Powered By Blogger

Senin, 13 Mei 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (58)







Nyeri. Itu perasaan yang timbul di tumor pada kelenjar ketiak saya semalam. Padahal sebelum tidur saya sengaja menelan obat pereda nyeri terlebih dulu untuk mengantisipasi seandainya tiba-tiba sengatan sakit itu datang di saat seharusnya saya lena dalam mimpi. Ketika dokter memeriksa saya di ruang kemoterapi kemarin dulu, beliau bertanya tentang rasa sakit itu. Sehebat apa saya menilainya. Secara jujur saya katakan di atas angka 6, yang artinya nyaris tak tertahankan tanpa bantuan obat. Sehingga akhirnya beliau mengalah menuliskan resepnya untuk saya, meski ternyata kemudian dicoret entah oleh siapa sebelum diserahkan kepada petugas apotik. Saya pun kemudian mengiba kepada perawat sebab saya rasa tak mungkin saya menahan nyeri yang boleh dikata sering datang itu tanpa obat dokter. Apalagi jamu herbal dari sinshe yang diklaim teman baik saya membantu menghilangkan rasa nyerinya, untuk saya tak membawa efek sebaik itu. Ya, setiap orang tentu punya daya tahan tubuh sendiri-sendiri, bukan?!

Jadi begitu bangun tidur dan turun ke ruang makan, yang pertama saya lakukan tentu saja seperti biasanya menyeduh kopi, membuat juice untuk sarapan pagi lalu mandi. Tapi hari ini saya sengaja makan dulu sebelum mandi. Sepiring ketan dengan semug teh jahe mengiringi kopi yang duluan masuk ke perut sebagai "pembuka aura pagi". Segera setelahnya saya menelan obat sebab denyutan di area tubuh saya yang sakit tak juga kunjung mereda. Dalam pada itu, saya sambil menonton televisi menjaring berita yang sayangnya kemudian diikuti berita duka cita tentang meninggalnya seorang presenter cantik, Nira Stania dalam usia 38 tahun. Kata berita tadi, setelah dua tahun mengidap kanker payudara ~yang sayangnya selama ini tak pernah ditampakkannya di layar kaca~, beliau berpulang menyerah kepada ganasnya penyakit ini. Innalillahi wa innailaihi rajiun. Semua yang bernyawa memang kepunyaanNya, dan akan kembali ke haribaanNya jua. Saya mendoakan yang terbaik bagi almarhumah Nira yang meninggalkan dua buah hati kecil-kecil seorang gadis berumur sekitar sebelas tahun dengan adik lelakinya yang kira-kira baru tujuh tahun saja. 

Berita meninggalnya Nira membuat saya terpukul juga. Sebab selama ini kalau saya melihatnya membawakan acara dengan baik di televisi, saya tak melihat bahwa dia dalam keadaan sakit. Padahal terus terang saja, saya baru sekitar satu-dua tahun ini mengamati wajahnya yang cantik dengan serius sebab dulunya dia selalu tampil pagi hari sebagai presenter berita infotaintment yang tak begitu saya nikmati. Baru sesudah dia tampil malam hari membawakan acara serius di sebuah stasion televisi ternama mata saya sering mengamati sosoknya. Tubuhnya selalu nampak fit, bugar cantik jelita. Ah, ternyata begitu pandainya dia menyembunyikan semua rasa sakitnya, persis seperti kata presenter Irfan Malik teman sepekerjaannya yang dikutip internet. 

***

Hari ini saya pun cuma berbaring di kasur sejak pagi hingga gelap malam. Bukan karena saya membayangkan kepergian Nira, melainkan kebetulan pula sakit yang mendera saya tak juga kunjung reda meski saya sudah minum obat. Dengan tidur saya berharap semuanya akan berlalu.

Nyatanya saya malah bermimpi. Di mimpi itu saya seakan-akan sedang bepergian beramai-ramai dengan suatu komunitas orang-orang muda yang memiliki anak-anak kecil naik sebuah mobil yang padat. Riuh sekali suasana di dalamnya. Tapi saya amat menikmatinya. Mobil berjalan menyusuri daerah tandus berbatu-batu yang mendaki tajam lalu menikung dan menukik. Saya tak tahu kami ada di mana dan akan ke mana. Yang jelas kami sepertinya berpiknik sampai akhirnya kami berhenti di sebuah tempat. Di situ kami turun. Saya mengambil air sembahyang lalu mencari tempat bersujud, sementara yang lain berpencaran sendiri-sendiri. Di antaranya ada yang berziarah ke sebuah makam keramat di daerah bukit. Entah bagaimana selanjutnya, yang saya ingat akhirnya adalah kami kembali naik mobil itu yang katanya akan dipakai mengantarkan saya ke tempat tinggal saya.

Keringat dingin membasahi pakaian saya di balik selimut begitu saya terjaga. Kedua anak saya ada di dekat saya sedang bermain games berdua. Nampaknya mereka sengaja ingin menemani saya, khawatir terjadi sesuatu pada diri saya. 

Mata saya nyalang melihat ke luar jendela. Matahari sudah redup. Bergegas saya menyebut nama Allah dan menggusur kaki ke kamar mandi. Saya nyaris terlambat menunaikan sembahyang sore hari. Maghrib hampir tiba. Anak-anak saya bilang mereka sengaja tak mau membangunkan saya, sebab takut saya terganggu dari tidur nyenyak saya. 

Sepercik-dua percik air menyadarkan saya sepenuhnya bahwa saya masih diberi panjang umur untuk terus-menerus mengabdi kepadaNya. Maka segera saya ambil telekung saya dan saya tunaikan Ashar yang tertunda jauh. Sambil berkomunikasi dengan Allah Swt air mata saya nyaris tumpah. Saya betul-betul ketakutan akan segera diambil menghadap kembali kepadaNya. Sebab saya tak kuasa juga mengatasi rasa nyeri yang kini terasa hingga di belahan dada saya. Tapi saya coba untuk menahan lelehan itu, hingga akhirnya saya larut kembali di dalam dzikir yang menyambungkan saya hingga ke waktu Maghrib. 

Lalu selepas maghrib saya gunakan untuk mengobrol dengan anak-anak supaya hati saya terhibur. Tapi saya ceritakan juga soal mimpi itu. Anak-anak tak berkomentar banyak. Mereka cuma minta saya senantiasa menyebut nama Allah dan menenangkan diri. Siapa pun tahu itu, batin saya. Akhirnya saya beranjak ke muka layar komputer pribadi saya untuk melanjutkan mengetik satu-dua baris isi hati saya. Tapi, ah, sayangnya saya belum mampu berkonsentrasi.

Akhirnya saya kembali ke atas kasur selepas makan malam. Hanya diselingi dengan menonton televisi sejenak. Jauh di dalam hati saya tetap ada rasa was-was akankah penyakit saya meruyak kembali? Semoga saja tidak. Hari-hari yang indah masih menantang untuk disambangi. Siapa bilang saya tidak ingin menikmatinya? Insya Allah kalau saya istirahatkan tubuh saya, saya pun bisa menikmati semuanya. Yaitu kemegahan alam yang sudah sangat lama tidak saya kunjungi disebabkan keterbatasan tenaga saya sekarang. 

(Bersambung)
 

6 komentar:

  1. Balasan
    1. Insya Allah ya nak Umar, tapi pasti akan saya upayakan sih. Sebab sudah terlalu banyak pengorbanan sanak saudara dan kerabat saya untuk saya, sehingga kalau saya menyerah begitu saja mereka pasti akan sangat kecewa.

      Terima kasih ya sudah selalu mendorong semangat saya dengan "nengok" saya tiap ada kesempatan di sini. Salam hangat, semoga Allah membalas kebaikan nak Umar.

      Hapus
  2. waktu dikasih tahu soal nira langsung inget mbakjulie loh.. hebat ya dia ga ketahuan, daya tahannya luar biasa.. seperti mbakjulie yang ga pernah menyerah..
    daku malah ga pernah nonton nira.. tapi tahu dia presenter, karena temennya adik juga..
    sakitnya daerah ketiak aja gitu mbak? sekarang masih sakit kah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Nira suka saya tonton di B-News alias Bank Bukopin Newsnya Metro TV kalau malam. Asyik aja mandangin wajah ayunya. Nggak nyangka dia sakit deh. Hebat beneran jeng! Saya angkat topi sama dia.

      Ketiak saya agak membengkak lagi sih.

      Hapus
  3. wah, kalo berita di tv aku ketinggalan karena sudah sebulan tv di asrama mati gara2 rusak

    ngomong2 bunda, tetep optimis ya jangan terlalu difikirkan mendalam soal mimpi atau berita yang ada. Pantang menyerah bun :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebetulnya lebih baik gitu kali ya, karena nonton TV kadang-kadang infonya menakutkan kita je. Iya nih, saya masih terus diuji, tadi dokter bilang kemonya sekali lagi karena kelenjar getah bening saya agak bengkak.

      Tetap semangat kok. :-)

      Hapus

Pita Pink