Powered By Blogger

Sabtu, 24 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (104)

Akhir-akhir ini hari-hari saya habis di RS. Setidak-tidaknya dua hari sekali saya terjadwal untuk mendapat sesi fisioterapi di Instalasi Rehabilitasi Medik serta memeriksakan kesehatan untuk persiapan kemoterapi saya. Tidak terkecuali hari ini, Sabtu (24/08) yang seharusnya menjadi hari istirahat saya. Saya malah mengunjungi klinik dokter spesialis penyakit dalam karena ada hal-hal yang merisaukan saya.

Saya memilih berobat di RS Karya Bhakti Bogor agar tak harus ke Jakarta lagi. Di sini pun saya punya dokter yang biasa memantau kesehatan saya menghadapi kemoterapi dan setelahnya. Itu sebabnya saya datang kepadanya pagi ini.

Satpam yang bertugas memberikan nomor antrian pendaftaran pasien mengira saya akan ke onkologis. Dia memberitahukan bahwa beliau belum tentu membuka kliniknya. Tak mengapa, jawab saya, karena tujuan saya justru ke klinik dokter penyakit dalam. Lelaki itu mengangguk-angguk mengerti, seraya menyerahkan nomor kecil ke tangan saya. Benar-benar sepi pasien hari ini tak sebagaimana yang sudah-sudah. Entah apa sebabnya saya tak tahu. Yang pasti, saya pun mendapat nomor giliran kecil di klinik. Sayang dokter datang kesiangan, yang saya asumsikan habis membantu onkologis saya mengoperasi pasien tumor otak. Sebab itu alasan hari ini onkologis saya tak membuka klinik. Operasi tumor otak adalah perkara yang rumit karena menyangkut tulang tengkorak yang dipadati serabut-serabut syaraf yang banyak, halus lagi rumit. Di dalam hati saya memuji keberanian dokter saya melakukannya di sini, di kota kecil dengan fasilitas teater (ruang operasi) yang sederhana. Tapi saya yakin beliau percaya diri karena RS tempat kami berobat punya banyak spesialis termasuk spesialis bedah tulang dan bedah syaraf. Belum lagi waktu saya tengok papan daftar dokter, ada nama-nama baru bertugas di berbagai klinik dan instalasi menandakan RS ini sedang terus mengembangkan diri di usianya yang makin tua. Saya dengar rencananya RS ini akan diperluas dengan bangunan baru sama sekali di lokasi lain. Hidup matinya RS milik partai politik yang mendominasi pemerintahan Orde Baru ini sedang dimatangkan di tingkat pengambil keputusan mengingat izin operasionalnya akan segera habis. Saya dengar akan menjadi milik pemerintah karena kurangnya RS Pemerintah di dalam kota Bogor sejak dulu.

Bicara soal kemampuan onkologis saya, boleh dibilang sudah mahir. Soalnya ada pasien yang mengaku dirinya penderita kanker payudara stadium III tetapi dulu dioperasi hanya di sini, tak perlu dibawa ke RSKD seperti kasus saya. Juga perawat mengatakan meski tak sebanyak pasien onkologis kakak saya. tetap ada saja pasien onkologis saya yang dioperasi di sini. Menurut hemat saya kalau kondisi pasien tidak rumit sepertinya dokter lebih memilih mengoperasi pasiennya di sini. Rasanya ini bentuk penghematan biaya juga.

Ketika masuk ke klinik saya mengeluhkan soal tekanan darah saya yang cenderung tinggi. Padahal saya akan menerima obat kemoterapi terkuat. Sedangkan hasil pemeriksaan rekam jantung saya di Jakarta menunjukkan adanya gangguan pada fungsi bilik jantung kiri. Saya perlihatkan bundel hasil rekam jantung berikut keterangan dokter jantung yang antara lain bertuliskan "LV failure" yang menjadi tanda tanya pada saya yang awam. Ada apa kiranya dengan keadaan itu yang bilangannya di bawah standar, jauh dari keadaan sebulan sebelumnya ketika saya baru selesai dikemoterapi yang kelima memakai obat yang tidak bermanfaat bagi saya itu. Juga saya kaitkan dengan keadaan kulit kemerahan di sekujur lengan kiri saya yang membuat saya merasa ngeri sehingga menduga-duga adanya hubungan dengan kelainan di bilik jantung kiri saya. Belum lagi tekanan darah saya naik dalam minggu-minggu terakhir kemarin meski obat penurun tekanan darah sudah saya makan.

Dokter mencermati laporan saya dengan membaca dan membandingkan kedua hasil rekam jantung saya. Setelah mencatat hasil temuannya di bundel rekam medis saya, beliau mempersilahkan saya naik ke tempat tidur pemeriksaan. Dilakukannya pemeriksaan dada menggunakan stetoskopnya dengan hati-hati. Setelah itu beliau menyampaikan keterangannya. Memang kondisi bilik jantung saya perlu diperbaiki sebelum dikemoterapi. Keadaan ini sangat boleh jadi berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Tapi tak berkaitan dengan keadaan kemerahan di kulit lengan saya yang terserang pembengkakan. Pembengkakan itu menurutnya diakibatkan terjadinya penyumbatan aliran darah di sekujur lengan yang sakit, yaitu pada pangkalnya di sekitar ketiak saya yang dioperasi. Persis sama dengan penjelasan dokter spesialis penyakit dalam lainnya yang bertetangga dengan saya ketika kami berjumpa di RS serta bersalaman sebelum saya masuk ke klinik. Sayangnya saya tak mendapat obat apa pun, sebab saya mengaku tak merasa nyeri di lengan juga tak demam. Apalagi lengan saya tak terasa panas ketika diraba. 

Tapi untuk kondisi tekanan darah tinggi dan jantung saya, dokter memberikan tambahan obat-obatan yang harus saya habiskan. Yang semacam diberikan untuk dua hari, sehingga ketika saya menghadap dokter yang akan memberikan kemoterapi, diharapkan kondisi saya membaik. Saya pun dianjurkan untuk menjalani diet rendah garam, menghindari pikiran yang berat-berat serta melakukan olah raga ringan semisal jalan kaki selama beberapa waktu. Tak perlu jauh-jauh supaya tidak melelahkan bagi penderita kanker, begitu pesannya. 

Dalam daftar menu rendah garam antara lain tercakup makanan yang sudah diawetkan semisal ikan asin. Tentu saja saya sepakat, karena selain kandungan garamnya sangat tinggi, ikan asin termasuk makanan berpengawet yang sudah lama saya hindari sejak sinshe melarangnya. Habis sudah kenikmatan saya sekarang. Sangat bertambah panjang daftar makanan yang membahayakan saya. Rasanya saya tak akan sanggup mematuhinya. Tapi, demi nyawa saya dan kepentingan anak-anak sudah saya tekadkan untuk menepatinya sedapat-dapatnya. Tantangan yang berat itu kini tiba di depan mata saya.

***

Siang ini saya hanya makan sayur asam, tempe goreng dan telur dadar nyaris tanpa garam. Malamnya telur itu saya ganti dengan sepotong ikan goreng. Entah apa yang akan terjadi besok. Yang pasti saya mengonsumsi buah dua mangkuk seharian ini. Ditambah segenggam anggur dan sebutir kecil pear sebagai kudapan pagi tadi. 

Soal olah raga tentu belum saya jalankan karena saya masih kelelahan sehabis ke RS hingga siang hari. Stamina saya jauh menurun ketika saya mengidap penyakit kanker, apalagi pasca operasi. Sangat berbeda dari stamina ibu yang lebih senior dibandingkan saya yang sudah dua kali saya temui di RS.

Tuturnya beliau menderita kanker payudara stadium II yang juga dioperasi dokter kami selama 5 jam di RSKD. Entah kondisi apa yang membuat dokter lebih memilih mengoperasi beliau di sana, yang jelas payudaranya tidak diangkat. Hanya benjolan tumornya saja yang diambil. Saya pun tak paham mengapa tumor kecil itu serta operasi pengangkatan tumor saja memakan waktu lebih lama daripada operasi pengangkatan payudara dan kelenjar getah bening di ketiak saya yang menghabiskan waktu 4 jam. 

Perempuan itu tadi saya lihat sedang duduk di muka apotek PT Askes bersama suaminya waktu saya sedang menguruskan obat kemoterapi kakak saya yang didanai PT Askes. Beliau agaknya lupa-lupa ingat sewaktu melihat wajah saya. Namun beliau merasa pernah mendengar suara saya. Karena itu beliau memberanikan diri mengusulkan kepada saya untuk mengalihkan pengobatan pasien ke RSKD yang menurut pengalamannya memfasilitasi peserta Askes lebih baik dibandingkan di daerah. Ketika dioperasi di Jakarta beliau tidak membayar apa pun kecuali uang pendaftaran pasien yang cuma sepuluh ribu rupiah. Lalu obat-obatan kemoterapinya tersedia dan selalu siap digunakan jika pasien sudah bisa mendapatkan ruangan rawat. 

"Oh, ibu, assalamu'alaikum. Ingat saya, bu?" Sambut saya menyalaminya dan  suami. Setelah saya menjelaskan pertemuan pertama kami, barulah beliau yakin siapa saya. Saya katakan kakak saya tidak berobat pada onkologis kami serta tak bersedia berobat di Jakarta karena baginya terlalu jauh dan merepotkan. Itu sebabnya saya menanyakan koktail obat kemoterapi kakak saya ke apotek ini.

Pasien itu menyayangkan. Katanya pelayanan PT Askes di sini membutuhkan kesabaran dari pihak pasien. Ini juga yang sedang dialaminya sekarang. Obat-obat yang dibutuhkannya tak tersedia langsung. Sehingga beliau perlu menunggu pihak apotek menelepon dulu supaya ketika akan mengambil tak sia-sia. Saya sependapat dengannya. Namun berhubung tidak pernah ada telepon pemberitahuan dari apotek, maka saya berinisiatif untuk datang sendiri menanyakan ke sana. 

Saya mendatangi loket pasien jaminan PT Askes sesuai saran perawat kepala. Di situ dikatakan mereka tak ada kaitannya dengan penyediaan obat, karena hal itu menjadi tugas apotek. Saya diminta langsung ke apotek yang saya lakukan kemudian setelah saya makan pagi di kantin RS supaya bisa segera makan obat. Dan begitu saya tiba di apotek, petugasnya langsung mengerti permasalahan yang saya ajukan. Katanya pihak loket PT Askes telah menegur atas keterlambatan jadwal kemoterapi kakak saya satu bulan lamanya. Lalu dia segera menghubungi gudang pusat distribusi obat di RS lainnya. Dia menerima jawaban bahwa obat sudah lama tersedia, tetapi belum didistribusikan entah dengan alasan apa. Inilah kelemahan semangat kerja petugas di RS milik pemerintah, demikian batin saya.

Ternyata selain obat yang digudangkan terlalu lama itu, kendala lainnya adalah daftar tunggu giliran pasien karena terbatasnya ruang kemoterapi. Saya sangat mengerti masalah ini. Tapi tetap saya katakan sebagai pengguna Jamkesda obat saya serta giliran tunggu tak pernah mencapai satu bulan lamanya. Akhirnya petugas itu meminta maaf sambil memperlihatkan buku daftar pasien. Katanya pasien yang dikemoterapi hari itu adalah pasien yang tercatat persis di atas nama kakak saya. Jadi dia menjanjikan memanggil kakak saya dalam minggu depan ini. 

Setelah mengucapkan terima kasih saya bergegas menemui perawat kepala guna menyampaikan hasil penyelidikan saya sekalian minta agar kakak saya bisa didahulukan. Sebab semua orang tahu setelah dioperasi sel kanker cenderung semakin mengganas seperti sudah terbukti pada saya. Karenanya pasien harus sesegera mungkin dikemoterapi sebagai upaya pencegahannya. Ini yang tak terjadi pada kakak saya meski beliau menggunakan fasilitas asuransinya sebagai pensiunan PNS, bukan mencari-cari sendiri obat gratisan seperti saya orang tak berpunya. Ironis sekali layanan asuransi PNS yang preminya dibayar dari pemotongan gaji karena pemberian bantuan biaya yang diperoleh cuma sedikit sekali. Rasanya jadi berbanding terbalik dengan kami penerima bantuan cuma-cuma dari pemerintah yang selayaknya sangat bersyukur. Sebab meski mendapat obat generik atau semurah mungkin, tetapi kami tak perlu menunggu lama. Juga biaya operasi dan perawatan yang cuma mendapat fasilitas kelas III diberi seutuhnya oleh pemerintah.

Ibu Maimunah kenalan saya tadi kemudian mengusulkan agar lain waktu kakak saya membeli obat sendiri terlebih dulu, baru kemudian dimintakan penggantian kepada PT Askes. Itu yang dilakukannya setiap akan membeli obat termasuk obat kemoterapinya yang ternyata obat per-oral alias dimakan bukan diinfuskan atau disuntikkan. Tentu saja rasanya tak mungkin bagi kami karena gaji pensiunan kakak saya tak sebanding dengan masing-masing satu labu infus koktail kemoterapinya yang ternyata terdiri dari Taxotere, Doxorubicin dan Cyclosporin seperti yang saya pakai dulu. Barangkali saja faktor penyebab kanker kakak saya memang berbeda dari saya. Saya berharapan demikian agar kakak saya tertolong dengan memakai obat-obatan yang tak bisa memperbaiki kondisi saya ini. Saya semakin merasa susah karenanya. Padahal kesusahan dan pikiran yang berat diharuskan dihindari oleh para pengidap kanker. Bukan main mudahnya menetapkan aturan dan saran ini tanpa pernah mengalami situasi dan rasanya sendiri. Saya kembali menelan pil pahit kehidupan saya.

"Ibu sedemikian pedulinya pada pasien ini," cetus zuster Maria sang perawat kepala. "Ya, bu Sitanggang, ibu kami sudah tiada, orang tua tak tersisa satu pun, kalau beliau tidak tertolong lagi, saya mesti beribu kepada siapa? Kepada anda kah?" Seketika terlontar jawaban saya begitu saja yang membuat perawat tersenyum lalu tertawa kecil. "Oh, oke kalau begitu, segera setelah obatnya tiba di apotek saya sediakan ruang untuk kakak ibu ya. Tenang lah ibu sekarang, fokuskan diri kepada kesehatan sendiri," pesannya seraya menatap wajah saya mesra. Membuat lega hati saya yang muram durja. Untung bukan durjana. :-D

***

Hari ini saya baca di rubrik konsultasi masalah kesehatan sebuah harian nasional ternama, obat-obatan kanker itu belum ada yang generik. Artinya belum bisa dijual murah sebab masih dikuasai perusahaan obat secara eksklusif sampai habis izin penguasaannya yang masih sangat lama. Dokter menjelaskan itu sebabnya harga obat kanker payudara menjadi sangat mahal. Lima puluh juta, menurut si penanya yang harus dikalikan enam pemakaian untuk memenuhi satu siklus kemoterapi. Saya mengerti obat apa yang dimaksud, karena saya beruntung akan diikutkan penelitian Kementerian Kesehatan dan digratiskan. Lima puluh dua juta tepatnya, karena yang dua jenis masing-masing berharga dua puluh jutaan yang satunya obat disuntikkan dibandrol dua belas juta. Konon menurut penuturan pasien yang sudah memakai, menjadi lima puluh sembilan juta karena belum termasuk ongkos perawatan.

Pengadaan obat dan terapi ini momok ngeri bagi penderita kanker payudara, termasuk mereka yang cuma diradiasi (disinar). Seorang pasien yang kemarin itu juga saya temui sedang menunggu keputusan onkologis kami tentang kesiapan praktek di kliniknya mengatakan, tujuh tahun yang lalu dia diradiasi oleh almarhum ayah onkologis kami. Ongkosnya dua belas juta sekali radiasi. Siklusnya mencapai 30 hari. Itu tak sepenuhnya didanai PT Askes. Terbayang bukan kesulitan yang menghimpit kami?

Lalu bersalah kah saya jika dilanda kecemasan tingkat tinggi? Saya rasa sih tidak juga. Karena ikatan batin dan ketergantungan antar saudara sekandung biasanya sedemikian erat. Jadi mereka yang menasehati saya untuk fokus memikirkan kesehatan saya sendiri saja adalah orang-orang yang kurang peka perasaannya. Ataukah saya yang terlampau perasa? Bingung juga saya memikirkannya sehingga tumor saya terasa menyakiti saya lagi. Ya Allah, tolong lah saya lagi untuk keluar dengan selamat dari persoalan yang membelit keluarga saya. Begitu batin saya merintih menangiskan permintaan yang tiada habis-habisnya ke RibaanNya.

(Bersambung)

2 komentar:

  1. semoga mbak diberi kesabaran ya mbak....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya harap juga gitu dik. Terima kasih simpatinya.

      Terima kasih sudah mampir ke sini. Salam kenal.

      *salaman*

      Hapus

Pita Pink