Kami pulang ke rumah dari RS Rabu maghrib itu sudah membawa perasaan senang walau tentu saja belum lega. Lampu hijau untuk kembali dikemoterapi di kampung dengan dana Jamkesda sudah dinyalakan. Tinggal menunggu kepastian mana-mana obat yang bisa dibelikan Jamkesda, dan mana yang harus dibeli sendiri. Artinya setidak-tidaknya beban kami berkurang lalu kemoterapi saya yang terlambat karena dihentikan permainan nasib dapat segera dimulai.
Pada diri saya adalah kebodohan jika kita takut dikemoterapi karena efek sampingnya yang menyakitkan. Yang perlu saya takuti adalah obat yang tak terjangkau harganya sehingga terpaksa berhenti sama sekali atau diganti tapi khasiatnya kurang baik untuk membunuh sel tumor saya. Sebab tanpa obat kemoterapi yang cocok itu sama dengan kita mengomandoi ucapan selamat datang kepada pintu kematian. Naudzubillahimindzalik! Saya belum sudi mati!!!
Hih, memang kemoterapi itu efek sampingnya sadis sekali deh. Pasien bisa sedemikian lemahnya karena kesakitan yang luar biasa. Kalau penasaran seperti apa ngerinya, silahkan klik catatan harian putri seorang penderita kanker ini ya. Dijamin ngeriiiii...... banget namun bagi saya justru mengungkit rasa syukur bahwasannya itu tak menimpa diri saya.
Digambarkan dalam catatan harian itu penderita memerlukan transfusi darah setiap akan dikemoterapi. Sebab thrombositnya rendah, juga sel darah merahnya sering tak memenuhi syarat. Harga selabu darah dari PMI katanya mahal. Bisa dibayangkan untuk memulai kemoterapi saja perlu terlebih dulu menyediakan modal besar penebus harga darah yang jumlah kebutuhannya mencapai puluhan labu sekali transfusi. Untung saya tak pernah mengalami keadaan seperti itu. Hanya pernah butuh seampul obat suntik leucogen saja yang harganya juga sejuta lebih. Itu pun dibeli dengan dana Jamkesda. Tak terbayangkan rasanya jika saya tak berdaya lalu anak saya harus jungkir balik mencari biaya untuk kesembuhan saya begitu.
Berhubung kebutuhan kemoterapi saya sudah sangat mendesak sedangkan saya sendiri sudah tak sabar ingin lekas sembuh akhirnya kemarin pagi anak saya segera menghadap pejabat yang berwenang mengurus pemberian Jamkesda. Sampai di DKK kantornya sepi seperti masih dalam suasana liburan. Anak-anak pun cepat dipanggil ke loket dan bisa bertanya-jawab dengan santai. Tentu saja karena tak harus menenggang rasa dengan keluarga pasien-pasien yang menunggu giliran berikutnya.
Setelah memperlihatkan copy resep yang ditulis onkologis saya pejabat itu berkata bahwa obat-obat yang dijamin oleh Jamkesda memang tidak semua macam. Jika seperti halnya resep di tangan anak saya itu tidak diterima apotik RS, artinya kami harus membeli sendiri. Anak saya menjelaskan bahwa resep itu justru belum diserahkan ke apotik RS karena kami ingin tahu lebih dulu apakah ada yang tak termasuk ke dalam pemberian Jamkesda.
Pejabat wanita yang terkenal tegas itu langsung mengatakan tidak tahu karena daftar obat yang didanai DKK berada di RS bukan di mejanya. Mendengar jawaban seperti ini terkejutlah kami. Terkesan mereka bekerja setengah hati dengan menutup-nutupi sebagian informasi yang diperlukan pasien.
Sebetulnya kami juga sudah tahu daftar obat yang di tangan perawat RS itu. Sebab sewaktu ke klinik bu Umi dan pak Omrin dua perawat senior di klinik onkologi memperlihatkannya kepada kami. Namun karena obat-obat yang diresepkan dokter tak ada di daftar itu, maka beliau pun tak bisa memastikan apakah pihak Jamkesda akan bersedia membelikannya. Itu sebabnya bu Umi mengusulkan anak saya untuk langsung bicara dari hati ke hati dengan pejabat DKK memastikan hal ini.
Sewaktu mendengar penjelasan kami pejabat DKK itu tetap tak mau tahu. Entah siapa yang mengeluarkan keputusan di daftar obat yang dimaksudkannya itu. Beliau merasa tak tahu. Adakah keputusan ini dibuat oleh direktur RS masing-masing? Jika demikian adanya dapat dipastikan jaminan pembelian obat dari satu RS ke RS di seluruh kota tak akan sama, bukan?! Anak-anak saya cuma bisa geleng-geleng kepala kebingungan. Saya pun sama tak bisa mencernanya begitu mereka tiba di rumah lalu menceritakannya kepada saya.
"Tapi bu, tenang. semalam 'kan sudah kulihat. Koktail FAC aja nggak ada lho di daftar obat. Nyatanya dulu ibu dikasih........," anak saya berusaha menenangkan saya waktu saya mengomel menyatakan aneh mendapati kenyataan penyusunan daftar obat yang dibuat sepihak tanpa melibatkan pihak DKK selaku penyandang dana.
"Ah, masa' sih? Doxo-Cyclo nggak masuk daftar?" Tanya saya tak percaya sendiri. Saya pandangi wajah anak-anak saya ganti berganti. Ada ketulusan di sana. Bukan keluhan berbalut amarah.
"Iya," si kakak meyakinkan. "Jadi gini, Rabu saja kita yakinkan. Kita kembali ke klinik, minta bu Umi menyelesaikan dengan apotik. Besok aku ngurus rujukan clearance kemo untuk ke dokter ahli penyakit dalam. Sabtu ke klinik penyakit dalam sambil buat appointment echo di radiologi, sambil mampir ke klinik onkologi nanya soal koktail FAC dulu itu," putus anak saya.
Saya menghela nafas panjang. Oh ternyata memang bukan urusan mudah untuk memastikan bahwa saya boleh segera dibelikan obat kemoterapi. Sedih sekali rasanya. Saya kembali seperti dipurukkan membentur liang dalam yang gelap pengap.
***
Hari kemarin putri bu Ani sesama pasien onkologis saya dioperasi di RSKD. Saya mendoakannya lewat SMS karena kebetulan saya tak ada jadwal ke sana. Operasi berjalan baik, dan dia tidak perlu lama untuk segera kembali ke ruang rawat inapnya. Lebih menggembirakan lagi, menjelang maghrib tadi ibundanya mengabari saya bahwa dia sudah di rumah lagi.
Mendengar hal itu saya jadi semakin yakin bahwa onkologis kami memang merupakan satu dari sedikit onkologis muda yang bagus. Apalagi untuk ukuran kota kami. Pada waktu mengoperasi saya dulu, sehabis membuang kira-kira enam kilogram jaringan daging tubuh saya selama empat jam, beliau cuma butuh waktu dua malam untuk memantau saya di RS hingga menimbulkan "protes" para tetangga yang belum sempat menjenguk ke RS.
Beliau bekerja penuh ketelitian, pertimbangan dan kehati-hatian. Itu sebabnya meski diakuinya kasus saya termasuk kasus tersulit tetapi dengan fasilitas lengkap didukung sejumlah konsulen yang mumpuni bisa dikerjakan dengan baik. Beliau tak merasa ragu menangani saya saat itu. Meski tentu saja pada kasus-kasus lain boleh jadi beliau pernah berbuat kekeliruan juga karena sebab-sebab yang tak terduga. Dalam pandangan saya, hal itu pun manusiawi mengingat dokter juga manusia seperti halnya kita. Sepandai-pandainya manusia tentu punya keterbatasan jua.
Kasus-kasus yang ditangani onkologis saya menurut pemantauan berdasarkan obrolan sesama pasien juga beragam. Ada yang kanker, ada yang jinak. Ada yang di payudara hingga mencapai nyaris seluruh ketiak seperti kasus saya ada yang tidak. Belum lagi kasus-kasus pada organ tubuh lain. Meski karena kesibukan beliau di kantornya di Jakarta kemoterapi tak terawasi sendiri, tetapi kami dititipkan kepada dokter bedah umum yang seingat saya mengetuai tim medis. Dokter senior inilah yang memantau jalannya kemoterapi dengan teliti untuk hasilnya kemudian disampaikan kepada beliau.
Waktu pelaksanaan kemoterapi protokolnya (petunjuk pelaksanaannya) sama dengan yang diterapkan para ahli kemoterapi di RS khusus kanker. Bahkan cairan pembilas darah yang berupa larutan garam Na Cl yang dikenal dengan cairan spooling masuk lebih banyak ke dalam tubuh pasien. Saya mencermati perbedaan ini setelah mengalami kemoterapi di sana dan sini lalu menanyakannya kepada perawat pasien kemoterapi. Menurut mereka, banyaknya spooling dimaksudkan untuk membersihkan darah dari unsur-unsur yang tak berguna karena obat-obatan sitostatika memang banyak mengandung racun. Bagi pasien yang tidak kuat minum air putih banyak-banyak spooling jelas akan sangat bermanfaat.
Onkologis saya pun cermat memantau pasiennya termasuk siapa-siapa yang dipandang perlu masuk perawatan inap baik sebelum maupun setelah kemoterapi. Dulu saya ketahui ada pasien yang amat lemah fisiknya sebelum kemoterapi. Beberapa kali saya dengar beliau dirawat dulu di ruangan isolasi beberapa hari sehingga saya belum pernah berkesempatan bersama-sama beliau menjalani kemoterapi. Sayang saya tak pernah lagi kini bertemu dengan keluarganya sehingga kabarnya tak terdengar lagi. Namun waktu itu keluarganya amat senang ditangani oleh onkologis kami yang tak lupa kepada tanggung jawabnya meski hanya di tempat praktek sampingannya.
Kini saya tak bimbang lagi akan melanjutkan kemoterapi di mana. Tinggal menunggu waktu maka saya akan kembali dirawat di kampung saja memanfaatkan keterbatasan yang ada namun dengan panduan dan pengawasan dokter-dokter yang pandai serta bertanggung jawab. Agaknya akan selalu ada jalan menuju kesembuhan. Tapi saya harus membuka dulu pintunya dengan anak kunci yang bernama KESABARAN. Memang sakit kanker itu tidak mudah sama sekali sih.
(Bersambung)
kemoterapi ? banyangin saja sudah ngeri.
BalasHapusNgeri sih. Tapi kalau itu yang memungkinkan Allah ngasih perpanjangan nyawa lagi, sebaiknya hadapi dengna ikhlas lah. Hehehehe......
HapusTerima kasih ya bung sudah mau jadi teman saya. Tinggal di mana nih, nanti saya tengok ke blog nya deh ya.