Powered By Blogger

Jumat, 25 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (128)

"LEMBAH BIRU" demikian saya namakan "dunia" saya. Sebab saya mengenyam banyak haru-birunya kehidupan selama lebih dari setengah abad di dunia. Saya pernah hidup senang dimanjakan keadaan tapi sekaligus terselip coreng-moreng bilur-bilurnya luka ketika Allah menghendaki mencoba ketangguhan saya meneguhi iman saya kepadaNya. Itu sebabnya serial tak berujung ini saya namai "Serenada Dalam Lembah Biru".

Tak disangka, ternyata buku harian sederhana ini mendapat tempat di hati banyak netter. Soalnya kemarin saya menerima SMS jauh dari seberang benua yang menyatakan bahwa pengirimnya adalah teman dari teman saya yang tertarik membaca buku harian saya ini. Menurutnya saya dan anak-anak saya adalah makhluk yang tangguh dalam berjuang menyiasati hidup sulit yang penuh hambatan. Bahkan menjelang pintu kematian. Wanita itu menyatakan empati dan simpatinya terhadap apa yang dinamakannya perjuangan kami anak-beranak sekaligus mendoakan semoga Allah selalu memberikan kemudahan dan barokahNya. 

Beliau tak jauh berbeda dari teman-teman sekolah saya sendiri. Iwan dan istrinya Tetty, contohnya. Tak disangka-sangka pula kemarin pagi teman saya semasa di SMP ini menjenguk ke rumah setelah menanyakan alamat saya kepada Tati sahabat saya yang tinggal di dekat rumah. Kata Iwan yang kini sudah menyelesaikan pekerjaannya di sebuah Bank Pemerintah dia punya banyak waktu luang. Karenanya dia sering berselancar di internet dan menjalin komunikasi dengan teman-teman lama melalui jejaring sosial. Di komunitas itulah dia mendengar kabar sakitnya saya sehingga tergerak untuk mencari saya sekedar menunjukkan simpati dan upaya menolong. Banyak teman yang menggambarkan kondisi saya yang menghebat di sana sehingga di dalam bayangannya dia harus segera turun tangan mendampingi anak-anak saya menjalani hari-hari sulit ini. Padahal kami sudah genap empat puluh tahun berpisahan, terkendala jarak dan pekerjaan.

Dan Iwan yang mengoleh-olehi saya setabung suplemen herbal penjaga kesehatan yang konon ampuh melawan berbagai macam penyakit itu pun tak sendirian. Nampaknya Iwan yang nyatanya terkagum-kagum melihat sosok saya yang tak berpenampilan orang sakit langsung mengunggah soal pertemuannya dengan saya di jejaring sosial. Sehingga malam harinya, Hendriyani, juga teman di SMP yang terus bersama-sama hingga di SMA mengirimkan salam dan doa untuk saya lewat SMS. Dia pun menganggap saya tangguh. Katanya dia angkat topi. Seandainya dia yang mengalami nasib dan sakit seperti saya, dia merasa belum tentu kuat menjalaninya. Dia lalu mendoakan semoga upaya menggapai kesembuhan saya bersama dokter onkologi saya yang juga berarti adik kelasnya sendiri mendapat kemudahan jalan yang mulus dari Allah. Kelihatan betapa tulusnya perhatian dan kasih sayang teman-teman semua terhadap saya. Oh ya, tengah kami ~saya, Iwan dan Tetty~ mengobrol Iwan pun membacakan pesan dari Yenny teman kami lain lagi yang katanya berhasrat juga mengirimi saya suplemen herbal. Aduh tak dinyana, perhatian dan kasih sayang teman-teman kepada saya begitu meluap. Alhamdulillah, ini berarti berkat Tuhan yang besar bagi kami.

***

Nyonya Iwan alias Tetty bercerita tentang pengalamannya mengonsumsi herbal itu. Semula dia menderita kelainan pada kandungannya. Ketika hamil anak pertamanya dulu, dokter yang merawatnya terpaksa melakukan kuretase dua kali sebab si ibu hamil selalu mengalami perdarahan di usia kandungannya yang muda. Semula dokter akan melakukan kuretase ketiga, tetapi karena sudah merasa sangat kesakitan dia dan suaminya menolak. Kemudian kandungannya diperiksa secara teliti dan dinyatakan sebagai kehamilan di luar kandungan (hamil ektopik). Dalam pada itu dia merasakan ada keanehan di perut bagian bawah yang terasa seperti berisi benjolan keras. Akhirnya diputuskan mencari pendapat kepada dokter lain (second opinion) yang hasilnya dia dinyatakan mengidap kanker rahim neoplastik sehingga harus menjalani pembedahan segera. Tapi setelah itu dia sama sekali tak dikemoterapi atau diradiasi. Persis seperti yang dilakukan dokter-dokter di Singapura ketika dulu saya juga sakit di organ-organ reproduksi saya. Alasan dokter waktu itu, semua kista yang dibersihkan di rahim dan indung telur saya bersifat jinak.

Mendengar ceritanya mengenai kehamilan ektopik itu, saya langsung teringat pengalaman saya sendiri. Satu di antara kedua belas operasi saya adalah operasi untuk kasus hamil di luar kandungan ini. Waktu itu saya merasa menstruasi saya tidak teratur. Ketika sudah dua bulan tidak menstruasi, tiba-tiba perut bagian bawah saya terasa sakit serta saya mengalami perdarahan. Karena ambang rasa sakit saya diakui orang-orang tak sama dengan kebanyakan orang, maka saya pun masih bisa beraktivitas dengan baik sampai akhirnya darah yang mengalir dari organ kewanitaan saya semakin menjadi-jadi. Saat itulah baru saya merasa keskitan sehingga dilarikan ke rumah sakit dan langsung dibedah. Inilah pembedahan keempat yang saya alami sepanjang hidup. Beda benar pengalaman saya dengan pengalaman Tetty.

Selain kasus kandungan itu, istri teman saya ini juga pernah ditumbuhi apa yang menurutnya dinamakan kelenjar nyaris di sekujur tubuhnya. Ketika memeriksakan diri ke RS Kanker tempat saya berobat pada onkologis kolega onkologis saya dia akan dibedah untuk membuang kelenjar-kelenjar itu satu demi satu. Demi mendengar kata bedah dia ketakutan, sehingga mundur. Selanjutnya katanya sih dia mencoba suplemen herbal yang kemarin dihadiahkannya kepada saya. Dan hasilnya dia sembuh. Begitu juga dengan radang sinus suaminya serta penyakit-penyakit lain yang kerap membuat anak-anak mereka dirawat di RS.

Saya tak mengerti apa yang dimaksudkan kelenjar oleh teman saya ini. Menurut pengertian saya semasa sekolah dulu kelenjar adalah alat tubuh yang bisa menghasilkan cairan. Contohnya kelenjar ludah, kelenjar air mata, kelenjar keringat. Tapi yang saya tangkap dari penggambaran dalam ceritanya adalah benjolan-benjolan di dalam daging. Ini katanya harus dikorek satu per satu dengan pisau bedah. Itulah yang membuatnya ngeri.

Setelah Iwan dan istrinya pulang semakin banyak lagi yang menjenguk saya. Di antaranya Yani yang berambut jagung semasa kecilnya dulu. Kulitnya pun cenderung terang mirip kulit orang Eropa. Teman-teman saya tergerak menjenguk lagi ~dan lagi~ karena saya minta didoakan oleh Boetje salah satu teman kami yang rajin menanyakan kabar saya via SMS. Dan seperti biasanya saya selalu berterus terang menjawabnya. 

Yani bilang almarhum adiknya dulu juga menderita kanker. Penyakit membahayakan ini menyerang bapak dua orang anak pada pahanya. Tepatnya di tulang. Osteosarcoma namanya, membuat kakinya membengkak sebesar karung berisi 25 kg beras hingga harus diamputasi. Pasien mulai merasakan ketidak beresan ketika sering merasa nyeri seperti tulang-belulangnya ditarik-tarik di bagian kaki.

Tapi kanker belum tentu menghabisi nyawa seseorang. Dari obrolan dengan teman-teman saya kemarin terungkap juga bahwa sebagian dari para penderita kanker di sekitar mereka meninggal bukan disebabkan penyakit kankernya. Ada yang diganggu penyakit jantung juga seperti yang pernah saya alami tiga bulan yang lalu. Mirip dngan bujukan penambah semangat yang sering disampaikan sepupu saya, katanya orang tua sahabatnya tidak wafat oleh kanker payudara melainkan oleh faktor penyakit lain. Itu sebabnya teman-teman yang datang menjenguk saya terus menyemangati saya untuk tetap menjaga kondisi saya seperti sekarang agar tidak lunglai di atas pembaringan.

Prediksi mereka semangat hidup saya lah yang menambah kekuatan pada tubuh yang hendak dihabisi kanker. Mungkin di dalam hati mereka bertanya-tanya : "Tidak kah saya takut akan mati?" 

Kematian itu memang menakutkan. Sebab kita tak pernah tahu apa rasanya ketika nyawa sedang dicabut. Juga bagaimana menjalani hidup di alam yang baru. Sebab semasa hidup kita hanya bisa melihat sepetak tanah teronggok dengan lubang menganga yang siap menghimpit raga tanpa nyawa. Ibarat sebuah misteri, tak mungkin orang tak ketakutan dalam tanda tanyanya yang besar.

Tapi bagi pasien semacam saya ketika ditanya soal takut mati, maka saya hanya merasa bahwa jika kematian ini dimaksudkan Tuhan untuk menjawab tanda tanya tentang kapan rasa sakit saya akan sirna abadi, maka saya pasrah menghadapi ajal. Cuma saya masih ingin mengulurnya dengan segala upaya yang saya harap kelak bisa membantu memperbaiki kondisi banyak pasien lain serupa saya.

Inilah yang dulu membuat saya bersemangat memperjuangkan diri ikut penelitian sebagai subjek penggunaan suatu obat yang tengah dikembangkan. Bagusnya onkologis saya pun mendukung. Saya langsung teringat dokter paliatif yang kebetulan teman saya mengungkapkan bahwa tim medis yang menangani saya pun merasa terdorong untuk mencari segala cara menyembuhkan saya. Mereka seperti halnya Hendriyani teman saya, salut kepada usaha saya.

Ini jugalah yang kini mencuatkan niat mencoba menggunakan obat kemoterapi kualitas kedua hanya dengan pengawasan onkologis saja tanpa ahli kemoterapi yang tak pernah dimiliki RS kecil seperti tempat saya berobat. Saya katakan kepada onkologis saya bahwa saya percaya kepadanya, dan yakin akan penanganan yang dirancangnya untuk saya sebab saya ingin beliau lebih mumpuni lagi di dalam menangani kasus-kasus sulit. Anggaplah kasus saya sebagai batu ujian untuk menaik kelaskan beliau sehingga ilmunya bisa lebih banyak lagi. Kemudian kelak saya baru akan tersenyum bahagia dari alam mana pun karena menyaksikan beliau berada di area papan atas para pakar onkologis.

Ah teman-teman dan saudara-saudara saya yang baik, izinkan saya melakukan semua itu dengan menekan semua rasa nyeri yang disebabkan tumor saya kuat-kuat. Terima kasih atas oleh-oleh suplemen herbal mana pun yang terbukti telah menguatkan stamina saya. Juga doa-doa serta kunjungan-kunjungan penyemangat hidup saya. Semoga Allah memberikan balasan berupa kebaikan yang banyak. Hari sudah berganti pagi. Kini saatnya saya akan mengonsultasikan diri di klinik onkologi. Insya Allah semua akan baik-baik saja. Salam sehat dan tetap semangat!

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink