Ngilu rasanya pangkal paha saya pada persendiannya. Hal ini terjadi beberapa hari setelah saya menerima koktail obat kemoterapi saya yang baru yang dimasukkan dengan cara disuntikkan memakai alat yang lebar di paha. Selain itu mulai dari lutut kaki saya pun seperti kehilangan sebagian dayanya membuat lemah. Saya mengira merupakan hal yang biasa, karena saya tidak lagi menggunakan herbal Cina sebagai penguat kondisi tubuh saya. Selain itu saya belum punya bahan perbandingan dengan pengguna lain obat ini disebabkan sifatnya masih berupa penelitian.
Keadaan ini sudah sempat saya laporkan kepada dokter ahli kemoterapi saya, yang kemudian juga melaporkannya kepada koordinator penelitian waktu saya memenuhi jadwal pemeriksaan hari Rabu kemarin dulu. Beliau lalu memberi vitamin dan obat yang bisa dipakai untuk mengurangi keluhan saya tapi tak banyak menolong. Karena itu saya putuskan untuk tidak berangkat ke Instalasi Rehabilitasi Medik (IRM) pada hari ini, sekali pun saya terjadwal untuk difisioterapi seminggu tiga kali. Saya putuskan untuk mengistirahatkan kaki saya di rumah menunggu esok jadwal praktek onkologis saya di Bogor. Saya akan berkonsultasi kepada beliau, berharap semoga saya mendapat pencerahan atau saran yang menolong.
***
Tapi tadi pagi ketika sedang menikmati sarapan pagi di muka layar televisi sambil menonton berita saya menerima SMS dari koordinator penelitian yang menyiratkan ingin menemui saya seandainya hari ini saya pergi ke IRM. SMS yang terlambat saya baca itu, tentu saja terlambat saya balas sehingga balasan dari beliau belum juga saya terima meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Padahal sambil minta maaf dan mengeluhkan keadaan kaki saya, saya pun bertanya apa kiranya yang bisa saya bantu dari rumah untuk kelangsungan penelitian itu.
Lama menunggu, menjelang pukul sepuluh datang juga balasan itu. Saya diminta datang memeriksakan diri terlebih dulu ke klinik dokter ahli kemoterapi sebelum hari Rabu yang sudah dijadwalkan sebagai hari pelaksanaan kemoterapi saya yang kedua dalam siklus yang sekarang. Waktu saya menghadap dokter ahli kemoterapi kemarin dulu, bu Lita koordinator penelitian itu tidak ikut menerima saya. Beliau hanya dihubungi dokter lewat telepon. Kedengaran dokter melaporkan hasil pemeriksaan darah saya yang bisa dianggap cukup untuk pelaksanaan kemoterapi. Kemudian perawat lah yang ditugasi menjadwalkan dan mempersiapkan kemoterapi saya. Dari zuster Yani, perawat senior itu disepakati Rabu (02/10) sebagai hari kemoterapi. Artinya saya dinyatakan tak perlu kontrol sekali lagi, melainkan bisa langsung datang ke klinik rawat singkat membawa hasil pemeriksaan laboratorium terbaru saya satu-dua hari sebelum Rabu itu. Tapi agaknya gagasan ini tak sejalan dengan metoda penelitian sehingga kini saya diminta datang ke klinik dokter ahli kemoterapi dulu sebelum Rabu. Hati saya setuju meski diliputi kecemasan takut jadwal kemoterapi saya tertunda terganjal entah oleh faktor apa. Padahal kemoterapi selalu terjadwal tiap tiga minggu sekali.
Alih-alih menduga-duga, saya lalu memutuskan untuk berkunjung ke klinik onkologis saya secepatnya yang akhirnya terlaksana Sabtu sore (28/09). Dokter ini memang lama tak bertemu saya meski semua kondisi saya terpantau beliau baik melalui forum rapat dewan dokter yang diselenggarakan di kantornya maupun lewat SMS bahkan E-mail yang tak pernah lupa saya kirimkan ketika saya mengalami sesuatu hal yang berkaitan dengan kondisi kesehatan saya. Dokter onkologis saya memang simpatik, termasuk sedikit di antara dokter yang mau berkomunikasi terbuka dengan pasiennya. Empatinya pun kuat, sebagaimana penilaian keluarga pasien yang kebetulan merupakan staf RS pada instalasi yang berbeda dengan tempat beliau berdinas.
Sore itu suasana di muka klinik cukup ramai. Agaknya banyak pasien yang membutuhkan jasa onkologis termasuk pasien baru. Di antaranya putri ibu guru yang sempat berkenalan dengan saya beberapa minggu lalu. Konon kata ibunya, gadis itu juga ditumbuhi benjolan kecil di payudaranya tetapi seperti cairan. Meski tak mengeluh sakit, namun sang ibu tetap menaruh kewaspadaan sebab pada sejumlah kasus kanker payudara bersifat diturunkan dalam satu keluarga (genetis). Contohnya di keluarga saya selain saya, kakak kandung saya juga pengidap kanker payudara. Sedangkan kakak lainnya yang sehat mempunyai putri yang pernah dioperasi pengambilan kista payudara sebanyak dua kali. Kemarin kakak saya menjalani kemoterapinya yang kedua dengan koktail obat yang tidak pernah menolong saya. Tapi saya berharap kakak saya sembuh menggunakan itu karena sakit yang sama penyebabnya belum tentu persis sama meski faktor pendorong timbulnya sama.
Ketika saya jenguk di ruang kemoterapi, zuster Shinta yang bertugas masih mengenali saya tapi tak tahu bahwa pasien yang sedang ditanganinya kali ini adalah saudara kandung saya. Bu Shinta nyaris mencegah saya masuk ke bilik kakak saya, bilik satu-satunya yang tertutup karena dikhususkan untuk pasien privat atau Askes kelas I. Tetapi begitu saya menjelaskan bahwa dia kakak saya, dengan ramah perawat itu mempersilahkan saya masuk bahkan kemudian ikut mengobrol. Sempat dipertanyakannya keberadaan saya yang saya jawab seketika dengan foto-foto kemoterapi saya yang terbaru. Tentu saja dia belum pernah melihat prosedur kemoterapi semacam itu, karena saya sendiri masih dalam taraf percobaan penggunaan meski isi obatnya sudah lama dikenal efektif dalam melumpuhkan Her-2 sejenis virus penyebab kanker payudara yang berasal dari dalam tubuh pasien sendiri. "Ibu nggak kangen sama pojokan situ?" Pancing bu Shinta seraya memandang kubikel favorit saya selama dikemoterapi di tempat tugasnya. "Ya kangen lah bu, kangen juga ngobrol dengan perawat-perawat cantik hatinya di sini. Tapi apa boleh buat, koktail saya nggak didanai Jamkesda," jawab saya sambil menggigit bibir. "Terus di Jakarta dapat dana dari mana?" Tanyanya ingin tahu. "Dari Jamkes Kasiho.......... dikasihani orang. 'Kan dokter saya yang mengupayakan supaya saya bisa diikutkan penelitian di kantornya," terang saya yang membuahkan ucapan bahwa dokter onkologi saya memang simpatik dan terkenal punya kasih sayang kepada pasiennya yang betul-betul tak berdaya. Wah, rasanya ini kali kesekian saya mendengar alasan mengapa ruang prakteknya selalu diincar pasien meski tak tentu jadwalnya.
Di muka klinik ketika saya tiba kembali untuk mengetahui giliran saya tersua sebuah brankar yang biasa ada di setiap ambulans. Di atasnya seorang perempuan separuh baya merintih sambil meringkuk memegangi kakinya. Kelihatan benar dia kesakitan meski tak jelas apa yang jadi sumber sakitnya. Menyaksikan yang demikian saya tersadar bahwa sakit saya tidaklah hebat. Ada orang yang jauh lebih parah dan menderita hingga tak mampu bangun. Untung saya tak perlu berlama-lama memandangnya karena tak berselang lama dia dipanggil zuster Umi masuk klinik. Namun justru giliran saya dengan tangan bengkak yang terbalut verband tebal mulai dari ujung jari yang menimbulkan rasa ingin tahu serta komentar orang. Saya layani keingintahuan mereka dengan jawaban apa adanya. Bahwasannya kanker pada kelenjar getah bening di ketiak saya mengakibatkan kelenjar itu diambil sebanyak-banyaknya hingga menimbulkan pembendungan cairan getah bening yang berakibat bengkak di tangan. Reaksi mereka semua cuma ungkapan "o......." sama seperti yang saya lakukan dulu.
Saya masuk juga tak lama kemudian, diikuti perempuan di atas kursi roda yang nampak begitu lemah seperti perempuan di atas brankar dua giliran sebelum saya. Sedangkan posisi saya menggantikan pasien yang berjalan dibimbing suaminya yang nampaknya juga tidak bugar dalam keadaan kaki bengkak terseok-seok. Sungguh semuanya kasus serangan kanker yang berat, yang membuat saya makin yakin tentang kemampuan dan kekuatan saya melawan si ganas yang amat mencintai saya ini.
"Assalamu'alaikum dok. Maaf ini pasien kurang penting," sapa saya disambut senyum lebar onkologis simpatik di hadapan saya. "Apa kabar bu?" Sapanya seraya mengulurkan tangan dan bangkit sejenak dari duduknya. Kemeja putih bergaris-garis biru yang dikenakannya membuat pria ini jadi tak menyeramkan.
Saya kemudian langsung melaporkan jalannya kemoterapi saya yang memang belum pernah diketahuinya. Dari ponsel saya muncul foto alat suntik model baru yang saya gunakan memasukkan obat penelitian itu. Para perawat yang tengah bertugas beramai-ramai mengelilingi dokter ikut menyaksikan dengan antusias. "Oh......, alat suntiknya bundar ya? Mana jarumnya? Tanya mereka. Saya menjelaskan semua yang saya ketahui dan alami membuat mereka tersenyum dan mengangguk-angguk paham. "Hanya lima menit Trastuzumabnya masuk semua," tutur saya meyakinkan tapi sekaligus mengeluhkan sebagai akibatnya kaki saya yang disuntik itu kini menjadi lemas. Dokter mencatatnya dengan baik termasuk obat apa yang diberikan dokter ahli kemoterapi untuk mengatasinya. Lalu saya tekankan bahwa efek ini tak pernah terjadi ketika saya menggunakan koktail obat yang dulu bersama-sama dengan jamu herbal Cina yang sekarang saya stop demi komitmen saya ikut penelitian.
"Ah, bukan efek Trastuzumab bu, Taxotere pun bisa begitu tergantung kondisi pasiennya," bantah dokter saya. Tapi beliau cuma tersenyum ketika saya kemukakan bahwa saya menyesal tak lagi menggunakan jamu herbal. Namun ujung-ujungnya beliau tak melarang saya nanti menggunakannya kembali. Sambil mencermati laporan saya beliau membenarkan fitnya kondisi saya dulu.
Kemudian saya laporkan juga bahwa lusa saya akan menghadap dokter ahli kemoterapi untuk persiapan kemoterapi kedua di hari Rabu. Kepadanya sekaligus saya sodorkan fakta hasil pemeriksaan darah rutin saya dua minggu terakhir teramasuk angka perbaikannya setelah saya mendapat suntikan untuk meningkatkan kadar sel darah putih saya. Saya katakan saya ingin Rekam Medis saya di kedua RS sama lengkapnya hingga fakta-fakta yang terkecil guna mengantisipasi andaikata terjadi insiden saya tiba-tiba memburuk dan perlu dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat. "Oke kalau begitu, lembaran-lembaran ini masuk di sini dong ya? Mudah-mudahan ibu sehat-sehat saja," ujar dokter saya seraya mengakhiri pertemuan kami. Beginilah diri saya, selalu tak pernah punya persoalan yang perlu dikhawatirkan bukan?! Alhamdulillah!
(Bersambung)
nggak bisa komentar apa2.. ternyata mbak julie orangnya sangat sabar ya, harus berkaca ke mbak julie :)
BalasHapusAh mbak Sari bisa'an aja deh. Saya juga bisa kehabisan kesabaran kok. Cuma kalau pas di RS lihat pasien yang kondisinya payah saya langsung mengucap syukur masih bisa jalan sendiri :-D
Hapus*nyodorin cermin buat ngaca*