Powered By Blogger

Senin, 20 Mei 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (61)






"WHY ME?" Mengapa mesti saya? Itu pertanyaan yang kerap mengotori pikiran saya yang gelap ketika saya dapati hanya diri saya seorang yang mengidap kanker payudara di keluarga inti saya, padahal kami lima bersaudara perempuan semua. Dua orang kakak saya meski pernah menjalani pembedahan payudara, tetapi hanya untuk mengangkat benjolan yang tumbuh yang dinamakan "fibro adenoma" sejenis tumor jinak yang tidak membahayakan saja, begitu kalau saya tak salah tangkap. 

Kanker payudara dengan segala jenis yang ruwet memang jadi hantu menakutkan bagi perempuan mana pun tak terkecuali saya. Wujudnya di dalam bayangan serupa hantu merah yang menyala di kegelapan. Amat mengerikan, membuat saya sering terbata-bata mencari tahu sendiri apa itu kanker payudara, bagaimana gejalanya pada masing-masing penderita dan bagaimana pula kiatnya untuk berjuang menyelamatkan diri dari cengkeramannya.




Selama berobat nyaris setahun ini saya mendapati dua saja jenis kanker payudara. Yakni kanker yang tumornya teraba dari luar, serta yang tak teraba. Tumor yang teraba ini seperti yang saya idap, terasa gatal di dalam sana serta nyeri seakan-akan dicubit-cubit. Ada juga yang mengistilahkan seperti ditusuk-tusuk. Perasaan nyeri ini dialami juga oleh teman baik saya yang membawa saya berobat ke sinshe, meski dia menderita tumor yang tak teraba dari luar. Menurut dirinya dan cerita sinshe teman saya bertandang ke sinshe bukan untuk mengobatkan benjolan di payudara, melainkan untuk menotok wajahnya yang kelihatan kusam. Maklum sewaktu ke sana pertama kalinya, dia cuma mengikuti kakaknya yang akan menotok wajah. Tapi kemudian sensor tangan sinshe kami ketika meraba telapak kaki teman saya menunjukkan bahwa dia punya benjolan di payudaranya, mulailah dia diterapi.

Teman saya tentu terkejut, sebab selama ini dia tidak pernah merasa ada benjolan di situ. Namun dia memang merasa kadang-kadang payudaranya terasa agak nyeri. Treatment sinshe yang berulang-ulang seminggu satu atau dua kali akhirnya memunculkan benjolan itu ke atas permukaan. Lalu payudaranya mulai bengkak membesar, nyerinya semakin intens. Setelah itu keluarlah cairan dari puting payudaranya, persis seperti yang dikeluhkan pasien lain yang saya temui di RS. Bedanya, pasien RS benjolannya teraba dari luar seperti benjolan saya. 

Tumor teman saya tak pernah jelas apa pemicunya, tak seperti para pasien di RS yang diharuskan dokter memeriksakan jaringan tumor mereka ke laboratorium Pathologi Anatomi (PA). Sebab di sinshe tak pernah diminta untuk memeriksakan jaringan tumor, bahkan memegang-megang tumor itu pun hanya boleh dilakukan oleh sinshe yang menurutnya punya enerji positif untuk menekan penyakit pasien. Memang benar, jika jaringan sel kanker dilukai baik dengan cara sederhana yaitu dibiopsi, jaringan itu akan menjadi agresif lalu cepat tumbuh kembali seperti yang saya alami mengenai kista-kista yang dulu setiap tahun bertumbuhan di indung telur saya.

Tapi berdasarkan pengalaman dari RS, hasil pemeriksaan PA saya menunjukkan tumor saya disebabkan oleh virus Her2. Bukan oleh hormon seperti ibu Sunenti yang saya ceritakan di jurnal yang lalu. Tentu saja obatnya pun berbeda. Sekali dikemoterapi, saya menerima tiga jenis obat, yakni cyclophospamide, doxorubicin, dan antrasilin ~jika tidak salah catat~ yang semuanya dicampur sehingga diistilahkan juga sebagai "obat koktail kemoterapi". Salah satunya berwarna merah serupa syrup yang menyegarkan.






Adapun semua obat-obatan itu kata perawat sangat sensitif cahaya sehingga harus diselubungi dengan alumunium foil seperti yang tampak pada gambar. 

Pada pasien yang terkena kanker disebabkan gangguan hormonal, mereka hanya dikemoterapi dengan satu macam obat saja. Itu terjadi pada ibu Sunenti dan seorang pasien lain lagi yang suaminya sering saya jumpai ketika kami sama-sama mengurus Jaminan Kesehatan di Dinas Kesehatan Kota (DKK). Tapi kemudian mereka disuntik dengan obat tertentu berisi hormon gonadotrophine, yang diberi nama dagang zoladex. Agaknya obat ini sulit diperoleh di pasaran, buktinya pasien terpaksa bersabar menunggu stock obat tersedia di apotik RS. 

Mengenai pasien yang satu itu suaminya nampak amat prihatin. Jelas sekali tergambar kekecewaan di wajahnya yang dihiasi bulu-bulu yang tumbuh tak rapi. Katanya, si istri seharusnya sudah dikemoterapi tetapi lagi-lagi terganjal oleh kondisi fisiknya yang tidak prima. Kadar haemoglobin di dalam darahnya amat rendah sehingga dokter terpaksa menundanya. Semua ini diakibatkan oleh seringnya pendarahan dari luka masif di tumornya seperti yang juga saya alami. Sayangnya luka perempuan itu lebih luas dan darah yang keluar pun jumlahnya tak tanggung-tanggung, sering mencapai seember sehari, begitu cerita sang suami dengan suara lirih nyaris tak terdengar. Waktu itu sang istri dibiarkannya menunggu di area lobby dokter sementara dia berdesak-desak dengan banyak pasien mengantri obat di apotik. Sempat juga saya sapa istri si bapak yang semakin kelihatan kurus kering tak bergairah. Saya pun tahu bahwa dia pernah sampai diharuskan menginap di RS karena kondisinya yang tidak baik itu.

***

Kemarin pagi, kejutan lagi-lagi menghampiri saya. Ketika baru saja usai merapikan diri, saya menerima panggilan telepon dari nomor yang tak tercatat di ponsel saya. Ketika saya terima, suara itu membuat saya terkaget-kaget tak percaya. Pasalnya sudah dua puluh tahun saya tak bertemu orangnya. Tapi benar, saya tak salah duga. Mbakyu Giek, begitu saya memanggilnya, adalah teman lama saya di DWP semasa muda di luar negeri dulu. Suaminya yang datang dari seberang sudah lama pensiun sebab usianya memang jauh lebih senior dibandingkan kami. Jadi sejak itu saya pun tak pernah lagi berjumpa mereka.

Tiba-tiba kata mbak Giek, dia dan keluarga ada di daerah Sentul akan singgah menengok saya sebab mendengar dari temannya teman saya akan keadaan saya yang tengah sakit. Bu Upik perempuan itu memang tidak saya kenal, tetapi pernah ikut dengan teh Ade salah satu teman baik saya yang boleh dikatakan hatinya lekat pada saya, dulu datang menengok saya. Suatu hari dia bertegur sapa dengan mbak Giek dan tiba-tiba teringat bahwa suami mbak Giek adalah pensiunan pegawai Kemenlu. Lalu dia bercerita bahwa dia habis menengok saya ikut sahabatnya seraya menanyakan apakah mbak Giek mengenal saya.

Tentu saja mbak Giek terkejut karenanya. Menurut mbak Giek sungguh tak terbayangkan saya akan menjadi seperti sekarang. Karena itu dia kemudian minta nomor ponsel saya kepada bu Upik yang mendapatkannya dari teh Ade tercinta. Dan dengan kenekadannya kemarin pagi beliau singgah menjenguk saya.

Serangkum cinta diberikannya kepada saya lewat sapaan lembut serta pelukan yang tak terkira hangatnya. Begitu pun suami mbak Giek yang tak lagi banyak bicara menyampaikan doa terbaiknya untuk saya dan anak-anak. "Ini ipar saya, dia perawat di RS Pertamina dan pernah menderita kanker juga," ujar mbak Giek memperkenalkan keluarganya yang baru sekali itu saya temui.

Ternyata ipar mbak Giek bilang, pengobatan kanker memang tidak mengenakkan. Saya termasuk pasien yang beruntung sebab saya tak mengalami mual-muntah serta kerontokan rambut yang parah. Bahkan semula beliau tak menyangka bahwa saya pun pernah mengalami pengangkatkan indung telur juga rahim seperti dirinya yang terkena kista indung telur dulu. Menurutnya apa yang dilakukan dokter saya sekarang termasuk tindakan yang cermat. Saya didukung untuk menjalani sekali lagi kemoterapi saya sebelum dioperasi. Katanya itu untuk mengecilkan jaringan tumor saya agar dokter mudah mengambil semuanya tanpa tersisa. Dengan begitu kemungkinan kekambuhan bisa dihindari atau diminimalisir. Beliau pun juga mendorong saya untuk terus saja melakukan diet seperti yang sudah saya jalani sekarang atas anjuran sinshe saya, sebab dia membuktikan manfaat diet itu yakni kanker di indung telurnya tak pernah tumbuh lagi.

Luar biasa senangnya hati saya kemarin, sampai-sampai saya terlupa menginginkan foto bersama sebagai kenang-kenangan. Yang ada saya terharu menerima kunjungan amat istimewa itu.

Adanya persahabatan memang luar biasa indah. Tak hanya dari mbak Giek, tadi sore pun saya disapa oleh sahabat terkarib saya hingga sekarang ketika saya sudah di luar kepengurusan DWP. Melalui pesan singkat istri pejabat penting di kementerian kami menyatakan maafnya sejak kunjungannya beberapa minggu lalu belum lagi sempat menjenguk saya. Karena kemenakannya akan menikah beliau cuma menanyakan keadaan terakhir saya pasca kemoterapi minggu lalu. Juga minta diberitahu apa langkah selanjutnya, apakah akan dikemoterapi lagi atau sudah pasti dioperasi.

Tak tertahankan air mata saya mengucur membaca SMS itu. Berat rasanya menerima kenyataan bahwa di balik label yang diterakan seseorang pada saya bahwa saya adalah makhluk terjahat yang paling dibenci orang, ternyata saya masih diperhatikan seseorang yang saya tahu tak layak lagi berteman dengan saya. Sebab saya ini hanya seorang buangan yang sedang bergulat meniti kehidupan baru saya, semoga masih saja di dunia ini belum berpindah ke alam baka. Sesungguhnya Allah dengan segala KemahakaryaanNya alangkah nikmatnya untuk manusia yang hina-dina.

(Bersambung)


4 komentar:

  1. Bunda,...entahlah saya harus berkomentar apa. Rasanya penghiburan kadang menjadi semilir angin sesaat bagi kita sebagai penyintas, setelah itu kita sibuk memompa kekuatan untuk terus bertahan. Tapi kita tahu bahwa hidup dgn rasa sakit tidak mustahil.

    Saya melewatinya, dan kdg seolah menunggu dan harap cemas dgn kejutan lain dari tubuh saya. Tapi saya yakin Tuhan tahu sampai batas mana kita mampu menahan rasa sakit. Peluk untukmu bunda...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dear nak Irma, assalamu'alaikum. Hidup tanpa rasa sakit, bukan dengan rasa sakit, itu yang menurut saya mustahil. Begitu 'kan ya? Jadi saya memang menikmati aja semua sakit yang ditimpakan Allah kepada saya. Itu nikmat juga kok ternyata. Nikmatnya berupa persahabatan yang nggak putus-putus dengan segudang kasih sayang di dalamnya.

      Sekarang gimana kondisi nak Irma? Sudah segar dan sehat lagi 'kan?! Kemarin tetamu saya yang perawat itu bilang, diet menghindari daging merah dan putih itu baik sekali. Seperti yang saya kerjakan, saya cuma makan ikan air tawar dengan tempe-tahu dan sayuran. Tetap semangat ya, sehat-sehat selalu doa saya untuk nak Irma.

      Peluk hangat lagi cium mesra ah, boleh 'kan?!

      Hapus
  2. ngakak baca istilah koktail kemo.. :D
    setidaknya waktu yang berkata kalu mbakyujulie sangat baik dan tidak seperti orang lain yang dulunya menghinadina..

    semangat ya mbak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Istilah koktail itu asli istilah medis deh. Saya tahunya dari zuster sama dokter. BTW saya sudah terlalu sering dihina, jadi saya kebal sekarang. Terima kasih lagi ya sudah berkali-kali menghangatkan hati saya, salam sayang buat jeng Tin.

      Hapus

Pita Pink