Powered By Blogger

Kamis, 29 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (105)

Awal pekan ini menjadi hari yang sangat menegangkan dalam hidup saya setelah akhir pekan sebelumnya saya dinyatakan tak boleh dikemoterapi dengan obat yang sedang diteliti itu karena terganjal sesuatu hal. Masalahnya meski hasil pemeriksaan darah saya baik, tapi rekam jantung saya buruk. Jantung yang buruk atau lemah denyutnya tentu saja merupakan ancaman jiwa terbesar. Betapa mengerikannya menghadang kematian dengan cara seperti ini. Saya tidak pernah menginginkannya.

Pintu menuju kesembuhan seketika "tertutup" untuk saya. Tak ada cara lain untuk mengobati diri secara medis. Apalagi dengan mengandalkan obat gratis meski berarti saya mesti bersedia ikut penelitian seakan-akan sebagai kelinci percobaan. Dulu ketika dokter onkologi saya pertama kali menemukan apa penyebab sel kanker saya, beliau sudah menganjurkan saya menggunakan obat-obatan mahal yang super keras itu dengan melamar menjadi partisipan penelitian. Karena sifatnya sangat keras, maka anak-anak saya berkeberatan mengizinkan saya ikut serta pada program yang bersifat penelitian. Padahal untuk saya mencoba ikut penelitian lebih baik daripada tidak terobati; dalam arti kata kalau saya tidak berhasil maka nyawa saya adalah amalan untuk para pasien lain sesudah saya. Tapi anak-anak saya menolak. Bagi mereka nyawa saya, satu-satunya orang tua yang bisa jadi panutan mereka, tentulah harta berharga yang tiada bandingannya. Ya, saya dapat mengerti perasaan mereka setelah kami melalui berbagai guncangan hidup selama ini.

***

Sewaktu akan menemui dokter senior ahli kemoterapi yang menjadi penanggung jawab penelitian itu pada Jumat (23/08) siang saya penuh percaya diri. Hasil laboratorium di tangan saya disebutkan anak saya sangat baik. Jadi apa lagi yang perlu dirisaukan, karena saya tidak tahu persis berapa sebetulnya denyut jantung normal seorang perempuan dewasa. Maka, meski menunggu sangat lama sampai sempat terkantuk-kantuk, saya punya harapan akan menandatangani perjanjian kerja sama pengobatan. Saya abaikan saja peringatan ibu Yani perawat kepala di situ tentang buruknya hasil rekam jantung saya. Saya cuma tersenyum seraya menjawab insya Allah saya akan bicarakan semuanya baik-baik dengan dokter.

Seorang lelaki Tapanuli duduk di dekat saya bersama perempuan yang semula saya kira saudaranya. Mereka berdua asyik mengobrol dalam bahasa Indonesia, sehingga pembicaraan mereka yang cukup lantang itu tertangkap jelas oleh saya. Dia menderita leukemia bertahun-tahun. Segala hal sudah dicobanya, kemoterapi juga sudah. Bahkan sempat berobat ke Penang, Malaysia. Di negeri tetangga itu dia mendapatkan cerita yang katanya sudah terbukti, ada seorang ahli bedah onkologis yang sanggup mengoperasi pasiennya hanya dalam sepuluh menit saja. Padahal itu operasi besar.

Penuturan ini tentu saja mencengangkan lawan bicaranya yang mengantarkan seorang penderita kanker kelenjar getah bening Non-Hodgkins Lymphoma. Kanker yang bersarang di rongga perutnya sudah berhasil dibuang, nyaris berdekatan waktunya dengan operasi by-pass jantung. Sekarang tinggal melanjutkan kemoterapi. Menurut perempuan itu alangkah pandainya dokter Malaysia itu dibandingkan dokter yang mengoperasi suaminya, walau saya justru berpendapat sebaliknya. Bayangkan saja, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyayat suatu organ, entah iru dinding dada entah perut. Belum lagi kemudian memotong tumor di organ yang dijangkiti dilanjutkan dengan pengerjaan penutupan kembali sayatan-sayatan itu. Saya sama sekali tak bisa membayangkan hasil kerja kilat macam itu. Pekerjaan yang menyangkut nyawa manusia sepertinya dilakukan tanpa pertimbangan dan perhitungan yang matang. Ngeri benar kalau begitu. Saya sendiri yang sudah mengalami 12 kali operasi sepanjang hidup dengan sebagian besar operasi berat, tidak pernah bisa diselesaikan hanya dalam tempo satu jam saja. Apalagi sepuluh menitan begitu.

Sedang saya menyimak obrolan para pasien ini tiba-tiba masuklah pasangan suami-istri keturunan Cina dengan logat Jawa Timuran yang medok minta izin duduk menjejeri anak saya. Begitu duduk sang nenek menanyai anak saya dengan gaya suaranya yang kental, "kamu sakit apa?" 

Karena tak menyangka akan ditegur sebegitu rupa anak saya lambat menjawab. Dia memandangi perempuan tua itu terlebih dulu sebelum kemudian menunjuk saya dengan mengatakan bahwa dia mengantar saya berobat. 

Seketika si nenek menanyai saya tentang keadaan saya. Lalu dia terperangah sendiri sambil menjungkitkan alisnya yang tipis dan mengomentari bahwa saya gemuk. Menurutnya penderita kanker tak ada yang gemuk. "Lha, kamu kok gemuk tho?! Orang sakit kanker payudara itu ndak iso gemuk je!" Celotehnya sambil terus menatap saya heran hingga akhirnya kami mengobrol akrab.

Perempuan tua itu kurus, sudah dua belas tahun menderita kanker payudara yang pada awalnya tak jelas benar. Benjolan tak teraba olehnya, apalagi sakit dan gatal di payudara seperti yang saya alami. Dia cuma merasa berat badannya turun, lekas lelah dan pusing. Selain itu bahunya pada sisi yang terserang kanker payudara kerap merasa nyeri seperti terkilir yang kemudian membaik setelah dipijat. Entah mengapa beliau tak menyebut-nyebut anaknya. Sebab yang dikatakannya mendorongnya berobat ke dokter justru adalah teman-teman sepekerjaannya. Mereka memintanya mengambil cuti untuk memeriksakan diri ke dokter. Karena mencurigai adanya kanker payudara, dokter mengirimnya kepada dokter onkologi di RS Gading Pluit yang berpraktek utama di RSK Dharmais. Itu sebabnya di tangan suaminya terdapat kantung hasil pemeriksaan radiologi yang bercap "RS Gading Pluit".

"Kamu doktere sopo?" Tanyanya lagi. "Dr. Bayu," jawab saya. Yang dengan segera dikomentarinya sebagai tenaga muda yang cerdas dan pandai menangani pasien-pasiennya. "Oh, doktermu itu terkenal pinter ndek sini," pujinya sesuai dengan pendapat saya serta banyak orang lagi di kota kami, kota asal dokter onkologi saya itu.

"Dokterku senior, aku kena stadium empat. Tapi aku bertahan sampek sekarang. Padahal waktu dokterku sedang pergi ke luar negeri karena dokter Dharmais sini 'kan banyak dikirim ke luar negeri ya, aku dipegang mbek dokter lain, sekarang aku ya masih berobat ndek Pluit ambek dokter iku," celotehnya seru tanpa saya tanya. Bahkan dengan antusias dia menceritakan proses kemoterapinya serta diet anti makanan hewani ditambah anti goreng-gorengan yang membuatnya mampu bertahan meski kankernya sempat kambuh di payudara lainnya hingga harus dioperasi sebulan yang lalu. Kemudian beliau mengeluarkan dua butir ubi rebus yang dimakan berdua dengan suaminya untuk pengganjal lapar karena sudah lewat waktunya makan siang. "Yo mik ngene iki manganku," pamernya dengan tangan nikmat mencubiti ubinya. Saya menelan ludah menahan lapar yang terganjal jadwal pertemuan dengan dokter ahli kemoterapi. Di dalam hati saya tercengang-cengang menyaksikan pengakuan penderita kanker stadium akhir ini yang bertolak belakang dengan penampilan fisiknya. Meski kurus, tapi tidak ringkih dan sanggup bertahan lebih dari satu dasa warsa. Ketika saya yang sudah berbalut pakaian muslimah tertutup kerudung sepinggang dengan kaus kaki dan sepatu pantofel bisa merasa kedinginan, beliau cuma tenang-tenang saja meski mengenakan rok selutut dengan blouse lengan pendek serta sandal sebagai alas kaki. 

"Ibu hebat, nggak merasa kedinginan di sini," lontar saya memujinya. 

"Ya dingin juga sih, tapi ndak sepiro. Lain kali aku tak pakek kaos kaki saja koyo kamu," jawabnya. Tapi dia kemudian bercerita bahwa sensor di kulit tangannya sudah mati rasa karena efek pengobatan yang diterimanya. Lalu dicubitnya sendiri lengan putih susu itu sambil menegaskan bahwa dia tak merasakan apa-apa. Bibir tipis itu tersenyum memperhatikan kami anak-beranak.

***

Kanker betapa pun hebatnya ternyata masih bisa dilawan. Mereka yang saya jumpai hari Jumat itu di RSKD adalah bukti-buktinya. Si pemuda Tapanuli malah sedang akan mempertimbangkan penanaman sumsum tulang belakang untuk memperbaiki kondisi leukemianya, begitu yang saya dengar dari obrolannya. Sesungguhnya kalau kita mau berjuang keras, kanker insya Allah masih bisa dilawan. Setidak-tidaknya itu nasehat yang saya terima dari dokter paliatif teman Dharma Wanita Persatuan saya yang tugasnya mendampingi pasien yang berada dalam keadaan belum tertangani dengan baik atau nyaris tak tertangani lagi. Dr. Maria Astheria bilang kemarin, saya termasuk pasien yang tangguh. Di kalangan teman-teman kami ceritanya, saya mendapat pujian karena terbukti sanggup mengalami segala rasa yang menyakitkan ini begitu lama tanpa banyak mengeluh. Sebab menurutnya saya punya keinginan yang keras untuk mencapai sesuatu. Termasuk meraih kesembuhan yang tak gampang itu.

Saya nyaris menangis di bahu teman saya itu ketika saya masuk ke kliniknya mengadukan kelainan jantung saya dan rencana pengobatan dengan obat yang diteliti pihaknya. Selama ini saya tak pernah menyangka saya butuh berada di dalam klinik paliatif meski dua minggu yang lalu perawat dari unit kerja paliatif menelepon saya menanyakan kondisi saya untuk pengamatan. Waktu itu saya katakan saya baik-baik saja dan dalam rencana akhir yang pasti untuk dikemoterapi lagi. Adapun hal ini sudah langsung saya laporkan kepada kawan saya atasannya itu. Perawat akhirnya menyatakan turut bahagia dan bersyukur. Agaknya nama saya ada di dalam daftar pasien yang memerlukan tindakan pengobatan paliatif tanpa sepengetahuan saya. 

Perawatan paliatif memang diselenggarakan bagi pasien dan keluarganya yang menemui kesulitan karena penyakitnya belum terdeteksi dengan baik atau bahkan mendekati ajalnya. Kebijakan baru yang digulirkan Menteri Kesehatan tahun 2007 ada di beberapa RS saja untuk menangani pasien yang mempunyai penyakit-penyakit berat semisal kanker. Itu sebabnya di RS-RS kecil kita tak pernah mendengar keberadaannya.

Mbak Ria segera mengontak dokter ahli kemoterapi untuk memperbincangkan kasus saya. Setelahnya mencoba mengontak dokter ahli jantung yang dibujukinya untuk memperbaiki dulu keadaan saya. Sayang dokter jantung tak bisa menerima telepon karena sedang menangani pasiennya. Maka dengan lembut diajaknya saya ke klinik jantung sebelum tiba waktunya saya dipanggil masuk. Beliau bersedia berbicara dulu dengan mbak Ria di kliniknya seselesainya menangani pasiennya itu.

Ada jalan khusus agaknya yang biasa digunakan dokter untuk masuk ke klinik mereka. Lewat pintu belakang teman saya masuk sendiri. Saya dan anak saya diminta menunggu di kursi tunggu keluarga pasien rawat inap yang sedang ditangani. Bersliweran tempat tidur dengan pasien yang amat kepayahan melintas di dekat saya membuat saya bersyukur tak seperti mereka. Sanak keluarganya pun letih semua nampaknya.

Cukup lama teman saya di dalam, sewaktu keluar saya langsung bisa menerka jawabanya bahwa saya tak bisa dikemoterapi dengan obat keras itu. Mbak Ria duduk di tengah-tengah saya dan anak saya. Lalu dengan sanggat hati-hati dan lembut menyampaikan bahwa dokter-dokter tak bisa mengemoterapi pasien dengan jantung lemah disebabkan kerasnya obat bisa memperberat kerja jantung. Jadi mereka minta maaf tak jadi memberikan kesempatan ini untuk saya. Namun kata mbak Ria, rapat dewan dokter sore hari itu akan mengangkat masalah saya. Dia berharapan ada obat lain yang tak mempengaruhi kerja jantung, meski artinya kami harus membeli sendiri.

Lagi-lagi mbak Ria mengatakan saya tak boleh berkecil hati dan merasa amat bersalah tak bisa berobat dengan baik seperti harapan teman-teman DWP kami. Sebab mereka justru tahu setiap manusia sekuat apa pun mempunyai titik kelemahan. Di mana ~katanya~ tak satu pun di antara kami yang tangguh menjalaninya seperti saya. Upaya mereka membawa saya berobat ke RS adalah merupakan bentuk penghargaan dan kekaguman mereka kepada kami anak-beranak. Lalu dia pun menasehati anak saya untuk juga memikirkan nasib dan masa depannya sendiri yang kini terbengkalai karena terpaku mengurusi saya. Sebelum kembali ke kliniknya dia menjanjikan untuk mendiskusikan kesulitan saya dengan teman-teman DWP kami malam harinya. Sebab mbak Ria tahu tak pernah ada jam kosong untuk saling berhubungan dikarenakan sebagian terbesar kami ada di luar negeri pada zona waktu yang berbeda. Saya mengucapkan terima kasih padanya sambil menahan air mata yang tiba-tiba membendung ketajaman penglihatan saya.



"Ya Tuhan, tolong bukakan pintuMu yang lain, berikan jalan padaku untuk menggapai kesembuhanku," begitu doa saya sambil melangkah pergi ke sisi lain berkumpul bersama para pasien rawat jalan. Dalam nasehatnya dokter Maria memang menyuruh saya menyerahkan diri seikhlas-ikhlasnya kepada Allah karena Dia lah yang Maha Kuasa. Sedangkan tumor saya dimintanya untuk tidak dijadikan sumber kebencian. "Mbak Lilik justru harus bersahabat dengannya. Elus-eluslah dia ketika mbak mandi. Ajaklah mengobrol seolah-olah dia bermulut. Katakan mbak bisa menerima kehadirannya, tapi mintalah agar dia tenang dan tak mau menjadi semakin besar lagi. Tumor itu sudah menjadi bagian dari hidup dan tubuh mbak sekarang," petuahnya seraya menatap wajah saya lembut. Saya menjadikannya pedoman sekarang ini.

***

Di selasar ruang tunggu pasien rawat jalan kepadatan terasa benar. Padahal dokter masih sibuk memeriksa pasien rawat inap. Saya tak berniat mengobrol dengan siapa pun, karena asyik melamun sendiri mencari jalan agar tetap bisa mendapat obat kemoterapi. Terpikir untuk minta perawatan rutin jantung. Kemudian nantinya saya akan minta dirujuk ke onkologis saya di Bogor saja supaya beliau merujuk saya kepada dokter jantung sejawatnya di Bogor agar tak semakin melelahkan saya. Untuk itu saya sudah berniat bicara dengan dokter jantung nanti, diikuti kunjungan ke klinik onkologi besok malamnya di Bogor. Saya rancang kata-kata yang masuk akal sebanyak-banyaknya sambil membunuh waktu. Untung tak lama kemudian perawat mulai memanggili kami. Sayang berhenti cukup lama di jam makan siang tanpa pemberitahuan yang jelas. Barulah ketika sebagian besar pasien dan pengantarnya tertidur kelelahan, perawat itu keluar mengumumkan jam istirahat secara resmi.

Kami segera beranjak ke kantin. Tapi saya tak ingin berlama-lama di sana karena pikiran saya terus saja tertuju kepada kondisi jantung saya serta penjelasan dokter tentangnya. Ketika kami kembali memang banyak tempat kosong persis di depan klinik dokter jantung. Saat itu hanya nampak sepasang suami istri kira-kira sebaya saya, jadi saya putuskan duduk di situ.

Ternyata kami pernah berkenalan sebelumnya. Dia pederita kanker payudara juga stadium II begitu pengakuannya. Tumornya sendiri sudah cukup besar, ketika dia memperlihatkannya kepada saya, tapi belum pecah. Permukaannya merah kebiru-biruan yang katanya diakibatkan oleh biopsi dengan jarum yang dilakukan oleh dokter di RS lain. Waktu itu dokternya menusuk hingga dua kali, masing-masing sesi tiga tusukan yang menyakitkan. Sungguh berbeda dari yang saya alami dengan metoda yang sama. Dokter spesialis bedah umum yang mewakili dokter onkologi saya cuma sekali menusuk saja tanpa nyeri. Akhirnya perempuan ini pindah berobat hingga sekarang. Dan di sinilah penyakitnya diobati dengan kemoterapi yang direncanakan berjalan enam atau tujuh kali disambung rencana operasi. Hari itu dia mempersiapkan kemoterapinya yang kelima. Dan sama halnya dengan saya, dulu dia juga sudah mengalami pengangkatan rahim. Sehingga dia beranggapan seperti saya, bahwasannya kista di organ reproduksi kami erat kaitannya dengan tumor payudara yang kini kami idap dengan nama kanker.

Dia menuturkan walau pun baru sakit setengah tahun tapi hartanya sudah terkuras banyak, mengingatkan saya kepada pengalaman saya sendiri. Bahkan dokternya mengatakan jika dia sampai menjual rumahnya pun, penyakitnya belum tentu sembuh. Ini dibuktikannya dengan menceritakan keluhan keluarga seorang pasien dari daerah yang terus kelabakan mendanai pengobatan kanker saudaranya sampai sekarang meski telah menjual empat buah rumah toko yang dimilikinya. Kini perempuan itu membantu mengempiskan tumornya sendiri dengan mengompresnya memakai rebusan daun kobis setengah matang. Pengetahuan yang diajarkan tetangganya diklaim olehnya sudah mengecilkan tumorya dengan bukti nyata yang diperolehnya dengan cara mengukur tinggi payudaranya dari atas ke bawah setiap minggu.

Tak terasa dokter berpraktek kembali. Juga tiba giliran saya persis sebelum perempuan Jawa itu. Dokter sangat menentang rencana kemoterapi saya yang sudah resmi terjadwal itu persis seperti informasi yang disampaikan teman saya. Sebab kelainan denyut irama jantung saya yang lemah dapat dipastikan sebagai efek ketiga jenis obat kemoterapi saya yang terdahulu. Menurutnya semua obat kemoterapi bersifat cardiotoxic alias meracuni jantung. Walau tak banyak pasien yang mengalaminya. Saya beruntung tidak mengalami keluhan di sistem pencernaan saya yang umumnya diderita pasien lain, tapi tak seberuntung mereka yang jantungnya kuat. Karenanya saya tidak akan mungkin menerima obat yang efeknya lebih kuat lagi. Ini mengingatkan penjelasan dokter Maria kepada saya, bahwa kalau saya nekad dikemoterapi maka saya tidak akan menerima manfaatnya sama sekali bahkan semakin menderita karena gangguan jantung. Buktinya dengan obat murah-meriah itu saja kini tumor saya sudah kembali membesar ditambah timbulnya gangguan jantung.

Mereka benar. Membuat saya menjadi semakin tersudut kebingungan dan takut. Tapi saya tetap berserah diri, apalagi mengingat dokter Maria akan membawa kasus saya ke rapat dewan dokter untuk dirundingkan jalan keluarnya. Sementara menunggu, kini saya makan obat dari dokter spesialis jantung itu dalam jumlah yang lumayan banyak. Pada obat-obatan ini saya berharap kondisi saya membaik sehingga saya bisa dipersiapkan untuk dikemoterapi juga. Ah rasanya hidup saya kini selalu tanpa kepastian.

(Bersambung)

2 komentar:

  1. *Peluk dulu, ah....

    Jangan patah semangat ya, Bund. Takutnya ketidak-tenangan berpengaruh juga ke jantung Bunda.
    Banyak yang berdoa buat Bunda, nggak mungkin Tuhan nggak dengar.

    Mudah-mudahan Bunda juga nggak menganggap ini komen basi apalagi sok tau.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Peluk balik ya. Kerasa nggak?

      Iya Cik, terima kasih. Tadi saya menghadap doktor ahli kemoterapi yang perempuan itu karena beliau kata teman saya menghendaki memanggil saya ke kliniknya. Ternyata beliau masih memberi kesempatan saya dapat dikemoterapi dengan obat keras itu segera. Tadinya saya langsung disuruh ke saudaranya dokter jantung profesor di RS Harapan Kita untuk dapatkan second opinion dengan pemeriksaan ulangan di sana. Tapi sayang beliau nggak praktek tadi. Jadi Senin pagi baru saya bisa laksanakan.

      Sekarang rada tenang lagi. Apalagi tadi ketemu pasien serpa saya yang denyut jantungnya juga naik turun, tapi survive tuh....... big smile!!!

      Hapus

Pita Pink