Kejutan! Selalu saja ada kejutan di dalam rangkaian kehidupan saya. Tak habis-habisnya, semua datang bersusul-susulan satu demi satu. Tanpa kecuali hari kemarin, ketika saya menjalani kemoterapi saya yang ketiga, yang sedihnya tidak juga diawasi sendiri oleh onkologis saya, karena dokter yang satu ini sibuk mengoperasi para pasiennya seharian sehingga tak punya kesempatan untuk keluar menjenguk ruang kemoterapi yang diisi 3 orang pasiennya ditambah tentu saja satu pasien sejawatnya. Namun tak mengapa, dokter bedah umum yang biasa menggantikan beliau tetap bersedia menjalankan tugasnya dengan ketelitian yang saya akui tak ada bandingnya. Alhamdulillah!
Kejutan kemarin dihadiahkan oleh kerabat saya yang jarang berhubungan meski beliau cuma tinggal di Jakarta saja. Masalahnya saya jarang ke luar rumah dan beliau sendiri juga sibuk bersama keluarga besarnya.
Tengah saya menunggu saatnya jarum infus dimasukkan, di antara keluar masuknya para petugas rumah sakit ke ruang kemoterapi tiba-tiba masuklah salah seorang perawat yang saya sudah sering berhubungan dan merupakan favorit saya. Wajahnya yang bulat, dihiasi senyuman, membuat saya menyukainya. Cantik, "moblong-moblong", begitu selalu saya gumamkan kepada anak saya yang menemani saya ke klinik dokter spesialis penyakit dalam tempatnya bertugas. Saya sudah menduga dia orang Jawa meski saya tak berani menanyakan dari mana asal orang tuanya.
Saya sempat mendengar beliau menanyakan nama saya kepada teh Nining, perawat onkologis yang juga saya sukai. Bersama bu Hajah, perawat berhidung mancung dengan wajah tirus hitam manis beliau menjawab bahwa saya ada di bilik ujung. Lalu perawat moblong-moblong tadi masuk menghampiri saya. Setelah menjawab bahwa saya adalah pasien dokter onkologis yang dicarinya, dia pun tersenyum. Sambil mengulurkan tangannya dia menanyai saya apakah saya mengenal bapak "M" yang namanya tak asing lagi di telinga saya sebab beliau merupakan kerabat kami. Ketika di awal tahun '60-an beliau akan menyelesaikan penulisan skripsinya di Universitas Gajah Mada, beliau harus melakukan serangkaian penelitian di Bogor. Untuk itu beliau bersama sahabatnya yang saya ingat bernama mas Nara, datang memperkenalkan diri kepada orang tua saya dan sempat tinggal sementara bersama kami. Di mata saya, bapak yang ternyata mertua dari Zuster Ninik, perawat tadi, biasa kami sapa sebagai mas Ranto, berwajah tampan dengan tubuh yang tegap. Kumisnya yang mentereng selalu tercukur rapi sehingga meskipun waktu itu saya masih di TK tetapi saya tidak pernah takut jika disapa dan didekati beliau. Bahkan seringkali kami bepergian bersama mencari angin di waktu sore atau Minggu bertamasya ke Kebun Raya yang merupakan satu-satunya tempat rekreasi waktu itu.
Mas Ranto dan istrinya yang juga moblong ramah, mbak Erna, bahkan pernah menengok saya ketika keluarga saya masih utuh menetap sementara di Austria. Jarak jauh yang harus beliau tempuh semalaman dengan Eurostar dari Jerman tidak menyurutkan langkah untuk mencari saya. Kami pun sempat berjalan-jalan melihat-lihat keindahan pusat kota Wina sambil menemani beliau mencari pernak-pernik yang berkaitan dengan musik klasik termasuk patung Wolfgang Amadeus Mozart yang terkenal itu. Dan yang mengharukan saya, di waktu sore beliau mengingatkan mantan suami saya untuk berbelok ke "Koffie Konditorei" alias kedai kopi karena katanya, mata saya sudah merindukan secangkir kopi kental yang mengepul-ngepul. Tentu saja mantan suami saya terperangah karena tak menyangka beliau mengenal kebiasaan saya sejati. Lalu dengan menggoda mas Ranto menjawab bahwa sejak balita saya selalu minum kopi pagi dan sore sambil duduk dengan ibu dan bapak saya pada waktu tea time. Wah, tak dinyana bukan?!
Saya bertanya kepada mbak Ninik yang masih memanggil saya dengan sebutan tante selayaknya orang asing bagi keluarga saya, namun segera bisa menyesuaikan diri dengan memanggil bulik atau ibu saja sebagaimana lain-lainnya, dari siapa dia tahu keberadaan saya hari itu. Pasalnya saya tidak pernah mampir memberitahukan jadwal kemoterapi saya yang diundur ini ke klinik dokter ahli penyakit dalam boss beliau. "Dari Papa kelihatannya, sebab saya terima BBM dari Mama tentang tante," katanya. Saya tak merasa yakin akan jawabannya, pasalnya saya merahasiakan penyakit saya kepada keluarga besar saya, kecuali orang-orang terdekat saya atau anak-anak saya, yakni mereka yang menjalin kontak di Facebook dengan mereka. Belakangan setelah tiba di rumah baru saya ketahui dari kakak saya bahwa ibu mertuanya tadi pagi menelepon sehingga akhirnya kakak saya berterus terang. Subhanallah, sungguh tak disangka-sangka, di RS yang lumayan lengkap untuk ukuran kota kami ini ternyata saya punya kerabat yang sewaktu-waktu saya harap bisa menjadi penghubung kalau saya mengalami sesuatu kesulitan dengan pihak rumah sakit. Alhamdulillah!
***
Tentu saja Zuster Ninik tak bisa berlama-lama menemui saya, beliau cuma menyampaikan doa dan salam dari keluarganya sebab harus segera menunaikan tugasnya. Tapi kami berjanji untuk senantiasa menjalin hubungan sejak itu. Berturut-turut dengan itu, perawat jaga mengukur tensi saya yang alhamdulillah terkontrol baik karena saya sekarang rutin mengonsumsi obat penurun tekanan darah yang diresepkan oleh atasan mbak Ninik. Setelah itu sambil menunggu datangnya dokter jaga ruangan saya mencuri-curi dengar percakapan perawat dengan para pasien. Ibu yang tepat di sebelah bilik saya sama-sama merupakan pasien dokter onkologi saya seperti halnya pasien di bilik VIP yang saya dengar memakai obat kelas satu yang baru saja launching itu, yakni Herceptin yang dulu diagendakan juga untuk saya namun tak terbayar karena harganya yang lima puluh dua juta rupiah untuk sekali kemoterapi. Sedangkan seorang lainnya adalah pasien onkologis satunya. Tapi sayang entah dengan alasan apa, onkologis yang ini tidak menampakkan diri hingga selesai dikemoterapi. Seperti yang sudah-sudah memang biasa beliau harus selalu ditelepon dulu berulang-ulang kali oleh para perawat jaga.
Setelah agak jemu barulah datang dokter jaga ruangan yang kembali memeriksa kesiapan fisik saya. Semua dinyatakan sangat baik seperti biasanya, yang saya duga karena diet ketat saya ditambah konsumsi obat-obat herbal dan totok syaraf itu. Beliau kemudian menginstruksikan untuk memulai kemoterapi, daripada terlalu lama menunggu dokter bedah datang sebab beliau baru saja mulai dengan beberapa pasien di kliniknya.
Sebagaimana biasanya, saya cuma diinfus sambil duduk dengan prosedur yang sama juga, yakni pengguyuran cairan di dalam tubuh dengan seliter Natrium Chlorida, baru dimasuki obat infus pertama yang berwarna putih. Sambil diinfus obat pertama dimasukkan kemudian obat-obatan lain melalui suntikan lewat slang infus sehingga menghasilkan efek "berkesan" seperti yang sudah saya ceritakan dulu.
Kemoterapi sekarang bagi saya nyaris tak ada rasanya lagi. Sepertinya tubuh saya jadi terbiasa. Obat-obatan yang banyak itu masuk dengan sukses ke tubuh bahkan disertai obrolan-obrolan saya sepanjang siang baik dengan keluarga saya yang datang menemani maupun dengan para perawat di ruangan kemoterapi. Pun ketika obat suntikan yang menurut orang umumnya terasa sakit sewaktu dimasukkan, saya tidak bereaksi, bahkan terus saja berbincang sehingga salah seorang perawat menanyai apakah saya tidak kesakitan. Saya hanya tertawa kecil, sebab walau waktu jarum infus akan ditusukkan saya agak merasa seram, tetapi saya sih sudah kebal dengan semua prosedur rumah sakit. Maklum setelah kemoterapi ini akan tiba saatnya saya menjalani operasi yang kedua belas kali sepanjang hidup saya. Oh ya soal seramnya tusukan pertama tadi, lebih disebabkan oleh celetukan Zuster Nining yang mengatakan bahwa kali ini lokasi pengambilan nadi terbaik adalah di pangkal ibu jari saya yang pasti lebih sakit dibandingkan di daerah lainnya. Padahal sih setelah jarumnya masuk, ah, "cipiiiiillllll......." :-D
Saking asyiknya mengobrol dua-tiga kali labu infus habis isinya tanpa ketahuan. Untung ketika saya merasa ingin ke kamar kecil lagi untuk menguras isi kandung kemih seperti kebanyakan pasien kemoterapi lainnya, mata saya dan kemenakan matan suami sama-sama tertumbuk ke infus. Darah sudah berbalik naik dari pembuluh darah saya, sementara tetesan sudah berhenti sama sekali. Untung belum sampai menimbulkan gelembung udara yang akan membahayakan kerja jantung sehingga menewaskan pasien. Saya cuma bisa tersenyum kecut, begitu juga perawat yang melayani saya dengan baik. Agaknya mereka tengah berkonsentrasi kepada pasien di samping saya yang mengeluhkan nyerinya. Walau dia pulang pergi sendirian ke RS dari rumahnya di wilayah Kabupaten, ternyata dia menderita kanker tulang yang mengakibatkan nyeri itu. Tapi Subhanallah untuknya, dia mampu menyelesaikan seluruh perjalanan ganti berganti angkutan kota sebegitu seringnya. Tak terbayangkan andaikata saya yang harus mengalaminya. Pasalnya dengan rela dia melepaskan suaminya pergi bekerja, sementara anak-anaknya tinggal jauh di luar kota bahkan yang bungsu di rumah pun pergi sekolah. Begitu rupanya nasib masing-masing orang, untuknya saya mendoakan semoga Allah memberkahinya dengan kekuatan yang banyak. Apalagi ketika saya pulang maghrib yang berselisih tiga jam sejak kepulangannya, hujan mengguyur kota kami sangat deras disertai lolongan guruh dan petir yang sahut menyahut mewarnai angkasa kelam. Bagaimana jadinya andaikata ibu tadi masih di jalanan, pikir kami sekeluarga. Akhirnya saya tiba di rumah waktu Isya karena kelamaan menunggu obat di apotik meski angkutan kota yang kami sewa berkat jasa anak pengojek payung mudah didapat. Tapi kejadian seperti ini bukan kali pertama, sebab berhubung banyaknya obat yang saya terima, maka saya selalu jadi pasien yang paling akhir selesai dikemoterapi. Tak apalah, saya akan sembuh juga karenanya.
Itulah satu-satunya foto tempat perawatan saya yang saya dapati dari internet. Bogor tak pernah tidak kena hujan. Baik pagi maupun malam hujan selalu membasahi bumi seperti yang tampak di gambar itu. Ya, mau bagaimana lagi, kota kelahiran saya memang berjuluk "Kota Hujan" sih....?!
(Bersambung)
moblong temenan pancen bund ponakane....hi.hi.
BalasHapusNyata, 'kan?! Hehehe.........
Hapuskalau bunda dapat kejutan ketemu saudara, lha ini kejutan ato apa ya ketemu mas Emil ning kene alias mas Pacul xixixixi
Hapusbunda, mudah2an menjelang operasi semua tetep berjalan lancar dan Allah memudahkan segala sesuatunya untuk bunda dan keluarga. Amin
istilah moblong2, lha kok jowo tenan hehehhe
Saya memang masih follow-followan kok dengan bapaknya mbak Hani. Habis tulisannya mas Emil walau pun singkat-singkat tapinya loetjoe poll! :-)
HapusSemoga doa jeng Lala didengarkan Allah, terima kasih atas kebaikannya, saya juga inginnya semua dimudahkanNya, karena kasihan sama anak-anak saya.
Hayo, kalau pakai istilah bahasa Indonesia, moblong itu apa coba?
Alhamdulillah lagi ya Bu,nggak putus2 nikmat Allah buat Ibu.
BalasHapusO ya, Ibu bikin akun facebook aja Bu, banyak sahabat yg ingin ketemu Ibu disana. Ibaratnya, Di facebook, temen2 yg blognya sdh tdk satu naungan lagi tp ketemu semua di FB,lebih mudah utk sharing info, termasuk share tulisan ibu ini. Jadi Ibu tetap bisa menulis di blog Ibu, tapi sharingnya diperluas dengan menggunakan FB.
Iya, sungguhan. Kan nggak mungkin rasanya kita bisa ketemu saudara di tempat yang ramai gitu ya? Tapi memang sih kalau Allah yang mau mempertemukan, nggak ada yang mustahil. Alhamdulillah sekali.
HapusFB? Enggak ah. Terima kasih aja, salam sayang untuk mereka semua ya, terutama ummi Mia yang amat peduli kepada saya seperti halnya neng Winny.
*peluk cium*
wah asik malah ketemu "sodara"..
BalasHapusmmhh bener tuh mbak jangan buka fb deh.. ribet disana.. baru maren daku "ngeh" kalu fb terlalu open public, bisa sih kita seleksi ehtapi tetep ribet.. udah asik aja begini.. silahturahmi kan ga perlu fb pun bisa..
pelukpeluk..
Iya saya sadari itu. Makanya saya mendingan di lahan bermain beginian aja, nggak banyak yang punya akun, tapi banyak yang bisa baca dan nggak banyak yang mau komen. Jadi kita nggak bakalan tersinggung berat.
HapusLihat di dashboard, banyak banget ternyata yang datang ke blog saya ini. Dari luar negeri kebanyakan. Amerika setiap hari lapor jumlah di atas seratusan. Rusia, saya heran nih, entah menjangkau negara mana aja, juga puluhan, selanjutnya negara-negara Eropa Barat, Asia dan negara-negara di Pasifik. Yang di Pasifik sih saya tahu, teman saya sendiri sebab lagi posting di sana :-)
Itu perawat moblong saya sudah naksir sejak pertama ketemu, cuma mau nanya asalnya dari mana kok ragu-ragu. Takut dibilang sok akrab. Dasar memang ada kaitan rupanya, lha kok malah dia yang datang duluan nanya sama saya. :-)