Powered By Blogger

Sabtu, 10 Mei 2008

PENANTIAN PANJANG

Sabtu malam, sepuluh Mei di Cape Town. Angin semenanjung membaur bersama hujan yang sama derasnya dengan hujan harapan di hatiku. Barangkali karena aku seorang pemimpi dan makhluk yang manja, maka yang ada dalam hatiku hanya keinginan dan harapan semata.

Sudah sangat lama aku merindukan matahari hangat khatulistiwa. Sekian lama pula aku merindukan kasurku di Raffles Hospital Singapura, dokter CCC dan sebaris lagi dokter serta tenaga medis yang umumnya berkulit kuning dengn mata sipit. Dokter yang satu itu punya arti khusus dalam kehidupanku. Ketika paru-paruku "colaps" diterjang adenomiosis, dialah yang menyelamatkannya. Begtu juga ketika operasi kandunganku yang kedua kalinya berakhir di ruang ICU, dokter CCClah yang pertama menyapaku di sisi pembaringan. Tangannya yang halus menyibak selimut penutup dadaku, lalu dia menempelkan stetoskopnya disana sebelum kemudian beralih memperbaiki masker penutup hidung dan mulutku. Tangan itu pula yang sibuk memeriksa tetes demi tetes cairan infus yang masuk ke dalam tubuhku, sebelum akhirnya mulutnya yng mungil menyungging senyum sambil membisikkan dengan lembut bahwa semuanya akan berakhir baik.

Aku sangat rindu kepadanya. Juga kepada teknisi kamar pemeriksaan diagnostik di lantai dua di sudut kiri. Lelaki India yang sudah sangat mengenali wajah dan namaku akan dengan sabar mengalirkan cairan lewat infus di balik siku kiriku sebelum aku dimasukkan ke dalam tabung bermesin yang kutahu namanya Computer Tomographic Scan. Tak bosan-bosannya dia menanyakan apakah aku tidak sedang mengandung -yang tentu kujawab bagaimana mungkin aku mengandung tanpa rahim- serta menjelaskan perihal rasa hangat yang akan menjalari tubuhku sepanjang pemeriksaan yang makan waktu kira-kira lima belas menit berikut instruksinya. Semua itu suatu impian belaka bagiku saat ini. Disini, di Cape Town yang walaupun modern tapi kurang bersahabat.

-ad-

Hampir seminggu yang lalu aku dikejutkan oleh cubitan pada sekat rongga dada kiriku. Ketika itu tengah malam, di saat aku sedang membaringkan tubuh dalam lena sehabis  membantu mengerjakan serangkaian pekerjaan dinas. Aku terbangun bersamaan dengan suamiku yang menampakkan wajah terkejut campur bingung. Aku menghela nafas panjang, mencoba mengusir rasa sakit itu sambil menekan dadaku dengan kuat. Setiap tarikan nafasku terasa nyeri, tak ubahnya luka tersiram air. Keringatpun mulai meroyak dari pori-pori tubuhku. "Kenapa?" muncul sepotong tanya suamiku disertai mata yang membulat bola. "Dadaku,' jawabku pendek. "Sakit lagi?" tanyanya cemas. Aku mengangguk. "jangan kuatirkan aku. Semua akan baik-baik saja. Aku cuma butuh istirahat," jawabku. Kemudian tergambar kembali Raffles Hospital dengan segala kegiatannya.

Ada aku disana. Di atas kursi roda itu dengan balutan gaun biru muda yang kututupi bath robe oranye dari bahan handdoek tebal. Kartini menyerahkanku ke tangan pria India itu sebelum berpamitan naik kembali ke lantai sembilan. "Saya nanti nak kembali lagi bila ibu sudah siap," janjjinya sambil menggenggam bahuku erat. Di pangkuanku diletakkannya berkas medisku yang tebalnya seperti bantal bayi. Ada beberapa batas pemisah di dalamnya, yang menandai mana bagian dokter kebidanan dan kandungan, dokter paru, dokter bedah digestif, dokter bedah tulang, dokter kulit, dokter gigi, dan dokter mata. Hampir semua dokter disitu sudah memeriksaku. Terutama sejak kejadian aku "tidur" di ICU itu. Tuhanku, betapa banyaknya relasiku di Raffles Hospital.

Kupejamkan mata sekedar mengusir gelisah hati. Sebab di kiri kananku cuma ada pemandangan orang-orang duduk berbaris mengantri panggilan kamar periksa dengan sabar. Satu-dua sama nestapanya, duduk di atas kursi roda atau bahkan berbaring dengan jarum infus yang menacap di lengan mereka. Aku sudah bosan dengan pemandangan itu. Tapi aku tak bisa lari dari kenyataan karena aku adalah bagian dari mereka jua. Dalam ruang kosong mataku terbayang juga segala rasa yang harus kutanggung. Ya Tuhan, keluhku, bilakah semuanya akan berakhir? Semua uang suamiku sudah "terkubur" disini bersama sakitku. Tiba-tiba aku merasa berdosa kepadanya. Kepada lelaki yang telah membanting tulang untuk menafkahi dan menghidupiku sejak muda. Layaklah jika dia kini menjauhiku, mencari kesenangan di luar sana, tenggelam dalam pekerjaan kantornya semata. Lalu terasa dingin menyusup ke dalam tulangku yang berbalut rapat. Aku menggigil sendiri di tengah-tengah ramainya ruangan.

Tiba-tiba perempuan muda itu mendorongku masuk ke bilik satu di ujung kiri ruang. Dia membantuku naik ke dalam tabung sebelum pria India itu menyapaku dengan keramahannya yang khas sesaat infus akan ditusukkannya ke lengan kiriku. Dia betul-betul sudah hafal tempatnya. Dipeganng-pegangnya nadi kiriku dan ditepuk-tepuknya. "Masih bengkak," keluhnya. "Saya harus mencoba dari sisi kanan, terpaksa," katanya sambil berjalan memutari arah kepalaku. Dengan prosedur yang sama dia berusaha mencari nadiku yang sangat halus disitu. Gelengan kepalanya menandakan dia tidak mudah mendapatkan apa yang diperlukan. Sampai tiba-tiba tusukan itu mengejutkanku dan memaksa aku berteriak mengaduh. Pedih yang sudah kuduga tersasa semakin pedih, namun berhasil kutahan dengan tarikan-tarikan nafas di sela-sela masker ventilator di hidungku disertai istighfar sambatku padaNya. Saat-saat berikutnya aku tak ingat dengan jelas lagi, sampai sentuhan tangan Kartini dibantu temannya menaikkan aku kembali ke ranjang di ruang tidurku. Kemudian semua akan jadi sepi, ditelan kebimbangan dan pikiran yang melayang tak tentu.

-ad-

Persis seperti pikiranku hari ini. Ketika belum paripurna mataku membuka sehabis aku lelap kembali selesai sembahyang tahajud tadi. Pikiran setengah hidup itu seperti hinggap di kasur Raffles dan segenap ruang indah yang menyerupai puri untukku.

Di sisi pembaringanku pada meja kecil tempat lampu tidur kami berdiri, getar halus telepon genggamku membangkitkan kesadaran penuh. Di pagi buta tentu hanya kabar dari negeri jauh atau tanah air sajalah adanya. Layar yang berkedip itu menerakan nama Yusnizar Yunus. Sahabatku, penolong jiwaku juga di Raffles Hospital. Perempuan itu begitu tegar dibalik himpitan ujian Allah yang maha berat. Di mataku tergambar wajah Yus yang senantiasa tersenyum pasrah. Matanya yang kuyu akibat dilindas tsunami tetap tertuju kepada para pasien Indonesia yang menjadi pelanggan dan tanggungjawabnya. Tiba-tiba aku jadi malu hati, mengingat deritanya yang lebih berat dibanding diriku yang tidak ada apa-apanya.

"A woman has strengths that amaze men. She can handle trouble n carry heavy burdens. She holds happiness, love n opinions. She smiles when she feels like screaming. She sings when she feels like crying, cries when she's happy, n laughs when she afraid. Her love is unconditional. Ther's only 1 thing wrong with her, she sometime forget what she is worth... HAPPY MOTHERS DAY...

Kubaca sederet panjang huruf yang kelihatan disusun disela-sela kesibukan kerja seorang Yusnizar. Begitu menyentuh, menggugah perasaanku yang selama ini tertidur lena untuk menghargai diriku sendiri. Bagiku diriku tidak berarti apa-apa, hanya seonggok daging yang berat untuk dibuang tapi tak berguna untuk dimanfaatkan. Terutama sejak kondisiku menurun hampir sepuluh tahun terakhir ini, rasanya diriku tak pernah berbuat sesuatu yang menyenangkan pasanganku dan keluarga kami. Tidakkah Yusnizar bermaksud memancingku untuk bangkit dari ketiada berdayaan ini?

Maka kuketik sederet pernyataan yang sama. Betapa aku bahagia mempunyai kawan seperti dirinya. Kebanggaan juga lekat padaku mengingat dia berhasil bangkit kembali jauh lebih dulu daripadaku. Aku masih ingat, tsunami tiga setengah tahun yang lalu telah merenggut semua putra kesayangannya berikut kedua orang tuanya dan semua sanak kerabatnya, menyisakan dia dan adik bungsunya semata. Kejadian pagi hari yang tiada seorangpun menduga merupakan cobaan yang terberat bagi siapapun. Terlebih bagi dirinya yang seakan-akan mengantar sendiri anak-anaknya ke gerbang maut serta menyerahkannya ke tangan malaikat Jibril.

Yusnizar. perempuan Aceh perkasa itu. Ketika musim liburan tiba dia mengantarkan anak-anaknya menjenguk kampung halaman mereka dengan janji akan menjemputnya beberapa hari sebelum pergantian tahun. Wajah-wajah polos bocah lelaki itu mengangguk siap, sambil memeluk erat bunda mereka sebelum ditinggalkan kembali ke Singapura. Pagi itu, Tuhan memuntahkan semua isi laut, memorakporandakan bumi dan isinya. Memisahkan Yusnizar dari orang-orang yang dicintainya tanpa pernah ada kata perpisahan. Pagi itu jadi awal dari serangkaian hari muram yang melelahkan dibasuh hujan air mata yang kering kerontang. Air mata di dalam jantung sana, yang merintih-rintih minta penjelasan Tuhan akan apa yang terjadi. Anak-anak itu pergi begitu saja tak jelas kuburnya, sementara kedua orang tua Yusnizar dapat dikenali berminggu-minggu kemudian dalam keadaan yang tak sempurna. Kami semua merawatnya di Pusara Aman Abadi, Coa Cu Kang, Singapura dibawah kerjapan bintang yang muram diguyur tangisan bumi di malam hitam yang diiringi eragan kucing nan memilukan.

Kini tiba-tiba kusadari bahwa Yusnizar lebih patut menjadi ibu sejati dibanding aku. Dia telah berhasil menyembunyikan semua duka dan tangisannya dalam senyuman kepada setiap pasien serta kerja keras yang penuh tanggungjawab di dalam mendampingi ratusan nyawa yang telah bergantung padanya. Bahkan mungkin ribuan jumlahnya.

SMS itu masuk lagi. Kali ini dia menanyakan kondisiku atas permintaan dokter CCC dan dokter A. Loh yang merawat keluargaku. Terpaksa aku berterus terang padanya, betapa aku merindukan sentuhan Raffles Hospital yang sudah setahun kutinggalkan. kami bertanya-jawab hingga dia menawarkan obat dari Singapura. "Ibu mau obat dari sini? Ibu SMS alamat ibu, besok pagi saya kirim" begitu bunyinya. Terasa kehangatan itu datang menyentuh jiwaku. Kutolak tawarannya dengan kata terima kasih serta harapan akan doa mereka selalu. Aku sadar tinggal dua hari lagi jadwalku masuk ruang pemeriksaan MRI. "Sampaikan salam untuk semua share-holder Raffles, mulai dari pakcik di meja resepsionis sampai ibu India cleaning service itu," jawabku menutup pesan. Hatiku jadi malu sendiri. Mengapakah aku tidak bisa setegar dirinya? Mengapakah aku selalu merasa kurang beruntung? Aku tahu, penantian panjang harus disertai kesabaran senantiasa. Dan kukatupkan kedua tanganku menyilang di dada mengucapkan doa bangun pagiku "Alhamdulillah hiladzi ahyana ba'da ma ammatana wa illaihi nuzur", terimakasih padaMu yang telah berkenan membangunkan aku untuk merenungi seluruh perjalanan hidupku yang tiada sempurna dan butuh perbaikan. Mumpung masih ada waktu. Perjalanan masih panjang.

10 komentar:

  1. hiks...hiks...hiks...sedih baca kisahnya. Deskripsinya bagus Tante. btw, kondisinya sekarang gimana?

    saran tante, kenapa ga coba dibukuin kisah2 yg serupa ini. Klo ga salah ada beberapa yah? Terus juga bagus klo tante buat kisah tentang keseharian tante di cape town (dari sudut pandang orang indonesia), siapa tau jadi sebagus tulisannya Coetzee. Tau kondisi sosial di afrika selatan cuma dari tulisannya :).

    overall, enak baca tulisannya Tante Julie.

    BalasHapus
  2. Pertama-tama, maaf dulu ya, mas Andi. Ini "kembaran" tante yang jawab karena kesalahan buka site. Terima kasih atas sarannya. Tante sih nggak pede nulis jadi buku. Maklum asal nulis aja. Namanya juga buku harian elektronik. Tapi Insya Allah tante pikirkan kemudin. Justru tante tuh suka merasa bahwa tulisan tante kesannya "maksa". Kepenginnya bikin kalimat-kalimat pendek dan sederhana. Tapi dasar nini-nini tukang ngabaceo, ya susah. Sekali lagi terima kasih, dan tante tetap mau belajar menulis yang efektif dari site mas Andi. Boleh ya kita saling berkunjung?

    BalasHapus
  3. Insya Allah, tolong doain ya nak. Tugas bunda di dunia masih banyak, belum selesai.

    BalasHapus
  4. silahkan tante, dengan senang hati berbalas kunjungan. Dan mudah2an buku harian elektroniknya bisa jadi buku beneran.

    saya pun masih ga bisa nulis yg efektif, apalagi menuangkan ide cerita, maunya pendek tapi jadinya panjang terus ^_^

    BalasHapus
  5. Sama dong, ha....ha....ha.... si bawel punya temen!

    BalasHapus
  6. "Selamat hari ibu" budhe ...
    tulisan budhe bener-bener bikin hati bergidik ... Semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nya

    BalasHapus
  7. Amin. Mari sini kupeluk supaya hilang tuh bergidiknya.

    BalasHapus
  8. Bunda, makasih ya dah mau mampir ke blog-ku. Cerita bunda mengharu biru. Aku bisa banyak belajar dari bunda... Bunda..., tetep semangat ya...

    BalasHapus
  9. Sama-sama, terima kasih juga mampir ke rumah saya. Insya Allah saya tetep pelihara semangat saya untuk mengisi Mp dengan sesuatu yang bisa dipetik jadi pelajaran.

    BalasHapus

Pita Pink