Powered By Blogger

Senin, 12 Mei 2008

HABIS BADAI TERBITLAH TANGIS

Sejak SMS Yusnizar menyapaku kemarin dulu, rasanya aku terus terkenang padanya. Apalagi sakit di bahu dan tulangku semakin menjadi-jadi, mengakibatkan aku tidak bisa nyenyak di pembaringan. Rasanya ingin kudekap tubuhnya yang ringkih, yang jauh disana terpisah samudera. Hatiku menangis bersamanya.

Bangun tidur aku duduk di beranda di samping kamarku, menghadap taman di belakang rumah. Air kolam yang biru menggigilkan tubuhku. Aku bangkit ke dalam menyeduh secangkir kopi dan membawanya kembali ke beranda untuk menemani hatiku yang gundah. Semangkuk bubur candil juga ikut nangkring di meja rotan berlapis kaca, hadiah seorang pengusaha rotan Cirebon yang tahu suamiku akan dimutasi ke Afrika Selatan dulu. Dari perangkat audio di dalam kamar kuputar "Romantic Love Songs" yang mengalunkan "Sentimental Journey". Lagi-lagi ingatanku terlempar ke masa lalu, kepada Yusnizar. Ah, suasana malam di Pusara Aman Abadi itu bermain-main lagi di mataku, membasahkan mata yang kurang tidur semalam.

-ad-

Perempuan itu tak pernah menyangka bahwa kepulangannya dari Banda Aceh ke Singapura, Minggu, 26 Desember 2004 adalah kali terakhir ia meninggalkan kampung halamannya dalam keadaan baik. Pagi itu orang tua dan kedua anaknya melepas kepergiannya sebagaimana waktu-waktu yang lalu. Ada sesungging senyum disana. Dia berjanji akan segera kembali ke Banda Aceh untuk menjemput anak-anak itu kembali ke Singapura mengingat sekolah sudah hampir masuk. Johansyah Putra Yusoff si sulung, akan duduk di kelas baru sebagai murid kelas 6.

Yusnizar Yunus perempuan temanku itu seorang permanent resident yang bekerja sebagai staff humas Raffles Hospital rumah sakit langgananku. Banyak masyarakat Indonesia yang menggunakan jasanya: karenanya hari-harinya disibukkan oleh tugas antar-jemput pasien baik di dalam gedung rumah sakit maupun dari bandara Changi dan pelabuhan Waterfront. Semuanya sudah menjadi rutinitas. Seperti hari itu, ketika dia harus kembali memenuhi tuntutan tugasnya. Tak ada air mata anak-anak itu. Juga tak ada kekecewaan di hati ibundanya, Cut Rohani perempuan berumur enam puluh tahun yang pagi itu menggendong Jordan Adam, cucu bungsunya yang baru berumur lima belas bulan. Sang kakek Haji Muhammad Yunus Zainudin, enam puluh lima tahun turut mengantar kepergian putri sulungnya dengan senyum. "Pergilah, ayah akan jaga baik-baik anakmu,' ucap bibir tua itu seraya mengelus kepala putrinya sebelum Yus terbang bersama Garuda yang membawanya ke Changi.

-ad-

Lalu datang berita itu. Semua stasion TV yang tertangkap di Singapura mengabarkan kegemparan luluh lantaknya bumi Nangroe Aceh. Dan histeria massapun merebak. Tak terkecuali di rumah Yusnizar. Tak dinyana, tak diduga. Secepat itu dia harus segera kembali ke Aceh untuk membuktikan sendiri tayangan fenomenal yang menguras air mata dan menggemakan tahlil di seluruh penjuru dunia.

Bersama adiknya yang tinggal semata wayang- Mona Melizar- seorang mahasiwi baru di Singapura, mereka hanya mendapati wajah-wajah sendu dan bau amis bangkai yang meruyak di bumi Nangroe. Pesawat mereka tak dapat mendarat dengan sempurna di Aceh. Terpaksalah mereka melalui jalan darat dari Medan menembus segala rintangan yang ditancapkan Sang Maha Kuasa dalam sekejap mata. Hanya ada truck tentara yang sanggup membawa mereka setengah jalan. Selebihnya, tubuh yang lunglai itu harus mampu mengayunkan langkah menginjak bangkai-bangkai bergelimpangan yang berasal dari berbagai ciptaan Tuhan. Bau kematian menyengat di setiap muka bumi yang tak lagi rata. Badai itu telah menghancurkan segalanya, termasuk kekuatan yang dimiliki dua bersaudara itu. "Teruslah berjalan, sedikit lagi kita sampai," bujuk Yusnizar pada adiknya yang mogok kelelahan. Dibimbingnya tangan itu, dan merekapun berjalan dalam diam dengan harapan yang tak pasti sampai Masjid Baiturrahman di muka rumah mereka nampak jelas.

-ad-

Perkampungan telah porak poranda. Hanya tersisa bangunan masjid. Subhanallah! Lumpur lengket masih semata kaki, menyulitkan mereka mengenali orang-orang tersayang yang terserak entah disebelah mana. Bahkan letak rumah mereka secara pastipun sudah sulit untuk ditandai, sekalipun nyaris berhadapan dengan masjid itu. Suara seperti tercekat saja di kerongkongan menyulitkan doa-doa yang dilantunkan.

Dimana-mana orang sama menderitanya. Korban hidup maupun keluarga mereka yang datang dari berbagai kota, sama mencari-cari dan sama kebingungan. Hanya Masjid Raya itulah satu-satunya tempat mereka berpsasrah. Berdesak-desak berbagi kehangatan dalam dingin hati yang pedih. Perut-perut itupun tak minta diisi sejak perjalanan panjang yang melelahkan mereka. Tapi, tak urung Yus dan adiknya membeli juga telur rebus yang dijajakan orang lima ribu rupiah sebutir, sekedar penambah tenaga. Mona hanya terdiam, memaku mematung tanpa daya. Sementara di sekitar mereka kedengaran pendatang-pendatang dari luar bumi Nangroe sibuk berebut jari jemari mayat yang berserakan. Kedua perempuan itu menatap penuh rasa ingin tahu, dan mendapati mereka dengan garang memotong begitu saja jemari itu sekedar untuk mendapatkan satu-dua buah cincin yang melingkarinya. Pekik tertahan dan deru nafas tersengal menjadi pertanda bahwa mereka dicekam ketakutan yang luar biasa. Manusia-manusia biadab itu tanpa merasa berdosa, menjarah apa yang mereka miliki sekalipun tinggal bangkai belaka.

"Nak, kau punya motor di rumahmu bukan?" Tiba-tiba suara pengungsi di sampingnya mengejutkan mereka. "Ya," jawab Mona lirih. Baginya motor bukanlah sesuatu yang ingin diketemukannya. Dia rindu untuk melihat jazad orang-orang yang dicintainya. Terlebih-lebih Yusnizar. "Itu motor milikmu," sambung lelaki tadi seraya menunjuk kearah dua orang lelaki yang nampak bekerjasama menggotong sepeda motor Yamaha merah dari reruntuhan sebuah rumah. Baru kini disadarinya, lelaki itu tetangganya sendiri. Dan motor yang diangkut paksa oleh para pendatang penjarah tadi tak salah lagi dulu kendaraan tunggangannya menuju ke sekolah. Setelah itu, berturut-turut mereka melihat perangkat televisi, koelkast dan mesin cuci turut dibawa dari rumah mereka entah menuju kemana, melewati rangkaian nestapa yang panjang menyebar di seluruh Bumi Nangroe. Dalam ketiadaberdayaan, mereka cuma bisa menangis seraya menanti hari berganti yang memungkinkan mereka mencari keluarga mereka kembali. Malam itu adalah malam terkelam bagi mereka di tanah kelahirannya sendiri.

Ketika adzan pagi berkumandang nyaring, mereka tidak juga beringsut dari tempat duduk mereka. Masjid yang disesaki orang itu tak mungkin dipakai bersembahyang. Air bersihpun tak ada. Mereka hanya berdoa dalam hati lalu kembali duduk mencakung, sembil menggigiti sisa-sisa roti yang mereka bawa turun dari pesawat kemarin. Menjelang siang datanglah kerabat Yusnizar dari Singapura yang menyusul belakangan untuk turut mencari jenazah. Entah siapa yang mengabarkan keadaan sesungguhnya, sebab ketika berangkat Yusnizar tidak sempat bertemu dengan keluarga ayah anaknya yang tinggal jauh dari rumah mereka. Sedangkan hubungan telepon sudah terputus sama sekali akibat gempa yang maha dahsyat itu.

Mereka sempat saling pandang, tercenung sebelum kemudian sama-sama menguatkan langkah mengais-ngais kembali reruntuhan rumah korban. Relawan Singapura yang digerakkan oleh Kedutaan Besar Singapura di Jakarta juga turut membantu. Berhari-hari begitu adanya, sampai Yus dan Mona menemukan selapis kain yang mereka yakini sebagai baju ibu mereka di balik reruntuhan kayu dan tembok. Jasad itu, berdekatan dengan ayah mereka yang nyaris tak berbentuk. Tapi Johan dan Adam masih tak tentu rimbanya. Sementara itu panasnya matahari di langit khatulistiwa menyengat bumi menebarkan bau mayat yang sangat menusuk serta menerbangkan lalat penuh suka cita. Sungguh suatu pemandangan yang mengenaskan.

Kain selendang bekas gendongan Adam masih menempel di tubuh sang nenek. Dengan yakin, Yusoff Samadi menyibak-nyibak apa yang ada di sekitar situ untuk menemukan jasad anaknya, Johan. Dalam perkiraannya Johan tentu tak jauh dari adik di gedongan neneknya. Tapi yang dijumpai cuma kekecewaan semata. Jangankan Johan, si kecil Adampun tak ada.

Sampai di puncak kelelahannya dia menemukan sepucuk jempol bocah. Ditelitinya baik-baik dengan mengangkatnya dari balik reruntuhan. Kaki kecil itupun menyembul. Ada bekas luka di jempol. "Anakku!" seru Yusoff histeris sambil berlinangan air mata. Kerinduannya untuk bertemu sang buah hati yang memang sudah lama hidup berpisah darinya ternyata harus terpuaskan dengan cara itu. Pecahlah tangis di petang itu karena menganggap luka di jempol adalah luka Johan yang diperolehnya dari permainan sepak bola yang begitu digandrunginya. Namun dengan menguatkan hati, Yusoff terus mengais-ngais lagi untuk mencari Adam, putra tirinya. Ayah Adam sendiri waktu itu belum sampai ke Aceh sebab sedang bertugas di Surabaya. Karenanya, Yusoff menganggap menjadi tanggungjawabnyalah usaha pencarian Adam.

Mencari dan mencari. Berdoa dan terus berdoa, berpasrah diri. Itulah yang dilakukan seminggu lamanya. Namun sejauh itu ternyata hanya jasad nenek dan kakeklah yang dapat teridentifikasi, sementara jenazah Johan bukanlah yang diakui ayahnya pada hari ketiga itu. Bahkan Jenazah Adam serta inang pengasuhnya raib bak ditelan bumi, tercatat sebagai korban tak dikenal.

-ad-

Petang itu, baru hari kelima di awal tahun dua ribu lima. Aku dan suamiku berjaga di area "Pusara Aman Abadi", Choa Chu Kang, Singapura untuk menunggu dan menerima tibanya jenazah bapak-ibu Haji Muhammad Yunus Zainuddin yang terpaksa akan dimakamkan di negeri tetangga. Bumi Aceh yang porak poranda menghabiskan semuanya, termasuk kerabat mereka. Yang tersisa hanya dua putri cantik, Yusnizar dan Mona. Hujan mulai turun rintik-rintik, namun petugas penggali kubur sudah lama mencangkul tanah merah dengan ekskavator menuruti permintaan keluarga.

Sunyi yang mencekam membalut area pemakaman, mulai dari ujung terdepan yang berupa pemakaman Kristen dan Budha hingga ke areal pemakaman muslim di sudut terdalam. Burung-burung gagak hinggap di atas pohon menyumbangkan suaranya yang mengiris jantung. kuperhatikan jam di tangan. Sudah mendekati pukul enam. Suamikupun mahfum akan kegelisahanku. Tanpa banyak bicara dia menghubungi teman sejawat yang bertugas menjemput jenazah dan rombongan keluarga di Bandara Changi. Sementara itu para penggali makam memberitahukan bahwa suamiku diharapkan menghubungi Kepolisian Resor Bedok, tempat tinggal Yusnizar untuk menjelaskan mengenai ijin pemakaman. Rupanya jenazah tertahan di area Bandara Changi karena urusan perijinan yang belum jelas. Setelah mendapatkan nomor telepon polisi dari para penggali makam itu dan menghubungi mereka, suamiku mengajak kami menunggu di masjid dua ratus lima puluh meter dari lokasi kubur. Kami berjalan dalam diam.

Hujan semakin lebat saja, membasahi kerudungku dan baju yang tak begitu tebal mengirimkan dingin yang menggigit tulang. Nyamuk-nyamuk juga mulai berterbangan mengganggu. Tapi kami tak peduli lagi. Kami punya satu tekad, terus menunggu, menyelesaikan kewajiban kami mengantar jenasah hingga ke lahatnya.

Matahari sudah turun dengan sempurna. Gagak itu masih terus mengganggu. Hanya ada aku dan suamiku di area masjid, sampai kemudian rombongan penjemput jenazah tiba. Lalu jenazah-jenazah itu yang cuma dua keranda. Yusnizar terkulai layu di dalam mobil penjemput. Sementara Mona justru nampak tegar dan sedikit segar dengan seulas lipstick mencerahkan wajanya. Kami salami mereka dengan pelukan erat tanpa kata. Lalu jenazah disembahyangkan sebelum kemudian dibawa dengan mobil menuju liang lahat.

Hanya tinggal beberapa orang saja yang setia sampai keranda ditimbuni tanah. Di langit, hujan menderaikan tangisnya ditingkahi jerit kucing-kucing liar yang datang tiba-tiba entah dari mana. Memilukan, seperti simponi patah hati. Sayup-sayup dari tempat kami berdiri gema ayat-ayat suci itu terdengar nyaring. Allahu Akbar! Tuhan Maha Besar! Terjadilah apa yang sudah menjadi kehendakNya. Takdir yang tak seorangpun dapat menolaknya.

Di pergelangan tanganku jam menunjukkan pukul duapuluh satu. Matahari telah mencapai titik nadir. Kami beranjak pulang, dalam sepi dan tangis yang membukakan mata bahwa, kelak ada saatnya kita akan kembali menghadap padaNya. Innalillahi wa innailaihi raaji'un.

18 komentar:

  1. Saya pernah denger cerita ini Mbak Julie...
    Sedih ya....kasian banget Ibu Yusnizar

    BalasHapus
  2. Bu sungguh tragis true story tersebut. Saya ikut melelehkan air mata membacanya, kemudian tiba-tiba ikut teringat keluarga(ibu tua) yang ditinggalkan dalam perantauan kami ini. Memang benar bu, takdir tak dapat kita tolak, saat menghadap padaNya dapat terjadi kapan saja, mungkin besok, lusa entah kapan, kita harus siap menerimanya.

    BalasHapus
  3. kurang apa dahsyatnya cobaan yg mereka alami? tapi tetap itu tidak diluar batas kemampuan mereka karena Allah lebih tahu. saya di aceh dr thn 79-91. 12 thn mbak julie. feel like itu kampung saya sendiri.. I wish they can move on..

    BalasHapus
  4. kita tidak pernah tahu bagaimana rencana Allah ya Bu Julie.. astagfirullah; semoga kita termasuk org yang diberi nikmat dan petunjuk..amiin

    BalasHapus
  5. Ya dik Senny. Tapi ajaibnya, setelah treatment di tempatnya bekerja dengan counsellor kejiwaan, dia bisa tegar. Sekarang dia sudah punya putri lagi kira-kira hampir dua tahun umurnya. Subhanallah! Saya harus mencontoh semangat hidup dan keridhaannya menerima takdir yang digariskan Alalh. Dia sekarang jadi "guru" saya.

    BalasHapus
  6. Berpasrahlah, dan berdoalah semoga Allah mempertemukan kita kembali dengan orang-orang yang kita sayangi di tanah air.

    BalasHapus
  7. Amin. Sayang pada waktu itu kita belum gaul ya mbak Lia, kalau udah kan saya bisa ngajak mbak Lia ke Pusara Aman Abadi. Pelayat nyaris nggak ada, mungkin karena kabar pemakaman datangnya mendadak, dan nyaris gelap malam. Suasana di Choa Chu Kang tau sendiri 'kan? Sekarangpun kalo saya disuruh kesana lagi malam-malam, belum tentu saya berani.

    BalasHapus
  8. Certainly yes! Mereka sekarang sudah mulai hidup baru lagi. Semua mereka sisihkan di laci lemari terdalam. Kita bisa lihat Srikandi Aceh yang tegar, pada diri Yusnizar. Saya salut padanya dan bahagia bisa jadi temannya.

    BalasHapus
  9. menyentuh tante kisahnya yg dituturkan, bisa buat saya yg baca ikut terhanyut juga.

    BalasHapus
  10. meni nyelek sareng dada meni asa sesek... ihiks....
    Semoga musibah yg diterima bisa menaikan derajat kel. Ibu Yusnizar... Aamiin Allahumma Aamiin...
    hatur nuhun sharingna tehhh... banyak pelajaran yg bisa diambil dari 'true story' itu... *keukeup haneut*

    BalasHapus
  11. Semoga dengan hanyutnya mas Andi dan beberapa teman lain semakin meyadarkan bahwa Kuasa Illahi bisa datang kapan saja tanpa ada yang tahu dan sempat mencegahnya.

    BalasHapus
  12. Sawangsulna. Kaleresan mangkukna kenging SMS ti anjeunna selamat hari ibu saurna, bari naroskeun kaayaan abdi dipiwarang ku pun dokter di ditu. Keukeup haneut deui. Happy Mother's Day!

    BalasHapus
  13. Iya teh sedih pisan. Waktu kejadian itu aku lagi nunggu anak di RS PMI Bogor kena DBD. Aku gak bisa lepas dari remote TV dan gak tidur semalaman liat acara itu dibeberapa statiun TV . Selama satu minggu aku lihat tayangan itu masih aja air mata gak kering dan datang dengan sendirinya dari pelupuk mata. Pada waktu itu anakku sekolah di SDIT At-taufik dan ternyata guru Qiroatinya harus kehilangan 35 orang anggota keluarganya.
    Subhanallah alhamdulillah wala ilaha illallah Allahuakhbar

    BalasHapus
  14. Innalillahi wa innailaihi raji'un. Istri keponakan suami saya yng jadi wartawati Radio Singapore International Seksi Bahasa Indonesia juga kehilangan banyak keluarganya, sekalipun orang tuanya sudah di Jakarta. Dia ditugaskan meliput ke aceh oleh Suria TV satu-satunya TV nasioanl Singapura. Saya nonton liputannya diakhiri sesi dia di dalam stasion Radio SI sambil ngomong tersendat-sendat dan mnangis. Mencekam sekali.

    BalasHapus
  15. Innalillahi wa innaillaihi rajiuun...
    Waktu di Bogor dulu saya juga punya teman dosen Unsyiah yang sedang menyelesaikan S3nya di IPB mbak, meninggalkan kedua orang tua, suami dan tiga anaknya di Banda Aceh. Dan peristiwa itu hanya menyisakan duka dan seorang anaknya saja yang akhirnya dibawanya ke Bogor....
    Innalillahi....

    BalasHapus
  16. Masih sisa satu...... Sahabat saya? Telas babar blas! Dia tinggal berdua dengan adik bungsunya yang memang sudah ikut dia menetap di Singapura. Adik langsungnya sudah meninggal kecelakaan sebelum tsunami. Gitu...... Semoga Allah memberi kenikmatan setelah cobaan yang maha berat ini. Memang, terbukti, setelah itu dia punya bayi lagi (lahir kira-kira dua tahun yang lalu). Sekarang tinggal itu harta karunnya.

    BalasHapus
  17. kepadaNya kita pasti kembali
    dan sebaik2 kembali, adalah saat hati kita suci

    Irjii ila robbiki roodiyatan mardiyah...
    Fadkhuli fi ibadi wadkhuli jannati

    BalasHapus
  18. Amin-amin-amin. Terima kasih atas kesediaannya bertakziah di sini. Semoga Allah membalas semua kebaikan adinda.

    BalasHapus

Pita Pink