Powered By Blogger

Jumat, 16 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (100)



Tak terasa sudah seratus kali saya mencatatkan riwayat penyakit saya di buku harian elektronik ini. Tapi kanker saya belum juga bisa pergi. Ketika ini terjadi harusnya saya akan merasa sangat terpuruk, susah, ketakutan dan semacamnya. Karena setiap opsi pengobatan yang sudah saya jalani ada terekam di sini untuk dipelajari, tanpa hasil akhir yang sempurna. Mestinya saya sedih dan putus asa. Keadaan itu juga yang saya jumpai pada sebagian besar pasien kanker yang tak sembuh-sembuh. Termasuk apa yang dikatakan teman lama saya yang kemarin datang menjenguk bersama istrinya setelah berpuluh-puluh tahun kami berpisahan, mereka mengira saya dalam kelemahan yang sangat di atas kursi roda yang menopang tubuh hidup enggan mati tak mau saya.

Ketika itu saya sedang menanti giliran ditemui peneliti yang akan meluluskan pemberian obat yang sedang dicobakan dalam penelitian kepada saya. Telepon genggam saya bergetar, menampilkan panggilan dari nomor tak dikenal. Tak biasa, kali ini saya justru langsung menyambut panggilan itu untuk mendapati siapa di seberang sana. Entah dorongan apa yang membuat saya ingin bicara.

Suara wanita yang tak saya kenali menyapa riang. Dia menggunakan nama kecil saya, seraya menyebut jati dirinya. Seketika saya teringat dia dan suaminya, teman lama yang kebetulan sepupu dari seorang teman yang kini menduduki jabatan penting di pemerintahan sebagai wakil utama pemerintah kita di Amerika. Tapi status sosial itu tak penting betul untuk saya. Yang terpenting adalah saya tak menyangka manusia dengan keadaan rendah seperti saya masih dikenali dan diingat oleh orang-orang sibuk yang selalu kehabisan waktu untuk orang lain. 

"Subhanallah, teteh........? Bener ini teh Dian? Masih ingat saya?" Seru saya separuh memekik di keramaian pasien yang memadati ruang tunggu berbagai klinik untuk kepentingan kemoterapi mereka. Setelah mendengarkan jawabannya yang singkat padat, barulah saya yakin tentang dirinya yang juga sesama penduduk asli Bogor dulunya. Saya teringat Ratmanah sahabatnya di SMP yang jadi teman sepermainan saya waktu kecil dulu. Ya, ini Dian yang baik hati temannya teman saya itu.

Dia mendapat nomor saya dari kenalan baru yang datang menjenguk saya suatu hari dulu bersama beberapa teman Dharma Wanita Persatuan saya. Untuk Dian dia juga kenalan baru. Dia melihat foto kami di laman FB teman baru itu, lalu dia menanyakan apakah orang dengan tutup kepala hitam di dekatnya pada foto yang diunggahnya adalah teman lamanya dulu. Tapi dia menyebut nama kecil saya yang untungnya juga cukup populer di kalangan teman-teman saya. Ketika dibenarkan, mereka kemudian terlibat pembicaraan mengenai saya. Maka berawal dari obrolan itulah terbersit keinginan teh Dian dan suaminya uda Ade untuk menjenguk saya.



Sangat menggembirakan ketika akhirnya kemarin siang mereka datang. Banyak cerita yang mereka kisahkan. Pun banyak yang ingin mereka ketahui dari saya. Sepupu mereka yang menderita kanker kelenjar getah bening Non-Hodgkins (Lymphoma) beberapa tahun lalu yang pernah saya kisahkan di sini, hingga sekarang masih terus makan obat. Penyakitnya belum sembuh juga, meski sudah dioperasi dan diobati onkologis ternama di Singapura. Uda Ade mengatakan pasien itu pernah berniat berobat di Boston, Amerika Serikat namun terkendala biaya. Jadi, meski masih belum sembuh betul dia terpaksa terus produktif bekerja menafkahi keluarganya.

Itulah realita yang dihadapi para penderita kanker. Penyakitnya jika lambat diketahui, tidak ditangani dengan tepat pula memerlukan semakin banyak biaya yang tak dapat dikatakan murah. Setahu saya pasien yang satu itu sempat berobat ke dokter ahli syaraf bergelar profesor di RS besar di Jakarta tanpa hasil. Bahkan sedihnya, tak ada upaya dokter itu untuk merujuknya ke dokter lain untuk mencari pembanding atas diagnosanya. Berobat ke negeri tetangga dulu adalah atas inisiatifnya sendiri setelah putus asa di Indonesia. Dan ketika secara tak sengaja di Singapura dia berpapasan dengan profesor itu, sang profesor hanya mengangguk-angguk mendengarkan laporannya tentang kasus penyakitnya yang ternyata bukan penyakit syaraf. 

Kemarin teman saya bilang, sepertinya dia tak akan percaya bahwa saya penderita kanker stadium akhir tanpa melihat dengan matanya sendiri sosok saya sekarang. Sebab baik di foto maupun secara nyata, saya masih seperti dulu sehat wal afiat. Cuma pembalut di tangan dan lengan saya lah yang bisa meyakinkannya. Siapa pun sependapat dengan mereka, karena tangan kiri dan kanan saya jelas berbeda ukuran.




Ini penampakkan saya sebelum dioperasi dulu. Sekarang bahkan lebih bengkak lagi.

Mereka menanyai saya apakah merasa lemah, mual, muntah, sakit dan berambut rontok sehabis dikemoterapi? Tanpa ragu-ragu saya jawab bahwa saya cukup sehat, tidak mual apalagi muntah, pun tak terkena sariawan. Namun jangan salah, rambut saya tentu saja rontok. Segera saya lepas jilbab saya disambut seruan "owwww....... masya Allah," dari suami istri itu. Mata mereka membelalak kaget, tak mengira saya botak dengan sendirinya seperti pasien-pasien lain. "Aduh maaf, ngageti, ya?" Kata saya tersipu-sipu. "Ya," jawab mereka lagi-lagi serempak. "Luar biasa, nggak kelihatan kayak orang sakit serius sih," sambung si suami membuat saya makin tersipu-sipu.

Lagi-lagi mereka masuk barisan orang yang terkagum-kagum pada saya. "Wah, heran saya, kok kamu kuat banget ya? Benar tuh apa yang dibicarakan teman-teman kita. Hebat, luar biasa," kata Dian tetap terperangah. Maka saya pun membeberkan rahasia pengobatan ganda saya ke sinshe yang ditanggapinya positif. Apalagi begitu saya katakan sel kanker saya sudah terkunci di seputar payudara dan ketiak saja oleh pengobatan itu.

Seperti kebanyakan teman-teman saya lainnya, Dian minta dihubungkan dengan sinshe saya karena punya saudara yang juga menderita kanker. Kondisi saudaranya tak sesegar kondisi saya. Karenanya saya menjadi semakin yakin bahwa pengobatan dokter akan lebih sempurna jika ditunjang oleh pengobatan herbal Cina berikut peraturan dietnya yang khusus yang justru tak dikehendaki dokter.

Siang itu menjadi saat terindah untuk menjemput senja, sebab saya makin yakin bahwa teman-teman saya di luaran sana semakin banyak saja yang menyayangi saya. Dian pun menyampaikan salam dan doa dari teman kami nun di Vancouver, Kanada yang juga sudah tahu keadaan saya dari "bisik-bisik tetangga". Konon beliau berjanji menjenguk saya jika suatu saat berkesempatan pulang ke Indonesia. Dan sore itu pun jadi saat terbaik untuk lagi-lagi menyukuri nikmat Illahi. Saya antarkan sepasang suami istri itu mencapai mobil mereka yang membawa mereka tiba di rumah saya. Dari dalam mobil Dian menjanjikan akan kembali lagi membawa tantenya yang tak lain dan tak bukan atasan pertama saya di Kepengurusan Dharma Wanita Persatuan dulu sekali semasa saya pengantin baru yang bersinar-sinar. Mobil itu pun menderu perlahan ke arah utara meninggalkan kesan yang menyenangkan.

(Bersambung)


2 komentar:

  1. asik ketemu temen lama..
    dan asik ini cerita ke 100.. kangen juga baca gaya bahasa mbak julie..
    ambil minum dulu nih, baca lanjutannya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya nggak nyangka aja ada teman lama masih mau nyari saya karena dulu saya diteror orang dibilang jadi musuh orang sejagad hahahaha.........

      Hapus

Pita Pink