Jumat, menjelang akhir pekan kedua di bulan Oktober. Matahari tampaknya tak segarang biasanya. Sebab Bogor mulai lagi sering disirami hujan senja hari. Sudah sehari berlalu sejak dokter onkologi saya kecewa terhadap keputusan peneliti obat di kantor beliau yang menginginkan menyetop keikutsertaan saya dalam peneltian obat anti kanker yang ditelitinya. Kemarin dulu kata pihak peneliti yang dihubungi dokter onkologi lewat telepon, saya tetap harus dibiopsi ulang terlebih dulu meski mereka bersedia untuk meninjau kembali persyaratan itu dan membatalkan niat mereka menggugurkan saya.
Konon kata dokter saya beliau tak bisa menerima aturan yang terkesan dibuat sepihak tanpa melibatkannya selaku dokter utama yang menangani kasus kanker saya. Jadi onkologis saya mengharapkan para peneliti membahas ulang kasus saya dan memberikan jawaban secepatnya. Onkologis saya menyaratkan kemoterapi saya segera berlangsung hari Rabu mendatang sebab sudah tertunda dua minggu. Padahal kemoterapi harus dilaksanakan sesuai jadwal dengan jeda masing-masing siklus tiga minggu sekali.
Diagnosa yang harus ditulis onkologis saya sudah lama tercantum di berkas status saya, jauh sebelum saya disetujui untuk diterima sebagai objek penelitian. Semua kondisi saya tak pernah lepas dari pengamatannya dan tercatat dengan baik. Jadi artinya tak ada aturan atau persyaratan pengajuan permohonan ikut berpartisipasi dalam penelitian yang kami langgar.
Tapi kini tiba-tiba kondisi tumor saya dipersoalkan pihak peneliti. Kelihatannya Rekam Medis (RM) saya tidak dicermati sehingga kini menjadi sesuatu yang perlu dipertanyakan dan harus ditindak lanjuti dengan tindakan biopsi sekali lagi. Inilah yang membangkitkan kekecewaan onkologis saya. Sehingga akhirnya beliau kemudian mulai berpikir bahwa seandainya saya dikeluarkan dari kepesertaan program penelitian itu, maka beliau akan mandiri mengerjakan kemoterapi saya. Mengerjakan kemoterapi saya seperti dulu sukses dilaksanakannya meski fasilitas amat terbatas di kampung kami. Katanya dalam keadaan terdesak beliau berani bertanggung jawab atas kelangsungan kemoterapi penyambung nyawa saya. Sebab sekali lagi ditegaskan kondisi saya termasuk yang harus disegerakan. Saya berpacu menentang sakratul maut, itulah intinya. Meski tak terang-terangan diucapkan tapi saya mengerti itulah sumber kegundahannya. Di bening bola matanya yang hampir memancarkan air mata ternampak kekhawatiran ini. Mata ini untungnya tersamar di balik kaca matanya yang trendy.
Begitu besar empati dokter saya, amatlah mencengangkan. Silahkan nilai di dunia ini, adakah dokter yang penuh kasih sayang sebagaimana beliau dengan dedikasinya yang tinggi terhadap pasien? Keluarga beliau sudah bukan rahasia lagi di kalangan masyarakat di sekitarnya merupakan pribadi yang baik budi dan saleh. Ayah beliau yang merupakan onkologis pertama di kota kami dikenang orang tak pernah meninggalkan agama. Setiap menghadapi kasus sulit, tak lupa beliau merujuk kepada ayat-ayat suci Al-Quran sehingga menciptakan rasa tenang dan yakin menghadapi akhir dari penyakit pasiennya.
Dulu waktu mendaftar untuk dioperasi, pegawai di meja pendaftaran sempat mengira bahwa saya punya hubungan keluarga dengan dokter karena beliau banyak membantu meringankan beban saya. Kini banyak orang lain lagi yang menanyakan hal serupa Tentang bagaimanakah hubungan kekerabatan saya dengan beliau. Termasuk kakak kandung saya sendiri yang menanyakan bagaimana mungkin beliau bisa begitu baik kepada saya. Ah, tentu saja jawabnya karena beliau punya hati yang bersih dan tulus meski tak ada ikatan kekerabatan di antara kami.
Terus terang saja, saya mengenal onkologis saya secara kebetulan meski kami tinggal berdekatan. Saya yang tak punya biaya pernah memandangi papan nama klinik beliau dengan ingin. Tentu saja hanya sebatas keinginan untuk masuk berobat, sebab saya tak tahu bagaimana kelak saya harus membayar biaya berobat padanya. Tapi tak dinyana teman-teman Dharma Wanita Persatuan (DWP) saya justru mencarikan jalan sekedar membayar biaya awal untuk saya berobat di kantor beliau. Kenyataan ini disambut gembira oleh ibu-ibu pengurus RT saya yang memang juga sangat berharap saya diobati beliau sebab nyaris semua warga tahu kemampuan beliau yang mumpuni. Walau masih belia tetapi ilmunya terasah terus dan sudah teruji. Banyak orang yang mengaku tertolong oleh beliau.
Tingginya dedikasi beliau terhadap pelayanan kesehatan masyarakat di kota kelahirannya amat menguntungkan sejumlah pasien termasuk saya. Para peserta Askes dibawanya berobat ke kantor beliau di Jakarta yang merupakan RS pusat penelitian penyakit kanker nasional dengan maksud supaya mudah mengakses peralatan medis dan tenaga profesional yang diperlukan. Pertimbangannya PT Askes sudah menjalin kerja sama dengan RS itu. Sedangkan pasien-pasien yang terpinggirkan oleh ketiadaan biaya seperti saya, diupayakannya mendapat Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Daerah agar bisa berobat dengan semestinya tanpa membayar. Kemudian jika tak mungkin ditangani di kota kami, dibawanya juga ke kantor beliau atas tanggungan beliau pribadi sambil didorong untuk mengupayakan dana dari pihak-pihak lain yang bersifat sosial. Bagi beliau, banyak jalan menuju kesembuhan meski orang semacam saya hanya mampu membayar jasa beliau dengan doa-doa saja.
***
Kemarin sore saya sudah mengecek kondisi ritme jantung saya ke kolega beliau konsulen ahli penyakit jantung di Bogor. Pasalnya irama jantung saya pernah terganggu ketika saya akan dikemoterapi pertama kalinya di Jakarta dengan obat yang diteilti itu. Meski tidak merupakan keharusan untuk kemoterapi kedua dan tak tahu juga apakah saya masih punya kesempatan untuk segera dikemoterapi, tetapi saya lebih memilih untuk melakukannya sekedar persiapan diri. Adapun pemeriksaan darah di laboratorium saya anggap tak perlu terburu-buru karena sepuluh hari yang lalu saya sudah melakukannya dengan nilai baik semua.
Kali ini alhamdulillah dokter ahli jantung menyatakan irama jantung saya sudah normal kembali sehingga tak perlu dikhawatirkan. Maka saya putuskan untuk menghubungi koordinator penelitian dengan SMS menanyakan keputusan mereka tentang kemoterapi saya. Sudah selang sehari dari waktu onkologis saya menelepon beliau, saya pikir merupakan saat yang tepat untuk bertanya. Saya berharap mendapat jawaban baik, yakni tak jadi dikeluarkan dari kepesertaan di penelitian itu.
Sambil menghabiskan sore iseng-iseng saya tunggu jawaban mereka yang ternyata amat cepat. Tetapi sayang, sang koordinator mengatakan dirinya sedang sibuk di kampus dengan tugas akhirnya sehingga belum bisa menghubungi peneliti utama. Saat itu peneliti utama dikabarkan ke luar kota untuk urusan keluarganya, sehingga saya disarankan menghadap dokter peneliti itu lusa atau hari Rabu depan. Sama sekali tak tersirat angin sejuk untuk saya. Beliau hanya minta maaf seraya mendoakan semoga saya mendapat jawaban terbaik.
Buram mata saya membaca jawaban itu. Sambil menggigit bibir yang kini tak pernah saya perindah dengan pewarna lagi SMS itu langsung saya teruskan ke nomor onkologis saya. Dan tak lama kemudian beliau pun menjawab dengan kata-kata yang kini tak lagi menyiratkan kekecewaan. Kata beliau jika saya tak jadi dipakai sebagai objek penelitian tak jadi masalah. Beliau akan mencari upaya lain lagi untuk mengemoterapi saya. Meski tak terbayangkan oleh saya dengan dana apa dan dari mana didapat. Duh, masa depan saya masih saja buram. Tapi saya yakin kami bisa menghadapinya bersama-sama. Saya tekadkan saya harus kuat berkeinginan sembuh guna menunjang upaya medis yang telah diusahakan onkologis saya. Sebab sudah terbukti semangat yang kuat menggapai kesembuhan membuat para dokter merasa dihargai di dalam pekerjaannya dan tak merasa telah bekerja sia-sia. Maka sore nanti saya berniat minta pengarahan beliau untuk menghadap peneliti pada hari Senin lusa. Saya tak mau salah melangkah dan salah ucap. Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri, bukan?! Saya tunggu petang hari menghampiri jagad raya. Di mana saya akan kembali memperoleh ketenangan batin dari dokter baik budi yang jadi kebanggaan penduduk di tempat tinggal kami. Tabik!
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar