Powered By Blogger

Rabu, 21 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (102)

Banyak orang yang belum paham benar mengapa pasien kanker memilih pengobatan alternatif. Termasuk sopir mobil sewaan yang mengantar saya ke RS kemarin dulu. Saya terpaksa menyewa disebabkan kenalan saya berhalangan mengantarkan saya sejak Jumat di saat saya seharusnya bertemu langsung dengan Doktor ahli kemoterapi seperti yang sudah diceritakan. Begitu saya beritahu bahwa ongkos kemoterapi berbilang puluhan juta untuk satu kali, maka dia berkomentar bahwa setidaknya keseluruhan biaya adalah seharga rumah batu kualitas baik. Saya membenarkannya sebab beberapa kali mendengar keluhan keluarga pasien yang katanya sudah tak tahu harus menjual apalagi demi memenuhi biaya pengobatan keluarganya setelah rumah tinggalnya tergadai. Rasanya sesak di dada, bak menelan ludah pahit pula.

Sambil beristirahat sering terlintas mereka yang saya jumpai di RS. Ada anak lelaki sekitar sepuluh tahun yang duduk di atas kursi roda dengan kaki bengkak sebelah diserang kanker mulai dari pangkal pahanya. Warnanya kemarahan, mirip lengan saya yang bengkak sekarang ini. Padanya lebih mengerikan lagi, sangat malah, karena lututnya menonjol nyaris sebesar bola berkilat-kilat mencirikan nyeri yang hebat. Waktu itu dia baru keluar dari klinik seorang dokter senior ahli bedah tulang. Orang tuanya kelihatan mendorongnya sambil melangkah membelah kerumuman pasien di selasar ruang tunggu klinik, selagi dokternya memerintahkan seorang perawat untuk membantu mereka ke instalasi radiologi. Rupanya anak itu pasien baru yang masih memerlukan serangkaian pemeriksaan lengkap melalui metoda pencitraan (scanning). Seketika terbayang beratnya biaya yang harus ditanggung kedua orang tuanya, belum termasuk langkah pengobatan selanjutnya yang saya duga perawatan inap untuk pemantauan lebih lanjut, bahkan mungkin saja operasi atau amputasi. Seandainya dia datang dari daerah, dipastikan seperti saya bukan penerima Kartu Jakarta Sehat serta belum tentu Jaminan Kesehatannya bisa dimanfaatkan di RSKD. Jika demikian, maka mereka harus jungkir balik mencari dana untuk si sakit.

Cerita itu berlanjut hari ini, ketika saya diterapi di Instalasi Rehabilitasi Medik. Di dekat saya sudah duduk seorang ibu kira-kira sebaya saya dengan kondisi lengan yang sama dengan saya. Perempuan itu sempat saya lihat di selasar lantai II dua hari lalu. Lengannya yang bengkak diganjal dengan boneka kain berbentuk kartun Walt Disney yang digantungkan di bahu, sehingga menarik perhatian anak bungsu saya. Kali ini dia ada persis di samping saya, di muka layar televisi di selasar ruang tunggu pasien. Entah mengapa matanya malah membelakangi layar TV dan menatap saya yang dengan acuh tak acuh asyik menonton siaran SCTV. Walau jengah, saya tak berniat bertegur sapa dengannya. Tapi sebaliknya, perempuan yang ternyata bernama Siti penduduk Tangerang itu malah menanyai saya tanpa sapaan basa-basi.

"Itu tangannya kenapa?" Ucapnya seraya memerhatikan tangan lalu ke wajah saya. Agak terkejut juga saya karenanya.

"Oh, limfedema, sehabis dioperasi di sini," jawab saya seraya menunjuk area tubuh saya yang sakit. "Tapi bengkak begini sudah sejak sebelum saya dioperasi juga kok," lanjut saya tenang.

"Ibu tiap hari ke sini ya?" Timpalnya seperti menyelidik. Sangat boleh jadi wajah saya dihafal banyak orang di RS ini termasuk para pasien seperti dirinya.

"Oh, nggak, dua hari sekali bu, mana saya sanggup. Saya tinggal di Bogor sih," jelas saya kepadanya.

"Saya juga dari Tangerang kok," ujarya tanpa ditanya. Bahkan dia memancing pertanyaan saya. "Ibu sudah dioperasi ya?"

"Belum," jawabnya.

"Sudah sakit berapa lama bu, di payudara juga kan?" Balik saya yang menanyainya gencar.

"Dua tahunan, tapi belum dioperasi," terangnya.

"Oh sama, tapi saya sudah, karena luka pecahan tumor saya sulit dihilangkan. Padahal saya sudah dikemoterapi dengan dana Jamkesda. Sekarang saya dibawa dokter saya ke sini mau dikemoterapi dengan obat lain yang lebih cocok untuk saya. Saya diikutkan penelitian di sini, semua atas kebaikan dokter saya," kini giliran saya bicara panjang lebar.

Ternyata dia juga menderita luka pecah tumor bahkan menurutnya luas sekali, kira-kira lebih luas dari luka saya. "Sakit nggak bu? Luka saya kok sakit ya," tanyanya kepada saya. Saya katakan setelah dioperasi tidak sakit lagi meski dulunya tentu saja nyaris tak tertahankan. Saya jelaskan juga bahwa dulu saya berobat di sinshe, tapi sinshe tak punya obat untuk luka tumor sehingga akhirnya saya dibantu teman-teman saya berobat ke RS. Saya perlihatkan obat dari sinshe saya, yang kata perempuan itu juga diminumnya karena dia juga pasien sinshe. Tapi entah mengapa dia merasa tak begitu tertolong oleh jamu sinshenya termasuk jamu rebusan yang justru tak pernah saya minum karena harganya amat mahal. Akhirnya dia mengatakan bahwa dia juga penderita stadium III tapi dokter tak mengoperasinya, cuma memberinya obat kemoterapi. Dia bilang, saya beruntung dapat obat yang bagus untuk saya atas jasa dokter di RS. Ya, betul sekali, saya memang beruntung apalagi mengingat kanker saya masih bisa dioperasi tidak seperti kankernya yang tak dioperasi sampai sekarang setelah dua tahun diderita bahkan menimbulkan luka luas. Saya bersedih untuknya.

Tapi kesedihan ini bukan kesedihan terburuk yang saya rasakan. Hati saya dan anak bungsu saya benar-benar menangis ketika di dalam ruang fisioterapi mendengar seorang pasien ditegur keras oleh para perawat. Belakangan perawat mengungkapkan bahwa dia seorang nenek-nenek dari kalangan tidak mampu yang hanya hidup berdua dengan suaminya yang renta dan tidak berpenghasilan. Karena datang dari Cikampek, maka mereka berdua tinggal di rumah singgah penderita kanker di sekitar belakang RSKD. Dengan membayar sepuluh ribu rupiah sehari, mereka boleh menumpang tidur dan mendapat sepiring nasi tanpa lauk-pauknya. Untuk itu mereka harus bergulat mencari lauk di luar rumah singgah, yang kerap kali justru tak terbeli sehingga mereka siasati hanya dengan menaburkan garam ke atas nasi. Perawat pun nyaris meneteskan air mata ketika menceritakan kisah mereka. Suaranya tercekat keluar dari setangkup bibir merah delima yang membuat kulit kuning langsat perempuan Dayak itu makin berseri.

Kondisinya yang tak terawat membuat perawat menegurnya cukup keras, bahkan membawa seorang rohaniwan untuk berbicara dari hati ke hati dengannya. Kulit nenek renta itu tentu saja berkeriput. Tapi selain berkeriput, dia hitam legam penuh kotoran karena ternyata dia tak pernah mandi. Belum lagi luka tumor di payudaranya seluas dada hingga nyaris mencapai perutnya. Luka itu dibungkus rapat, tetapi sama halnya dengan pembalut di lengannya, tak pernah dibuka selama seminggu. Apalagi dibersihkan.  Jadi, bau tubuhnya amat menyengat membuat perawat nyaris tak bisa bekerja untuknya. Digunakannya masker waktu merawat si nenek.

Nenek itu bilang dia tak sanggup lagi bangkit apalagi mandi dan membersihkan tubuh. Bahkan menurutnya, maaf, setelah buang air pun dia tak bisa membersihkannya kecuali dibantu orang lain yang artinya hanya suaminya yang uzur itu sebab mereka tak punya keturunan. Untuk mandi dia tak hendak melakukannya, meski perawat mengatakan tubuh yang tak pernah dibersihkan justru menjadi sarang penyakit yang memperberat keadaannya. 

Akhirnya waktu saya simak kedengaran dia ditanya mengenai caranya beribadah. Sebagai muslimah yang tergambar dari namanya, dia mengakui meninggalkan shalatnya. Meski dia tahu itu kewajiban, tetapi dia tetap nekad sebab dia benar-benar tak mampu bangkit dan tak mau menyentuh air. Itulah sebabnya kemudian saya dengar seseorang yang semula saya duga perawat mengajari tentang kebersihan dan keimanan sambil menerangkan pentingnya membersihkan tubuh dan shalat meski cuma sekedar memakai debu lalu berbaring menghadap kiblat. Rupanya dia memang rohaniwati Islam. Sang rohaniwati kemudian menanyai suaminya tentang kemampuannya membaca huruf Arab. Kelihatannya dia ingin mengecek seberapa agamis kah pasangan tua ini.

Kisah mengharukan kembali hadir di gendang telinga saya malam harinya. Karena saya membutuhkan konsultasi untuk lengan saya yang sakit yang tiba-tiba kemerah-merahan tanpa rasa nyeri dan demam, saya mendatangi dokter saya di klinik RS di Bogor tempat saya selama ini berobat rutin. Lagi pula saya membutuhkan surat rujukan untuk memeriksakan kesehatan saya sebelum kemoterapi. Dengan surat rujukan itu saya bisa diperiksa di laboratorium dan dokter ahli penyakit dalam terlebih dulu, sehingga ketika kelak saya disuruh melakukan pemeriksaan di Jakarta, saya sudah dalam keadaan amat prima. Dalam persiapan kemoterapi, kondisi pasien mutlak dalam keadaan baik, tekanan darah normal, tak ada keluhan pada ginjal, jantung dan hati, serta hitungan sel darah merah dan darah putih pun normal. Jika salah satunya tak memenuhi syarat, kemoterapi akan ditunda hingga pasien pulih. Itu sebabnya hari ini saya kembali melakukan "tour d'hopital".

Dokter datang sudah larut malam, pukul setengah sembilan. Pasien kini tak sebanyak dulu lagi, meski pun masih cukup banyak. Saya paham, kebanyakan pasien lama merasa dipermainkan oleh seringnya dokter kami mangkir disebabkan tugasnya yang bertumpuk di Jakarta. Jadwal praktek resminya yang dua minggu sekali sekarang tinggal seminggu sekali. Ini pun tak tepat waktu seperti malam ini.

Saya dipanggil masuk ketika pasien sebelum saya yang muda masih di dalam ruang praktek bersama suami dan adiknya. Saya pikir mereka tak lama lagi akan keluar. Ternyata dugaan saya meleset. Dokter masih asyik berbincang dengan pasien dan keluarganya, yang ternyata ibu muda yang tengah mengandung anak keduanya, delapan minggu. 

Perempuan itu menderita tumor payudara kiri dan kanan, nampaknya, sebab di mata saya agak tersamar oleh tubuhnya yang tambun. Dokter tak bisa memastikan keselamatan anak yang dikandungnya jika membiarkan tumor itu tak dibasmi. Tapi untuk membasminya pun bukan hal mudah. Bisa saja pasien itu dioperasi pengangkatan payudara tanpa menggugurkan kandungannya. Namun akibatnya kelak dia tak bisa memberikan ASI sebab tak lagi memiliki payudara untuk menyusui. Ini pun tak menjamin bayinya lahir normal karena efek obat anestesi atau bius pada orang mengandung sangat berbahaya. Satu hal lagi, bisa saja payudaranya dipertahankan dengan memberikan kemoterapi. Hal yang sama juga dilakukan kepada saya, yaitu neo adjuvant therapy, pengangkatan payudara setelah dikemoterapi terlebih dulu lalu kelak dilanjutkan dengan kemoterapi lagi setelah operasi. Tapi pengobatan ini juga bukan hal yang aman. Sebab efek obat kemoterapi sangatlah ganasnya. Pada pasien yang tak mengandung saja sudah menyiksa, apalagi untuk orang mengandung yang butuh gizi serta tenaga yang bagus.

Pasien kedengaran bimbang menetapkan pilihannya. Sebab agaknya anak kedua ini amat dinanti-nanti mereka. Karenanya dokter kami segera berinisiatif mengontak koleganya melalui telepon mendiskusikan kasus itu. Dengan gaya anak muda masa kini berbasis bahasa gaul pembicaraan serius itu terselesaikan dengan baik. Pasien tetap dianjurkan untuk menggugurkan kandungannya dan dioperasi. Tetapi lagi-lagi agaknya dokter tak sanggup mengoperasi di Bogor. Kedengaran dia mengeluh bahwa pekerjaan operasi itu pada kasus pasien ini butuh ketelitian dan banyak pertimbangan dari sekelompok dokter. Karenanya lagi-lagi dia menawari untuk dioperasi di Jakarta. Terjadilah kemudian perdebatan yang membuahkan hasil pasien menurut. Untuk itu sebagaimana halnya saya dulu, lusa dokter menunggu mereka di kantornya di Jakarta dan operasi direncanakan dalam waktu dekat meski tak disebutkan waktunya seperti operasi saya yang tergolong harus disegerakan. Pasien dan suaminya nampak kebingungan untuk menjangkau RS di Jakarta dengan kendaraan umum, sehingga memancing kami untuk kemudian menularkan pengetahuan tentang peta perjalanan ke Jakarta naik KRL. Kelihatan betapa leganya si suami mendengar pemberitahuan saya yang baru sepotong saya sampaikan karena dokter sudah menunggu saya di ruang dalam begitu mendengar suara saya. 

"Ya, saya dok, assalamu'alaikum, duh maaf tadi saya nggak sempat ke UDT langsung pulang saja," sahut saya seraya beranjak duduk di dalam ruang pemeriksaan.

"Baguslah bu, pasien saya di UDT saja tadi 30 orang je, mabok saya," keluhnya setengah bergurau. Kami bersalam-salaman sebagaimana biasanya karena dia senantiasa mengulurkan tangan kepada setiap pasiennya tanpa pilih-pilih.

"Wah, bagus dong, ngetop tuh. Percaya nggak, saudara saya di Indraprasta 'kan ada yang baru nengok saya. Dia tanya saya berobat di dokter siapa. Waktu saya sebut nama mas dokter, saya dibilang sudah pinter milih dokter yang tepat," sahut saya membuat dia tersipu-sipu malu. 

Saya kemudian mengeluhkan lengan saya yang memerah seperti erythema tapi tanpa disertai rasa sakit maupun demam. Hanya tumor saya saja yang semakin membesar, kini sudah menonjol sebesar bulatan bakso. Sedangkan luka di bekas jahitan kelenjar getah bening ketiak saya, berhasil menutup mengering setelah saya olesi salep luka kanker yang ternyata stocknya masih cukup banyak di lemari obat saya.

Dokter segera memeriksa tangan saya juga tumor itu. Menurutnya tak usah dikhawatirkan karena kemerah-merahan itu berasal dari peradangan di kelenjar getah bening saya yang termanifestasikan oleh nyeri pada tumor saya. Yang jelas beliau bersyukur saya sudah berhasil lolos test partisipan penelitian, dan sedang bersabar menunggu obat kemoterapi yang konon sedang dalam perjalanan dari pabriknya di Eropa. Katanya sih, hanya obat mahal dan super keras itu saja yang mampu memerangi sel kanker saya. Duh, saya jadi semakin termimpi-mimpi ingin segera dikemoterapi lagi. Tapi kali ini tentu saja dengan obat sekelas "dewa" ini. Karenanya saya telah bertekad untuk memeriksakan diri ke dokter penyakit dalam supaya segera bisa mencapai tekanan darah yang normal serta hitungan sel-sel darah yang cukup. Tunggu saja besok pagi, saya akan kembali ke Dinas Kesehatan Kota untuk minta bantuan Jaminan Kesehatan Daerah. Biasanya sih pejabatnya banyak cakap banyak tanya, tapi saya sudah siap akan menghadapinya. Selamat malam!

(Bersambung)

2 komentar:

Pita Pink