Powered By Blogger

Selasa, 02 Oktober 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (8)

Saya sudah mulai terbiasa berdamai dengan rasa sakit. Juga berdamai dengan kepedihan yang seringkali datang jika mengenang teman-teman senasib yang sudah lebih dulu berpulang atau entah di mana sekarang berada. Meski begitu di waktu-waktu tertentu mereka yang pernah bersama-sama menjadi pasien dengan penyakit yang serupa dulu itu sering hadir di pikiran saya. Wajah-wajah kesakitan mereka yang letih mengguratkan cerita sedih. Sekaligus mencambuk saya untuk bangkit melawan maut.

Ada istri politisi senior yang kini sudah almarhum, yang terkena tumor pada otaknya bersamaan dengan penderitaan mendalam putri mereka yang menderita kanker payudara stadium akhir. Di sela-sela waktu istirahat saya dari kegiatan berobat, saya sering menjenguk mereka di ICU Mount Elizabeth Hospital yang terkenal sebagai rumah sakit terfavorit di Singapura untuk sebagian besar pasien Indonesia. Sang putri yang sudah beranak seorang gadis remaja, waktu itu baru saja sebulan duduk sebagai anggota DPR. Kanker pada payudara yang terlambat ditangani membuatnya mencari pengobatan di Singapura demi melaksanakan tugasnya sebagai anggota Dewan yang terhormat. Di ICU Mount Elizabeth Hospital itulah pertama kali saya berjumpa dengan perempuan muda ini dalam keadaan sedang tertidur lelap. Dia koma, terbaring tanpa daya dalam satu bilik pengap yang diwarnai suara derit-derit mesin berngiangan. Kedua orang tuanya gelisah menanti keajaiban yang diharapkan ada. Padahal dalam masa itu, sang bunda, yang berprofesi sebagai guru SMA di Yogyakarta sedang dalam masa penyembuhan setelah operasi tumor otak yang selalu membuatnya sakit kepala berkepanjangan. Bedanya, sang bunda terselamatkan, sebagaimana saya dengan serangkaian operasi pada organ reproduksi saya. Sedangkan putrinya wafat di Jakarta setelah dipulangkan dari Mount Elizabeth Hospital dalam keadaan tak tertolong.

Istri almarhum politisi gaek yang biasa dipanggil orang dengan sapaan akrab "mBah" yang menandakan ketuaan beliau, mengeluh sakit kepala ketika kami berjumpa di Singapura di suatu saat. Saya menawarinya untuk memeriksakan diri ke rumah sakit tempat perawatan saya. Tapi beliau memilih rumah sakit lain. Dan berkat pemeriksaan itu, ditemukanlah penyebab sakit kepala beliau, yaitu daging tumbuh di otaknya. Saya pun kemudian beberapa kali menjenguknya, membalas kunjungan beliau semasa saya dalam perawatan dokter. Begitulah menurut saya, sesama pesakit harus saling mendukung dan memerhatikan kondisi temannya. Alhamdulillah hingga suaminya meninggal dunia di usia senjanya akibat penyakit diabetes mellitus yang diidapnya, beliau masih diberi panjang usia guna meneruskan pesan almarhum merawat cucu mereka satu-satunya yang sudah piatu.


***

Ada lagi pasien lain yang membuat saya tahu bahwa di Mount Elisabeth Hospital itu memang ada seorang dokter ahli penyakit kanker (onkologis) yang gencar mempromosikan jasanya kepada para pasien Indonesia. Dokter bersuku Cina ini mengklaim dirinya sebagai seorang ahli yang patut diandalkan, lewat buku yang ditulisnya sendiri soal penanganan penyakit kanker. Saya membaca buku itu dipinjami putra mantan atasan mantan suami saya yang sedang menderita penyakit kanker kelenjar getah bening.

Inilah pertama kalinya saya mendengar istilah kanker kelenjar getah bening atau Non-Hodgkin's Dissease atau Limfoma. Disebut Limfoma, karena penyakit kanker ini menyerang sistem limfatik yaitu bagian dari sistem kekebalan tubuh sebagai pertahanan dari serangan bakteri, virus dan jamur penyebab infeksi pada seseorang. Agaknya tak mudah untuk menegakkan diagnosa atas penyakit ini, buktinya Uda Iwan, teman saya itu tak terdiagnosa meski sudah berkali-kali berobat kepada dokter spesialis syaraf yang terkemuka di Jakarta.

Pasien ini datang ke Profesor yang bekerja di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta itu dengan keluhan mengalami kelemahan otot pada sebelah tubuhnya. Setiap bangun tidur matanya akan mengatup satu. Gerakan tangan dan kakinya kaku, dadanya pun terasa berat dan sakit.

Saya terkejut ketika mendapatinya berjalan gontai dari area dalam ruang kedatangan Bandara Changi dengan tatap mata sayu. Lelaki berumur sekitar empat puluh lima tahunan itu nampak tua. Istrinya yang punya sepasang mata terang benderang mengatakan, suaminya sekarang memang lemah. Anggota tubuhnya nyaris lumpuh sebelah meski sudah mengonsumsi sejumlah besar obat syaraf yang diresepkan akhli syaraf di Jakarta yang dulu merawat penyakit stroke orang tuanya.

Ketika kemudian dia sampai di ruang tamu rumah dinas kami, dia nampak bernafas pendek-pendek terputus-putus oleh batuk-batuk berkepanjangan yang menyiksa. Seketika itu saya menduga ada ketidak beresan entah pada organ paru-parunya atau jantungnya. Saya menghargai pilihannya untuk hanya minum air hangat ketika saya menawarinya minuman selamat datang. 

Siang itu juga dia berangkat ke Mount Elizabeth Hospital. Siang itu juga dia diperiksa oleh tenaga medis menggunakan segala peralatan canggih yang ada. Karena sewaktu di Jakarta dia meminta diperiksa dengan CT Scan, dokter yang merawatnya mengatakan ongkos pemeriksaan itu mahal. Artinya jika dokter tak mengindikasikan untuk melakukannya, jangan pernah meminta. Padahal pasien ini datang dari kalangan ekonomi yang kuat, ditunjang oleh pekerjaannya yang bergengsi di sebuah stasion televisi swasta.

Siang itu juga dia diharuskan untuk tinggal di rumah sakit, sementara istrinya mengabarkan kepada kami bahwa suaminya akan menjalani persiapan untuk pembedahan thorax (dada) karena ditemukan adanya penyumbatan di antara rongga jantung dan paru-parunya. Segalanya berlangsung begitu cepat dan mendebarkan.

Operasi yang memakan waktu lama keesokan harinya membuka wawasan saya akan satu kondisi kanker lainnya, yaitu kanker kelenjar getah bening yang tak disertai benjolan di sekitar leher penderitanya atau di bagian lain yang kasat mata. Setahu saya, getah bening terdapat di berbagai bagian tubuh, namun yang utama adalah di leher bagian belakang dekat telinga. Di situ biasanya teraba semacam benjolan yang terjadi karena pembengkakan. Pada teman saya yang ini, kanker itu menyumbat di rongga dadanya, bukan di lehernya pun juga tidak di bagian-bagian tubuh lainnya. Untuk membuang tumor ganas itu, diperlukan menggergaji rongga dadanya. Ah, tak terbayangkan betapa sakitnya! Setelah itu, dengan sangat hati-hati tumor itu dikeluarkan dan dipotong. Tentu saja tidak boleh sampai mengenai organ vital lainnya, yakni paru-paru bahkan jantungnya itu. Betapa sulitnya pekerjaan ini, saya tak sanggup untuk membayangkannya. Berbeda dari keadaan saya biasanya ketika akan dioperasi. Di luar negeri sana, setiap pasien akan dibekali pengetahuan tentang tindakan yang kelak dilakukan dokternya. Dan pada kasus saya hanyalah sebuah tindakan sederhana, membuka perut, kemudian langsung mengambil organ yang sakit 

Uda Iwan, pasien itu terpaksa tidur di rumah sakit selama seminggu lalu beristirahat total bersama kami di rumah dinas kami sebelum dinyatakan siap kembali ke Jakarta. Namun setelah itu beliau tetap diwajibkan datang memeriksakan diri sambil menjalani rangkaian kemoterapi serta radioterapi. Beberapa kali juga dia menyewa apartemen sendiri, tapi sempat suatu saat dia memilih menginap di tempat kami karena kondisinya yang cukup memprihatinkan. Kulitnya kehitaman seperti bekas terbakar. Sedangkan dadanya katanya masih sangat sakit. Saya yakin itu adalah bekas tindakan radiasi yang diterimanya. Sebab beberapa pasien tumor ganas lainnya juga mengalami nasib yang serupa.

Jeng Dien istri uda Iwan menceritakan, seorang teman mereka yang menderita kanker rahim pada saat yang sama bahkan lebih menderita lagi. Perempuan itu hanya bisa tergolek lemah di rumah sakit lain, disebabkan tidak kunjung membaik dalam perawatan dokter terkenal di Mount Elizabeth Hospital ini. Tubuhnya sudah kurus kering, kulitnya kisut menghitam dengan bibir pecah-pecah dan kepala botak. Selama sekian bulan dia tidak bisa pulang ke Jakarta, sehingga suaminya terpaksa meninggalkan pekerjaannya untuk mendampinginya di sebuah apartemen sewaan mereka. Kini saya membayangkan sendiri, berapa banyak dana yang harus disiapkan seorang penderita kanker apalagi stadium lanjut jika berobat di luar negeri, meski tidak dijamin akan sembuh kembali. Sangat beruntung diri saya yang hanya mengalami tumor dan kista jinak pada waktu itu. Rasanya sebanding biaya yang telah kami keluarkan dengan panjangnya waktu bagi saya untuk menarik nafas di dunia yang indah ini.

Di suatu kesempatan uda Iwan secara tak sengaja melihat dokter yang merawatnya di Jakarta sedang berjalan-jalan di suatu pertokoan di dekat rumah sakit. Dengan segera dia mencegatnya untuk melaporkan kondisi kesehatannya, setelah dia memperkenalkan diri sebagai pasiennya di Jakarta yang pernah ditolaknya melakukan CT scan. Cerita pasien itu di saat kami sama-sama beristirahat di teras rumah suatu senja, dokter yang dilaporinya cuma memperhatikan sekejap, setelah itu mengucapkan salam dan berlalu sambil mendoakan semoga lekas sembuh. Rasanya geram sekali saya membayangkan sikap seorang profesional yang begitu dingin di dalam menanggapi keluhan kliennya. Ah Indonesia, iklim dan budaya kerja kita memerlukan banyak perbaikan. Akankah kiranya itu terjadi?!

(Berambung)

8 komentar:

  1. makanya orang Indonesia yang punya duit lebih memilih berobat ke singapur ya bund.....

    BalasHapus
  2. Betul, dokternya sangat membantu baik pasien maupun keluarganya. Bahkan di rumah sakit tempat saya biasa berobat, ada tour yang dikelola rumah sakit khusus untuk keluarga yang menunggui pasien di situ.

    BalasHapus
  3. sedih memang melihat yang terkasih menderita lama. itu juga terjadi pada ayah saya yang awalnya "hanya" terkena kanker tiroid. mudah-mudahan semakin lama ilmu kedokteran semakin canggih dalam mengurangi kesakitan para pengidap kanker. aamiin...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah rasanya, memang sangat nggak enak dik. Kalau sinshe saya bilang, kanker jangan dibedah, soalnya sel kanker akan ganas kalau dibedah. Mendingan langsung digempur dengan herbal katanya sih. Saya ikut doakan Apih supaya kuat menjalani semuanya ya dik.

      Hapus
  4. bunda sekarang berobatnya dimana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya diobati sinshe dari Bekasi yang buka praktek seminggu sekali di Wisma Bogor Permai, tiap Rabu jam 13.00-20.00. Pasiennya nggak pernah sepi, bahkan ada yang datang dari Gunung Sindur, Ciseeng segala lho.

      Hapus
  5. mmhh ada sepupu bilang gini mbak: dokter di indonesia ga secanggih dokter di singapura yang sudah canggih mendiagnosa.. karena dokter di singapura belajarnya kemanamana dan punya metode mendiagnosa penyakit dengan tepat.. jadi dokter dimari sering salah mendiagnosa dan terjadi banyak malpraktek gitu.. mo dikasih contoh juga banyak kasus malpraktek.. dan itu diakui beberapa sepupu yang dokter juga..
    sakit emang mahal, semoga semua selalu sehat ya..

    BalasHapus
  6. Saya sependapat dengan itu. Ada kasus yang terjadi di depan mata saya, nanti saya ungkap ya. Pasiennya ditangani dokter yang pernah jadi orang nomor satu di Kemenkes walau sebentar. Kasusnya sama dengan saya, kista ovarium. Bedanya dia sehat rahimnya, sedangkan rahim saya ditumbuhi semacam tumor di dalam otot rahim jadi terpaksa dibuang.

    Dokter ini ngoperasi sendiri dengan bantuan tim. Sayangnya teman saya yang sakit waktu dibius nggak mempan, jadi telinganya masih bisa dengar. Dia dengar instruksi dokter supaya ngambil kistanya hati-hati jangan sampai pecah, karena dikhawatirkan kistanya ganas. Eh, nggak taunya pecah, dan dokternya ngomelin yang ngangkat kista itu keluar rahim. Benar aja, pas udah keluar hasil pemeriksaan kultur jaringan, diketahui ganas, beda dari punya saya yang selalu jinak. Akhirnya dia dikemo di Jakarta, tapi nggak ada perbaikan sehingga pindah ke Singapura ke dokter yang saya ceritain di atas, bukan ke dokter saya.

    Ongkos perjalanan, akomodasi dan semua biaya perawatan menghabiskan semua harta dan tabungannya, akhirnya dia meninggal juga. Ini baru satu bukti.

    Bukti kedua, ada seorang Hakim Tinggi suami seorang politisi perempuan yang sakit perut. Dokter di RS yang terkenal di Jaksel bilang itu batu empedu. Udah dioperasi di Jakarta masih terus aja sakit. Akhirnya dilarikan ke Singapura, dan didiagnosa masih sama, batu empedu, cuma operasinya nggak bersih, masih ada sisa yang nyempil di dalam sana. Terus dioperasi ulang, didanai oleh seseorang yang saya tahu pengusaha papan atas yang merangkap politisi kolega istrinya. Baru deh kemudian sembuh total, orangnya tertolong masih hidup sampai sekarang.

    Seorang lagi teman saya sendiri, waktu kami medical check up tahunan, dia kedapatan kena lung cancer. Dokter nggak ngoperasi, cuma dia dikemo, diradiasi dst. Karena suaminya mutasi ke Indonesia, dia ikut pulang, berobat lanjutan di Jakarta. Ternyata kemudian menyebar sampai ke livernya. Waktu kembali ke Singapura, dokternya bilang aman, bisa terus berobat di RS yang jadi langganan kami itu, ternyata salah. Penyakitnya makin menjadi, sampai akhirnya dokter di RS Pertamina Jakarta merefer ke dokter di RS Mt. E Singapura. Terlambat, dokter di sana nggak bisa nanganin lagi, dia meninggal di umur 46 tahunan gitu deh kalau nggak salah inget.

    Yang ini cuma sebagai penekanan aja lho jeng Tien bahwa, dokter di Singapura memang pinter, sekolahnya ke mana-mana, seperti dokter saya, yang satu ke Inggris, satunya ke Australia. Tapi nggak semuanya juga akurat dalam mendiagnosa pasien, lha wong namanya aja manusia, kadang nggak ada bedanya juga dengan dokter-dokter kita di tanah air. :-(

    BalasHapus

Pita Pink