Minggu yang menggairahkan datang. Hari itu sepupu saya berjanji akan menjenguk saya. Pun juga kenalan baru saya sesama pasien yang kebetulan berjumpa saya di klinik onkologi beberapa waktu lalu. Jeng Rahmi, namanya. Pembawaannya yang hangat memudahkan kami menjalin komunikasi meski beliau termasuk kaum cerdik pandai yang jelas tak sekelas dengan saya si bibi dapur.
Sayang hari itu sakit saya masih saja merajalela membuat saya merana meski tak harus merintih. Anak-anak sudah mempersiapkan diri sebab mereka begitu merasa dihargai karena masih ada pihak-pihak yang menyayangi saya di balik label buruk yang dulu ditempelkan seseorang kepada saya. Jadi saya dibiarkannya menunggu di kamar di atas pembaringan yang sekarang tiba-tiba serasa terbuat dari papan dialasi tikar belaka. Sakit rasanya membaringkan diri di atasnya.
Dik Titin datang bersama adiknya disertai anak-anak mereka yang ingin naik Commuter Line dari Jakarta. Walau tertakjub-takjub menyaksikan saya yang masih kuat bangun tetapi tak urung mereka prihatin sekali atas tonjolan-tonjolan tumor di tubuh saya yang menyita perhatian sebab di dalam rumah kepala saya kini tak kuat lagi diselubungi jilbab. Rasanya panas dengan bertutup rapat begitu. Mungkin ini efek dari pengobatan yang dulu sudah saya terima. Jadi tanpa jilbab tumor saya bisa terlihat kalau diamati dengan jeli.
Sehari sebelumnya saya juga sudah kedatangan penjenguk. Yani teman SMP saya kembali datang mengantarkan bu Tuti, bibi sahabat saya di SMA, Ahmad yang sayangnya sekarang sudah wafat. Mereka juga merasa iba melihat saya meski saya tak nampak lunglai betul. Kata bu Tuti, begitu mendengar saya sakit dari Yani tetangganya putra-putrinya meminta beliau segera menjenguk sambil mengantarkan sehelai kain tenun Nusa Tenggara Timur yang kebetulan memang belum saya miliki. Melihat tenunan tradisional hijau indah itu saya jadi terpikir alangkah menariknya kain itu kalau saya kenakan di tubuh. Saya berkhayal akan ada saatnya nanti yang tak tahu bertepatan dengan peringatan apa. Pokoknya tiba-tiba terbersit pikiran bahwa saya pada hari istimewa itu terbungkus kain hijau itu nampak jadi cantik. :-)
Bu Tuti memang bukan siapa-siapa saya. Tapi hubungan kami menjadi dekat sebab hal-hal tertentu. Beliau hingga kini menetap di rumah kenangan saya dengan mantan suami yang kami serahkan sebagai tempat berteduh beliau sekeluarga dulu karena sesuatu dan lain hal. Sejak itu kami serasa bersaudara. Bukankah persaudaraan tak harus berarti karena ikatan darah?!
Hari Minggu ini memang menyenangkan. Sore harinya selepas Ashar jeng Rahmi datang dengan temannya yang diperkenalkan kepada saya sebagai Dian. Padahal hari sudah mendung berat. Tapi agaknya beliau memang begitu penuh perhatian kepada saya meski perkenalan kami tak disengaja hanya gara-gara penyakit kanker payudara saya. Blog ini lah penghubungnya.
Di tangan beliau sekantung salak Bali yang besar-besar dan masir diberikannya kepada saya sebagai buah tangan sehabis bekerja di Bali awal minggu lalu. Namun tak hanya itu, perhatian tak terhingga jeng Rahmi justru semakin mempesona saya. Lalu mampu meningkatkan kesadaran bahwa saya cuma manusia biasa yang tak boleh lupa kepada Kebesaran Tuhan. Sebab bagaimana mungkin, orang-orang yang tak ada kait-kaitannya dengan keluarga saya tiba-tiba datang mencurahkan perhatian dan kasih sayang mereka begini? Apa lagi penyebabnya jika bukan Kehendak Allah? Coba saja bayangkan, jeng Rahmi ternyata sengaja minta diantar temannya untuk memberi saya uang yang amat mencukupi biaya pengobatan saya minggu ini. Terharu rasanya waktu beliau menggenggamkan amplop tebal itu ke tangan saya yang sakit seraya meminta saya segera menemui dokter onkologi kami keesokan harinya di kantor beliau di Jakarta. Kelihatannya jeng Rahmi mau bilang begini, "jangan ditunda-tunda, besok segera konsultasi lagi dengan mas dokter ya. Pergilah ke Jakarta. Banyak masyarakat yang masih membutuhkan catatan harian anda sebagai pemandu menjalani hari-hari dengan kanker." Subhanallah! Sungguh di luar dugaan. Tak bisa masuk di pikiran manusia biasa! Saya ini manusia tanpa guna dan tiada daya, tetapi ternyata tanpa diketahui masih bermanfaat juga bagi sesama justru di saat saya sakit. TUHAN MAHA KUASA! Saya merasa Tuhan sedang tersenyum kepada kami : Saya dan jeng Rahmi beserta para sahabatnya.
Mereka yang menjenguk saling membagi cerita masing-masing. Titin yang baru kehilangan paman dari pihak ibunya mengisahkan sakit almahum yang sangat singkat. Kanker hati langsung menyeruak di stadium IV mengakibatkan kakek berumur 70 tahun itu tak lagi mampu melawan. Beliau berpulang dalam perawatan kemenakannya karena tidak pernah bekeluarga. Pekerjaannya sebagai seniman. Anak saya dulu menjulukinya sebagai "simbah menggambar" sementara para kemenakannya belajar menari serimpi pada beliau.
Melihat kenyataan itu, rasanya sulit memercayai nalar bahwa beliau ternyata punya banyak kawan di luaran sana. Sebab selain murid-murid tarinya, pergaulan beliau nyaris tak berkembang. Jika sudah asyik menorehkan kuasnya di kanvas, beliau seperti orang yang tak mau bergaul dan bergabung dengan orang lain lagi. Terpaku pada dunianya sendiri. Tapi Tuhan memang ajaib. Di saat beliau berpulang banyak pelayat yang datang membantu mengurus pemakaman hingga tahlilan selesai. Semuanya amat meringankan adik saya Titin yang senantiasa ikhlas berbagi kasih sayang dengan almarhum. Subhanallah!
Keajaiban-keajaiban Tuhan ini menggelayuti pikiran saya semalaman hingga mampu membuat saya tersenyum dalam sakit. Dan akhirnya lena tidur pun singgah walau cuma sesaat. Namun adzan kaji subuh nyaris jua lama terlewat seandainya saya tak terbangun oleh suara-suara penduduk yang mulai ke luar rumah akan mengejar angkutan umum ke kantor mereka di Jakarta. Pagi merebak membawa harapan baru. Pekan baru sudah tiba. Dokter akan kembali segar di dalam merawat kami para pasiennya, meski stamina mereka sempat terkuras habis. Ya Allah, berkahilah sepanjang hidup mereka!
***
Kang Jamil yang kini sudah seperti menyatu dengan keluarga saya tiba tepat pukul enam pagi. Ini pun seperti curahan rahmat juga, sebab beliau sepertinya tak pernah berkeberatan mengantar saya meski tanpa mendapat uang lelah yang patut. Bahkan suatu hari kedapatan dirinya sendiri justru sedang sakit. Baqaimana saya tak mesti bersyukur untuk segalanya?!
Dia ikut bahagia waktu saya beritahu bahwa ongkos berobat kali ini datang sendiri atas kemurahan seseorang yang baru saya kenal. Dengan wajah polos mulutnya tersenyum lebar nyaris selebar dahinya yang membawahi kepala berambut tipis. Matanya sedikit membelalak. '"Alhamdulillah, aeh, meuni ku sae rizki teh geuning aya we ti mana-mana. Sok keun we lah ditutup ku batur, tuluy dipangmukakeun nu sejen ku Alloh....," komentarnya. Ya, beliau betul. Jika Allah berkehendak tak ada sesuatu pun yang bisa menghalang-halangi KehendakNya itu.
"Terus dokter Bayuna geus dikontak rek pariksa ayeuna?" Sambungnya memperingatkan agar saya membuat janji terlebih dulu dengan dokter saya. "Beres," jawab saya. "Pan ieu ge dipiwarang ku anjeunna keneh kontrol ka ditu. Sigana rek pemeriksaan mesin deui yeuh, da tumor teh bet mingkinan nganyenyeri," ungkap saya panjang lebar. "Oh, sok atuh sing merenah.....," sambutnya seraya mulai melaju di jalanan. Begitu penuhnya perhatiannya kepada saya walau kami pun bukan sanak-saudara. Deru deram mesin Toyota pak Haji tetangganya yang bahkan belum pernah saya kenal meninggalkan rumah mengikuti arus ke Jakarta. Jalanan sudah padat, maklum ini hari Senin saat penduduk yang seperti dokter saya pun harus kembali berpangkalan di Jakarta.
Sepanjang jalan kami mengobrol. Pak Jamil bilang pintu rizki Allah itu tak nampak tapi nyata adanya. Dia menceritakan kehidupannya yang tak punya penghasilan tetap. Apalagi sampai bisa membeli lalu memiliki mobil sewaan. Tapi nyatanya setiap saat ada saja orang mencarinya membutuhkan bantuan jasa transportasi. Dan pak Haji tetangganya pun mengizinkan mobilnya yang satu ini dipinjamnya untuk mencari nafkah, sehingga dia bisa hidup layak lagi mandiri. Renungkanlah, betapa Agung Kuasa Tuhan yang Maha Kaya itu!
Dia bilang lagi, kesabaran akan membawa saya menuju kesembuhan. Asal saya tekun berobat dengan cara apa pun. Tak terasa air mata saya meleleh karena ucapannya. Betapa dia memang baik.
Kepadatan arus lalu lintas mengakibatkan kami tiba agak kesiangan. Ternyata onkologis saya bahkan belum tiba karena ayah sejawatnya wafat di Cibubur, jadi mereka serempak melayat. Namun zuster bermata indah berambut ombak digelung itu menenangkan saya untuk sabar menunggu klinik swasta dibuka. Sebab kalau saya nekad pindah ke klinik yang lebih siang belum tentu saya akan kebagian nomor antrian. "Mari, saya ukur tensi dan BB dulu ya bu," ajaknya ramah seraya menyeret mesin tensi menjauhi kursi pasien. "Hei, pasien siapa itu?" Tiba-tiba sejawatnya yang tengah mendata pasien hari itu berseru dari mejanya. "Dokter Bayu, nomor lima." Oh, syukur sekali belum mendapat nomor di atas lima. Itu yang saya gumamkan dalam hati seraya berpikir rupanya onkologis saya memang disukai banyak orang. Terbukti kemudian ketika para dokter mulai praktek, kliniknya merupakan klinik terpenuh. Tak cuma dua-tiga pasien saja.
Ketika akhirnya tiba giliran saya menghadap, saya segera menghambur menjeritkan keluhan saya. "Maaf dok, kemarin dulu lupa nggak lihat tumor ya? Tiba di rumah waktu saya ke kamar mandi kaget. Ketiak saya yang sakit merah luar biasa dan bengkak sekali. Eh, ini tumor rasanya ikut-ikutan, malah termasuk ini di dahi ada yang nongol lagi," lapor saya seraya mulai melucuti jilbab dan blouse saya.
"Oh ya?! Yuk duduk situ aja," katanya kebingungan seraya menghampiri saya.
"Hm, ini iritasi makin hebat. Udah program fisio jangan dipikir, asal bebatan jalan terus ya," ujarnya seraya memeriksa lokasi yang sakit. "Yang di dahi, oh..... iya. Kapan sih bone scanning terakhir?" Lanjutnya lagi seraya bertanya. Beliau lalu menyudahi pemeriksaannya.
"Ya waktu mau masuk program habis mastek itu," jawab saya menerangkan.
Beliau terdiam sejenak langsung menukas. "Ah, forget it! harusnya dibone scanned atau CT Scan ya. Tapi nggak usah ah. Tumor ini memang mesti cepat dikemo sih. Cepetan ya bu, urus ke DKK, nggak perlu mikir fisio," perintahnya membuat keputusan. Inilah antara lain yang saya sukai dari beliau. Di dalam bertindak menata laksana penyakit pasien beliau selalu penuh pertimbangan. Daripada saya mesti membayar mahal untuk ongkos pemindaian tulang atau pencitraan kepala dan fisioterapi lebih baik saya mengemis segera dana Jamkesda untuk kemo. Toch pemeriksaan-pemeriksaan penunjang itu baru saja dilakukan, belum berselang enam bulan. Ada nilai ekonomisnya di sini.
"Ya mas, segera saya urus kemo siang ini juga. Kebetulan tadi apotik sudah telepon untuk acc resep dan protokol kemonya ke DKK. Pasien mesti datang mengurus sendiri, sekarang tidak lewat RS lagi," jawab saya menyetujui.
"Ya wis bu, jalan deh. Hati-hati ya," pesannya.
Saya tersenyum seraya mengucapkan terima kasih. "Maaf ngrepoti ya dok. Habis malam itu sakitnya minta ampun euy! Sampai saya SMS mbak Rahmi yang di sektor VII itu lho minta dido'akan. Eh, kok malah kemarin sore beliau datang bawakan ongkos banyak sekali. Katanya saya mesti cepat konsul sama mas dokter di Jakarta. Subhanallah!!! Bingung saya merasakan kebaikan-kebaikan yang begini ini........"
Perawat menarik yang sayang saya belum pernah tahu namanya yang mengasisteni dokter sampai memandangi saya seperti takjub tak percaya. "Lho, iya lho mbak. Kami pasien di Bogor banyak yang kondisinya susah. Maklum di kampung, ya 'kan dok? Sering saya merasa berdosa sudah menyusahkan mas dokter karena kepapaan saya yang membuat kasus saya tak mudah ditangani......," ungkap saya menyuarakan suara hati dengan getaran di pita suara saya. "Berapa banyak sudah saya berhutang budi pada mas dokter dan orang-orang itu???" Pertanyaan ini serasa menggantung di udara dalam ruangan yang senyap. Kami disergap keharuan. Lalu hening sejenak.
"Makanya dok, saya mau usul sama dokter Kepala Puskesmas desa kita dan pak Lurah untuk mengadakan penyuluhan kanker payudara pas hari peringatan kanker payudara, Mas dokter yang bicara, saya bersaksi sebagai pasien yang terlambat berobat, biar yang lain nggak lagi-lagi menyusahkan mas Bayu," ujar saya tiba-tiba terpikir ingin melontar ide.
"Oh, gutt!!! Ayo!" sambut beliau cepat.
"Wah, hari kanker payudara 'kan masih tahun depan," cetus perawat.
"Ya mudah-mudahan perjuangan saya sama dokter berhasil ya dok?! Do'akan aja mbak. Lha 'kan kami sudah betekad mau nekad. Ayo ganbatte! Siap dimulai, saya ke RSKB dulu ya, terima kasih dok........." Ucap saya seraya bersalaman dan meninggalkan ruang klinik, "assalamu'alaikum. Nanti hasilnya saya kabari by E-mail malam hari ya dok."
"Okay, gut lak bu!" Sahutnya seraya tersenyum manis dan bersiap-siap dengan pasien berikutnya. Selasar sudah mulai sepi, tapi masih cukup banyak yang mengantri di muka klinik beliau. Hari tinggal sepotong sebelum kelam malam menyelimuti alam. Ah, beliau memang patut sekali naik daun sekarang. Dan saya bertekad akan mendukungnya.
***
Perjalanan yang lancar membuat kami tiba segera di RSKB walau tidak ngebut di jalanan. RS sudah sepi pasien. Tapi tetap masih ada sejumlah orang ketika saya menghadap petugas apotik. "Oh bu Julie, sebentar ya," katanya ramah.
Diperlihatkannya resep obat saya lalu disampaikannya bahwa penghitungan harga sudah selesai. Karena saya memakai obat termahal yang belum pernah diresepkan kepada pasien pengguna Jamkesda Kota yang lain maka saya harus membawa berkas resep itu ke DKK sendiri. Di sana saya harus membicarakan kemungkinan-kemungkinannya. Jika diizinkan untuk dibeli maka obat tidak diganti, resep pun disetujui. Tapi jika tak dikabulkan, maka resep dikembalikan kepada dokter untuk diganti dengan obat yang lebih murah atau ada kesepakatan lain.
"Oh........, begitu ya?! Wah susah nih," gumam saya sedih. Muka saya langsung tertunduk lesu. "Bu, sebetulnya saya bukannya mau membobol dana Jamkesda. Ibu tahu sendiri 'kan, saya lama nggak kelihatan di sini? Itu disebabkan kasus saya memang berat. Sehingga dokter menggunakan dana pribadinya membawa saya ke kantor beliau di Jakarta. Di sana saya akan diikutkan penelitian obat WHO supaya bisa dapat kemo gratis. Tapi tertolak karena tumor saya sudah tumbuh lagi. Makanya sekarang saya dipulangkan ke sini," ungkap saya separuh menangis.
"Ya bu, yang sabar ya bu. Semoga ada jalannya. Jadi besok ibu ke DKK saja dulu, semoga di-acc," sahut petugas apotik itu seraya menatap saya iba. tapi ada senyum mengembang di wajahnya. Saya terima lembaran resep itu dari tangannya. Dingin rasanya tangan saya, sedingin angin di musim gugur. Setelah memasukkannya ke berkas-berkas RS saya melangkah pulang.
Hari tak lagi indah. Yang indah cuma suara lelaki muadzin masjid yang menyeru ummat untuk memohon kepadaNya. Allahu akbar, Allahu akbar! Tiada Tuhan selain Allah. Dan kepadaNya saya mohon kekuatan.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar