Powered By Blogger

Sabtu, 18 Mei 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (60)




"TEMPER TANTRUM" begitu saya mengira tentang apa yang tengah terjadi pada diri saya saat ini. Persis seperti gambar perempuan di suatu situs yang saya temukan dengan cara googling. Sebab sejak pagi rasanya saya ingin marah-marah saja, serba salah dan serba tersinggungan. Penyebabnya apa, saya tak jelas benar. Tapi saya memang tak menafikan bahwa rasa sakit yang menyengat membuat diri saya merasa tidak nyaman.

Namun besok tentunya akan jadi lain. Sebab selain saya menerima kiriman jamu dari sinshe saya yang kemarin dulu terlupa saya beli, besok juga harinya saya berkonsultasi kepada dokter onkologi. Akhirnya besok beliau akan berpraktek insya Allah pagi hari, pengakuannya begitu ketika saya menanyakan melalui pesan singkat. Seperti diketahui kesibukan dokter saya ini begitu padat, sehingga seringkali beliau mengorbankan waktu prakteknya di kampung halamannya sendiri yang "diwariskan" orang tuanya, dokter onkologi pertama di kota ini. Akibatnya tentu saja pasien terpaksa ditangani penggantinya yang meski pun teliti dan telaten tetapi bukan dokter onkologi melainkan dokter bedah umum senior.

Jamu sinshe sudah saya makan tadi siang. Tentu saja belum kelihatan efeknya karena baru sekali telan. Jadi, selain rasa nyeri masih samar-samar ada, hawa panas di tubuh saya masih menyengat membuat peluh mengucur begitu saja melewati lekuk-liku wajah saya menuruni dahi dan pipi. Begitulah adanya, saya katakan dulu, saya merasakan hot flushes yang tak mengenakkan itu setelah saya dikemoterapi yang pertama kali. Lalu efeknya kemudian selain rambut saya rontok, akarnya meradang sehingga menimbulkan bisul-bisul kecil di beberapa tempat yang sekarang alhamdulillah teratasi dengan pemberian salep antibiotik saja. 

***

Jurnal kali ini kemarin terpaksa berhenti sampai di atas sebab kondisi tubuh saya terasa tidak fit. Seharian saya malas melakukan apa-apa, sehingga pembaringan menjadi solusi saya untuk menghabiskan detik-detik waktu yang terus berjalan. Dalam pada itu saya renungi lagi semua perjalanan hidup termasuk perjalanan penyakit saya. Tak terkira panjangnya.

Semula saya pernah jadi orang berkecukupan yang bahagia meski sudah sakit-sakitan. Penyakit yang saya bawa sejak kecil dulu kerap mengantarkan saya ke ruang praktek dokter. Hingga ketika menikah saya sempat mencicipi jasa Rumah Sakit untuk mengeluarkan anak-anak saya melalui operasi Kaisar. Itu adalah pengalaman kedua serta ketiga saya menjalani pembedahan, sebab pembedahan pertama berupa tonsilektomi alias bedah amandel berlangsung semasa saya lulus Sekolah Dasar. Waktu itu saya beruntung mendapat teman senasib, yakni putra sahabat orang tua saya yang juga jadi teman bermain saya kalau keluarga besar pegawai di kantor ayah saya berkegiatan bersama. Berdua kami ditempatkan di satu kamar meski dia lelaki dan saya perempuan. Lelaki yang punya sifat jahil itu menggoda saya dengan menakut-nakuti waktu tahu saya ngeri menghadapi pisau bedah. Tapi toch dia juga dan orang tuanya yang memanjakan saya dengan semangkuk besar es krim Pieter's sesudahnya sebagai pembeku darah bekas operasi. 

Lalu operasi Kaisar itu terpaksa dilakukan karena kondisi letak bayi-bayi di kandungan saya yang tak pernah sempurna di tempat yang seharusnya. Bahkan anak sulung saya meninggal karena kegagalan sewaktu saya terpaksa mencoba melahirkannya secara alamiah. Tapi meski begitu, kesehatan saya sebetulnya selalu prima. Tak pernah saya mengalami penyulit semisal kasus keracunan kehamilan, pendarahan dan sebagainya.

Setelah itu meja-meja bedah berikutnya saya jalani di luar negeri baik untuk kasus kehamilan ektopik (hamil di luar kandungan) maupun keguguran dan tumbuhnya kista di alat-alat reproduksi saya. Di luar itu ada lagi tambahan yang tak berkaitan dengan sel-sel liar itu, yakni pembedahan untuk mengangkat sejumlah gigi saya yang rusak serta pengikisan tulang bahu dan yang tak pernah terduga, pemotongan sebagian usus halus saya segera setelah saya keluar dari ruang pemulihan sehabis pengangkatan salah satu indung telur saya. Namun ini semua ada hikmahnya. Kesebelas operasi tadi justru mendekatkan saya kepada Allah Sang Pemilik Hayat serta akhirnya anak-anak saya yang menjadi begitu sayang kepada saya. 

***

Renungan saya itu menjadi dasar akan kesiapan saya menghadapi dokter hari Sabtu (18/05) kemarin. Saya menghadap onkologis saya untuk memeriksakan kondisi fisik saya seminggu pasca kemoterapi sebagai hal yang wajib dilakukan semua pasien sekaligus menetapkan langkah berikutnya yang akan diambil. Apakah saya tidak perlu menjalani sekali lagi kemoterapi sehingga saya akan segera dioperasi. Begitu maksudnya.

Dari rumah sudah saya rencanakan untuk mengeluhkan tentang kelenjar ketiak yang agak membengkak itu kepada dokter. Maka nantinya akan saya persilahkan beliau menetapkan sendiri apa langkah yang terbaik. Sama sekali tak ada kebimbangan atau pun kerisauan dalam diri saya. Dioperasi atau berlanjut kemoterapi kembali semua sama baiknya.

Maka beruntunglah saya ketika saya mendapat giliran ketujuh di dokter onkologi pagi itu, ketambahan menantu saudara saya yaitu Zuster Ninik siap bertugas mengasisteni beliau. Saya bertegur sapa sejenak ketika dia baru selesai briefing di ruangan Zuster Maria untuk penugasannya hari itu. "Sampai jumpa di klinik onkologi ya bulik, saya bertugas di situ hari ini dan dokter akan datang pukul sembilan atau sepuluh pagi," pesannya sambil tersenyum  menjawab sapaan saya. 

Saya kemudian memeriksakan diri ke laboratorium terlebih dulu sebagai bekal pemeriksaan dokter nanti. Suasana sudah cukup ramai meski belum pukul delapan pagi. Seorang ibu tua yang kelihatan senang mengobrol kedengaran bercakap-cakap dengan pasien di sebelahnya yang agaknya pasien tetap di RS ini. Sedangkan ibu tua itu datang untuk mengantarkan suaminya yang memiliki kadar gula darah yang tinggi, demikian yang tertangkap dari percakapan mereka. Alangkah berbaktinya dia kepada suami, begitu anggapan saya waktu saya dengar dia melarang suaminya mengurus administrasi keuangan sendiri. Dimintanya suaminya duduk menunggu selagi semua proses diselesaikan olehnya dengan sigap.

Anak saya pun sama, rela melakukan itu untuk saya seperti biasanya, sehingga saya cukup menyediakan badan saya untuk diambil darah di dalam ruang laboratorium yang sempit itu. Hasilnya alhamdulillah baik semua termasuk kadar haemoglobin, eritrocit, leukocit dan sebagainya yang biasanya tidak memenuhi standar pada pasien yang dikemoterapi. Saya pun sudah mengira itu, sehingga ketika saya menyelinginya dengan acara makan pagi berdua anak saya di kantin rumah sakit saya tenang-tenang saja. Saya bahkan menegaskan bahwa saya siap menjalani operasi segera kalau dokter menghendakinya nanti. Anak saya mengangguk-angguk saja, sebab dia begitu sadar saya justru merasa senang akan segera terbebaskan dari penyakit saya. Padahal penyakit itu sudah bertahun-tahun mengikuti saya, seperti hantu yang menakut-nakuti tanpa nama yang jelas. Maka, ibu semacam apakah saya kalau tidak bersyukur atas kebaikan, bakti dan kasih sayang anak-anak saya kepada saya? Tak heran karenanya jika di dalam dashboard situs saya ini terlacak kata kunci pencarian yang entrinya berbunyi "anakku pengganti tugas suamiku...." dan "tegar bernasib mujur". Boleh jadi mereka yang pernah membaca-baca di situs saya ini maupun situs lama yang terpaksa rebah sebab terkubur waktu menganggap hidup keluarga saya adalah sesuatu yang istimewa.

Di muka klinik onkologi deretan bangku masih banyak yang kosong. Tapi sedikit demi sedikit pasien berdatangan, yang ternyata sebagian merupakan pasien-pasien di klinik sebelah menyebelah. Sampai akhirnya saya bertemu dengan ibu Rus, pasien yang sudah tiga kali saya jumpai di situ dengan kasus kanker payudara kambuhan. 

"Sudah dapat obat suntiknya bu?" Tanya saya ketika dia mau menjejeri saya begitu saya melambaikan tangan. Dia menggelengkan kepalanya. Agaknya sekedar disuntik apalagi dikemoterapi baginya merupakan proses yang sulit. Memang betul dia pun berobat gratisan dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat seperti yang saya gunakan sekarang ini. Jadi agaknya, pengadaan obat menjadi lebih sulit dibandingkan harus membeli sendiri. Konon harganya memang berjuta-juta untuk satu ampul.

Pasien ini mengidap kanker dari penyebab yang berbeda dengan saya. Yakni diakibatkan oleh hormon, bukan oleh virus. Jika virus yang menyerang saya dinamai "Her-2" (dibaca her two), maka dirinya dinyatakan negatif dari virus itu namun meiliki kadar hormonal yang tinggi di dalam tubuhnya yang memicu timbulnya sel-sel kanker. Penyakitnya sudah berlangsung bertahun-tahun, merupakan penyakit kambuhan namun sekarang dia belum juga dioperasi. Selain kesulitan mendapat obat suntik, dia yang hanya menerima satu infus obat kemoterapi ~dibandingkan saya yang mendapat tiga tabung infus yang berbeda-beda~ pun harus menunggu lama untuk menemukan obat infusan itu. Pengakuannya sudah dua bulan sejak perintah kemoterapi dikeluarkan dokter, seperti yang saya dengar ketika dia datang ke ruangan kemoterapi minggu lalu untuk menanyakan gilirannya. Alangkah menderitanya dia. Sebab hari itu pun dia mengatakan nyeri yang ditimbulkan tumornya nyaris tak tertahankan lagi. Karenanya dia terpaksa menelan obat pereda nyeri yang dibelinya bebas setiap hari. Walau soal obat pereda nyeri ini sih sama halnya dengan saya. Saya mendapat resep dokter untuk digunakan sewaktu-waktu tapi saya manfaatkan setiap hari sebab begitu reaksi obat habis, sakit di pecahan tumor saya mendera lagi.

Obrolan kami akhirnya mendatangkan kenalan baru, juga seorang pasien dari wilayah Kabupaten. Ibu Sunenti, begitu beliau memperkenalkan dirinya, juga menderita tumor payudara akibat hormon. Tetapi kondisinya sudah pernah pecah seperti tumor saya. Dan dia pernah mengobatkannya di sebuah klinik tanaman obat. Sayang akibatnya luka tumornya justru mengeras dan berubah warna kehitam-hitaman akibat diobati dengan tanaman di sana yang diklaim pemiliknya sebagai obat luka jempolan. Perempuan ini dua tahun yang lalu juga sudah menjalani operasi, yang dikatakannya bukan operasi kanker melainkan tumor stadium dua. Lagi-lagi saya prihatin mendengarnya, sebab banyak pasien yang belum bisa membedakan apa itu tumor dan kanker. Jika sudah merujuk kepada stadium, maka pasti itu kanker alias tumor ganas. Ini diperkuat dengan pernyataannya bahwa dia pernah menjalani penyinaran (radiasi) serta kemoterapi seperti kami berdua. Sekarang yang menyebabkannya ingin berkenalan dengan bu Rus dan saya, adalah karena dia seperti bu Rus kesulitan mendapat obat suntikan. Selanjutnya supaya tidak jatuh mentalnya, Zuster Maria yang beberapa kali lalu lalang di dekat kami membisiki untuk mengobrol dengan perempuan berbaju hijau, yaitu saya, yang katanya kondisinya jauh lebih buruk daripada dirinya. Saya pun tersipu-sipu malu, sebab tak menyangka akan dijadikan rujukan pasien yang mulai kehilangan gairah hidup sewaktu kecewa menjalani pengobatan yang nyaris tak ada ujungnya ini.

***



Tak terasa dokter datang dan mulai berpraktek. Kebanyakan pasien justru belum datang karena mengira dokter akan berpraktek sore hari seperti biasanya. Tapi saya katakan kepada bu Nenti dan bu Rus hari ini beliau datang pagi, seperti janjinya kepada saya lewat SMS. Mereka terheran-heran saya bisa menghubungi dokter kami, meski mereka tahu dokter kami memang baik hati dan ramah tamah. Kami semua ternyata memang dibujuki olehnya untuk minta bantuan pemerintah sebab pengobatan kanker terkenal menguras harta benda seperti yang sudah saya alami. Saya katakan, saya tidak berani menelepon, tetapi daripada kecewa saya mengirim SMS malam hari meminta kepastian waktu praktek beliau di hari itu. Lalu beramai-ramai keduanya meminta nomor dokter untuk mereka catat di ponsel masing-masing.

Beberapa pasien yang tidak datang menyebabkan saya dipanggil lebih awal. Dengan diiringi senyumnya dokter menyambut saya dengan tangan terulur. "Apa kabar ibu?" Sapanya setelah bersalaman. Saya ceritakan bahwa kemoterapi ketiga saya sudah berjalan dikontrol dokter bedah umum seperti yang disarankannya. Hasilnya saya tidak muntah-muntah, pun bisul-bisul saya yang mulai sembuh tak meradang kembali. Cuma rasa panas di tubuh yang belum mau reda. Tak lupa saya sebutkan bahwa meski payudara saya cenderung mengecil tetapi kelenjar ketiak saya sakit dan agak sedikit membengkak. Saya pun berterus terang bahwa selama ini saya makan obat herbal sinshe juga selain obat yang diresepkannya. Kebetulan saya kehabisan stock obat antiradang dan antibengkak, sehingga saya kesakitan. Beliau tidak nampak terkejut atas laporan saya mengenai obat sinshe itu. Lagi pula saya tekankan bahwa saya memberi jarak dua jam antar obat-obatan itu. 

Saya kemudian berbaring di meja pemeriksaan, untuk diperiksa kali ini dengan amat teliti. Tangannya meraba cermat setiap sisi tumor saya, lalu beralih ke ketiak. Di ketiak itulah beliau membenarkan keluhan saya. "Ya, di sini, ya? Sedikit terinflamasi memang," putusnya. Beliau lalu mengingatkan ketika pertama kali datang berobat kepadanya kondisi payudara saya justru amat hebat. "Dulu payudara ibu flaring up sampai teraba besar sekali," katanya kemudian sebelum menanyai saya apakah saya bersedia dikemoterapi sekali lagi atau mau langsung dioperasi.

Saya katakan saya tidak bisa memutuskan untuk diri sendiri, karena saya bukan dokter. Seterusnya saya serahkan kepada beliau apa yang terbaik. Sebab saya tidak takut dioperasi meski saya tegaskan bahwa pihak RSK Dharmais kantor beliau sebagai PNS tidak menerima pasien dengan Jamkesda dari Bogor, hanya menerima pasien peserta Askes PNS. Karenanya saya tak berkeberatan dioperasi di Bogor dengan catatan beliau bersedia melimpahkan waktu pemeriksaan pasien kepada dokter bedah umum itu lagi. 

"Kalau dikemoterapi sekali lagi bagaimana?" Tantangnya sambil memperhatikan kesungguhan saya. "Itu tak jadi soal, sebab selama ini saya tak kena efek buruk seperti kebanyakan pasien lain. Bahkan kepala saya sekarang pun sudah mulai ditumbuhi rambut juga bisul-bisul saya mengering sembuh," jawab saya ringan. "Alhamdulillah kalau begitu, jadi kemo saja lagi ya mbak?" Tantangnya tajam yang segera saya sambut dengan anggukan tegas. 

Sejurus kemudian beliau mulai menyiapkan surat-surat keperluan persiapan kemoterapi saya yang diistilahkan sebagai "protokol kemo". Sementara itu jeng Ninik yang dulu saya panggil bu Zuster membantu saya dengan sepenuh hati termasuk kemudian mengantarkan saya secara khusus ke apotik untuk menyerahkan resep-resep obat kemoterapi saya dengan pesan khusus. Saya merasa bersyukur dan amat bahagia karenanya. Ternyata, saya masih harus menjalani sekali lagi kemoterapi itu sebelum kelak saya dioperasi untuk membuang jaringan yang mengganggu dan menyakiti saya. Tak apa saya lakukan dengan ikhlas, selama masih ada ketulusan cinta kasih orang-orang di sekitar saya, jalan panjang menuju ke kesembuhan bukan hal yang membuat saya menderita. Dunia tetap saja indah adanya.

(Bersambung)

14 komentar:

  1. gak papa bund sekali lagi.....kalo itu yang terbaik

    semangaat!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, saya ikhlas kok. Nanti kalau kata apoteker ada obatnya, saya dikemo tanggal 1. SEMANGAT!!!!

      Hapus
  2. gapapa ceu. itu kan diluar kendali diri kita. fay lebih sering tantrumnya. hehehe
    sing sehat ah. aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha........ leres pisan! Tapi pan teu lucu nini-nini uring-uringan teh nya? :-D

      Salam sono ah, mugia neng Fay ayeuna tos anteng, tara udar-ider ka bumi Apih deui. Keukeup pageuh nya?!

      Hapus
  3. tinggal sekali lagi kemonya ya bun...

    tetap semangat bunda...

    doa untuk kesembuhan bunda

    btw temper tantrum, baru dengar sekali ini bunda ;)

    salam
    /kayka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih kak, saya mesti persiapkan diri betul-betul. Semakin banyak nih yang sayang sama saya, tiap hari doa selalu mengalir untuk saya dari mana-mana. Tadi sore aja sahabat karib saya di Kemenlu SMS nanya operasi jadinya kapan karena saya nggak ngabarin sehabis kemo dan kontrol terakhir. Alhamdulillah dan doa baik saya kembali untuk anda semua yang sudah mendoakan saya ya, semoga Allah selalu menyehatkan

      Gak pernah dengar temper tantrum? Itu istilah untuk anak kecil yang rewel banget nggak mau dibujukin gitu lho. Mirip kan sama saya, ngambek terus nih hihihihi.......

      Hapus
    2. sami2 bunda. ikutan senang membacanya.

      hihihi iya bun asli ketinggalan nih soal temper tantrum. siiip d skrang udah ngerti :)

      salam
      /kayka

      Hapus
  4. cup...cup... jangan ngambek lagi ya, Bund...
    Sini pelukan dulu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, malu sih ya ngambek melulu hihihihi........

      Peluk balik ah! Nuhun cik.

      Hapus
  5. itu kalu lagi hotflush dulu sering mbak kalu menopaus, rasanya mo ngamuk, tapi jadinya lari ke berenang sampe cape jadi ga mikir ngamuknya, trus tidur deh..
    efek kemo emang macammacam ya.. mainan hormon..

    btw, dokternya kog lucu kasih pilihan kemo apa operasi? akhirnya ditantang kemo juga.. semoga lancar ya mbakyu.. dan bisulbisulnya itu kaya bisul keluar nanah gitu? segede jagung? apa segede ketumbar?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Serupa bener sama orang menopause. Cuma yang sekarang kan karena efek kemo, jadi ngerti apa penyebabnya dan akibatnya kepengin udahan aja kemonya. Cuma belum bisa, ya nyerah deh, kan dokter yang tahu persis apa pertimbangannya langsung operasi atau nambah sekali kemo lagi.

      Bisul saya ada yang segede kemiri, ada yang cuma segede kacang tanah doang. Disalepin pake antibiotik, kempes di situ, eh numbuh di tempat lain. Kayaknya saya mesti minta antibiotik per oral yang dimakan gitu deh.

      Hapus
  6. Halo Bunda Julie :)
    Semoga lekas membaik dan sembuh yah... :)
    Merasa tersemangati dengan mebaca tulisan Bunda Julie ini. Terima kasih sudah berbagi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo lagi jeng Rana. Apa kabar? Semoga selalu sehat walafiat dan masih terus setia menghasilkan karya-karya seni yang bagus ya.

      Terima kasih atas doa dan sapaannya. Insya Allah saya akan terus berbagi, apalagi kalau melihat riwayat pembaca datang ke dashboard saya kelihatannya mereka memang butuh suntikan semangat juga sih :-)

      Salam kangen.

      Hapus

Pita Pink