Powered By Blogger

Senin, 05 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (95)




Pembuluh darah saya kebiru-biruan semua. Itu tandanya tak ada lagi yang masih sehat dan belum pecah. Kalau saja seorang dokter atau perawat melihat foto ini mereka sepakat mengatakan bahwa sekarang amat sulit untuk menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuh sakit saya melalui pembuluh darah. Apalagi polanya jelas kelihatan bengkok-bengkok yang memerlukan suatu keahlian khusus bagi tenaga medis untuk mengatasinya jika diperlukan benar.

Semula saya amat kecewa menghadapi kenyataan ini. Tapi sekarang cukup saya tanggapi dengan senyuman mengingat saya jadi serasa memiliki "cap" lulus uji sebagai partisipan penelitian obat bergengsi yang amat ampuh menumpas kanker payudara yang sangat ganas. Tentu di dalam hati saya diselipi harapan bahwa saya akan berguna untuk perkembangan pengobatan kanker di masa yang akan datang sehingga orang banyak bisa mendapat manfaatnya. Terus terang saja, hati saya memang sedang berbunga-bunga.

***

Pembuluh darah pecah karena terlalu sering ditusuki jarum sewaktu akan dan sedang dikemoterapi adalah masalah yang cukup serius untuk pasien dengan pembuluh darah yang amat halus. Semestinya dengan lulusnya saya di dalam saringan peserta atau partisipan penelitian obat yang segera akan dikemoterapi lagi merasa amat ngeri. Tapi nyatanya tidak perlu ngeri, karena konon obat yang akan diberikan itu berupa suntikan saja, bukan lagi infus yang makan waktu seharian. Walau kemungkinan juga disuntikkan lewat nadi, tapi tak jadi soal sebab saya sudah beristirahat sepuluh hari. Kiranya pembuluh darah itu sudah membaik.

Saya mengetahuinya dari dokter onkologis saya yang pertama menawari saya untuk mengambil solusi penelitian itu ketika didapatinya saya sama sekali tak sanggup membeli obat. Padahal tak ada obat yang cocok untuk mengatasi keadaan saya kecuali obat yang dalam penelitian itu. Payahnya lagi, dana pemberian pemerintah daerah tidak cukup untuk membayar harganya. Patut kiranya kita sesali banyaknya pasien tak berpunya yang tumbang ke tanah karena tak tertolong dengan obat pemberian pemerintah.

Sudah saya ceritakan sebelumnya bahwa perjalanan menggapai obat itu bukan hal yang mudah sama sekali. Terutama bagi pasien yang tidak tinggal di Jakarta di mana RS pusat penelitian kanker nasional berada. Sebab, nyaris setiap hari pasien harus ke RS guna mempersiapkan diri melalui serangkaian test medis plus wawancara sebagai bahan pertimbangan dapat dipakainya pasien sebagai partisipan penelitian. Jika dalam keadaan normal, ongkos dari rumah saya yang hanya di Bogor ke Jakarta tidak mahal. Tapi dalam keadaan sakit dan tubuh yang lemah, perjalanan dengan angkutan umum itu bukan hal yang bisa dipertimbangkan. Sehingga mau tidak mau pasien mencari kendaraan sendiri yang pada keluarga saya merupakan sewaan tidak resmi lewat kebaikan kenalan lama. Jadi ongkos perjalanan menjadi mahal. Tak mengapa juga sih, sebab saya pikir kami sudah sangat beruntung punya kenalan baik yang mau menolong tanpa pamrih begini. Betul bukan?!

Sebetulnya ada solusi yang lebih murah. Pasien dan keluarganya yang datang dari luar daerah bisa mencari rumah kost sebagai tempat penginapan yang berdiri di area sekitar RS. Ongkos sewanya bervariasi tergantung besar-kecil serta kondisi kamar, juga fasilitas yang tersedia. Namun jika mengingat tingkat kenyamanan serta keamanan, saya lebih memilih pulang balik dari rumah karena apa pun yang terjadi pasien kanker atau penyakit berat apa pun cenderung rewel dan menyusahkan. Bayangkan apa jadinya kalau itu terjadi di luar rumah kita sendiri.

Biasanya kami pergi pagi-pagi sekali ke RS, terutama di awal pekan guna memperkecil kemungkinan terjebak macet. Begitu pun yang kami lakukan hari kemarin. Sayangnya saya lupa bahwa hari itu sebetulnya justru jalanan lengang karena banyak masyarakat yang sudah meninggalkan Jakarta untuk berhari raya di kampung masing-masing sehingga pukul tujuh kami sudah tiba di RS. Padahal dokter onkologi saya baru akan mulai praktek pukul sepuluh karena hari itu beliau berangkat dari Bogor, bukan dari apartemennya. Dua hari sebelumnya anak-anak saya sempat bertemu dengan istrinya di halaman rumah mereka, menandakan dokter ada di rumah kediamannya.

Tak disangka, meski di beberapa bagian rumah sakit terpampang spandoek berisi pengumuman libur RS disertai hari-hari piketnya yang dimulai hari itu, tetapi RS sudah dipadati pengunjung. Mobil dan sepeda motor memadati halaman RS seperti biasanya. Tapi setelah sampai di dalam RS saya baru menyadari bahwa kebanyakan dimiliki oleh keluarga pasien rawat inap mengingat kami menerima nomor antrian pendaftaran yang relatif kecil. Belakangan baru banyak pasien berdatangan seperti biasanya. Perawat di bagian Instalasi Rehabilitasi Medik sih menceritakan pasien pertama yang dilayaninya hari itu tiba pukul setengah tujuh pagi. Tentu itu bukan pasien pertama di seluruh RS pada hari itu sebab di Instalasi Radiologi pun sudah ada pasien yang duduk menunggu loket dibuka. Juga petugas mulai berdinas.

Kami segera dilayani, meski ada beberapa orang yang sudah datang lebih dulu termasuk seorang ibu yang akan mengambil hasil pemeriksaan yang tengah berdebat dengan sepasang suami-istri tentang tata cara pengambilan hasil. Wanita yang jauh lebih tua dibandingkan saya itu datang seorang diri, ternyata juga penduduk Bogor yang pernah berobat di RS tempat saya berobat meski bukan pasien onkologis saya. Katanya lima tahun yang lalu beliau sudah pernah dioperasi pada payudaranya, tapi kini ada diketemukan lagi bibit sel kanker yang tumbuh pada kelenjar getah beningnya. Beliau kemudian berobat di sini pada onkologis senior yang saya yakin kemampuannya tak lagi diragukan. Ketika saya menerima hasil pemeriksaan MRI saya, terus terang saja saya tak mau membukanya sendiri lagi. Sebab saya takut hasilnya berupa berita buruk seperti ibu itu. Akan tetapi tak demikian dengan anak-anak saya. Buruk tidaknya hasil tidak jadi masalah, sebab mereka berkeyakinan saya dalam keadaan baik-baik saja sehingga masalah yang ada pada diri saya sekarang hanyalah masalah psikologis semata. Artinya saya ketakutan. Kalau hasilnya buruk kata anak-anak saya, maka kami akan bisa mengakses obat kelas dua yang harganya tidak semahal obat yang seharusnya saya pakai dengan cara yang telah dirancang secara diam-diam bersama dokter saya. Tapi saya tetap tak mau melihat hasil MRI itu meski kedua anak saya kelihatan berseri-seri sewaktu membaca dengan gamblang hasilnya berdua. "Congcrats bu!" Seru mereka seraya menggapai punggung tangan saya dan mengelus-elusnya dengan mesra. Ah, anak-anak saya memang selalu menyejukkan hati begini batin saya.

Berhubung dokter masih lama membuka prakteknya, maka saya putuskan naik ke kantin di lantai dua untuk makan obat terlebih dulu. Terus terang saja saya belum makan obat dokter. Yang saya telan di rumah mengikuti sarapan adalah obat jejamuan sinshe yang kami yakini berhasil baik melokalisasi sel kanker saya sehingga tidak menyebar ke organ tubuh lainnya, termasuk jika anak-anak saya benar, tidak ada di otak saya. Anak-anak menyetujui usulan itu lalu membimbing saya dengan sabar ke kantin. Pasalnya seharian kemarin saya tidak sanggup bangkit dari pembaringan, juga tak bernafsu apa-apa disebabkan pusing kepala yang tak bisa lagi saya toleransi. Mereka bahkan membujuk saya untuk makan bekal yang dipersiapkan dari rumah berupa crakers berselaput krim keju yang kental. Tapi saya lupa memperhitungkan penyakit hipertensi saya yang kian hari kiranya kian mengganggu saja sehingga mengakibatkan tekanan darah saya naik tak terkontrol. Alangkah bodohnya saya yang selalu mengaku diri cerdas ini. :-D 

Sehabis makan kami naik ke ruang Instalasi Rehabilitasi Medik untuk fisioterapi yang kali ini juga menunggu cukup lama dibandingkan biasanya. Soalnya pasien yang banyak itu cuma dilayani dua orang perawat piket saja. Tapi tak mengapa masih ada waktu untuk bertemu dokter saya. Buktinya kami tetap masih menunggu sekitar sepuluh menit sebelum kedatangannya yang seperti biasanya bergaya anak muda masa kini lengkap dengan tas yang disandang di bahunya namun nampak profesional tanpa jas dokter. Dokter menyapa ramah terlebih dulu sebelum masuk klinik lalu mempersilahkan kami memperlihatkan hasil MRI yang jadi batu loncatan saya terakhir itu. Saya sudah pasrah. Berita baik atau buruk yang ada biar beliau yang menyampaikannya. 

Dalam pada itu anak-anak dan perawat nampak tenang menunggu dokter mencermati laporan dokter ahli radiologi. Akhirnya senyum itu terkembang lagi dengan tulus, selagi dokter mengulurkan tangan menyalami kami semua. "Tuh 'kan, saya bilang semua okay. Selamat bu, sudah tidak ada hambatan untuk ikut program penelitian. Saya katakan sejak semula HER2 positif, Estrogen negatif tidak ada metastase sama sekali. Saya yakin itu sebab setiap saya periksa ibu tak ada gejala klinis yang mencurigakan," kata dokter onkologi saya dengan nada riang. "Tolong bawa menghadap bu Doktor Noor sekarang, tak ada alasan beliau untuk menolak lagi, ya," pesannya seraya menyerahkan berkas rekam medis saya ke tangan perawat. "Sampai jumpa sehabis lebaran, ada salam dari ibu saya. Beliau kemarin juga sudah sangat senang," imbuhnya sebelum kami bersalam-salaman sekalian mengungkapkan salam idul fitri sebab saya tak yakin kami bisa bertemu di saat shalat Ied nanti. Maklum selain jemaah di mesjid dekat rumah kami sangat banyak, dipastikan saya tak akan sanggup ke luar rumah.

Saya lalu diminta menunggu di selasar ruang tunggu lagi selagi perawat mengantarkan berkas saya ke bagian pendaftaran. Agak banyak pasien Doktor spesialis kemoterapi yang sebetulnya ahli penyakit dalam dan hematologi onkologi. Namun tak mengapa, saya sudah sangat bersyukur sebab kemenangan seperti sudah dekat untuk dicapai. Sementara itu saya segera mengabari kakak-kakak saya yang mengingatkan saya untuk terus berdoa dan bersyukur atas KebaikanNya.

Selama menunggu itu saya terus terkenang akan Kasih Sayang Allah yang seperti tak ada hentinya. Dimulai dari sejak saya sakit dan tak mampu ke dokter, ada solusi lain berupa pengobatan herbal Cina sinshe Guang Zhou berkebangsaan Indonesia yang nyatanya mampu menghambat penyebaran kanker saya. Lalu ketika pikiran saya ikut sakit terusik oleh sesuatu mnasalah berat sehingga pengobatan sinshe itu tak bisa maksimal, ada pertolongan dari banyak pihak terutama teman-teman Dharna Wanita Persatuan di mana saya lama berada di dalamnya sehingga saya bisa berobat ke dokter tanpa membayar sepeser pun. Dari sana kemudian pengobatan saya dialihkan ke Bogor ditangani tetangga saya sendiri meski saya tidak mengenal secara pribadi keluarga beliau. Tapi suatu anugrah juga, bahwasannya kerabat saya yang amat peduli kepada nasib saya adalah teman baik ibunda dokter saya ini. Kini di tangannya pengobatan saya tertata mantap. Beliau membuka jalan mencarikan dana Jamkesda. Juga membawa saya berobat nyaris gratis ke RSK Dharmais dikarenakan obat pemberian Jamkesda tak menolong, sedangkan operasi pengangkatan tumor saya merupakan hal yang rumit serta memerlukan fasilitas yang dipunyai Pusat Penelitian Penyakit Kanker Nasional itu. Tak terkira banyaknya apa yang diam-diam harus saya syukuri terus. Karenanya wajar jika teman dan kerabat saya senantiasa meminta saya bersyukur dengan ikhlas.

Terlintas kata-kata mereka satu demi satu. Termasuk yang menyentuh adalah ungkapan dokter spesialis paliatif yang merupakan teman seorganisasi saya. Katanya saya ada di antara pasien yang gigih berjuang, selalu tabah dan ikhlas menerima cobaan sehingga membanggakan tim dokter yang merawat saya termasuk dirinya. Ah, padahal saya manusia biasa saja yang terkadang dalam keteduhan alam malam hari tak jarang merintih pilu juga.


"Tuhan, tolong jangan tutup kesempatan untuk hamba meraih mimpi dan mencapai kesembuhan dengan obat mahal itu," pinta saya di dalam hati sewaktu perawat mempersilahkan saya menghadap ibu Doktor Noor. Tiba-tiba sehelai gulungan ijazah dan toga terbayang di mata saya seakan-akan saya sudah pasti dinyatakan oleh beliau diluluskan ikut ambil bagian dalam penelitian itu. 

Dan, alhamdulillah, doa saya terjawab! Beliau berbinar-binar takjub waktu membaca hasil MRI saya yang sudah dituliskan oleh onkologis saya di berkas rekam medik saya. Sambil menyatakan senang beliau langsung menghubungi anak buahnya yang menjadi ujung tombak penelitian itu. Ternyata beliau sudah pulang kampung persis pesannya ketika saya berjanji akan di-MRI dulu. Jadi saya diminta menghadap di kliniknya pada tanggal 14 Agustus seminggu setelah lebaran nanti. Hati saya mengalirkan tangis bahagia. Dan pipi ini cuma menggembungkan senyum yang seperti tak mau berhenti. Tapi yakinlah, saya tidak dihinggapi penyakit gila.

(Bersambung)

6 komentar:

  1. Aaaah.... ikut senang, Bund...

    Sekarang lagi persiapan buat lebaran dong ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe......... iya, saya bahagia sekali. Sebab relawan kanker pernah bilang bahwa banyak yang kepengin obat itu tapi nggak kebeli plus nggak ada yang nawarin.

      Saya nggak nyiapin lebaran sendiri, cukup mengarahkan bujangan saya yang dua orang itu. Kebetulan pemudik mau datangnya hari kedua, jadi lha saya sih santai aja dulu ah.

      Hapus
  2. Mengharukan sekaligus banyak memberikan inspirasi bagi kita semuanya. Tetap semangads dalam menyambut hari kemenangan.

    Selama sebulan penuh juga saya nda sempat blogwalking ke sana kemari walhasil blog ku sepi pengunjung. Kalaupun ada yang mampir pasti 4 L (alias Loe lagi Loe Lagi). Wahahahahahahaa. Hiheiheihieee.

    Kalau ditempat ku mudik di KulonProgo walau letaknya cukup jauh dari kota Jogjakarta, namun sinyal Internet cukup baik. Saya sudah tuliskan travel report mudik saya sekeluarga di Blog sejak tanggal 1 s/d 5 Agustus 2013. Setidaknya hobi nulis jalan, dan dokumentasi mudik tetap tercatat di blog sebagai kenangan hiheihiee.

    Met mudik lebaran ya. Kami sekeluarga mengucapkan Selamat Hari Raya Iedul Fitrie, 1 Syawal 1432 Hijriah. Minal Aidzin Walfaidzin. Mohon maaf lahir dan Bathin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak mas Yono atas atensi dan komentarnya yang menggugah minat saya untuk terus mencatatkan pengalaman saya di sini. Jurnal kali ini memang sengaja saya buat untuk menyemangati penderita lainnya. Sebab banyak penderita yang sudah putus asa duluan menghadapi "serangan maut" itu. Kalau pun berani ke dokter, mereka takut menghadapi meja bedah disambung kemoterapinya. Padahal dua hal itu komponen utama menuju kesembuhan selain diet protein hewani yang harus sangat dibatasi konsumsinya, namun mengasup buah-buah dan sayuran yang mengandung banyak antioksidan. Saya ingin kami bersama-sama mengatakan tidak takut melawan kanker, gitu lho.

      Soal orang datang ke blog kita, biasanya mereka yang rajin adalah kerabat sendiri atau orang yang sudah mengenal secara nyata diri kita, bukan teman maya. Kalau kita nggak pernah komentar di blog orang lain, saya rasa mereka yang datang ya 4 L itu lho kang. :-D

      Selamat menikmati suasana kampung halaman. Saya sih setiap hari menikmatinya, sebab sekarang saya justru sedang nunggu pemudik berdatangan. Itu bedanya mudik anda dengan mudiknya saya hahahaha..........

      Maaf lahir batin juga andaikata ada blog saya yang dianggap anda kurang pantas dan kurang menyenangkan ya. *salaman*

      Hapus
  3. pembuluh darah pecah sampai biru pasti sakit sekali ya bun
    saya pernah juga waktu dulu sering sakit *yusuf memory*
    semoga bunda selalu diberi kemudahan dan tetap tegar y bunda :)
    #hugs

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ih saya aneh deh. Masa' kayaknya udah kebal tuh sama rasa sakit. :-D

      Tadi juga salah seorang perawat kirim SMS katanya terkesan sama saya karena saya pasien yang tegar.

      Hapus

Pita Pink