Kamis, 17 Oktober 2013
SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (123)
"Didrop dok!" Seru saya tegas mencoba untuk tegar kemarin sore ketika saya mencapai ruang pemeriksaan klinik onkologi RS kecil yang sesungguhnya lumayan lengkap di kota kami. Air mata memang benar-benar tak menggantung di pelupuk mata saya, apalagi sampai menggenang. Sebab saya benar-benar siap menghadapi semuanya dan ikhlas melaksanakan rencana kedua program pengobatan kemoterapi saya yang telah kami rancang bersama sebagai langkah akhir.
"Oh ya sudah," sahut dokter onkologi saya sama tenangnya. Sehari sebelumnya kami sempat berdiskusi semenit saja di selasar muka kamar kerja beliau di kantornya mengantisipasi hal ini. Saya akan dikemoterapi cukup di kampung dengan obat yang resepnya diajarkan dokter ahli kemoterapi dari RSKD.
Lalu saya mendudukkan diri di hadapan beliau mulai dengan laporan saya yang sengaja saya tunda beberapa jam mengingat pasien beliau di kantornya meluap akhir-akhir ini. Saya amati semakin banyak orang yang berobat di kliniknya entah karena penunjukkan pihak RS maupun atas keinginannya sendiri setelah pernah bertemu dengan pasien lamanya.
"Jadi tadi itu beliau langsung ngomong, 'oh ini, jadi nggak bisa ikut penelitian ya.........,' gitu," cerita saya buka-bukaan. Tak perlu saya ragu atau takut beliau marah lagi, karena saya tahu kemarahan beliau itu sesungguhnya karena benar-benar kasihan dan sayang kepada pasien.
"Hmmm, lha terus?" Potongnya
"Ya saya bilang minta maaf sebab pengertian dokter onkologi saya sama dengan saya bahwa tak terjadi metastase sejauh tak kita temukan sel tumbuh di hepar, pulmo dan osteo, gitu saya bilang. Sedangkan yang di supra clavicula 'kan sudah ada post mastect tercatat di status tiga belas bulan tujuh," sahut saya seraya menyandarkan tubuh ke kursi. Seorang anak saya berdiri menjejeri saya seakan-akan siap menopang kalau saya jatuh terkulai lesu. Sedang abangnya duduk di sebelah saya. Para perawat yang tiga orang mulai masuk mengelilingi kami memasang telinga lebar-lebar.
"Reaksinya?"
"Beliau memang mencermati si post it yang sepetil templekan baru itu lho, terus bilang gini, 'ya, itu 'kan distance metastasis. Tapi kasus ibu juga metastasis,' gitu mas......," terang saya. Saya lihat beliau senyum-senyum juga mendengar laporan saya.
"Saya bilang lagi, 'lho, lha itu 'kan bagian dari tumor primer yang masif yang waktu dibedah tidak mungkin terambil oleh scalpel, karenanya saya diserahkan kepada panjenengan.' Gitu mas. 'Maaf kalau pengertian dokter saya keliru sebab kriteria metastase yang diminta tidak terjelaskan dengan baik, kami minta maaf.' Saya sebut aja gitu. 'Kan memang iya ya?!" Lanjut saya sambil mengumbar senyum tipis. Di sudut bibir mereka para tenaga medis yang mencermati kami pun nampaknya tersenyum. "Nggih mboten bu Umi? Ya bang?" Saya beralih menatap para perawat yang barangkali muak melihat saya atau barangkali justru bingung. Ah, saya tak lagi peduli sama tak pedulinya dengan sikap saya ketika menghadap sang peneliti yang disegani orang itu siang harinya.
"Terus?"
"Eh nanti dulu mas dokter, alasan saya benar 'kan ya?" Sela saya sebelum melanjutkan jawaban yang ingin diketahuinya.
Onkologis saya cuma tersenyum lagi. "Tapi saya bilang semua ini salah saya. Karena saya orang tidak mampu jadi saya terlambat ke dokter. Meski dokter Bayu tetangga saya, papan nama kliniknya cuma bisa saya pandangi dengan ingin tanpa berani masuk berobat sebab saya pasti tak bisa membayar jasanya," saya menghela nafas sejenak. Dokter pun seperti tercekat.
"Tumor saya sudah sedemikian rupa kondisinya sewaktu saya diobatkan teman-teman saya ke sini atas jasa dr. Maria teman DWP saya. Jadi bukan salah dokter saya tak mampu membersihkan sel tumor saya. Gara-garanya saya terlambat ke dokter. Saya bilang gitu. 'Ya, tapi ini 'kan menurut kriteria yang dimaui penelitian masuk metastasis. Makanya dari semula saya sudah meragukan ibu, tapi ada pihak-pihak tertentu yang bersikeras memakai ibu sih,' gitu kata beliau," ungkap saya. Saya menarik nafas lagi sejenak.
"Panjenengan ngerti sendiri 'kan mas, itu maksudnya mbakyu kita deh. Soalnya kata orang di situ mereka saling berebut kesempatan ikut memasukkan kasus yang ditangani," lanjut saya lagi terus terang. Saya ingat sekali dulu saya dibisiki bahwa banyak pihak yang mengincar kesempatan ini dan menginginkan saya gugur demi mereka. Ah, suatu permainan biasa di bidang apa pun. Bersaing dan bersaing meski tentunya sebaiknya secara sehat. Maafkan saya kalau ternyata keliru menilai, hiks!!! Dan mafkan saya juga telah berterus terang di buku harian ini, halah!
Lalu saya ceritakan juga bahwa kali itu tumben sang peneliti membuka kran komunikasinya. Padahal biasanya untuk sekedar melihat lalu mendiskusikan kondisi fisik saya cukup dijawab dengan gelengan kepala dan sepatah kata tidak usah. Jadi saya ungkapkan usul beliau untuk saya pindah menumpang di rumah keluarga saya di Jakarta agar saya bisa memanfaatkan KJS yang sedang punya program hibah baru akan berakhir dua bulan lagi. Sebab saya telah berterus terang bahwa saya tak lagi dapat mengakses Askes saya, serta Jamkes kota saya yang belum bekerja sama dengan RS itu.
"Saya bilang meski dokter Ria atau dokter Bayu menawari saya menumpang di kediaman beliau di Jakarta tapi saya akan tolak. Saya akan bekerja sama dengan beliau melaksanakan kemoterapi di kampung saja. Saya percaya masih mampu, karena buktinya dulu pun bisa walau sayang obatnya tak cocok," saya lanjutkan lagi cerita saya tanpa sedikit pun disela dokter saya.
"Saya bilang di kampung sudah dapat koktail FAC yang ketika itu beliau usulkan sebagai opsi harga murah mas. Tapi saya bilang saya tidak cocok makanya saya dibawa ke Jakarta. Dicoba ditawarkan ke hadapan beliau karena alhamdulillah kondisi fisik saya selalu baik; betul 'kan ya?!" Ungkap saya lagi. "Di Bogor meski tanpa ahli kemo tapi kolega beliau Ketua Komite Medik bisa bahu-membahu melaksanakan penatalaksanaan penyakit saya," urai saya lagi begitu gegap gempitanya. Saya bangga kepada usaha kami yang sudah terlaksana dulu itu.
"Kini beliau akan mencoba mencarikan koktail TCH minimal Brexel-Carbo sesuai diskusi dengan bu dr. Ria, begitu beber saya mas dokter," tutup saya.
"Okay deh, terus komposisi resepnya segimana bu?" Dokter saya mulai hanyut ke dalam permainan yang saya dalangi sendiri.
"Ini, tunggu saya cari," sambut saya sambil mencari-cari berkas RS yang lainnya. "Lha nanti evaluasinya di sana mas, yang penting perolehan obatnya di sini, gimana? Sudah ada green light lho...... Ada yang langsung komentar lha nggih monggo mawon, boleh sekali, dengan senang hati," kata saya seraya menyerahkan coretan-coretan komposisi obat kemoterapi yang sulit saya baca dengan kemampuan orang awam.
"He....he....he... okay deh, sini," ditelitinya lembaran itu sambil menanyakan bobot tubuh saya untuk menakar obat dengan tepat. "Oh ya, betul segini," gumamnya lembut.
"Lha saya 'kan harus boleh menyerahkan diri untuk latihan mas dokter. Insya Allah kalau saya tertangani lagi dengan baik, mas Bayu makin cemerlang. Percaya deh sama saya. Anak SMA kita mana ada yang bodoh. Gini-gini saya ini murid terbodohnya," terus saja saya berceloteh sesuka hati menyemangatinya sehingga menimbulkan tawa berderai-derai. Beliau mulai tersipu-sipu.
"Bu, ini untuk ke dokter Suks ya, echonya udah jadi 'kan?!" Kata dokter seraya melepas sehelai kertas permintaan rujukan.
"Eh belum, minggu lalu saya sekedar ngecek aritmia dulu. Ternyata sudah baik, belum echo. Tolong minta perintah echo - EKG ya dok," ujar saya memohon.
"Oh ya. Dan ini lab," beliau akan menarik lembaran permintaan pemeriksaan laboratorium rutin.
"No, udah. Ada nih hasil Senin waktu kita ketemu di selasar pagi-pagi itu, biar gerak cepat dok. Memang diminta CITO sih hihihi...... pasien sok tau.......," saya mengaku sambil tertawa sendiri lalu mengangsurkan lembaran laboratorium yang hasilnya kebetulan memuaskan lagi. "Kemain saya bilang lho, meski saya sudah berobat di sana tapi saya tetap melaksanakan kontrol di dua tempat. Di sini juga. Beliau manggut-manggut katanya bagus dok," begitu urai saya seraya menunggu proses administratif selesai. Dokter simpatik itu terus saja menyelesaikan tugasnya selagi para perawat sigap membantunya. Pak Omrin perawat lelaki satu-satunya di klinik onkologis yang jadi "gacoan" para pasien yang butuh informasi di sisi kiri beliau, sedang bu Umi agak jauh mendekati tempat saya.
"Jadi gini dok, kami mau ke DKK dulu ya bawa copy resep ini untuk menanyakan kira-kira obat apa yang tidak didanai, dan mana yang didanai Jamkesda. Kalau yang Brexel - Carbo didanai tapi yang satunya nggak, kita skip yang satunya 'kan?!" Kata anak saya mengambil alih pembicaraan. Dia teringat pembicaraan kami sebelumnya bahwasannya jika terpaksa kami hanya akan menggunakan obat-obat second line saja dengan pengertian toch obat yang didewa-dewakan cuma mampu meredam kekambuhan sebanyak 20% saja kata hasil penelitian yang dipelajari dokter onkologis saya ini.
"Ya," jawabnya singkat.
"Lha nanti kalau misalnya Brexel - Carbo pun tidak didanai, kami mau negosiasi saja karena masa' ibu saya nggak diobati?" Sambung anak saya lagi. "Beneran dok, saya nggak mungkin cari dana lagi. Lagi-lagi minta jamkes Kasiho 'kan ya memalukan........"
"Ya, sebaiknya bicara dari hati ke hati saja dengan pihak pejabat DKK mas," timpal bu Umi menyetujui. "Masa' sih mereka diam saja."
"Ya deh siiiip," timpal saya senang. "Tapi eh, pre-med saya apa ya dok?" Tiba-tiba saya merasa dokter belum menuliskan obat yang harus saya makan sebelum, ketika dan sehari sesudah kemoterapi.
"Oh.... oh.... oh iya, mana sini resepnya," lalu beliau menambahkan sesuatu di lembaran yang sudah penuh itu.
"Itu apa mas? Golongan anti alergi kah?" Tanya saya.
"Bukan, untuk anti muntah, deh."
"Ondansetron gitu?"
"Bukan, dimakan semalam sebelum kemo, ketika selesai kemo dan keesokan harinya," jelas dokter saya sambil mengembalikan resep ke tangan perawat untuk penyelesaiannya.
"Maaf ya dok, pasiennya bawel, tukang ngatur lagi. Tapi saya senang, dokter tuh harusnya ya gini, bisa diajak bicara, komunikatif. Mana ramah, pinter, nggantheng lagi hihihi...... Sampai anak saya bilang saya jatuh sama mas dokter hadeuh ah....," saya mengomentari diri sendiri sambil tertawa disambung yang lainnya.
"Lho, tapi iya lho. Di sana banyak yang bilang saya beruntung dapat dokter yang ini. Paling muda, paling pinter di situ. Belum lagi ada nenek tuwek dari Jabar pinggiran nyaris coret bilang dokternya pribadinya halus, sopan pasti asalnya orang Bandung. Ya saya bilang, ah, salah sangka. Kami orang Bogor, sekampung, memang kenapa sih mesti dikira orang Bandung. Eh jawabnya, karena dokterna someah, nyarios Sundana lemes, bageur, tur kasep pisan hahahaha......"
"Tuh, geura ge nya, piraku ngan ukur urang Bandung nu tiasa kitu? Kumaha ari abdi?" Eh tahu nggak, si nenek tersenyum simpul. Sumuhun eneng, eneng oge sae geuningan..."
Lalu sore itu jadi sore yang menyenangkan. Sebab tiba-tiba saya teringat bahwa dokter kami merawat pasien yang biasanya bernama dengan akhiran huruf "h". Contohnya Winarsih, Maemunah, Maesaroh, Masitoh, Sunengsih dan banyak lagi. "Nih setelah ibu juga Chodijah," tutur anak saya ketika mendengar nama pasien berikutnya dipanggil perawat masuk menghadap dokter. "Huahahaha...... bisa'an aja," timpal mereka di situ. Tapi dokter pun manggut-manggut sambil membenarkan, "lha iya hehehehe......."
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
lama gak nengokin blog bunda nih...apakabar bun?
BalasHapusIya, pastinya sibuk momong ya? Kabar saya ya seperti yang saya catat di sinbi sih. Apa kabar Enju dan mas Ihwan? Terima kasih ya udah mampur.
Hapus