Powered By Blogger

Rabu, 15 Mei 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (59)





Belajarlah hingga ke negeri Cina, begitu pepatah lama berakar di dalam masyarakat Indonesia. Bahkan "indoktrinasi" itu pun ada di dalam ceramah-ceramah agama, yang menandakan bahwa sejak dulu kala ras Cina diakui Allah sebagai ras yang pandainya bukan main. Kita tak perlu takut-takut belajar dari Cina kalau kita ingin menjadi lebih baik, ingin maju, dan seterusnya. Begitulah intinya.

Pepatah itu kini bisa berubah menjadi "Berobatlah hingga ke negeri Cina". Percaya atau tidak, untuk para penderita kanker itu ada benarnya. Tidak hanya pada diri saya saja yang selama ini mendobeli pengobatan medis empiris dengan pengobatan a la Cina, yakni totok syaraf dan herbalnya, melainkan pada pasien-pasien kanker lainnya seperti yang ditulis sebuah harian nasional besar hari ini. "PENYAKIT KANKER Kolaborasi Obat Tradisional dan Modern bisa Effektif", demikian tulis SKH Kompas (16/05) di halaman 14 yang saya baca sambil sarapan barusan.

Berita yang ditulis dari Guangzhou sehubungan dengan Pertemuan Tenaga Medis dan Media dari Cina, Indonesia, Hongkong dan Makau itu menyatakan bahwa di RS Tumor Nanyang di Guangzhou yang dirintis tahun 1978 setidaknya 120.000 pasien tumor disembuhkan dengan tingkat hidup di atas 5 tahun mencapai 83,3 persen. Mereka menerima terapi herbal di sana, yang merupakan metoda pengobatan orang Timur, selain juga menjalani pengobatan Barat secara medis empiris. Karena keberhasilannya itu RS di Amerika Serikat pun mulai melirik penerapan pengobatan medis yang dikolaborasikan dengan pengobatan empirik ini. Tak heran kiranya, sebab dikutip Kompas, seorang perawat asal Surakarta yang sedang bekerja di RS Nanyang itu mengatakan bahwa pengobatan herbal ini memang menjadi andalan. Terbukti para pasien di situ antibodi atau zat kekebalan tubuhnya serta nafsu makan tidak menurun. Padahal umumnya pasien yang menerima kemoterapi merasa sel darah putihnya turun, antibodinya berkurang dan tidak bernafsu makan.

Saya setuju benar dengan pernyataan ini. Sebab selama menjalani pengobatan dari sinshe saya yang memang orang Indonesia bernenek moyang dari Guangzhou, saya tak pernah menjadi sesakit pasien kemoterapi pada umumnya. Kadar haemoglobin saya senantiasa dinyatakan baik dan siap untuk menjalani kemoterapi berikutnya, bahkan saya boleh dikata tidak pernah muntah-muntah. Hanya nafsu makan saja yang berkurang, meski toch dengan dipaksakan saya masih sanggup menelan makanan tanpa ada yang keluar lagi. Kelemahan perut saya hanya sedikit, sehingga tubuh saya masih kelihatan segar-bugar. Banyak orang yang menengok saya maupun bertemu secara tak sengaja yang terkagum-kagum karenanya. Adapun berkurangnya antibodi saya hanya pada kulit kepala yang ditumbuhi bisul-bisul kecil yang tidak parah. Saya beruntung tidak sampai mengalami sariawan di seluruh rongga mulut apalagi hingga ke kerongkongan seperti yang dikeluhkan para pasien pada umumnya. Percaya atau tidak, obat dokter tidak banyak diberikan kepada saya. Sekarang pun saya hanya mendapat asupan asam folat, obat pereda nyeri serta anti mual yang amat sangat jarang saya telan.

***





Herbal adalah unsur alamiah yang diciptakan Allah. Semua orang pasti menyetujui pendapat saya ini. Dan bagaimana pun juga orang yang tak meragukan Allah beserta penciptaanNya tak bisa mengingkari bahwa herbal baik yang berupa sayur-sayuran, buah-buahan, umbi-umbian maupun dedaunan dan akar-akaran banyak manfaatnya bagi tubuh. Di salah satu media internet pernah saya baca bahwa menurut penelitian/uji klinik yang dilakukan di luar negeri (Perth) sesungguhnya banyak tanaman yang mengandung unsur teurapetik (penyembuhan) tapi perlu digali dulu secara uji ilmiah. Tak sia-sia memang Allah menciptakan segala tetumbuhan.

Contohnya flavonoid, pigmen yang memberi warna pada tumbuh-tumbuhan mempunyai banyak kegunaan antara lain menekan radang, mengontrol kadar gula darah, memperbaiki respons imun, melawan sel kanker dan memproteksi terhadap serangan jantung. Pernyataan ilmiah ini sejalan dengan pendapat sinshe saya yang menyebutkan bahwa mengonsumsi buah-buahan berwarna cerah serta sayuran hijau tua brokoli dan bayam misalnya, amat baik untuk penderita kanker. Itu sebabnya saya diharuskannya mengonsumsi buah-buahan baik berupa buah segar maupun berupa juice setiap hari.

Akan tetapi flavonoid dalam buah-buah apa sajakah yang cocok untuk penderita kanker, itu perlu dipelajari lebih lanjut. Sebab artikel ilmiah tadi menuliskan bahwa kadar dan tipe flavonoid dalam tumbuhan bervariasi di dalam tiap jenis tumbuhan. 

Dalam artikel itu ditulis bahwa kanker merupakan penyakit peradangan. Ketika tubuh memproduksi radang sebagai reaksi terhadap luka atau infeksi, akan diproduksi molekul organik yang siap bereaksi (substrat) yang juga dapat mempengaruhi tumbuhnya kanker.

Bila terjadi radang kronis seperti tukak yang disebabkan bakteri di dalam perut, maka konsekuensinya tidak hanya memicu terjadinya kanker melainkan sekaligus memicu pertumbuhannya. 

Flavonoid itulah yang berperan dalam memerangi kanker baik sebagai antiradang, antikanker, dengan merangsang kematian sel kanker, antipenyebaran sel, antipertumbuhan sel darah baru bahkan mampu meningkatkan kerja kemoterapi serta mengurangi efek racun pemberian kemoterapi pada sel-sel tubuh yang masih sehat. Inilah kehebatan dari herbal. Maka tak ada salahnya jika sekarang kita kombinasikan saja kedua metoda pengobatan itu, medis empiris yang menganut aliran penelitian ilmiah barat dengan herbal yang juga sudah diteliti pakarnya secara penelitian timur. Bahkan saya jadi berharap, tak harus bergantung jauh-jauh ke negeri Cina, pakar pengobatan jamu Indonesia pun sebaiknya terus meneliti kemungkinan pemanfaatan tetumbuhan Indonesia untuk menekan kematian akibat kanker.

***




Catatan saya di atas bukan tanpa bukti hari-hari terakhir ini. Kemarin adalah saatnya saya diterapi sinshe. Saya mengeluhkan nyeri di sekitar ketiak saya yang imbasnya sampai ke tengah-tengah rongga dada karena saya sempat kehabisan stock jamu sinshe selama beberapa hari. Pasalnya jamu yang sudah dipermodern sehingga harga jualnya bisa ditekan sekaligus memudahkan pasien mengonsumsinya, ditempatkan di selongsong kapsul yang mirip satu sama lain. Sebagai orang awam yang tidak tahu-menahu saya keliru menandai obat-obatan itu. Sehingga ketika minggu lalu saya pergi berobat kepadanya, saya katakan bahwa saya kehabisan vitamin yang penampakan kapsulnya sangat serupa dengan jamu anti inflamasi/radang. Akibatnya saya jadi kelebihan suply vitamin tapi kehabisan sama sekali jamu anti radang itu. Baru kemarin sore sinshe saya menunjukkan, bahwa sebetulnya keduanya berbeda wajah. Sebab yang satu di selongsongnya ditandai dengan huruf kanji Cina untuk menamai, sedangkan vitamin tidak memakai tanda huruf. Ah ya, alangkah tidak telitinya saya.

Sinshe kemudian menotok syaraf saya dimulai dari telapak kaki terlebih dulu. Dia bilang, betul ada sedikit peradangan di kelenjar ketiak saya yang meningkat keaktifannya. Tapi tidak separah yang diduga. Apalagi saya katakan saya sempat mengonsumsi buah-buahan lebih banyak sebagai ganti jamu yang tak ada itu atas inisiatif saya sendiri. 

Selanjutnya kata sinshe, daya tahan tubuh saya masih cukup bagus. Sel-sel darah saya tidak ada yang terganggu. Pencernaan pun demikian, hanya menimbulkan berkurangnya nafsu makan namun saya tak sampai mual-muntah. 

Betul sekali, sinshe saya tepat! Sampai saat ini saya tidak seperi kebanyakan pasien lain, masih mampu makan dengan baik. Bahkan terkadang saya ingin makan yang tidak-tidak, yang tentu saja melanggar aturan diet sinshe saya. Benar-benar bisa dipercaya bahwa kolaborasi pengobatan tradisional dengan medis itu membawa manfaat. Lihatlah pada diri saya, ini contohnya yang nyata. Alhamdulillah!

(Bersambung)

6 komentar:

  1. jadi pengen berguru sama sinshe nih.. *eh?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sinshe saya nggak buka kursus. Katanya, kemampuan ngobatin orang mesti dipelajari turun-temurun langsung belajar dari kampung halaman nenek moyangnya di Guangzhou. Dia dulu dibawa kakeknya ke sana umur 5 tahun, dan baru diizinkan pulang delapan belas tahun kemudian ke Kalimantan. Di sana dia masuk ke kuil Shaolin. Di sana yang belajar juga macam-macam keahliannya, nggak semua tukang ngobatin. Yang sebagian tukang bikin obatnya. Nah pabrik jamunya itu di Cina sana, makanya di Indonesia harganya jadi mahal.

      Untung sekarang keluarga sinshe saya bisa menekan harga jamunya, dengan cara ada yang dibuat ekstrak seperti yang saya konsumsi. Jaman dulunya semua merupakan jamu godogan yang pahitnya luar biasa itu plus kekentalannya amat pekat. Yang begitu harganya bisa sepuluh kali lipat daripada ekstraknya. Tapi menurut saya sih, yang ekstrak juga ada manfaatnya. Nyatanya saya bisa menekan penyebaran sel kanker dan jaga stamina saya termasuk saat dirusak sama obat-obat kemoterapinya RS.

      Cobain deh berobat ke dia, saya tunggu di sini atau mau ke Bekasi, nanti saya kasih alamatnya praktek di Bekasi.

      Hapus
  2. Wah, promosi Sinshe ini ceritanya Bunda :D
    Alhamdulillah, dari jurnalnya sepertinya sekarang Bunda sudah agak sehat... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tapi bukan asal promosi, karena saya sudah membuktikan sendiri. Masih di Taiwan ya? Coba deh iseng-iseng totok syaraf di sinshe, enak juga kok.

      Hapus
  3. Nggak tahu kenapa tapi memang ilmu pengobatan china sdh lebih dulu unggul sejak dulu, kenapa ya ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut saya karena ras Cina merupakan orang yang tekun dan selalu mengupayakan memanfaatkan semua yang dikaruniakan Tuhan, jadi mereka selalu maju. Mungkin begitu ya........?

      Hapus

Pita Pink