Laman ini sudah sejam terbiarkan tanpa sepatah kata pun menghiasi dirinya. Bukan karena tak ada yang ingin saya catatkan di sini, melainkan karena saya tak tahu apa yang harus saya tuliskan untuk menggambarkan perasaan saya. Sebab seribu satu rasa berkecamuk mewarnai hati di dalam hari-hari kehidupan saya. Sebagai penderita kanker yang masih terkatung-katung menanti berlangsungnya pengobatan saya tentu terselip rasa khawatir menghadapi penyakit ini. Sebab telah berkali-kali dokter menekankan bahwa saya sedang berlomba dengan waktu.
Waktu. Saat sangkakala ditiup malaikat pecabut nyawa. Dan padang Mashar membentang terbuka gerbangnya untuk dimasuki jiwa yang dipanggilNya. Tuhan Maha Kuasa! Terima kasih. Saya belum mau mati! Maka jangan panggil saya untuk masuk ke sana sekarang!
Gara-gara pihak Tata Usaha RS menegur kami soal permintaan dana bantuan Jamkesda tempo hari, saya jadi bersitegang dengan anak saya. Soalnya besok saya sudah harus kembali ke klinik onkologi dengan dana Jamkesda. Berarti hari ini anak saya harus ke Puskesmas dan DKK untuk mengurus surat rujukan sebagai bukti penerima dana pemegang SKTM. Untung pihak Puskesmas dan DKK tidak rewel. Rujukan diberikan dengan mudah. Malah bu dokter kepala Puskesmas desa saya menanyakan tentang kondisi saya kepada anak saya. Kelihatan betul bahwa beliau sangat khawatir karena mengetahui benar keadaan kami.
***
Nyeri dan pegal. Itulah yang saya rasakan di tumor dan juga di kelenjar getah bening ketiak saya. Belum lagi pangkal paha saya yang ngilu, rasanya semakin menjadi-jadi. Tak ada obat yang bisa meredam sakitnya, sebab krim pereda nyeri otot pun terlarang untuk saya pakai karena limfedema memang istimewa. Daerah yang terserang itu tak boleh terkena panas. Jadi saya tak berani menggunakannya. Sedih dan bingung sekali rasanya. Hingga air mata yang selalu saya tahan nyaris membuncah ke luar. Tengah malam saya pun terbangun, menggelinjang gelisah dari satu sisi ke sisi lain tempat tidur saya berusaha mendapatkan kenyamanan. Sejak itu sampai pagi saya tetap terjaga membuat tubuh saya kini lunglai dan sedikit lebih mengantuk dibandingkan hari-hari biasanya.
Kanker adalah serupa hantu. Bagi seseorang yang pernah menderita dan sudah bertahun-tahun dinyatakan bersih, kanker ini tetap menakut-nakuti. Sebab jika pasien tak mau merubah gaya hidupnya menjadi gaya hidup sehat kanker dapat kambuh kembali.
Seorang nenek berumur tujuh puluh enam tahun pernah diobati tiga belas tahun yang lalu karena kanker payudara stadium terminal (IV). Kondisi itu membuat kankernya tak lagi dapat dioperasi. Jadi dokter mengobatinya secara paliatif yang bertujuan meringankan rasa sakitnya dengan teknik penyinaran (radiasi) juga kemoterapi. Pengobatan itu tak disangka mendatangkan hasil. Kankernya sempat dioperasi lalu dia dinyatakan sehat meski harus menjalani kontrol rutin setiap enam bulan sekali ke dokter onkologi. Namun nyatanya kini kankernya tumbuh kembali, dioperasi lagi juga dikemoterapi. Jadi, mengidap kanker sama dengan menjalani ujian hidup. Sulit untuk mengatakan bahwa kanker benar-benar bisa disembuhkan.
Seorang dokter yang menjadi dosen di daerah menderita kanker otak yang berawal dari kanker payudara. Semula kankernya baru mencapai stadium II A sehingga dioperasi dilanjutkan dengan kemoterapi. Setelah sempat dinyatakan sembuh tiba-tiba muncul rasa sakit yang disebabkan luka di dalam mulutnya. Ternyata dia menderita kanker lidah. Setelah kembali menjalani pengobatan dengan kemoterapi ditambah radiasi yang menghentikan serangan kankernya, kini, empat tahun sejak pertama ditemukan kanker itu telah menyerang otaknya. Tak ada ampun, ditinggalkannya pekerjaannya untuk selama-lamanya demi berkonsentrasi pada pengobatannya yang ternyata belum juga menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Tubuhnya semakin kurus dan lunglai. Dia yang semula mengasuh banyak mahasiswa kini harus bergantung pada perawat untuk menjalani kesehariannya. Betapa ngerinya!
Di klinik dokter ahli penyakit dalam saya juga sempat bertemu dengan pasien uzur penderita kanker di kelenjar thyroid. Bicaranya sudah mulai tidak jelas apalagi diperberat oleh penyakit stroke yang nyaris melumpuhkannya. Kata istrinya dulu beliau sudah juga dibawa onkologisnya ke RS Dharmais untuk ditreatment dengan teknik ablasi menggunakan zat iodine radio aktif. Gejala yang dialaminya dulu adalah benjolan di leher bagian depan, suara yang berubah akibat rusaknya pita suara di sekitar thyroid serta kesulitan bernafas. Lengkap sudah penderitaan kakek tua itu. Sehingga kini dia tetap rutin berobat dan kontrol ke klinik onkologi. Sayang dia terpaksa berganti dokter karena onkologisnya pindah dari kota kami. Tapi saya percaya di bawah dokternya yang baru yang dalam penilaian banyak orang cerdas dan tidak gegabah ini beliau akan tertangani dengan baik. Sebabnya onkologis kami tidak pelit bicara.
***
Harusnya malam ini saya kontrol ke klinik onkologi sekalian menyelesaikan resep kemoterapi yang sudah mendapat kejelasan tentang pendanaannya. DKK bisa mendanai lewat dana Jamkesda dengan kualitas obat yang diturunkan namun isi jenisnya sama. Hari Sabtu saya sudah melapor dengan SMS kepada onkologis saya tentang hal itu sekaligus mohon perkenan untuk berkonsultasi pada hari Rabu. Waktu itu beliau membolehkan sehingga pagi-pagi sekali anak saya sudah datang mendaftar. Hati saya sudah gembira dengan angan-angan yang menyenangkan, tapi tiba-tiba tadi siang dokter mendadak membatalkan jam praktek kliniknya. Seperti biasanya ini disebabkan ada kasus gawat darurat yang membuat pasien-pasien rawat jalan diminta mengalah. Tentu saja saya kecewa.
Terbayang seandainya di kota kami pada satu RS ada lebih banyak jam praktek onkologis atau bahkan beberapa onkologis yang bekerja diangkat secara tetap, tentu semua pasien terlayani dengan baik. Lagi-lagi saya cuma bisa menghela nafas menahan sabar seraya menunggu semoga kelak pemimpin daerah kami yang baru berpikir tentang hal yang sama. Apalagi saya tahu persis penyakit kanker menghinggapi keluarga besarnya secara turun temurun. Setidak-tidaknya saya menghadiri doa kematian neneknya dulu, sedangkan ayahnya juga meninggal karena kanker seperti halnya beberapa sepupu beliau. Kanker itu memang cenderung bersifat genetis diwariskan dari satu generasi ke generasi di sebuah keluarga yang sama.
Beginilah rasanya jadi orang sakit yang tak punya biaya. Tentu pengobatan tak akan ada pilihan. Sudah beruntung onkologis saya menunjukkan jalan keluar untuk saya di antaranya minta bantuan DKK mendapat dana Jamkesda. Jika tidak saya pasti segera akan mati. Tadi siang pegawai pabrik obat yang sempat dihubungi anak bungsu saya beberapa minggu yang lalu untuk menanyakan harga obat langsung dari pabriknya meneleponnya. Dia menanyai bila anak saya siap akan membelikan obat untuk saya. Sebab katanya kemoterapi tak baik jika ditunda-tunda. Ya Allah, lorong hitam itu kembali mendekat mengingatkan saya untuk bersegera. Dan sebagai jawabnya saya cuma bisa berdoa dan berharap semoga dokter membuka kliniknya hari Sabtu nanti.
Jadi sebagai gantinya saya tadi berobat di sinshe menggunakan dana yang dikirimi teman baik saya. Sinshe kemudian menambahkan obat-obatan untuk meredakan keluhan nyeri saya. Dia bilang dia tetap bersedia mengupayakan menolong saya meski sekarang menjadi berat sebab kanker saya sudah sempat dilukai dengan operasi. Pesannya dulu, kalau ingin sembuh sempurna sebaiknya sel kanker tak dilukai. Hindari tindakan bedah bahkan menggaruk-garuk tumor yang sakit itu untuk menghindari luka. Tapi saya sudah terlambat. Akan kah saya bisa sehat kembali? Hanya kepada Allah saya pasrahkan semuanya.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar