"Oh, this gonna be a terible story again.......!" Itulah yang tersirat di dalam benak saya ketika saya menggunakan jemari di tangan kanan saya yang normal untuk memulai mengisi halaman hari ini. Pasalnya lengan kiri saya berulah betul. Mulai dari pangkal lengan di bahu yang bersambungan dengan supra clavicula alias tulang selangka saya yang ditumbuhi tumor bengkak besar sekali sehingga nyerinya semakin menjadi-jadi. Dagingnya kemerahan, pegal dan ngilunya tak lagi terkatakan. Jadi saya benar-benar hanya mampu menggunakan tangan kanan saya saja. Satu cerita yang memprihatinkan....
Nyeri ini sudah berlangsung beberapa hari lamanya. Semula saya tak memperhatikan bengkak itu. Konsentrasi saya adalah mengurangi rasa nyeri yang amat mengganggu. Sebab setiap saya posisikan tangan saya di satu sisi tertentu, denyutan-denyutan itu menjalar ke sekujurnya. Untuk meredamnaya saya minta anak saya memijat-mijat lembut karena saya pikir ini diakibatkan keteledoran saya, 4 kali mangkir dari jadwal fisioterapi dan kontrol kliniknya. Terus terang saja fisioterapi untuk penderita limfedema semacam saya harus rutin tiga kali seminggu di RS Kanker di Jakarta, karena hanya RS itulah yang memiliki sarana untuk penderita limfedema. Akibatnya lama-lama saya kewalahan juga.
Di Instalasi Rehabilitasi Medik RS Kanker, pasien dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama pasien rawat jalan yang terdiri dari pasien terapi limfedema dan pasien terapi okupasi. Kedua pasien rawat inap yang dibawa ke klinik didorong dengan tempat tidur dari kamar perawatannya, dan ketiga pasien Intensive Care Unit untuk melatih anggota gerak mereka supaya bisa tetap berfungsi. Khusus penderita limfedema, tangan atau kaki yang terserang akan dipijat menggunakan mesin pijat khusus, kemudian setelahnya terapis melanjutkannya dengan pijatan tangan manual yang lembut diakhiri dengan pemakaian pembebat (bandage). Itu sebabnya fisioterapi ini tak bisa dilakukan di setiap RS termasuk di tempat saya berobat di daerah.
Untuk mengatasi rasa nyeri ini saya minta jejamuan kepada sinshe saya, tetapi tak banyak menolong. Lalu saya minta izin dr. Maria teman saya untuk menelan obat pereda nyeri yang sangat jarang saya makan sebab saya sengaja berniat mengurangi obat-obat kimiawi. Beliau mengizinkan sambil memberikan instruksi penggunaannya yang tepat. Tapi lagi-lagi pemakaiannya sangat saya minimalisir hingga tiba saatnya saya berkonsultasi dengan onkologis saya untuk mendapatkan izin darinya.
Sabtu sore itu waktu hujan deras sedang mengguyur kota kami, saya berangkat menyewa angkutan kota. Kata pengumuman hari itu onkologis kami akan berpraktek mulai pukul 5 sore. Saya tengarai ini sehubungan dengan pekerjaan beliau di Jakarta pada sebuah RS yang menerima pasien-pasien tertentu. Tentu saja saya bangga kepada beliau sebab masih saja banyak pasien yang mencari beliau meski tidak di tempat tugasnya sebagai PNS. Bagi saya itu tandanya banyak yang memercayakan diri kepadanya. Tak dinyana beliau malah belum tiba. Mobilnya yang jantan mengilap belum nampak. Beberapa pasien sudah duduk menunggu di selasar muka klinik. Walau kata teh Ade perawat yang bertugas hari itu dokter akan tiba pukul tujuh sebab baru bisa meninggalkan tempatnya belum lama berselang. Tak mengapa pikir kami, daripada beliau tidak datang sama sekali, kelak ke mana kami harus menggantungkan nasib? Ada juga sih sebagian pasien yang memilih berganti dokter. Tapi banyak yang tak sudi "terlempar" ke tempat lain dengan seribu satu alasan walau kebanyakan karena dokter kami ramah-tamah dan informatif. Saya ingatkan kepada bu Maesaroh sesama pasien yang sudah nenek-nenek, bahwa penampilan dokter kami segar menyejukkan pandangan. Ternyata beliau pun tertawa geli, "hehehehe....... sumuhun geuning," ungkapnya setuju.
Begitu beliau tiba di muka klinik, yang pertama dilakukan dokter itu menyapa saya dengan pertanyaan, "kenapa nggak mulai-mulai kemo sih? Saya tunggu teleponnya nggak ada?!"
"Sekarang kami sudah mulai dapat kejelasan tentang dana Jamkesda. Nanti kita bicarakan di dalam ya dok, selamat tugas," jawab saya seraya melempar senyum dan mengacungkan ibu jari. Dibalasnya dengan senyuman, "oke, nanti ya."
Coba dipikir-pikir, di mana ada komunikasi antara pasien dengan dokternya bisa secair kami? Rasa-rasanya mungkin memang saya yang kebablasan. Tapi sangat boleh jadi ini ditunjang oleh keramah-tamahan beliau semata. Nyatanya terhadap pasien lainnya pun bahasa tubuh beliau patut diacungi jempol sehingga tak ada pasien yang takut bertanya-tanya mengenai segala hal yang berkaitan dengan penanganan penyakitnya. Saya sering mendengar sendiri dari balik dinding pemisah.
Saya menunggu giliran dengan semestinya. Di kiri saya tiga orang pasien duduk berjejer sambil mengobrol. Ketiga-tiganya pasien dari wilayah Kabupaten. Bahkan ada yang datang dari sekitar RSUD yang memiliki tenaga dokter onkologis juga. Tapi entah mengapa Puskesmas Desanya merujuk beliau ke kota di tempat kami berobat yang jelas-jelas lebih jauh. Menurut penuturannya tumornya di payudara tak bisa dioperasi lagi. Walau dokter sudah menggunakan segala keakhliannya tumor itu tetap menempel kuat di tempatnya. Jika dilihat secara kasat mata ibu muda ini tak nampak payah. Tapi jangan ditanya, meski masih gagah, berjalan tegak dan tak kurus kering ~walau juga tak gemuk~, beliau penderita stadium IV-A.
Tumornya sudah luka pecah seperti kondisi saya dulu sehingga saya menularinya ilmu merawat dan membersihkan luka tumor. Yakni dicuci dengan cairan Natrium Chlorida, kemudian disalep dengan krim khusus selanjutnya ditutup kain kassa yang diperkuat dengan diapers bayi sebagai penyerap cairan yang sering keluar dari luka. Luka kanker begini memang sering mengeluarkan banyak darah juga nanah yang menimbulkan bau busuk. Itu gunanya diapers bayi, yakni penyerap cairan luka sekaligus penghambat bebauan.
Untuk mengatasi sakitnya dokter memberinya obat Xeloda yang harus rajin ditelan sepanjang masa. Obat yang mahal ini didanai program Jamkesda yang disarankan dokter untuk diurus semasa baru berobat dulu. Dia mengakui kepada kami bahwa sama halnya dengan saya, dia dulu terlambat berobat karena ketiadaan biaya. Ini mengakibatkan kesulitan tingkat tinggi dalam penanganan dan penyembuhannya. Untung pasien ini berobat kepada dokter yang mempunyai pengetahuan dan pandangan luas.
Di antara pasien itu ada yang menerima keberuntungan sama dengan saya dari dokter kami. Dia dibawa ke Jakarta juga dan biayanya diringankan seringan-ringannya. Tapi sampai malam itu kalau tidak saya beritahu, beliau tak akan pernah tahu seberapa banyak dokter kami mengeluarkan dana pribadinya ketika operasi itu berlangsung. Perempuan paruh baya itu langsung terdiam, terpukau oleh jumlah sangat besar yang telah terucap dari mulut saya. Subhanallah! Semoga Allah membalas segala kebaikan budi beliau sebanyak-banyaknya. Begitu mungkin yang digumamkannya di dalam hati pada gelap yang mulai pekat yang menemani kami di RS.
Teman kami yang seorang lagi malam itu membenarkan bahwa banyak pasien yang telah diupayakan dengan segenap daya oleh onkologis kami untuk sembuh, meski ternyata tak semua terotolong. Sudah ada 4 orang yang mendahului kami, bebernya seraya menyebut nama mewreka satu persatu. Sementara saya ingin tahu keadaan dan keberadaan dua orang lainnya yang sudah tak pernah lagi bertemu di RS. Sayang beliau tak tahu juga. "Bersiap-siaplah selalu, karena panggilanNya bisa datang sewaktu-waktu," beliau yang tertua di antara kami berempat memperingatkan membuat saya lalu kembali merenungi keadaan saya yang serba belum jelas ini.
"Bu Julie," panggil zuster Ade setelah dua di antara kami berempat ada yang selesai diperiksa. "Ya bu," jawab saya sambil melangkah masuk. "Silahkan duduk dulu ya bu," sambung teh Ade seraya melanjutkan pekerjaannya mempersiapkan berkas-berkas pasien. Memang di RS ini pasien akan diminta masuk ke klinik sebelum pasien sebelumnya selesai dan keluar dari klinik. Maksudnya supaya tak ada jeda waktu lama antara satu pasien dengan pasien berikutnya. Dari balik sekat pemisah tentu saja terdengar percakapan dokter dengan pasien di dalam yang bagi saya sedikit banyaknya malah menambah wawasan pengetahuan. Sehingga akibatnya seperti kata perawat pasien onkologis kami kebanyakan cerdas dan mudah menangkap penjelasan pihak RS.
Tak berapa lama zuster Ninik kerabat saya sendiri keluar diiringkan pasien yang selesai diperiksa, "Monggo bulik," sapanya seraya meneruskan pelayanan administrasi pasien sebelumnya. "Oh, nuwun nak," jawab saya tersenyum lebar.
Kami langsung masuk ke pokok pembicaraan, yakni soal permohonan pendanaan obat kemoterapi dengan Jamkesda. Agaknya dokter saya lupa bahwa beliau pada jadwal praktek sebelumnya tak sempat datang sehingga pasien yang membutuhkan persyaratan administrasi tertulis tak tertangani. Biasanya hal itu terjadi kalau pasien beliau di kantornya di Jakarta amat meluap seperti ketika naskah ini saya ketik, ada 51 orang berdasarkan laporan perawat yang mengasisteninya.
"Lha, kalau kita susah ketemu di sini, ibu aja yang ke Jakarta. Kemo jangan ditunda. Perlu apa lagi dari saya?" Kata beliau nampak gusar menahan kecewa campur kegelisahan mengingat kondisi saya yang terus memburuk. Asal jangan dilihat penampakan saya sih hihihihi..........
"Lha ini lho, protokol kemo belum ditandatangani dan dilengkapi dok. Capnya juga di sini. Belum lembar permintaan periksa lab, echo dan EKG adanya disini......," balas saya setengah menggantungkan kebingungan. Saya pandangi wajah beliau yang selalu rapi dan segar itu nampaknya mengerti.
"Oh iya ya. RS nya beda......," sahutnya seraya tersenyum-senyum sendiri.
"Nah kecuali boleh TST. Saya minta kemenakan saya zuster Ninik mengambilkan lembaran-lembarannya dan dicap duluan. Terus saya bawa ke Jakarta dengan berkas protokol kemo untuk panjenengan isi dan tanda tangani. Gimana, mas dokter?! Nak Ninik 'kan mau ya nolong bulik?" Sambut saya harap-harap cemas. Yang langsung disetujui keduanya. "Ya lain kali kalau kejadian lagi gitu aja deh bu, pokoknya kemo sesuai jadwal," putus dokter saya tegas. Kelihatan benar bahwa beliau tidak main-main dengan urusan penanganan penyakit saya. Ada permainan berpacu melawan ajal di sini.
Karena merasa sudah malam meski belum larut, sambil beliau menulis-nulis saya mengeluhkan rasa nyeri yang tak terkatakan itu. Tapi saya tak memperlihatkan tumor dan lengan saya. Saya tak mau menyita waktu beliau sebab pasien lainnya sesudah saya pasti juga sama-sama sedang menahan sakit. Jadi saya tak mau egois. Dokter mendengarkan dengan cermat lalu menyuruh melakukan ini-itu untuk penolongnya. Obat pereda nyeri saya ditambahnya, termasuk memberikan penetral asam lambung yang biasanya meningkat karena makan obat itu. Bahkan kemudian beliau memutuskan untuk memberi saya kemoterapi per oral (yang ditelan) kalau-kalau obat koktail kemoterapi saya tak segera diberikan. Maklum harganya sangat mahal melebihi perkiraan kami sebelumnya, yakni 43 juta Rupiah setiap bulan. Tak lupa beliau menekankan, jika kelak koktail kemoterapi didapat dan dipakai maka obat yang ditelan tadi harus dihentikan.
Proses kemudian berakhir di apotik karena ternyata koktail obat yang harus saya pakai merupakan obat jenis baru yang belum pernah diresepkan sebelumnya. Petugas apotik bilang mereka harus minta persetujuan dulu kepada Dinas Kesehatan Kota (DKK). Karena itu resep harus disimpan sehari untuk mencari tahu berapa pastinya harga obat itu agar dapat diajukan permohonannya ke DKK.Jadi saya ini akan jadi pengguna koktail obat itu untuk yang pertama kalinya dengan dana Jamkesda seandainya dikabulkan. Di dalam hati saya bermohon agar tercapai, sebab saya masih ingin hidup untuk berbagi kebaikan di dunia.
"Kalau ditolak bagaimana, bu?" Tanya saya.
"Diganti dengan obat sejenis yang lebih murah, atau.......... tunggu sebentar ya bu, saya bicara dengan dokter ibu dulu," jawab petugas yang masih setia melayani pasien meski tentu saja sudah kelelahan. Lalu dia menghilang cukup lama sampai akhirnya memberikan jawaban bahwa dokter bersedia menghapus satu yang termahal di antara ketiga obat itu. Kami lalu dipersilahkan pulang menunggu dikabari di rumah karena keesokan harinya tiba hari Minggu. Secepatnya kami akan dikabari.
***
Mencapai rumah saya merasakan kelelahan yang sangat. Tentu saja campur nyeri yang menghunjam itu. Segera saya bertukar pakaian, mengambil air sembahyang dan makan malam supaya bisa cepat makan obat. Tak sengaja mata saya bertumbukan dengan cermin yang sudah lama saya hindari.
Alangkah terkejutnya saya ketika mendapati bayangan yang sangat buruk di cermin. Tubuh saya sepertinya tak lagi simetris. Lengan dan bahu yang sakit amat besar. kemerah-merahan pertanda bengkak. Saya menjerit ngeri sendiri sehingga mengejutkan anak saya. Dia lalu mencari tahu apa yang terjadi. Demi dilihatnya saya mencermati tubuh sakit saya sambil meringis dia pun mengertilah. Lalu saya minta untuk menghubungi dokter yang saya duga juga baru tiba di rumahnya atau bahkan masih di perjalanan.
Telepon kami tak dijawab. Anak saya kemudian berkirim SMS yang alhamdulillah segera disambut dengan telepon. Tak ada percakapan apa pun dari anak saya selain gumaman "ya", dan "baiklah" dan "terima kasih". Agaknya dokter langsung bicara sepihak menjelaskan instruksinya. Benar sih, anak saya bilang dokter meminta saya ditenangkan, menelan obat penahan sakit dan mencoba tidur. Hanya kemoterapi lah yang bisa meringankan penderitaan saya. Bukan fisioterapi yang selama ini saya utamakan juga. Dokter meminta saya menemuinya di kantor beliau lusanya yaitu Senin (28/10) pagi sebelum akhirnya menutup telepon.
Saya menuruti nasehat beliau. Sayang nyeri itu begitu dominan. Setidak-tidaknya dia lebih menyita perhatian dibandingkan rasa lelah dan kantuk. Akibatnya saya gelisah berguling-guling di pembaringan. Mulai kembali siksaan nyeri keparat itu! Ingin rasanya saya menjerit seperti anak kecil. Tapi ah, malu! Anak saya saja begitu tenang menghadapi saya. Mereka bergantian berebutan membelai-belai tubuh saya yang sakit membuat hati semakin terkoyak rasa malu dan hutang budi kepada mereka. Nyata sekali kini saya tak lagi berdaya.
Dalam kesakitan ini tiba-tiba saya teringat pasien kenalan baru saya yang tinggal tak jauh dari rumah. Beliau ternyata baru kembali dari luar kota waktu saya minta didoakan supaya bisa mengatasi sakit ini. Tapi betapa baik hatinya. SMS saya segera dijawabnya. Dia mengusulkan untuk segera menghubungi dokter seperti yang telah kami lakukan. Setelahnya beliau menjanjikan untuk menengok saya segera keesokan sorenya sambil berpesan agar saya sabar, tawakal, berdzikir terus memohon kekuatan. Wah, dunia ini, di sekeliling saya ternyata dihiasi pribadi dan akhlak-akhlak yang baik. Jadi rasanya saya semakin sayang kalau terpaksa harus segera pamitan menuju peraduan saya yang abadi. Maka saya akan terus bertekad melawan penyakit ini sampai kapan pun juga. Semoga saja panjang nyawa saya. Sepanjang kebaikan dan cinta kasih banyak pihak yang terus terulur kepada saya hingga saat ini. Barakallahu untuk mereka yang telah ikhlas melakukannya bagi saya! Salam erat!!!
(Bersambung)
salut sama semangat bu Juli, semoga Allah selalu memberi kekuatan utk ibu :)
BalasHapusItu saya lakukan sebagai cara balas budi kepada dokter, tim medis, anak-anak dan semua kerabat yang menyayangi saya dengan tulus nak Laras. Terima kasih ya sudah mampir ke laman ini. :-)
Hapuswaduh, suadah lama saya tidak berkunjung ke sini, banyak info yang saya lewati. tapi kami sekeluarga selalu mengharapkan kekuatan batin ceu julie dan semoga selalu berasa dalam rahmatNya. aamiin
BalasHapusTerus jadinya kangen nggak? *ge-er mode on*
HapusInsaya Allah saya mencoba bertahan kok. Soalnya dokter saya dan teman-teman sudah berjuang keras untuk saya. 'Kan malu kalau pasiennya nyerah. Terima kasih ya doa dan moral supportnya. Salam untuk neng Faya dan si ayah.