Powered By Blogger

Senin, 21 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (126)

Lain dokter lain gayanya. Lain pasien lain lagi fisiknya. Saya dan kakak sulung saya sama-sama penderita kanker payudara. Sama-sama di dada kiri, cuma beda stadium.

Saya yang sudah dua tahun merasa sakit, ketika berobat setahun lalu sudah langsung ketahuan mencapai stadium III-B dengan ukuran massa tumor yang sangat besar. Sedangkan kakak saya yang baru menyadari sakitnya setengah tahun yang lalu dinyatakan penderita stadium II-A. 

Usia kami berjarak enam belas tahun. Artinya kakak saya sudah masuk golongan "senior citizen" yang melewati usia tujuh dasawarsa, sedangkan saya sedikit di atas setengah abad. Dengan sendirinya stamina kami berbeda. 

Meski masih nampak perkasa karena kakak saya pensiunan guru di sekolah kejuruan yang mengandalkan otot selain otaknya untuk mengajar, tetapi sesungguhnya staminanya sudah lemah. Tenaganya mulai kekurangan daya, tak bedanya dengan fisik saya yang memang sudah menyandang sakit lebih dari sepuluh tahun meski tak nampak secara kasat mata. Hanya rekam medik saya diberbagai RS lah yang bisa mengukuhkan pengakuan saya ini. :-D

Penyakit saya ditandai dengan mengerasnya payudara layaknya pengaruh hormonal pada wanita yang sedang menstruasi. Lama-lama di situ terasa nyeri seperti dicubit-cubit hingga mampu membangunkan saya dari lelap tidur malam hari. Selain itu timbul rasa gatal di seluruh permukaannya tanpa bisa diredam dengan garukan karena letaknya di dalam daging sana. Selanjutnya massa itu pecah menimbulkan bau akibat luka yang mengeluarkan nanah bercampur darah. Soal sakitnya tolong jangan ditanya.

Ada pun kakak saya mendapati benjolan yang kenyal di payudaranya yang juga menimbulkan sakit. Tapi beliau bilang sih seperti ditusuk-tusuk. Ada rasa gatal ditambah puting yang melesak serta tekstur kulitnya mengeriput. Mengingat ketika gadis kakak saya pernah menderita tumor jinak (fibro adenoma) maka dokter pun mencurigai penyakit yang telah dibuang dengan pembedahan lebih setengah abad yang lalu itu tumbuh kembali.

***

Dokter bedah tumor (onkologis) memeriksa contoh jaringan payudara kami yang sakit untuk melihat ada tidaknya keganasan. Caranya dengan mengambil massa tumor sedikit lalu diperiksa di laboratorium. Tindakan ini dinamakan biopsi. Ibu kami dulu juga menjalaninya ketika ketahuan mengidap sirosis hati.

Biopsi terdiri dari dua macam yakni sederhana dengan menggunakan jarum sangat halus serta terbuka berupa tindakan pembedahan di ruang bedah. Biopsi jarum ini dipakai onkologis saya karena resiko sakit pada pasien sedikit, paparan sel tumor terhadap udara terbuka nyaris tak ada sehingga tak membahayakan pasien dan lagi murah sebab cukup dilakukan di klinik saja. Kata kerabat saya yang almarhum ayah mertuanya penderita kanker, jika memungkinkan massa tumor jangan sampai berinteraksi dengan udara bebas karena dapat menjadi-jadi. Dulu almarhum dibiopsi terbuka. Setelah dikemoterapi ternyata tumornya muncul kembali lalu dibiopsi lagi untuk yang kedua kalinya. Sejak itu kondisi pasien memburuk. Jadi biopsi jarum yang dilakukan tanpa sayatan pada massa tumor ternyata dimaksudkan untuk mengurangi resiko buruk seperti itu.

Biopsi dengan jarum yang jauh lebih kecil jika dibandingkan jarum pengambilan darah di laboratorium benar-benar tak menyakiti pasien. Itu yang saya rasakan dulu meski tumor saya sudah luka menganga. Jaringan yang terangkat berupa lembaran tipis putih kekuning-kuningan serupa lemak/gajih ukurannya kecil sekali. Seingat saya kata dokter biopsi jarum selain bertujuan menetapkan ada tidaknya keganasan, juga mengetahui tingkat keganasan itu sendiri ~jika ganas~, apa penyebabnya serta berada di stadium berapa. Untuk diketahui kanker terdiri dari stadium I (awal) hingga IV (sangat lanjut/stadium terminal). Menurutnya hasil biopsi jarum ini cukup akurat sehingga beliau lebih memilihnya dibandingkan teknik biopsi terbuka.

Teknik biopsi terbuka dipilih onkologis kakak saya. Biopsi ini membutuhkan ruang bedah dan pembiusan karena dokter menyayat massa tumor pasiennya. Sayang saya tidak tahu persis seberapa banyak contoh jaringan yang diambil karena pasiennya pun dalam keadaan tidak sadar. Pasien perlu menginap di RS. Lamanya tergantung kesiapan fisik masing-masing. Kakak saya yang uzur perlu 3 malam, sama lamanya dengan masa perawatan pengangkatan payudara beserta kelenjar getah bening ketiak saya yang memakan waktu 4 jam.

Menurut dokternya, biopsi terbuka ini hasil pemeriksaan contoh jaringannya lebih baik. Dokter saya pun membenarkan. Karena yang diperiksakan memang lebih banyak. Jadi untuk menangani pasien stadium awal kata dokter kakak saya lebih baik diterapkan biopsi terbuka.

***

Prosedur penatalaksanaan pengobatan penyakit kanker pun ternyata tidak sama pada satu pasien ke pasien lain.  Ini tergantung ukuran tumor dan stadiumnya. Berhubung tumor saya sudah sangat besar dengan stadium lanjut mendekati stadium terminal, dokter tak mungkin membedahnya segera. Untuk mencapai hasil yang maksimal terangkatnya semua akar sel perlu lah tumor itu dikecilkan ukurannya. Usaha ini dilakukan dengan tindakan kemoterapi yang dinamai sebagai "neo-adjuvant therapy" sebelum dibedah. Saya diberi 4 kali (4 siklus). Tumor memang agak mengecil sesudahnya, sehingga memudahkan pembedahan. Sayang koktail obat kemoterapi yang saya terima tidak cocok untuk kasus saya. Jadi kemoterapi lanjutan yang saya jalani pasca operasi harus diganti dengan koktail obat yang sesuai. Semula niatnya saya tinggal menjalani dua kali kemoterapi lagi sesudah pembedahan sehingga genap menjadi enam kali sebagaimana aturannya. Sayang kemoterapi itu dianggap gagal di kali kelima, sehingga kelak setelah obat diganti saya harus memulai dari bilangan pertama lagi sebanyak 3 putaran sehingga jumlahnya menjadi delapan belas kali. Untuk saya, kemoterapi pasca pembedahan merupakan hal yang harus disegerakan (emergeny case).

Pada kakak saya penderita stadium awal dengan tumor sangat kecil, operasi justru didahulukan. Meski tak ada penyebaran ke kelenjar getah bening ketiak tetapi mengingat riwayat kanker payudara pada saudara sedarah dan sejarah tumor jinak pada dirinya, maka kelenjar getah bening ketiak kakak saya pun turut diambil sedikit. Istilahnya "dibersihkan" sebagai tindakan pencegahan. Setelah pembedahan barulah dikemoterapi sebanyak enam kali. Walau seharusnya jeda antara satu kemoterapi ke kemoterapi berikutnya ditentukan tiga minggu, tapi dalam kasus seperti kakak saya keterlambatan satu-dua minggu masih bisa ditoleransi. Onkologisnya bilang tidak akan membahayakan, karena tumornya toch sudah dibuang semua. Berbeda dari kasus saya yang tumornya harus dilumpuhkan dengan obat-obatan itu. Apalagi tumor saya yang tumbuh di pembuluh darah sekitar tulang selangka yang merupakan bagian dari kelenjar getah bening tidak bisa dioperasi.

Dokter mengatakan mental pasien harus dipersiapkan. Pasien harus diyakinkan dan diingatkan untuk tak merasa takut menghadapi penyakitnya yang sudah dibuang meski menimbulkan efek sakit fisik akibat kena obat kemoterapi. Hal ini tak mudah dilaksanakan. Karena ada pasien yang memang menpunyai pembawaan rasa khawatir yang terlalu besar. Akibatnya seperti kakak saya, psikisnya terganggu menimbulkan dampak kehilangan nafsu makan dan gairah hidup. Tapi saya justru berusaha melawan ketidakmujuran saya dengan membesar-besarkan rasa tenang berpasrah diri karena Allah jugalah yang mengatur alur kehidupan manusia. Alhamdulillah seumur-umur saya cuma sekali merasa perlu berkonsultasi dengan dokter paliatif untuk meminta jasanya.

Hari ini kepasrahan saya ada buahnya. Sudah bulat. Rasanya manis pula. Anda boleh percaya boleh tidak.

Berhubung keterbatasan dana di kantung kami sedangkan urusan kelangsungan pengobatan saya masih belum selesai, hari ini saya mangkir ke RSKD. Padahal seharusnya seminggu tiga kali kondisi limfedema tangan saya yang dioperasi ketiaknya harus difisioterapi. Ada mesin khusus untuk itu yang hanya dimiliki RSKD. Kondisi saya pun harus dipantau dan dicatat secara rutin sampai tumor saya menghilang kelak. Sayang kami mulai kewalahan mendanai perjalanan dan pengobatan sejauh itu. Apalagi kondisi saya tak lagi memungkinkan berdesak-desakan naik kendaraan umum. 

Mendengar diskusi diam-diam anak-anak saya, maka saya putuskan untuk melakukan pemijatan dengan tangan semampunya saja di rumah. Baru kelak kalau saya harus berkonsultasi dengan dokter ahli kemoterapi, saya sekalian ke Instalasi Rehabilitasi Medik. Saya siap untuk ditegur dianggap sebagai pasien tidak disiplin. Namun tak urung wajah anak-anak saya sepertinya kecewa juga melihat kenyataan ini sehingga mereka tetap mengharapkan ada pertolongan bagi kami. "Tapi ah, yang penting minggu ini ibu tetap bisa ke sinshe deh," hibur si bungsu yang saya benarkan. Ya, sinshe telah terbukti menjaga stamina saya.

Tak dinyana tiba-tiba tadi pagi datang kiriman untuk anak bungsu saya sejumlah ongkos ke sinshe seminggu. Subhanallah!!! Jawaban untuk mereka terbalas segera. Kiriman "Jamkes Kasiho" dari Mexico City yang belum sempat saya ceritakan kepada teman DWP kami yang menjadi penanggung jawab pengobatan saya adalah anugrah instant dari Sang Maha Pemurah. Maka kini berkaca-kaca mata saya yang memang ditutupi kaca mata karena terlalu bahagianya, Itulah sebabnya bagi penderita penyakit berat dianjurkan sekali untuk selalu berserah diri tapi bersemangat hidup. Hidup ini indah, manis rasanya, bukan?!

Oh ya soal limfedema itu, tak semua pasien yang kelenjar getah bening ketiaknya dioperasi akan mengalaminya. Contohnya kakak saya tetap normal sampai sekarang. Sebab limfedema yang berasal dari kata "limfe" (kelenjar getah bening) dan "oedema" (bengkak) ini terjadi tergantung dari berapa luasnya kelenjar itu dibuang dokter. Semakin banyak bagian-bagiannya yang dibuang kerusakan tentu saja semakin parah. Cairan di kelenjar getah bening itu tak ada penopangnya lagi sehingga turun melorot ke tangan menimbulkan pembesaran di sekujur lengan yang kita kenali sebagai bengkak.

Sampai kapan pun juga limfedema tak bisa dinormalkan kembali. Karenanya pasien memang cuma bisa pasrah diri dengan mempersiapkan mental sekuat baja. Inilah sebabnya saya bisa mengalahkan fisioterapi demi terapi di sinshe yang jelas-jelas membantu mengatasi efek samping kemoterapi saya. Besok anak saya akan kembali mengurus surat-surat untuk kontrol ke klinik onkologi. Insya Allah hari Rabu malam resep obat kemoterapi dari dokter onkologi saya sudah dapat diajukan. Dan ini artinya kemoterapi saya bisa dilanjutkan kembali. Saya benar-benar bertekad sembuh untuk membahagiakan anak-anak, dokter dan kerabat saya yang rela merawat menolong saya sejak lama. Maka jika Allah mengizinkan akan saya dedikasikan kasus penyakit saya sebagai latihan kerja bagi onkologis saya yang belia tapi cemerlang ini. Insya Allah. Bismillahirahmanirahim. La haula wa la quwwatta illa billah............

(Bersambung)



2 komentar:

  1. Informasi ini perlu disebarluaskan kepada para ibu agar terdeteksi lebih dini jika ada kemungkinan kanker payudara.

    Oh ya kak, katanya jika asi-nya sering keluar untuk menyusui anak. Kemungkinan kanker payudara itu kecil. Itu beneran apa nggak sih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebrtulnya nggak hanya para ibu yang perlu tahu ini, gadis pun juga. Termasuk kaum pria karena meski sedikit ada juga pria yang terserang kanker payudara karena gaya hidupnya yang salah.

      Betul, jika dipakai menyusui, maka kelenjar susunya tidak tersumbat. Ini sebabnya perempuan sebaiknya menikah, hamil dan menyusui. Atau pada ibu-ibu yang puting susunya kurang mencuat sehingga bayinya kesulitan mengisap, air susunya dikeluarkan dengan pompa supaya nggak ada sumbatan kelenjar air susu.

      Terima kasih ya sudah mampir ke tempat saya. Salam kenal.

      Hapus

Pita Pink