lalu memencet-mencet ponselnya seperti akan menghubungi seseorang. "Ya, sebentar kita coba lagi," Setelah itu menghilang ke ruang dalam.
Lama saya menunggu hingga akhirnya keputusan dibuat. Obat utama yang termahal itu tak bisa dibelikan Saya hanya dapat B&C yang juga berharga lebih dari separuh harga yang ditolak. Sedangkan obat-obatan lain yang ditelan harus saya danai sendiri meski nyaris mencapai lima ratus ribu Rupiah.
Ya sudah, itulah peruntungan saya. Tak baik bukan berpikir lama, memendam kecewa dan menolak takdir? Kali ini peruntungan saya cuma sekian. Namun itu sudah sangat baik daripada tak bisa beobat sama sekali. Lalu kami pun melangkah gontai menuju ke pembaringan saya. Lelah rasanya hari ini.
(Bersambung)
***
Sambil makan siang soto mie yang kini tak lagi berani saya beli di tepi jalan plus juga tak mau lagi saya makan dagingnya saya mengobrol dengan anak saya. Kebetulan suasana di tempat makan itu kondusif. Pengunjung duduk agak berjauhan sehingga obrolan tak akan terganggu bising dari meja sebelah. Saya peringatkan anak saya untuk bertanggung jawab terhadap asupan makannya, sehingga dia memilih sepiring siomay yang jelas-jelas terbuat dari ikan, bukan daging ditambah telur, tahu dan kentang serta kubis sebagai sayurannya. Siomay ini makanan yang biasa saya makan setiap hari ketika saya masih rutin berobat tiga kali seminggu di Jakarta. Jadi hari ini saya memilih menu lain yang cenderung segar.
Kemudian pembicaraan beralih ke gaya hidup dan pola makanan yang menjadi pencetus kanker. Kami dulunya memang penggemar berat daging-dagingan, meski juga makan sayur dan kedelai. Tapi sayangnya kami lalai berolah raga walau tak merokok dan tak minum alkohol. Kesalahan ini makin fatal sebab anak-anak paling suka jajan makanan dalam kemasan kedap udara, bukan snack kiloan yang biasa saya beli di pasar. Sebab menurut mereka keripik singkong, kacang telur dan semacam itu rasanya kurang gurih.
Kini saya sudah menerima akibatnya yang menyakitkan dan menimbulkan kesulitan. Tapi kata banyak orang saya tetap kelihatan optimis bisa melewatinya. Saya sendiri tak terlalu percaya, sebab sesungguhnya rasa sakit dan persoalan penanganan penyakit saya ini sempat membuat saya berkecil hati.
"Ah, itu 'kan kata ibu. Nyatanya ibu tetap mau mengupayakan cari jalan berobat. Buktinya sekarang sakit-sakit ibu mau datang sendiri ke DKK," bantah anak saya berusaha menaikkan semangat hidup saya. Saya lihat wajahnya bersungguh-sungguh.
"Habis 'kan ya mas, kalau ibu nggak jalan sendiri nanti pihak DKK nggak percaya bahwa ibu betul-betul membutuhkan obat-obat ini," begitu alasan saya.
"Iya gitu. Makanya namanya ibu masih optimis bisa sembuh, punya semangat juang," sahut anak saya. Dikunyahnya siomay yang tak terlalu menggoda selera saya kali ini. Sebab beda sih dengan siomay warung langganan saya di Jakarta. Kalah variasi dan lagi bumbu kacangnya kasar.
Tiba-tiba terlintas lagi tayangan di sebuah stasion TV yang saya tonton pagi harinya. Di suatu RS digambarkan kunjungan komunitas relawan pemerhati anak-anak sakit keras yang dirawat di RS. Mereka datang menemani, memberikan hiburan sambil sesekali mengajak jalan-jalan pasien-pasien kecil itu untuk bermain bersama.
Ada yang menderita kanker, juga penderita thalasemia yakni kelainan darah. Di wajah-wajah mereka masih terpancar sinar-sinar kehidupan. Sehingga si relawan berkomentar bahwa langkah kaki mereka untuk sering mendampingi para bocah itu terdorong oleh sikap optimisme yang mereka pancarkan sendiri. Para relawan ingin mengisi hari-hari suram yang sebagian artinya mendekati pintu sorga untuk memberikan kasih sayang kepada mereka sekaligus bercermin diri untuk menyukuri rahmat kesehatan yang selama ini mereka terima sebagai anugerah Tuhan. Tersimpulkan juga oleh saya pada akhirnya bahwa jika penderita penyakit berat memperlihatkan aura yang bagus, itu akan membawa dampak positif bagi sekelilingnya. Persis seperti ujaran dokter Maria teman saya, bahwa kegigihan saya berusaha sembuh membuat para tim medis yang menangani saya semakin bersemangat untuk mengupayakan kesembuhan saya. Tak terasa mata saya basah. Sepercik air mulai menggenangi pelupuk mata saya. Saya tetap masih dalam wilayah abu-abu hingga siang itu, akan kah saya beroleh obat yang saya butuhkan untuk meringankan pikiran dan kerja keras para tim medis saya?
"Bu," tiba-tiba anak saya berkata lagi memecah pikiran saya.
"Hm, ya?"
"Kenapa ya bu kalau katanya pola makanan yang mengandung daging-dagingan merah maupun putih nggak bagus, bisa memicu kanker, kok dokter malah nyuruh pasien makan apa aja?" Meluncurlah pertanyaannya yang polos. Anak saya memang senang bertanya ini-itu sejak kecilnya dulu.
Setelah saya meneguk air putih yang melunturkan sisa-sisa kuah soto yang untungnya bening, saya pun menjawab tanpa berpikir lama. "Ya, 'kan sehabis dikemo pasien pada sakit tuh. Staminanya lemah, jarang lah yang seperti ibu. Jadi ya mesti diperbaiki lewat asupan sehat. Disuruh lah makan apa saja. Makanya ibu pilih makan ikan, atau kalau pun ada unsur dagingnya, sesuatu dengan kuah bening begini tapi jangan dimakan dagingnya."
"Eh, iya juga ya."
"Ayo ah, dah lama nih, nanti DKK keburu tutup kantor," ajak saya menyudahi makan siang. Sebetulnya sih saya segera ingin tahu apakah obat-obatan saya dikabulkan semua.
***
Kantor itu sudah kembali melayani masyarakat. Ibu kepala ruangan itu segera melambaikan tangannya begitu melihat kami datang. Bersamanya ada atasannya serta seorang koleganya. Ketiga perempuan itu nampaknya sedang membahas masalah saya.
"Begini bu, RS tidak bisa juga terhubung dengan dokter ibu, jadi kami tidak bisa bicara," ibu R ~inisial perempuan itu~ mendahului bicara seraya menatap kepada pimpinannya bergantian.
"Oh, ini pasiennya ya?" Ibu pimpinan berwajah mirip sahabat Pramuka saya Agnes waktu remaja dulu tersenyum kepada saya.
"Ya, bu. Jadi bagaimana keputusan ibu?" Pancing saya.
"Begini, obat ini di atas plafon Jamkesda. Jadi kami harus bicara dengan dokter yang meresepkan bagaimana sebaiknya, tapi ya itu, belum tersambung juga."
"Ya bu, beliau setiap Selasa-Kamis ada jadwal di ruang bedah. Sulit mencarinya," sahut saya menerangkan. Kini saya hafal dengan sendirinya jadwal-jadwal onkologis saya setiap hari kerja. Hihihihi.... betul-betul sok tahu.
"Ya sudah ibu tunggu lagi ya," kata beliau dengan ramah.
"Tapi bu, seandainya susah dihubungi berikan saja B&C nya dulu, saya sudah menerima instruksi beliau tadi pagi via SMS yang penting kemo saya jalan akhir pekan ini. Saya benar-benar tak tahan lagi," pinta saya mengiba.
Beliau kembali tersenyum, lalu memencet-mencet ponselnya seperti akan menghubungi seseorang. "Ya, sebentar kita coba lagi," Setelah itu menghilang ke ruang dalam.
Lama saya menunggu hingga akhirnya keputusan dibuat. Obat utama yang termahal itu tak bisa dibelikan Saya hanya dapat B&C yang juga berharga lebih dari separuh harga yang ditolak. Sedangkan obat-obatan lain yang ditelan harus saya danai sendiri meski nyaris mencapai lima ratus ribu Rupiah.
Ya sudah, itulah peruntungan saya. Tak baik bukan berpikir lama, memendam kecewa dan menolak takdir? Kali ini peruntungan saya cuma sekian. Namun itu sudah sangat baik daripada tak bisa beobat sama sekali. Lalu kami pun melangkah gontai menuju ke pembaringan saya. Lelah rasanya hari ini.
(Bersambung)
Judulnya Serenadfa itu, Bund...
BalasHapus*belum baca isinya komen dulu
Eh iya, typo lagi. Pas di judul pisan. Oke, saya benerin ya. Nuhun.
HapusNah sekarang baru selesai baca.
BalasHapusTiap habis baca cerita Bunda saya seperti terpacu untuk menjaga kesehatan sebaik mungkin. Sakit itu mahal pisan ya, Bund.
Tapi Tuhan mah baik, buat Bunda pasti akan selalu ada jalan.
Peluk sayang
Mahal luar biasa ci. Makanya jaga diri dan keluarga baik-baik ya.
HapusSalam sehat!