Pujian perawat yang menyebut saya pasien yang bersemangat bukan satu-satunya "godaan" yang saya terima untuk melambungkan rasa bangga saya. Sebab sebelumnya juga banyak orang yang mengatakan demikian, termasuk tadi pagi ketika teman saya sejak SMP-SMA datang menjenguk.
Namanya Marlindah, biasa disapa Linda. Sejak bekerja di instansi yang dulu dipimpin almarhum ayah saya, Linda disibukkan dengan banyak pekerjaan. Terlebih-lebih setelah pernikahannya membawa dia dimutasi ke Lombok, kami jadi tak pernah lagi saling kontak. Meski dia satu-satunya teman sekolah yang saya undang ke perayaan pernikahan saya dulu tetapi dia bukan satu-satunya yang terkagum-kagum pada kondisi saya.
Dalam rangka pulang mudik, dia mengunjungi teman lama kami yang sering menengok dan memantau keadaan saya. Dari Elly dan Udin akhirnya terbersit pikiran untuk menyaksikan sendiri kondisi saya. Sebab katanya, dia mendengar saya dilabeli sebagai pejuang kanker yang tangguh oleh mereka berdua. Maka ketika nomor tak dikenal yang tak saya jawab panggilannya muncul di layar ponsel saya, dia segera mengirimkan pesan singkat yang menyebut dirinya teman sekolah yang sedang mudik. Katanya dia rindu melihat saya dan mendengarkan celoteh ramai saya. Walau tanpa identitas diri saya bisa segera menerka siapa dia.
Meski sudah nampak tua sebagaimana sewajarnya orang seusia kami, tetapi Linda tak banyak berubah. Tubuhnya tetap kecil mungil langsing. Lombok, negeri kedua setelah tanah kelahiran kami telah memberinya banyak pelajaran hidup dan cinta kasih. Di sana dia mendapatkan jodohnya lalu melepas suaminya kembali ke alam baka karena serangan stroke ringan yang ternyata dahsyat dan menyakitkan. Suaminya berpulang saat dia serdang mengikuti rapat kerja di Depok, hanya beberapa jam setelah mereka saling sapa melalui telepon. Katanya saat bertelepon suaminya mengaku sehat, suaranya masih jelas bahkan mengatakan baru saja selesai menyapu rumah. Apa daya dalam sekejap dia jatuh pingsan lalu wafat tanpa pernah sadarkan diri. Linda segera meninggalkan pekerjaannya dengan suasana hati yang kacau, sebab dia tahu suaminya mengidap stroke walau ringan. Air mata tak berhenti mengaliri pipinya, membuatnya kini terpesona ketika bisa menyaksikan saya menceritakan episode penyakit saya dengan penuh senyum. "Kamu memang hebat. Semangatmu luar biasa," pujinya tulus dengan sorot mata redup berkaca-kaca. Dia mengingatkan juga bahwa takdir ajal itu ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
***
Keluarga besar mantan suami saya yang datang menjenguk saya sekaligus bersilaturahmi hari raya tak ada bedanya. Mereka tak habis pikir, bagaimana mungkin saya bisa menghadapi kenyataan sakit saya dengan tenang. Dulu, waktu istri salah seorang di antara mereka ada yang terserang kanker kelenjar getah bening di stadium terminal IV, si pasien justru sama sekali tak pernah mengetahui apa penyakitnya. Apa lagi kami saudara-saudaranya. Sebab waktu itu si suami hanya menceritakan bahwa istrinya menderita sakit hepatitis. Memang benar, kami tak menyaksikan atau tak mendengar pengobatan kemoterapi atau radiasi dilalui almarhumah, jadi kami percaya saja pada pernyataan itu. Baru kini semuanya terkuak saat si suami menanyai saya soal sakit saya dan siapa yang dipanggil dokter untuk menerima penjelasan sebab saya kini tak lagi bersuami.
Saya memang berbeda. Pada kasus saya, barangkali karena dokter menganggap saya cukup mengerti mengenai penyakit saya dan perjalanannya ke depan, maka beliau langsung mengatakannya kepada saya dengan didampingi anak-anak saya yang memang tak pernah lepas mengantar saya. Bahkan ketika sel-sel ganas itu tak bisa semuanya terangkat dengan operasi, beliau juga menyampaikannya dengan gamblang disertai permintaan maaf sambil merencanakan pengobatan selanjutnya langsung kepada kedua anak saya sebab waktu itu saya belum siuman dari operasi yang baru selesai.
Secara psikologis mungkin sebaiknya saya tak usah tahu soal penyakit saya. Karena akan menjadi beban psikologis yang berat yang mengakibatkan penyakit cepat meruyak. Itu sebabnya menurut sepupu mantan suami saya, dulu dia lah yang dipanggil oleh sidang dokter ahli ke dalam sebuah forum konferensi yang membicarakan mengenai kasus penyakit istrinya. Sehingga keluarga dipersiapkan menerima kenyataan terpahit tanpa mempengaruhi kondisi psikologis si sakit.
Tapi sekali lagi saya adalah perkecualian. Dokter saya tak melakukan itu kepada kami. Bahkan setiap langkah pengobatan yang akan atau harus saya jalani dibicarakan secara gamblang dengan saya. Kami terbiasa saling terbuka, semisal saya membuka diri mengenai pengobatan ganda saya dengan mendobeli pengobatan RS melalui pengobatan herbal sinshe Tiongkok. Dokter akan mendengarkannya baik-baik, lalu memberikan saran sepantasnya. Begitu pun dokter akan membicarakan lebih dulu tindakan yang akan dilakukannya terhadap saya meski tak segamblang apa yang disampaikan dokter-dokter di luar negeri dulu.
Di sana biasanya sebelum menetapkan operasi pun, saya sudah diajak bicara. Waktu itu tentu saja sambil mengajak suami saya. Opsi-opsi yang bisa ditempuh serta kekurangan dan kelebihan masing-masing metoda pengobatan diberitahukan. Berikutnya kami ditanyai mengenai kesiapan kami. Setelah itu jika akan dioperasi, prosedur operasi juga dijelaskan terlebih dulu melalui sehelai naskah disertai gambar ilustrasi tindakan operatifnya. Ini tak terjadi di Indonesia. Meski begitu, dokter tetap menjelaskan apa yang akan dilakukannya dan bagaimana efeknya kelak. Jadi saya tidak buta sama sekali tentang prosedur pengobatan yang saya tempuh nantinya. Kalau dipikir-pikir memang saya termasuk pasien langka yang bisa diajak berdiskusi dan bertukar pendapat dengan nyaman agaknya. Sebab ternyata beberapa pasien yang saya jumpai di RS banyak yang tidak tahu sama sekali soal langkah yang akan ditempuh dokter untuk menyelamatkan nyawa mereka. Pokoknya mereka menurut pada kemauan dokternya.
Besok akan tiba saatnya saya kembali ke RS. Dokter ahli kemoterapi menjanjikan bertemu untuk mendiskusikan soal kemoterapi saya yang baru. Obat-obat koktail kemoterapi saya diganti dengan yang lebih ampuh. Mestinya saya ketakutan karena efeknya pasti akan lebih dahsyat dibandingkan obat-obatan yang pernah saya terima sebelum mastektomi. Kebanyakan pasien memang sangat ketakutan menghadapi efek kemoterapi. Tapi lagi-lagi tidak demikian halnya dengan saya. Saya justru sangat merindukannya, karena jujur saja saya terlalu berharap banyak akan sembuh olehnya. Dan jika itu terjadi, sujud syukur saya semakin tak ada akhirnya disertai rasa bahagia bisa membanggakan tim medis yang telah berjuang keras untuk saya. Insya Allah!
(Bersambung)
Bunda.... doa saya selalu buat bunda yah. semakin tegar menjalani ini semua. insyallah ini semua karena Allah sayang sama bunda.
BalasHapusSama-sama saya juga mendoakan kesembuhan kembali untuk suami nak Ina ya. Kita ini manusia, cuma bisa berencana, Allah juga lho yang akan menentukan akhirnya seperti apa. Sampai hari ini dokter belum bisa mengemoterapi saya, sedang dicarikan obat yang paling cocok untuk kondisi saya.
Hapus*peluk cium*
masih silaturahmi juga ya mbak sama keluarga mantan.. indahnya..
BalasHapusYa masih, lha wong antara mereka dengan saya pun sebaliknya nggak pernah ada masalah sih.
Hapus