Powered By Blogger

Sabtu, 24 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (103)

Kamis pagi saya kembali mengurus perolehan Surat Keterangan warga Tidak Mampu (SKTM) untuk mendapatkan dana Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) supaya saya bisa memeriksakan diri terlebih dahulu ke dokter spesialis penyakit dalam sebelum dikemoterapi. Sebab tekanan darah saya akhir-akhir ini cenderung tinggi, serta hitungan sel darah putih saya rendah karena saya pernah dikemoterapi sebelumnya. Tujuannya agar ketika kelak saya dipersiapkan untuk kemoterapi saya sudah dalam keadaan fit. Jadi seraya menanti panggilan dari peneliti tentang ketersediaan obat, saya akan berupaya merawat kesehatan saya dulu.

Dokter onkologi saya sepakat dengan rencana saya. Apalagi beliau amat memikirkan kondisi saya yang dari hari ke hari semakin mengkhawatirkan karena tumor saya membesar dengan cepat. Beliau tersenyum senang mendengar permintaan saya yang "ajaib" itu. Lalu beliau meminta lembar permintaan pemeriksaan laboratorium saya yang telah dikeluarkan sejawatnya di Jakarta untuk ditirunya bagi pemeriksaan serupa di Bogor. Berdasarkan obrolan saya dengan beliau kini saya tahu bahwa perempuan belia yang selama ini saya kira peneliti utama, ternyata koordinator penelitian itu. Sedangkan peneliti utamanya tentu saja dokter ahli kemoterapi yang merupakan dokter senior di RS itu. 

Onkologis saya pun ingin tekanan darah saya normal lebih dulu sebelum menghadap sejawatnya di Jakarta. Jadi memeriksakan diri di Bogor adalah langkah preventif yang bijak. Kalau keadaan umum saya baik dipastikan saya akan segera dikemoterapi. Sebab tak ada lagi hambatan untuk itu.

Untuk mencapai maksud ini, seharian kemarin dulu saya pergi mengurus SKTM saya yang bisa saya pakai mendanai pengobatan saya setara dengan kartu Jamkesda. Pelaksanaan pembuatan perpanjangan SKTM ini sempat tertunda dua hari karena kelalaian kami dan pihak pengurus RT. Tapi tak mengapa daripada tidak dapat SKTM sama sekali yang artinya akan semakin memberatkan pengeluaran kami.

Di halaman Kelurahan Kasi Kesra menyapa saya dengan ramahnya. Beliau mengharap saya sudah membaik. Lalu kekecewaan tergambar di wajahnya waktu saya nyatakan tumor saya justru sudah tumbuh lagi, namun berkat perjuangan dan pengorbanan warga kami yang kini menjadi onkologis saya upaya penyembuhan sedang akan terus dicoba. Setelah itu beliau mengumbar senyum lega sambil menyetujui bualan saya seandainya dalam rangka HUT RI kemarin diadakan pemilihan warga teladan maka onkologis saya lah yang berhak mendapatkannya. Kasi Kesra mengakui sejak ayah beliau masih ada, keluarga itu sudah kelihatan amat menonjol rasa sosialnya.

Hari itu banyak orang berurusan di Kelurahan, sehingga SKTM saya diselesaikan dalam waktu hampir satu jam. Tapi tak mengapa karena Puskesmas Desa yang akan membuatkan rujukan serta memeriksa keabsahan SKTM letaknya di situ juga. Pun dokternya cepat tanggap begitu melihat kedatangan saya. Tak pakai lama, begitu istilahnya yang tepat, urusan saya diselesaikan sambil beliau mengontrol kondisi kesehatan saya dengan peralatan minimal yang dimilikinya. Dokter sepakat saya harus berobat di RS Kanker begitu meraba dan mengamat-amati tumor saya. "Ikhlaskan hati dan tekadkan merawat ibu ya dik, insya Allah kelak akan diberi banyak kemudahan oleh Allah sebagai ganjarannya," pesan dokter belia itu kepada anak saya seraya mengungkapkan bahwa ketika ibundanya sendiri juga sedang sakit dan butuh perhatian, maka praktek umumnya di rumah akan ditutup demi sang bunda. Terharu saya mendengarnya. Apalagi ketika dia dan temannya menjabat tangan saya erat-erat disertai ucapan semoga lekas sembuh.

Dari Puskesmas seperti biasa kami ke Kecamatan untuk minta pengesahan Camat. Di sana kebetulan tak ada warga yang datang jadi urusan pun segera selesai, sehingga kami tiba di Dinas Kesehatan Kota (DKK) sebelum tiba saatnya istirahat makan siang. 

Dari jauh kelihatan kerumunan warga yang duduk menunggu giliran, membuat anak saya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak disangka, sehabis hari raya orang sakit semakin banyak dibanding sebelumnya. Ketua-Ketua Kader Posyandu dari berbagai penjuru kota juga nampak amat banyak. Sebagian mengenali saya, lalu memeluk sambil menanyai kondisi saya. Mereka tak mengira saya akan datang mengurus sendiri, mengingat kondisi saya semakin lemah setelah dioperasi. Mereka pun bertanya-tanya soal pembalut yang saya gunakan di lengan serta jari saya. Dikira saya jatuh lalu patah tangan. Sama sekali tak ada yang menduga kanker di kelenjar getah bening saya lah penyebab pembengkakan ini. Baru ketika saya mencoba menjelaskan sebisa-bisanya mereka mulai paham. Menurut hemat saya, penjelasan ala orang bodoh justru bisa diterima nalar pasien awam.

Para Ketua Kader Posyandu membantu warga mereka menggunakan Jamkesmas, Jamkesda maupun SKTM. Tak banyak yang tahu bahwa mereka bekerja suka rela. Menurut pengakuan mereka, tak diupah pun mereka sudi mengingat di lingkungan tempat tinggal mereka rata-rata pasien tak memiliki harta apa-apa. Meski begitu mereka mengakui ada juga yang mencibir dan menuduh mereka mengharapkan imbalan dari kegiatan sosial yang mereka lakukan. "Ah, kalau saya diupahi, buat apa saya makan sebungkus bihun goreng gope'an," tutur salah seorang di antaranya. Gope'an yang dimaksudkannya saya pahami sebagai harga murah meriah sekedar pengganjal perut. Memang jika menilik penampilannya, ibu itu cukup sederhana. Dia mencangklong tas kulit imitasi dengan sandal murahan yang di dalamnya terisi dompet tipis serta kotak pensil, bukan kotak kosmetika sebagaimana layaknya perempuan gedongan. Ceritanya sendiri tanpa ditanya, suaminya yang bertugas sebagai Ketua RT sedang bekerja di luar rumah sebagai pemborong kecil-kecilan. Jadi hari itu dia datang sendiri tidak dibonceng sepeda motor suaminya. Barulah saya tahu, di daerah-daerah padat penduduk dengan strata sosial menengah ke bawah agaknya Ketua Kader Posyandu dibebankan kepada istri Ketua RT. Sedangkan Ketua RT itu sendiri dipilih dari kalangan pegawai swasta atau wiraswastawan. Mungkin alasannya adalah agar jika warga membutuhkan bantuan dia mudah meninggalkan pekerjaannya.

Banyak orang yang pulang-balik mengurus surat-surat mereka dikarenakan ketidak lengkapan administrasi. Untung saja meski lama, tapi surat-surat saya tidak dipersoalkan sehingga tak harus meninggalkan tempat dulu. Namun tetap saja urusan baru selesai mendekati pukul empat sore mendahului banyak lagi pasien di belakang saya. Tak terbayangkan betapa lelahnya pejabat di kantor itu menghadapi kami semua yang banyak juga yang ngotot minta dipermudah dengan alasan pasien sakit keras. Tapi mereka tak berniat melayani permintaan semacam ini. Saya merasa lega dan tak sia-sia menghabiskan waktu tanpa istirahat yang jadi keharusan untuk saya.

Lebih lega lagi malam harinya. Saya menerima pemberitahuan lewat pesan pendek dari koordinator tim peneliti bahwa obat yang akan diberikan kepada saya sudah tiba di kantor mereka. Tidak terlalu lama seperti bayangan kami semula. Saya kemudian dipesani untuk segera menguji darah saya di laboratorium juga memeriksakan kondisi jantung saya keesokan harinya supaya bisa segera dinilai Ketua Tim agar nama saya masuk ke dalam daftar tunggu pasien kemoterapi.

***

Hari ini, Jumat (23/08) saya bergegas melaksanakan kewajiban saya di RSK Dharmais. Saya serahkan pembuluh darah saya yang kebetulan sudah sehat semua ke laboratorium untuk pengambilan sampel darah. Walau mesti ditusuk dua kali karena petugas laboratorium yang pertama tak bisa melihat pembuluh darah saya yang halus dengan baik, tapi saya tetap senang sebab mengharapkan hasilnya memadai untuk segera dikemoterapi. Jika buruk pun saya sudah punya SKTM yang akan mendanai saya menormalkan kondisi lebih dulu.

Setelah itu saya ke ruangan fisioterapi sebagaimana biasanya. Di situ saya jumpai keadaan sepi pasien. Saya juga tak melihat lagi pasien yang menderita karena kepapaannya yang saya ceritakan kemarin dulu. Perawat mengatakan dia cuma sanggup datang seminggu sekali meski tangannya yang bengkak sudah tak berbentuk lagi. Pasien semacam itu ternyata cukup banyak, dan seringkali mendapat perhatian khusus dari para perawat. Perawat kerap iba lalu mengumpulkan uang untuk disumbangkan kepada mereka. Ternyata perawat juga manusia berhati emas tak ubahnya dokter saya.

Dari sana saya beranjak ke klinik diagnostik dokter spesialis jantung yang diserahi untuk memantau kondisi detak jantung saya. Nampak dua lelaki, yang seorang uzur seorang lainnya paruh baya menggunakan kursi roda. Kakek uzur itu duduk mempermainkan BB di tangannya, tapi kemudian bangkit minta berbaring menggunakan pangkuan istrinya. Sedangkan si lelaki paruh baya sudah sejak saya tiba merebahkan dirinya di kursi, meski ada pasien lain yang terpaksa berdiri karena tak ada tempat kosong. Padahal bangku di sebelah saya cuma "diduduki" tas si kakek. Seperti itulah keadaan masyarakat sekarang.

Lelaki paruh baya itu berlogat Sumatera yang kental serasi dengan wajahnya asyik makan salak bersama keluarga yang mengantarnya sambil diselingi menjawab panggilan telepon. Saya perhatikan lengannya bengkak sebelah seperti saya. Kedengaran keluarganya bercerita kepada ibu pengidap kanker payudara di dekatnya bahwa abangnya itu menderita tumor di otot lengannya. Sedangkan si ibu mengatakan dirinya pengidap kanker payudara kambuhan yang sudah pernah dioperasi pada tahun 2006 serta dikemoterapi dengan obat hormon. Kankernya sembuh selama sekian tahun, lalu kambuh kembali karena dia tak mematuhi jadwal kontrol yang diminta dokternya. Kini dia memiliki keluhan di jantungnya akibat obat hormonal itu. 

Pengalamannya membuka mata saya bahwa penyebab kanker berbeda-beda. Namun upaya penyembuhannya sama, yakni kemoterapi, radiasi atau campuran keduanya. Seringkali juga dioperasi. Untuk itu meski sudah dinyatakan bersih dari sel-sel kanker, pasien wajib mematuhi jadwal kontrol termasuk acara pemeriksaan kondisi kesehatan tubuh seperti ketika masih sakit. Tujuannya untuk mencegah kekambuhan kembali. Saya harus belajar dari pengalaman ibu itu.

Cukup lama saya menunggu hingga lelaki paruh baya itu selesai diperiksa dan meninggalkan tempat dengan menuai protes pasien lain disebabkan sampah bekas buah salak yang dimakannya bertebaran di lantai. Waktu akhirnya tiba giliran saya, dokter menanyai dari mana saja saya pagi itu. Ketika sadar bahwa saya habis difisioterapi, beliau terpana melihat lengan saya yang terbungkus rapat sehingga menyulitkan katoda alat pemeriksaannya disangkutkan di lengan kiri saya. Raut wajah beliau yang serius menandakan beliau harus berpikir keras untuk memeriksa saya. Belum lagi saya menyeringai ketika alat-alat itu menyentuh bekas luka operasi di dada saya. Padahal beliau melakukannya sangat hati-hati bak penari serimpi menggerakkan jemarinya. Dulu saya tak pernah merasakan hal begini.

Berdua bersama perawat yang mengasisteninya akhirnya beliau memperoleh tempat yang pas sebagai sangkutan katoda, yakni di ujung ibu jari saya. Apa boleh buat, tiada rotan akar pun jadilah. Lalu beliau merekam detak jantung saya dan membicarakan hasilnya dengan menggunakan pemeriksaan bulan lalu sebagai pembanding. 

Alangkah takutnya batin saya, karena keadaan serambi jantung kiri saya buruk dibandingkan bulan lalu seminggu sehabis saya dikemoterapi yang terakhir. Bilangan yang didapat bulan ini tak memadai untuk dikatakan normal sebagai acuan siap tidaknya saya menerima kemoterapi. Saya lalu menanyakan apakah yang dapat diperbuat, serta bagaimana prediksi dokter jantung ini tentang kemungkinan segera terlaksananya kemoterapi. Beliau cuma menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berujar tak tahu persis persyaratan yang diminta dokter ahli kemoterapi untuk memutuskan boleh tidaknya menerima obat dalam keadaan begini. Tentu saja saya gelisah. Terbayang kemoterapi saya tertunda lagi, sedangkan tumor saya tumbuh sangat cepat. Terngiang lagi pesan dokter onkologi kepada anak-anak agar mengizinkan saya menerima obat yang diteliti sebab saya sedang berpacu melawan maut. Ya Allah, jangan izinkan kemoterapi saya terhambat, saya belum mau mati. Saya belum sanggup meninggalkan anak-anak sebelum saya tahu hidup mereka tertata dengan masa depan yang pasti. Begitu jerit saya di dalam hati yang selalu diistilahkan An teman saya sebagai upaya memohon bantuan Allah dengan bertawakal, sabar serta mengharap kun fayakunNya. Ungkapan yang senantiasa membuat saya merasa tersudut seakan-akan saya tak pernah bersabar dan bertawakal menghadapi banyak masalah selama ini. Tapi tak mengapa. Itu urusan hubungan saya dengan Tuhan.

Meski begitu, ada sedikit kenyataan yang sempat menghibur saya. Tekanan darah saya kedapatan normal. Lebih dari itu di lantai bawah RS saya bertemu dengan pasien onkologi saya yang tengah hamil dalam keadaan terkena tumor. Dari suaminya saya ketahui bahwa dokter kami tidak percaya begitu saja pada hasil pemeriksaan jaringan tumor ibu muda itu yang dianggap ahli patologi mengarah kepada keganasan. Menurut dokter kami itu tumor payudara jinak, namun tetap harus diwaspadai karena dalam sebulan pertumbuhannya cepat. Oleh karena itu pasien dibawanya ke RSKD untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut serta dioperasi pengangkatan payudara demi menyelamatkan si ibu. Dokter menganjurkan untuk mengakhiri kehamilan setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis kebidanan dan kandungan, mengingat efek pengobatan pada si ibu dipastikan membawa akibat buruk bagi janin yang dikandungnya. Yang melegakan saya, siang itu si suami mengatakan dengan tegas dia menyetujui semua rencana dokter. Mengharukan sekali alasannya : Dia lebih memilih mempertahankan istrinya yang jelas-jelas bernyawa dan diketahui karakternya, dibandingkan mempunyai anak yang entah akan cacat atau tidak nantinya. Ya Allah, cinta sejati menghinggapi dirinya. Saya bayangkan apel ranum yang siap menghilangkan lapar dan dahaga petani pemilik pohonnya. Semoga Allah memberkahi mereka dengan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Saya tersenyum untuk mereka.

(Bersambung)



10 komentar:

  1. Balasan
    1. Silahkan, tapi di sini sepi orang komen kok, kebanyakan mereka datang untuk baca. :-D

      Hapus
    2. Kayak saya ini, Bund. Meskipun selalu baca tulisan Bunda, kadang nggak sanggup untuk kasih komen. Mau menyemangati tapi kok kesannya saya omdo... kalo saya yang di posisi Bunda sekarang, belum tentu saya sekuat Bunda.
      Pokoknya biar nggak komen, nama Bunda selalu ada dalam doa saya.
      *peluuuuukkk

      Hapus
    3. Hahaha....... iya Cipie. Kewrasa kok sama saya. Terima kasih atas kebaikannya. Hari ini sedih lagi, karena dokter ahli kemoterapi bilang nggak berani ngasih obat penelitian itu, disebabkan kondisi jantung saya tiba-tiba memburuk. Katanya efek obat kemo yang dulu. Jadi besok mesti balik lagi ke RS konsultasi ke dokter jantung dulu. Saya nggak ngerti apa ada obat yang aman untuk saya? Obat palinbg ringan aja, walaupun nggak bikin mual-muntah-pusing-sariawan, tapi efeknya langsung ke jantung saya. :-(

      Peluk balik buat Cipie dan keluarga. Salam hormat untuk Koko dan Mama sama adiknya.

      Hapus
  2. Assalamu'alaikum
    Bunda salam kenal, semoga Allah memberi tambahan kekuatan untuk bunda menjalani ujian ini.. Terimakasih bunda atas inspirasinya.. *pelukk bunda*.. kapan2 boleh main ke rumah kah bunda, sya di bogor juga :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumussalam mbak. Rasanya jaman masih ada Multiply kita pernah berteman ya? Ini mbak Tatik bukan?!

      Terima kasih kembali. Saya cuma ngisi buku harian untuk warisan keluarga saya sekaligus berbagi kok. Syukur kalau ada manfaatnya. Kalau mau ke rumah, biasanya saya ada hari Minggu karena sekarang Senin-Sabtu saya mondar-mandir ke RS. Mbak tinggal di mana? Saya di taman Cimanggu, persisnya di Jalan Raya belokan Jalan Puspa Bangsa. Silahkan.....

      Hapus
    2. he..he.. salah orang bunda.. belum pernah ngeblog di mp, udh keburu ditutup.. :)

      sya di parung jampang bunda,. Bunda tetep semangat ya..

      Hapus
    3. Oh ya Allah, salah kira. Soalnya dulu ada kontak saya namanya mbak Tatik ibunya mbak Khansa. Parung Jampang saya malah belum pernah ke situ, lewat doang sih pernah.

      Hapus
  3. dilema ya.. anak apa istri.. alasannya bener juga sih..
    sampe disini dulu membacanya ya mbak.. besok lanjut lagi.. mo pulang dulu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih ya udah mampir lagi di sini. :-)

      Hapus

Pita Pink