Rabu pagi seharusnya jadwal saya adalah ke fisioterapis semara-mata sambil anak saya meminta dicarikan berkas hasil biopsi tumor saya dulu sekali ketika baru-barunya saya berobat untuk melengkapi berkas pengajuan partisipan penelitian. Tapi begitu mendapat hasil roentgent kepala yang juga diambil hari itu, saya diminta segera menghadap ke dokter. Tentu saja rasa was-was mengikuti saya. Lebih dari sekedar kegelisahan sebab saya tiba-tiba punya bayangan tak memenuhi syarat sebagai partisipan. Walau saya sebetulnya cukup yakin bahwa sel kanker saya tidak disebabkan faktor hormonal, melainkan oleh faktor HER2 yang agresif sifatnya. Sedangkan dokter onkologi saya pun menyatakan sama dengan tambahan bahwa hormon Estrogen saya negatif. Jadi seharusnya saya punya kesempatan untuk diikutsertakan dalam penelitian obat bergengsi itu. Namun entah mengapa, kali ini di dalam hati kecil saya merasa sudah tertolak duluan sebelum Doktor yang menyelenggarakan penelitian itu mengatakannya kepada saya. Dan susahnya biasanya hati kecil saya selalu membisikkan yang benar, bukan lain-lainnya.
Jadi ketika selesai dengan fisioterapi, bergegaslah kami menuju ke klinik onkologi yang memang sudah dipadati banyak orang. Bahkan kata anak saya, ada di antaranya yang datang dari Makassar mengantarkan istrinya yang lima tahun lalu dioperasi seorang dokter senior yang kala itu direktur RS ini. Sayang kini beliau sudah tiada, justru ketika kanker istrinya muncul lagi. Penduduk Makassar itu memanfaatkan jasa PT Askes untuk memeriksakan istrinya yang mengeluhkan nyeri di dadanya. Mereka benar-benar khawatir kanker si ibu kembali lagi hendak merenggut yang indah-indah pada kehidupan mereka.
Inilah juga yang sedang terjadi pada diri saya. Dulu saya pun kerap ditumbuhi sel-sel pengganggu di bagian alat reproduksi saya, yang hasil pemeriksaan pathologi anatomisnya oleh dokter di negara tetangga selalu dinyatakan jinak. Sampai lelah saya menghadapi meja operasi tapi jaringan jinak itu terus saja minta timbul; meski sempat mereda kira-kira lima tahun lamanya sebelum akhirnya sekarang dinyatakan tetangga saya sendiri sebagai jaringan ganas alias kanker. Ah, kanker memang menyusahkan.
Dokter segera menyuruh saya menjalani pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk membuat gambaran yang jelas mengenai organ tubuh manusia melalui bantuan gelombang radio yang sifatnya berupa ketukan/dentaman. Pemeriksaan MRI untuk kepala saya ini benar-benar belum pernah saya lakukan sebelumnya. Sebab dulu seingat saya pemeriksaan MRI saya jalani untuk kasus nyeri di bahu saya yang terbukti dikarenakan cedera otot. Akibatnya belum-belum saya sudah dihinggapi kengerian tentangnya. Apalagi ketika di-MRI untuk bahu saya, saya sempat muntah-muntah sekeluarnya dari mesin menakjubkan itu.
Dokter ahli kemoterapi pun mengindikasikan saya untuk menjalaninya sebagai pembuktian bahwa saya bisa dipakai sebagai bahan penelitian atau bahkan ditolak. Akan tetapi belum-belum para staf muda yang menjadi pelaksana utama penelitian itu sudah menutup kesempatan untuk saya karena hasil roentgent kepala saya tidak baik. Bisa dibayangkan bukan betapa sedihnya perasaan kami? Persoalannya pengobatan paling baik yang akan digratiskan itu batal tersedia. Lalu kami harus mencari sendiri dana pembelian obat, termasuk menurunkan kualitas keampuhan obat yang akan saya pakai. Wah rasanya pintu kematian semakin mendekat jua. Meski tahu jika saya ungkapkan secara jujur kepada teman-teman dan saudara saya maka jawaban mereka pastilah rangkaian kalimat sabar, ikhlas dan tawakal di dalam menghadapi ganjalan mencapai kesembuhan saya. Berurai air mata rasanya di batin saya meski mata saya kering dan bibir saya tetap mengalirkan senyum. Saya tak mau kesusahan ini mengganggu semua orang yang sayang kepada saya.
Sepanjang perjalanan ke rumah saya merasa kalah. Sedangkan anak-anak saya pun tidak bicara banyak sebab saya tahu mereka sendiri terpukul mendapati kenyataan pahit ini. Sebab baru saja di minggu sebelumnya saya berpamitan kepada sinshe saya untuk tidak meneruskan pengobatan herbal karena ketiadaan dana di kantung kami setelah setiap dua hari sekali saya harus ke RS di Jakarta. Waktu itu sinshe menyayangkan, begitu juga dengan teman baik saya yang pertama kali membawa saya berobat ke situ. Baginya pengobatan sinshe berikut terapi totok syarafnya tak boleh diputus karena terbukti telah menyembuhkan kankernya meski makan waktu delapan tahun. Dia tak lupa mencontohkan betapa dia pun kerap kesulitan dana untuk ongkos sinshe, tapi sinshe selalu memberinya kemudahan. Namun dia lupa bahwa kondisi tumornya dulu berbeda dari tumor saya sehingga cukup diobati sinshe tanpa perlu ke RS.
Pahit rasanya berhadapan dengan jurang kematian. Soalnya saya belum ingin mati sebelum menyaksikan anak-anak saya bisa mandiri, berumah tangga lalu mengizinkan saya memberi warna pada pola pengasuhan anak-anak mereka. Ini suatu impian yang mustahil terwujud tanpa pengobatan yang tepat. Ya, lagi-lagi saya cuma bisa mengatakan bahwa kanker memang kejam selain menyakitkan jiwa-raga semua orang yang bersinggungan dengannya.
Akhirnya anak-anak mendiskusikan pengobatan sinshe lagi mengingat minggu depan RS akan libur seminggu sehingga biaya RS bisa dialihkan untuk pembelian obat minggu ini. Kebetulan pula hari itu jadwal praktek sinshe saya yang cuma seminggu sekali di Bogor. Mengingat tekad mereka untuk mengupayakan kesembuhan saya, maka saya segera menghubungi sinshe untuk menyatakan kami akan datang meski obat untuk saya belum tentu tersedia. Sinshe yang menangkap kegelisahan di suara saya langsung menyetujui bahkan katanya siap menunggu saya. Sementara itu saya terlupa untuk mengontak An teman sejati saya itu. Padahal saya tahu An akan kecewa kalau mendengar bahwa diam-diam saya memutuskan ke sinshe. Yang jelas akhirnya mobil pak Jamil sudah mengarah ke tempat praktek sinshe.
Kebetulan sudah menjelang libur lebaran sehingga saya satu-satunya pasien sinshe di situ. Dengan lesu saya sampaikan persoalan saya. Bahkan anak saya minta sinshe mendeteksi lagi penyakit pada diri saya melalui sensor enerji di kulit telapak tangannya. Meski hal enerji itu merupakan sesuatu yang mustahil, tapi nyata adanya. Rasanya ketika dia habis menyentuh tubuh saya, maka berangsur-angsur akan timbul rasa hangat yang menjalar seperti mengaliri urat syaraf saya. Begitu pun sore itu.
Sinshe membenarkan adanya sesuatu yang masih tertinggal di tubuh saya karena tak terambil oleh pisau bedah. Tapi dengan nada meredam kegelisahan saya beliau bilang yang dicurigai di kepala saya cuma bibit yang belum menimbulkan apa-apa sehingga belum terlambat untuk dibasmi. Seketika saya ingat rencana dokter saya untuk membunuh tumbuhan baru itu dengan terapi radiasi sesegera mungkin seandainya kelak hasil MRI saya menunjukkan hasil buruk. Terapi radiasi dengan cara menembakkan sinar yang amat kuat diyakini efektif untuk membunuh jaringan baru.
Sinshe kemudian menerapi saya dengan enerji tangan kosongnya lalu memberikan persediaan obat yang sedianya jatah teman saya yang tetap mengonsumsi jejamuan itu untuk mencegah timbulnya sel kanker kembali. Sambil berkonsultasi sinshe mengatakan bahwa kasus saya berbeda dengan kasus teman saya. Tumor saya pecah sedangkan tumor teman saya justru tak teraba dari luar sehingga perlu didorong dengan enerji di tangannya agar menggumpal membentuk massa yang solid. Memang kata teman saya, dulu tumornya tak teraba hanya menimbulkan nyeri lalu mengeluarkan cairan dari putingnya. belakangan setelah menggumpal, payudaranya membengkak kemerah-merahan sangat menyakitkan.
Karena tumor saya pecah, sinshe tak sanggup lagi mengobati saya sehingga saya harus ke RS untuk dioperasi. Padahal secara teoritis dipercaya jika sel kanker dilukai akan bertambah ganas dan meruyak. Terbukti seperti yang kini saya alami. Tapi dalam kasus saya keadaan luka pada tumor itu dilematis bagi sinshe. Tak dioperasi dokter, dia jelas-jelas tak sanggup karena sampai saat ini belum ada jamunya yng bisa mengeringkan dan menutup luka. Sedangkan dioperasi mendatangkan resiko merajalelanya sel kanker.
Sejak hari itu teman saya An menjadi semakin memperhatikan saya. Sehari beberapa kali dia berkirim SMS menanyai saya. Kelihatannya dia juga amat mengkhawatirkan diri saya sebagaimana teman-teman saya di seluruh dunia yang saya beritahu lewat E-mail malam harinya. Terus terang saya memang perlu memberitahu mereka karena gagasan mengobatkan saya ke RS datang dan didanai mereka terlebih dulu. Jadi saya menganggap mereka adalah pihak pertama yang harus tahu soal keadaan ini.
Semua orang berlomba mengirim nasehat untuk tabah serta memohon kepada Allah untuk menyembuhkan saya tanpa ada penyakit yang tertinggal lagi. Tak jarang mereka mengimbau saya untuk bersabar dan tawakal. Seakan-akan baru kali ini saya mengalami sakit serius begini. Ah tentu saja mereka beranggapan begitu karena mereka kan tidak pernah bersama saya sehari hingga setahun penuh. Saya cuma bisa tersenyum kecut. Jiwa rapuh saya terlecut lagi untuk kembali tak menangis melainkan berdoa dan berdzikir dengan segala doa yang memungkinkan yang disodorkan orang-orang ke hadapan saya sebagai bentuk kasih sayang mereka. Alhamdulillah masih banyak orang yang teringat akan saya dan berbaik hati.
***
Hari Jumat sengaja saya ingin berangkat ke RS agak siang. Rasanya saya cuma akan ke Instalasi Rehabilitasi Medik seperti biasanya lalu menemui onkologis saya sebelum tiba masa cuti bersama guna minta obat batuk. Pasalnya sejak keadaan saya dikhawatirkan memburuk dua hari penuh saya batuk-batuk tak jelas sebabnya.
Suasana jalanan masih saja cukup ramai. Kelihatannya belum banyak orang meninggalkan pekerjaan mereka untuk pulang kampung, meski ternyata kalau diamati kendaraan-kendaraan banyak juga yang menuju ke arah timur Jakarta. Kami mendengarkan saja siaran radio sebab anak saya Andrie yang kali itu mengantar saya sendirian kelihatan amat kelelahan. Sedangkan pak Jamil memusatkan pikirannya pada lalu lintas dari balik kemudinya.
Sampai di RS kedapatan ruang Rehabilitasi Medik dipenuhi pasien. Kelihatannya mereka juga menikmati treatment sebelum pulang kampung atau berlibur lebaran, sehingga saya harus menunggu agak lebih lama dibandingkan biasanya. Sempat saya dengar seorang lelaki tua bertelepon dengan seseorang yang dipanggilnya dengan sebutan mbak mengenai dana asuransi kesehatan. Pembicaraan yang putus-sambung itu berakhir dengan penolakan halus dari lelaki itu. Karenanya saya simpulkan si penelepon adalah pihak asuransi kesehatan di sebuah bank yang menawarkan unit link kepada para nasabahnya seperti apa yang dialami anak-anak saya dulu. Cerdas sekali bapak tua itu menolaknya, sebab jika tidak uang yang kita tanamkan di situ tidak akan pernah berkembang sebelum mencapai kurun waktu di atas enam tahun, persis yang dialami anak-anak saya. Yang ada justru nilainya berkurang sedangkan manfaat untuk memfasilitasi biaya kesehatan nasabah tak ada sama sekali.
Ya, sakit kanker atau apa pun yang serius memang selalu membingungkan. Pasien merasa sangat kesakitan, sedangkan keluarga yang ingin membantu mencarikan pertolongan sangat kebingungan mencari dana yang tak sedikit. Begitu yang kami alami sekarang, termasuk bapak itu ketika kemudian si istri minta uang untuk membeli pembalut jari yang kecil tetapi harganya mahal. Kalau dipikir-pikir untuk membeli pembalut lengan hingga jari kami yang bengkak sebab kerusakan pada jaringan kelenjar getah bening di ketiak kami memang tidak murah sama sekali, terutama jika bentuknya berupa semacam stocking. Menyakitkan bukan?
KONDISI LIMFEDEMA PASIEN PASCA MASTEKTOMI
Ketika saya dipanggil masuk, saya dapati perawat yang melayani saya sudah berganti personal. Ternyata mereka yang berjumlah cuma enam orang senantiasa berganti tugas setiap sebulan sekali. Masing-masing dua orang ditempatkan di satu unit yang berbeda. Sehingga yang dulu merawat saya di unit rawat jalan adalah perawat yang sekarang bertugas di unit rawat inap sedangkan dua orang lainnya yang belum pernah saya lihat berada di unit ICU. Namun perawat yang kini melayani saya merupakan insan yang cantik hatinya luar dan dalam. Dengan senyum yang selalu mengembang serta kehalusan tangan di dalam merawat saya terasa begitu nikmatnya saya dimanjakan mereka. Semoga Allah senantiasa menganugerahinya dengan kebaikan yang banyak.
Pasien di kubikel sebelah saya kelihatannya pasien yang jauh lebih lama dibandingkan saya. Dari pembicaraan antara dirinya dengan perawat terkesan mereka sudah saling mengenal dan perawat tahu persis bagian mana dari tubuh pasien yang harus ditreatment. Yang seorang pasien dari daerah seperti saya. Rumahnya bahkan lebih jauh lagi, di Cianjur sana sehingga saya jarang berjumpa dengannya di RS ini. Mari bayangkan lagi, betapa banyak komponen ongkos yang harus dikeluarkan seorang penderita kanker, bukan?
Selesai difisioterapi saya bergegas menemui dokter onkologi saya sebelum beliau pergi bersembahyang Jumat dengan anak saya. Betul saja perawat di situ mengatakan klinik sudah menjelang tutup. Tetapi mengingat saya adalah tetangga dokter, maka saya diizinkan masuk. Dokter pun tak menolak waktu saya datang mengulurkan tangan sambil mengeluh mengenai batuk-batuk saya. Tapi sebelum memberi saran mengenai obat batuk, beliau justru penasaran ingin tahu kemungkinan kemoterapi yang akan saya terima.
Saya katakan bahwa kemungkinan besar saya akan tertolak ikut penelitian sebab keadaan yang mencurigakan di rongga kepala saya yang telah diketahuinya. Dokter nampak amat kecewa dan gusar. Saya hibur dengan informasi bahwa saya mungkin diterima jika sudah melakukan MRI dengan hasil yang ternyata baik.
Beliau lalu menanyai mengenai MRI itu. Terus terang saya katakan belum dilakukan karena kata peneliti muda yang menolak saya, Instalasi Radiologi akan tutup sehingga hasil MRI baru bisa diambil pasca lebaran. Tergambarlah seketika kekecewaan di raut muka dokter belia saya itu. Beliau benar-benar khawatir akan keadaan saya. Katanya saya tak boleh menunda-nunda pemeriksaan itu karena nyawa saya bergantung kepada kemoterapi. Saya disuruh menghubungi RS swasta di dekat situ untuk minta diperiksa dengan MRI siang itu juga, supaya hasilnya bisa saya ambil keesokan harinya meski akhir pekan dan dibaca olehnya hari Senin hari terakhir sebelum libur lebaran. Gerak cepat adalah amanatnya, karena kemoterapi diharuskannya berjalan segera setelah lebaran entah dengan cara apa pun menggunakan dana dari mana pun yang jelas belum terbayang sampai sekarang.
Kemudian selesai sembahyang kami bergegas ke Instalasi Radiologi sekedar untuk mencari tahu apakah masih bisa menerima pasien pada saat itu. Agaknya kami beruntung, petugas mengiyakan sehingga saya bisa segera diperiksa. Ongkos yang dua setengah juta rupiah itu tak lagi kami permasalahkan mengingat saya sendiri jadi gelisah mendengar pemaparan dokter yang amat gamblang tadi. Dokter saya memang tahu bahwa tak banyak pasien yang siap menerima kenyataan terburuk di dalam hidupnya, tetapi saya adalah perkecualian sehingga apa pun yang dihadapi pasti disampaikannya secara gamblang kepada kami. Tentunya dengan disertai suntikan semangat plus kerja keras mengupayakan kesembuhan bagi saya.
Saya cuma menunggu sejenak kemudian langsung diminta masuk ke ruangan besar yang diisi mesin serupa dengan mesin-mesin pemeriksaan radiologi lainnya. Saya dibaringkan di meja pemeriksaan yang terhubung dengan badan mesin berupa tabung, dengan meletakkan kepala saya yang akan difoto di suatu tempat berbentuk lekukan. Kemudian telinga saya disumbat dengan head phone yang mengalunkan lagu-lagu lembut sebagai pengalih kegaduhan yang akan dihasilkan mesin MRI sambil menenangkan hati pasien.
Sebelum itu tubuh seperti biasa diikat dengan strap ke meja pemeriksaan. Kemudian teknisi atau perawat memberitahukan bahwa saya akan disuntik di tengah-tengah pemeriksaan nanti. Saya cukup mengerti bahwa itu adalah suntikan kontras yang akan memudahkan mesin memindai keadaan di dalam rongga tubuh manusia. Tetapi mengingat vena saya buruk semua, dengan bodohnya saya bertanya apakah saya akan disuntik di daerah kepala saja. Tentu perawat lelaki itu tertawa kecil. Katanya tidak, dia akan menggunakan vena saya dengan hati-hati.
Kemudian meja pemeriksaan didorong masuk secara otomatis perlahan-lahan setelah mata saya ditutup dengan suatu penghalang. Kira-kira 10 menit saya sampai di dalam mesin pemindai. Selama 10 menit itu sambil mendengarkan musik telinga saya masih bisa menangkap kegaduhan yang ditimbulkan oleh alat pemeriksa. Ada semacam dentaman, semacam desisan mesin mobil juga ketukan-ketukan halus. Begitu ssampai di daerah mesin, mesin berhenti sejenak karena teknisi atau perawat akan menyuntik saya. Benar saja, dia mendapati vena saya telah pecah semua sehingga saya perlu ditusuk dua kali sebelum obat itu bisa masuk dan inilah hasilnya:
Begitulah kenyataannya menjadi penyandang penyakit kanker. Butuh kekuatan jiwa dan raga. Namun saya harus sekali lagi bersama-sama tim dokter saya berjuang melawan ganasnya kanker dengan ongkos pengobatan yang entah akan saya dapatkan dari mana. Semuanya kembali saya pasrahkan kepada Allah SWT.
(bersambung)
Semoga mbak Julie diberikan kekuatan untuk menjalani segala ketetapan-Nya dengan sabar dan ikhlas dengan hati damai. Insya Allah akan berbuah kebaikan.
BalasHapusAmin-amin-amin ya Raab. Semua memang saya pasrahkan kepasa Sang Pemilik Hidup. Insya Allah dalam kepasrahan saya tetap akan saya coba melawab, karena terus terang saya ingin menghadiahkan kesembuhan dan kesehatan yang prima untuk anak-anak, dokter dan teman-teman saya. Swmoga Allah berkenan mengabulkan niatan ini.
HapusTerima kasih atas kebaikan dan suntikan semangatnya ya dik. Selamat Idul Fitri, maafkan saya lahir dan batib.
*salaman*
speechless saya, Bund....
Hapus*peluk erat aja
Cikpie, pelukannya diterma dengan balasan pelukan balik plus cerita bahagia untuk hari ini dan hari-hari mendatang lho :-)
HapusTerima kasih banyak ya......... tabik!
duh bunda pengen rasanya meluuuuk bunda
BalasHapusAyo pelukan lagi yuk......
Hapusbunda username wp sy ganti
Hapustlg mampir ke sini kalau bunda sdg ol
bunda bgmn kbrnya hr ini? smg sehat selalu :)
Siiip lah, nanti saya BW ke situ. Salam sayang untuk sicantik Dina ya. Udah miring-miring dan ngoceh terus apa malah udah tengkurep sih?
HapusAlhamdulillah saya besok mau ketemu Doktor spesialis kemoterapi bicarakan kemo saya dengan TCH. Semoga cepat datang deh obat itu. Saya nyaris nggak tahan lagi.
Apa sih username barumu mbak? Tak cari kok bingung sendiri........?
BalasHapusmaaf bunda, lupa ditulisin
BalasHapusdiahindri03.wordpress.com
medina sudah bisa diajak ngobrol bunda, terima kasih doanya :)
miring2 juga hehehe
Oke mbak, nanti ibu lihat ya, sekarang mau ke RS dulu, nguber gratisan Jamkesda, soalnya tadi pagi udah bayar sendiri di Jakarta hahaha........ Bukan bayar sendiri, tepatnya dibayari dokter dan teman-teman saya sih.
Hapushola mbakyu.. assalamualaikum.. lama ga mampir dimari.. ga bisa buka blogspot dari PC deh belakangan ini..
BalasHapusduh sekarang ada penyebab penyebar kanker di titik tulang tengkorak nih.. kog bisa mulainya dari kepala ya..