Hari ini, Rabu, 14/08 saya pun kembali ke RS Kanker Dharmais, akan menemui peneliti yang sedianya menerima saya untuk membicarakan soal rencana kemoterapi saya dengan obat terbaru yang amat keras. Perempuan muda belia itu berjanji menemui saya di klinik dokter spesialis kemoterapi pada pagi hari. Jadi sengaja saya berangkat pukul enam dari rumah sebab saya pun harus menjumpai onkologis saya serta difisoterapi. Libur lebaran seminggu mengharuskan saya menyelesaikan semuanya sehari ini. Tangan saya yang membengkak tidak pernah menjadi lembek, kaku dan keras selalu sehingga saya membutuhkan mesin fisioterapi. Barangkali pasalnya saya kebanyakan menggunakan tangan saya selama persiapan hari raya kemarin meski sebagian besar sudah dikerjakan anak-anak saya. Semisal memasak hidangan hari raya seperti ini :
Hidangan olahan anak-anak saya itu sedikitnya saya awasi pembuatannya. Untuk itu tangan saya ikut meracik bahan dan bumbunya. Maka kini beginilah akibatnya. Saya langsung teringat pasien di kubikel sebelah yang saya tempati sebelum libur hari raya. Tangannya yang keras dan kaku dipersalahkan salah seorang perawat sebagai akibat pekerjaannya mengiris-iris bawang merah di dapur menghadapi hari raya. Tak ada bedanya dengan keadaan saya kini. Apa boleh buat.
Perawat fisioterapi yang bertugas belum banyak. Saya ditangani oleh orang yang belum pernah saya kenal meski selalu bertemu. Beliau termasuk tipe perawat yang penuh perhatian, karenanya banyak mengomentari kondisi pasien dan memberikan nasehat. Khusus untuk kondisi lengan saya beliau bilang tak akan pernah pulih lagi selamanya. Artinya yang sudah terkena pembengkakan akan tetap lebih besar dibandingkan yang sehat. Saya diminta mencari tahu apa sebabnya kepada dokter bedah onkologis saya, karena beliau menganggap tak bisa menerangkan dengan tepat hal ini kepada pasien. Sama halnya dengan jawabannya pada pasien pasca histerektomi (pengangkatan kandungan) yang mengeluhkan sulit buang air kecil meski telah dibantu dengan kateter. Ibu berpenampilan sederhana itu diminta menghadap perawat di ruang perawatannya ketika dioperasi dulu, sebab katanya mereka yang wajib mengajari pasien sampai paham benar. Berkali-kali itu ditekankan kepada si ibu hingga kelihatan seperti tak sabaran. Saya tersenyum kecut mendengarkannya. Begitulah suasana di ruang fisioterapi, pasien dibaringkan di satu kamar besar yang di antara masing-masingnya dibatasi oleh tirai kain sebagai penyekat. Jadi rahasia pasien mudah terbongkar. Ruangan itu pun menjadi semacam ruang publik jua.
Selesai difisioterapi saya beralih ke klinik onkologi, untuk berpesan kepada perawat bahwa saya harus menjumpai peneliti dulu sebelum menghadap dokter saya. Jadi andaikata nama saya dipanggil saya belum nampak, saya minta digeser ke nomor terakhir. Dengan santai perawat mengatakan saya hanya perlu lapor diri saja nantinya. Agaknya perawat sudah hafal betul kepada saya meski saya terbilang pasien baru di situ sejak dokter membawa saya pindah RS dari kampung.
Kemudian kami beranjak ke klinik Doktor ahli kemoterapi yang dijanjikan menjadi tempat pertemuan saya dengan sang peneliti, meski ternyata batal karena bu Doktor belum masuk kerja. Saya dialamati menuju kantor badan penelitian dan pengembangan yang agak sulit dicapai karena letaknya terpisah dari klinik-klinik. Tapi nasib baik mempertemukan kami di lift yang akan menuju ke kantornya. Nasib sangat baik justru adalah ketika saya tidak hafal wajah sang peneliti yang baru pernah sekali saya temui, beliau langsung menyapa kami dengan menyebut nama saya. Selanjutnya saya diminta menunggu di klinik dokter lain yang ternyata menjadi co-partner Doktor ahli kemoterapi itu. Dengan agak ragu saya berjalan ke sana menembus pintu yang dijaga Satpam perempuan yang amat galak yang dulu pernah mengusiri pasien.
Sang peneliti agaknya sedang sibuk, jadi saya dibiarkannya menunggu selagi dirinya wara-wiri melangkahkan kakinya yang langsing separuh berlari ke sana-sini. Lagi-lagi saya terpaksa menangkap nuansa memiriskan. Ada seorang pasien yang terbaring di brankar seorang diri di sudut terdalam ruangan. Pengantarnya yang berumur sedikit di atas umur anak saya sedang berdebat dengan perawat kepala di situ, ditemani perawat dari mobil ambulans yang membawa pasien dari rumahnya. Menilik pakaiannya, ambulans itu tentu sewaan dari RS lain. Entah apa persoalannya, yang jelas mereka dipersalahkan perawat karena tiba kesiangan ketika dokter sudah tidak di klinik itu lagi. Si pengantar mencoba menjelaskan dengan berbagai alasan separuh mengiba-iba supaya dimaklumi. Sedangkan si perawat ambulans juga mendukung pernyataan itu. Tapi bukan jawaban enak yang mereka terima, melainkan bentakan perawat kepala beraroma kegemasan dan kejengkelan. Akhirnya setelah seperempat jam keluarga pasien mengalah meski tak mau juga pergi. Dia menghampiri brankar, menyapa pasien di atasnya dan bercakap-cakap dengan diselingi pandangan mata kosong. Barangkali saja pasien itu sudah benar-benar kesakitan, sementara keluarga yang mengantarkannya pun kehabisan akal untuk mendapatkan pertolongan karena keterlambatan kedatangan mereka. Hal ini mengingatkan saya pada keluhan gadis di dalam lift yang membawa saya naik ke lantai atas. Sambil memandang geram kepada staf RS yang kebetulan ada di lift dia mengeluhkan buruknya pelayanan terhadap orang tak mampu. Menurutnya, jika belum mau mati, maka pasien tidak akan diterima dan dilayani dengan baik yang dibenarkan oleh keluarga pasien lainnya di lift itu. Bahkan ditambahkannya bahwa ada pasien yang terlambat ditangani di ruang HCU serta bangsal tempat perawatan keluarganya, sehingga hanya dalam bilangan jam hingga sehari nyawanya lepas tak tertolong. Ya, RS Kanker memang selalu membuat nyali saya menciut sedih.
Saya layangkan pandangan ke seputar ruang tunggu. Banyak pasien yang agaknya sudah saling mengenal karena sering bersama-sama di suatu klinik atau treatment. Mereka mengobrolkan penyakit mereka serta upaya yang dilakukan dokter. Tapi tak kedengaran ada pasien dokter onkologi saya di situ. Bahkan seorang ibu yang tampil cantik dengan balutan busana batik yang sudah beberapa kali saya lihat di RS, juga ternyata bukan pasien dokter saya. Namun saya yakin dia ada di sini untuk mempersiapkan kemoterapinya juga. Maka tak salah duga ketika sang peneliti junior datang serta merta memanggilnya masuk ke klinik yang kebetulan kosong sebab dokter penggunanya tak ada. Mereka akan membicarakan kemoterapi juga.
Begitu pasien itu selesai, saya diundang masuk. Rekam medis saya yang sedang dicari-cari belum diketemukan, sehingga tanpa rekam medis saya berhadapan langsung dengan sang peneliti yang saya duga gadis baru lulus kuliah. Saya katakan rekam medis saya pasti ada di dokter bedah onkologi saya karena saya akan berkonsultasi di sana siang itu. Gadis itu mengangguk-angguk, lalu mulai mewawancarai saya soal terdiagnosanya penyakit saya untuk pertama kali serta perkembangan dan penanganannya hingga kini. Alhamdulillah saya bisa menjawab dengan baik, tepat pula, mengingat semua saya catatkan di dalam buku harian ini. Hai, inilah gunanya kita membuat sebuah buku harian, bukan?!
Dia mengungkapkan bahwa obat yang akan saya gunakan dalam perjalanan dari pabriknya di luar negeri. Bila akan sampai belum diketahui, apalagi menyangkut prosedur kepabeanan biasanya agak lama. Tapi insya Allah saya bisa mendapatkannya karena menilik laporan saya dengan ditunjang oleh foto-foto hasil pemeriksaan terbaru bulan lalu saya dinilai cukup sehat. Dia hanya memerlukan persetujuan Doktor ahli kemoterapi saya dan co-partnernya yang sesungguhnya juga sedang mengajukan pasien beliau untuk mendapatkan kemoterapi gratis ini. Sayang, pasien itu dianggap tak memenuhi syarat tanpa diperinci apa alasannya. Sehingga tinggal saya lah yang menjadi calon penerima bantuan itu. Ini kesempatan satu-satunya sebab program yang sudah lama bergulir itu nyaris sempurna mendekati saatnya dipelajari. Ah, tak salah lagi, perempuan berbaju batik itu tadi pasti pasien yang dimaksudkannya. Pantas saja dia kelihatan gundah melangkah gontai dari dalam klinik. Saya bersimpati untuknya dan mendoakan semoga dia bisa mendapatkan dana sendiri untuk mengatasi keganasan penyakitnya.
Walau pasien yang tertolak itu juga kelihatan cukup fit, tetapi peneliti menganggap saya lebih baik karena saya masih kelihatan produktif penuh vitalitas. Saya hanya perlu menjaga dan mempertahankan kondisi saya saja agar benar-benar siap menerima kemoterapi yang kuat ini. Yang kalau tidak salah tangkap adalah dari jenis obat Taxotere, Carboplatin dan Herceptin. Setahu saya obat yang sangat popular di Amerika ini memang impian pasien yang menderita karena faktor HER2 positif dengan hormon negatif. Tak dinyana kemungkinan besar saya akan segera menikmatinya. Dan sang peneliti meminta saya terus berdoa untuk itu. Apalagi dia kemudian saya beritahu bahwa saya pasien dengan jaminan kesehatan "Kasio" yaitu atas belas kasihan orang termasuk sejumlah dokter di situ.
Malukah saya menjadi orang tak mampu? Sesungguhnya tidak, cuma merasa pedih mengenangkan nasib yang membebani pundak orang lain. Saya tersenyum getir menelan ludah sendiri yang asam.
Soal mengapa penelitian ini diadakan kini saya tahu jawabnya. Obat ini sengaja dibuat untuk memangkas biaya perawatan pasien yang cukup mahal. Nantinya diharapkan pasien bisa menjalani kemoterapi di rumahnya dengan hanya menyuntikkan obat Herceptin sendiiri selama lima menit saja, begitu penjelasan sang peneliti. Sedangkan dua obat lain yang mengiringinya memang harus tetap diinfuskan. Dengan begitu pasien tak perlu ke RS minta bantuan yang tentunya harus berbayar. Itu sebabnya World Health Organization (WHO) menggerakkan negara anggotanya untuk melaksanakan penelitian ini. Mendengar penjelasan itu rasanya kini saya jadi lebih bersyukur lagi karena saya diberi ganjaran penyakit di waktu yang tepat dengan penelitian ini.
OBAT YANG SEDANG DITELITI ITU
Seusai bertemu sang peneliti saya ke klinik onkologi lagi. Ya ampun, saya belum juga dipanggil masuk karena dokter baru pindah praktek dari lantai bawah tanah yang melayani pasien mandiri berbayar mahal. Tapi tak mengapa itu artinya kami bisa makan siang terlebih dulu. Saya kemudian memesan satu-satunya makanan yang paling aman di kantin RS, yakni siomay organik. Kata pedagangnya yang orang Tegal sih aman, tak berpengawet.
Ketika selesai makan saya mendapati nama saya belum juga dipanggil, jadi setelah mengedarkan pandangan dan tak melihat kursi kosong di dekat klinik, saya memilih duduk di ruang tunggu utama yang berhadapan dengan pintu masuk RS. Di dekat perempuan berjilbab yang tengah mengobrol saya meletakkan tubuh. Pikiran saya sudah cukup tenang meski ada hal yang akan saya keluhkan kepada dokter saya.
Telinga saya menangkap pembicaraan yang menyeramkan dari kedua perempuan itu. Yang berisi kemoterapi yang mereka jalani serta pengalaman mereka dengan teman-teman sesama penderita yang kerap mereka jumpai di RS dulunya. Konon seseorang yang dikatakan cantik bernama Yeyen sudah wafat sebab kondisinya semakin memburuk saja. Tulang-tulangnya terserang meski semula dia penderita kanker payudara. Bahkan di beberapa bagian katanya sudah dipasangi pen. Si ibu yang seorang menyahuti bahwa Uni Elpa, begitu dia menyebutnya, juga sudah tak pernah nampak lagi. Kemungkinan besar dia telah menyerah juga ditaklukkan ganasnya kanker. Merinding saya mendengarnya, meski bukan karena mencuri-curi dengar. Apalagi si teman yang diajak bicara mengatakan bahwa dirinya kini juga menderita kanker kandungan selain kanker payudara. Ugh, menyakitkan benar, mirip penyakit-penyakit yang mampir di tubuh saya yang sejak dulu sudah mulai saya perangi di meja bedah. Tapi, tak mau juga saya menyerah seperti mereka yang disebutkannya telah mendahului menghadap ke HaribaanNya.
Buru-buru saya menyingkir menjauhi mereka supaya merasa lebih nyaman. Saya tak ingin ketenangan batin saya terusik karenanya. Di barisan bangku lain saya mendengar komunikasi keluarga dua pasien dokter yang katanya pasiennya di situ sangat jarang. Mereka berharap dokter segera datang dari RS swasta tempatnya berpraktek saat itu mengingat kondisi si pasien sudah tua dan kelelahan di kursi rodanya. Di ujung kursi memang saya lihat lelaki berkopiah duduk tenang tak bergerak-gerak. Apakah penyakitnya sudah merenggut segenap daya hidup dan semangatnya, saya tak tahu.
Saya perhatikan dari kejauhan pasien keluar-masuk klinik dokter saya. Perkiraan dan hitungan saya tepat, saya mesti masuk ke ruang tunggu sekarang bertepatan dengan lambaian tangan perawat yang memanggil saya. Dokter belia yang santun itu menyambut dengan senyum, sapa ramah dan jabat tangannya seraya bangkit dari duduknya dan membungkuk sedikit. Itulah yang saya kagumi padanya, dia tak melupakan pelajaran pendidikan budi pekerti yang ditanamkan guru-guru kami di sekolah dulu. Saya yakin ibu Henny dan kawan-kawannya akan bangga kepadanya.
Sebelum saya mulai bicara beliau sudah mendahului menanyakan mengenai pertemuan saya dengan Doktor ahli kemoterapi yang menjadi konsulennya. Kelihatan benar bahwa beliau mengingini kemoterapi saya dapat gratisan dan berlangsung segera, sebab beliau mengerti benar kondisi saya luar dan dalam padahal beliau sendiri sudah angkat tangan menghadapi ganasnya penyakit saya.
Pembicaraan saya mulai secara kronologis dengan menceritakan keluhan di bekas jahitan pada ketiak saya, serta prospek pembengkakan yang saya alami. Sambil mendengarkan dokter mnecatat apa yang saya sampaikan. Diterangkannya bahwa limfedema itu akan menetap. Penyebab limfedema tentu karena kelenjar ketiak saya dibuang banyak sekali mengikuti tumor ganas yang tumbuh di situ tapi tetap tak bisa terbabat habis. "Terus terang 'kan saya bilang dulu susah sekali saya mengoperasi limfe ibu. Saya akhirnya menyayat sana-sini sampai makan waktu lama sekali, jadi ya ketiak ibu sudah kehilangan banyak bagian-bagiannya," terang dokter itu seraya menatap saya dari balik kaca mata minusnya.
Saya menangkap maksudnya dengan otak dangkal saya bahwasannya ketiak saya sudah kehilangan penyangganya sehingga mengakibatkan pembengkakan. Ini berarti harus sangat saya waspadai, karena seingat saya fungsi kelenjar getah bening untuk menyaring kuman-kuman penyebab infeksi yang terbawa di sepanjang aliran darah. Itu sebabnya perwat fisioterapi tadi mengingatkan saya agar menjaga tangan dan lengan bengkak itu dari kemungkinan terluka. Juga saya dilarang membawa beban di tangan itu serta tak membiarkannya mengangkat barang-barang panas.
Setelahnya baru saya sampaikan pertemuan saya dengan staf penelitian tanpa dihadiri bu Doktor yang masih cuti. Dokter saya kembali mengeluh. Tapi saya dimintanya menghubungi perawat di klinik bu Doktor saat itu juga untuk memastikan kapan beliau bisa menerima saya. Lagi-lagi kelihatan saya amat diistimewakan dan disegerakan. Layak saja saya sempat menimbulkan tanda tanya di kalangan pasien dan staf RS yang tahu hal itu. Meski saya tahu alasan dokter melakukannya demi berlomba melawan maut.
Berhubung saya takut ditolak masuk oleh satpam segalak singa yang tadi pagi sudah mengizinkan saya masuk menemui peneliti, maka saya haya berkirim SMS kepada bu Doktor. Alhamdulillah katanya beliau masuk kantor keesokan harinya. Jadi saya putuskan saja untuk menghadap beliau hari Jumat besok sekalian difisioterapi. Sebab bagaimana pun juga untuk penderita kanker perjalanan ke Jakarta itu sungguh melelahkan.
(Bersambung)
Bunda, mohon maaf lahir dan batin yaaaa.... :)
BalasHapusSyafakillah Bunda...
Sama-sama nak Dian. Saya juga minta maaf ya, orang tua itu suka kebablasan.
HapusTerima kasih, donya yng menyenangkan saya aminkan.
doktor noor ini yang cuti ya mbak?
BalasHapusduh kalu menunggu sambil mendenger cerita 'seram' gitu jadi ga semangat deh.. semoga selalu semangat ya mbak..
Jujur aja, di Dharmais memang banyak yang bikin stress karena kondisinya menprihatinkan lho.
Hapus