Powered By Blogger

Selasa, 07 Mei 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (55)

Nomor lima puluh lima. Tak terasa jurnal serial yang mencatat mengenai perjalanan penyakit saya sudah mencapai dua angka ganda yang bagus bentuknya. Artinya, penyakit saya sudah berlangsung lama, namun masih harus terus saya perjuangkan supaya saya bisa mencapai kesembuhan. 

Hal itu tentu tak mudah dan masih akan makan waktu lama, karena diri saya hingga hari ini belum juga selesai menuntaskan tahapan pertama pengobatan saya secara medis empiris seperti yang dirancang dokter onkologi saya. Bahkan hari ini adalah hari keempat saya mengalami gangguan pada pencernaan saya, yang membuat saya merasa tidak nyaman sama sekali. 

Menurut pengamatan saya, gangguan pencernaan adalah hal wajar yang biasa dialami pasien-pasien yang dikemoterapi. Akan tetapi bentuk gangguan itu berbeda-beda. Ada pasien yang terus menerus muntah-muntah, tetapi ada yang cuma sesekali saja. Mereka ini mengalami diare yang berganti-ganti dengan konstipasi, sehingga kalau dinilai sama-sama tidak enaknya. Jadi tak pernah ada pasien kanker yang sama sekali tidak menderita akibat kemoterapi yang dimaksudkan untuk membabat sel-sel ganas di tubuhnya.

Terus terang saja, saya ini perempuan biasa yang selalu dianggap orang, kuat dan tabah di dalam menyandang penyakit berat kanker payudara. Itu yang kemarin saya simpulkan dari pernyataan keluarga seorang penderita kanker yang sedang menunggu giliran berobat di RSK Dharnais (RSKD) Jakarta tempat onkologis saya tercatat sebagai PNS. 

Saya terpaksa pergi ke RS itu atas anjuran dokter saya yang berencana mengoperasi saya setelah satu atau dua kali kemoterapi lagi. Ketika saya memeriksakan diri ke klinik beliau di RS tempat saya berobat di daerah kami, beliau merasa kecewa sebab saya tak kunjung mendapat giliran dikemoterapi. Padahal rencananya saya harus dikemoterapi setiap tiga minggu sekali sebagai persiapan kemoterapi lanjutan pasca operasi yang dimaksudkan dokter menguji obat-obat kemoterapi mana yang paling cocok dengan kondisi penyakit saya. Pasalnya saya sudah sangat sering ditumbuhi sel-sel liar begini di masa lalu akibat ketidak cermatan dokter di negara tetangga menata laksana pengobatan penyakit saya di sekitar organ reproduksi yang membuat saya harus berulang kali berhadapan dengan pisau bedah.

Sayangnya saya berobat di daerah, di mana fasilitas rumah sakit amat terbatas. RS ini cuma punya satu ruangan untuk tiga pasien kemoterapi dengan jadwal seminggu tiga kali saja. Sehingga penggunaan ruangan itu membutuhkan masa tunggu yang cukup lama. Belum lagi saya ini termasuk pasien yang beruntung mendapat pengobatan gratis yang didanai oleh pemerintah melalui program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Hal ini membuat saya mau tidak mau menyerah kepada kesanggupan pemerintah menyediakan obat-obatan kemoterapi saya. Padahal saya penderita kanker payudara yang sudah cukup lanjut, stadium III-B dengan derajat penyakit yang agresif. Inilah yang dulu membuat dokter saya ngotot agar saya mencari donatur atau mengemis bantuan pemerintah untuk pembiayaan penyakit saya.

***

Dokter yang datang selepas adzan maghrib mundur tiga jam dari jadwal prakteknya semula, kelihatan sudah sangat lelah waktu menerima saya sebagai pasiennya yang pertama. Bisa dimengerti karena beliau punya tugas utama sebagai PNS di RSKD. Di sana biasanya beliau mengoperasi pasien-pasiennya termasuk pasien kiriman dari RS kami di sini, sebab tentu saja beliau punya banyak waktu untuk mengurusi pasiennya di sana daripada di sini. Selain itu sebagai pusat penanganan penyakit kanker nasional, sudah barang tentu RSKD memiliki peralatan yang canggih yang tak dimiliki sembarang RS apalagi RS di daerah. Beliau hanya bertanya jawab sejenak, tak lebih dari lima menit saja, jauh lebih singkat dari kebiasaan sinshe saya menangani pasiennya. Dalam kesempatan itu beliau bahkan tak bersedia memeriksa tumor saya dan lukanya, sebab menganggap pemeriksaan dokter bedah umum yang mewakilinya dua minggu lalu masih bisa dipertanggungjawabkan. Artinya kondisi tumor saya sekarang tidak ada bedanya dengan kondisi waktu itu. Tapi beliau menyayangkan mengapa saya tak segera mendapat giliran dikemoterapi meski beliau tahu saya adalah pasien yang berobat atas belas kasihan pemerintah. Kekecewaan nampak di raut wajah dan cara bicaranya.

Tentu saja tak mudah bagi pasien gratisan untuk mendapat obat dan mendapat kesempatan. Sebab banyak pasien-pasien lain yang mengantri. Itu sebabnya meski surat perintah kemoterapi saya sudah keluar sejak lama, tetapi saya masih tertunda. Demi mendapati kenyataan itu, dokter yang ramah dan trendy itu mengatakan ingin melanjutkan pengobatan saya di RSKD. Terutama ketika mengoperasi nanti. Tentu saja saya amat gembira mendengarnya, namun di satu sisi miris membayangkan itu dapat terlaksana. Sebab menurut teman sesama anggota Dharma Wanita Persatuan (DWP) saya yang menjabat sebagai salah satu direktur di RSKD, Jamkesda dari Bogor tidak punya kerjasama dengan RSKD sehingga saya tidak bisa memanfaatkan jasa Jamkesda untuk pembiayaan tindakan medis di RSKD.

Cara terbaik adalah saya menggunakan dana dari donatur yang memang sudah lama terkumpul. Akan tetapi tentu saja ini belum tentu bisa. Sebab, jika saya sudah mendapat dana dari donatur, mengapa pula saya masih minta Jamkesda? Terbayang pemerintah daerah akan kecewa karenanya, sebab banyak pasien tidak mampu lainnya yang bahkan untuk berobat pun sama sekali tak punya donatur seperti saya. Akibatnya, pantaskah jika saya menolak dioperasi di Bogor dengan dana Jamkesda yang sudah berhasil saya dapatkan dengan susah payah atas belas kasihan banyak pejabat di daerah tempat tinggal saya?

Galau saya memikirkan hal ini. Di satu sisi saya ingin bisa memenuhi permintaan dokter saya untuk memanfaatkan RSKD sewaktu dioperasi. Tetapi di bagian hati terdalam saya timbul rasa tidak enak hati, sebab saya melukai perasaan orang banyak terutama pihak Pemerintah Daerah yang banyak menolong mengentaskan saya dari ancaman kematian penyakit serius ini.

Onkologis saya bilang, ongkos operasi di RSKD berkisar antara 25-30 juta rupiah. Suatu jumlah yang tak terkatakan besarnya. Tetapi alhamdulillah sudah berada di tangan saya berkat kebaikan banyak pihak terutama teman-teman saya dari kalangan Korps Pejambon Enam di seluruh penjuru dunia. Mereka tentu saja tidak berkeberatan jika dana tersebut saya gunakan untuk mengongkosi operasi. Bahkan mereka akan sangat lega, sebab saya berada di RS khusus penangananan penyakit kanker yang tentunya paling piawai di dalam menuntaskan pengobatan kanker. Akan tetapi, pantaskah saya lakukan itu? Bukankah sepertinya saya tidak menaruh kepercayaan terhadap RS yang sudah ditunjuk pemerintah untuk mengobati saya? Bingung saya memikirkannya.

Kebingungan itu membawa saya berangkat ke RSKD kemarin pagi. Semuanya serba mendadak, tak terencana sebelumnya. Sebab tiba-tiba saya merasa kehilangan gairah dan nafsu makan sehingga membuat anak-anak saya khawatir. Ketambahan salep luka saya yang biasa saya beli di RSKD habis. Saya terbiasa merawatkan luka di sana mengingat RS tempat saya berobat tak punya fasilitas klinik perawatan luka dan stoma. Untung saja selalu ada pihak-pihak yang mau menolong saya, sehingga saya bisa berangkat dengan bantuan pak Jamil kenalan kami lebih dari sepuluh tahun ini. Beliau satu-satunya orang yang setia mengantarkan saya ke RS dengan anak-anak saya meski dalam suasana libur seperti yang terjadi di tanggal satu Januari dulu. Dengan meminjam mobil tetangganya saya diantarkan pulang-pergi. Semoga Allah membalas semua kebaikan dan pengorbanan pak Jamil, amin.

Dari rumah saya sudah muntah-muntah sehingga perut saya kosong dan tubuh saya lemas. Akan tetapi keinginan kuat menemui perawat luka dan pejabat administrasi RSKD yang bisa menjelaskan mengenai pendanaan operasi, membuat saya tetap bersemangat ke Jakarta. Padahal anak-anak menyarankan saya untuk menunda perjalanan itu hingga beberapa hari ke depan.

Tidak, begitu tekad saya. Secepatnya saya harus mendapat salep dan memperoleh kejelasan perkara operasi saya. Akhirnya anak-anak saya pun mengalah bahkan menyetujui dengan segera ketika saya sampaikan untuk mampir dulu bersembahyang serta beristirahat di rumah bibi mereka dari pihak ayah sepulangnya dari RSKD. Agaknya yang terpenting bagi mereka, saya tidak terlalu lelah nantinya.

***

Saya sedang duduk menunggu giliran masuk ke lobby klinik ketika saya lihat sosok teman SMA saya bersama suaminya berjalan melintas di dekat saya. Yanti namanya, pernah saya jenguk di RS tempat saya berobat karena dia menderita stroke. Untunglah sekarang dia nampak sehat dan bisa kembali berjalan gagah serta wajahnya tidak mencong sebagaimana biasa terjadi pada pasien stroke. Saya memanggilnya, dan dia menoleh lalu membelalak tak percaya. Setelah saling membuka sapaan, dia mengatakan bahwa ibu mertuanya sakit kanker payudara juga dan akan dioperasi di situ atas saran dokter yang merawat saya juga. Memang nyatanya di daerah tempat tinggal kami dokter onkologis tidak banyak, sehingga onkologis yang modis dan up-to-date itu banyak pasiennya termasuk orang-orang tua. Saya tahu persis ibu mertua Yanti sudah sangat sepuh sebab beliau dulu bertetangga dengan mertua saya.

Yanti tak habis pikir ketika tahu bahwa saya tidak lagi memiliki Asuransi Kesehatan PNS. Pasalnya dia mengira saya masih tetap dijamin oleh PT Askes sebab perceraian saya dengan ayah anak-anak di luar kemauan saya, lagi tanpa seizin atasan beliau. Menurut Yanti, ibu mertuanya akan didanai Askes. Maka ciutlah hati saya, sebab saya semakin yakin bahwa hanya pasien-pasien Askes dan mereka yang menggunakan dana pribadilah yang bisa dioperasi di situ. Artinya penerima Jamkesda tidak mungkin diterima. Ah, benar saja, anak saya memberitahukan kemudian bahwa menurut pihak Customer Care yang ditemuinya, Jamkesda dari kota kami tak punya jalinan kerja sama dengan pihak RSKD. Tak berlama-lama bertegur sapa, Yanti dan kang Lili suaminya melanjutkan acaranya menemui dokter kami yang ternyata tak memiliki klinik tersendiri di RS ini. Agaknya dikarenakan masih terbilang junior, beliau diharuskan bekerja bersama seniornya selama beberapa tahun terlebih dulu.

Begitu saya selesai mengobrol dengan Yanti, seorang wanita keturunan Arab yang duduk di samping saya tiba-tiba mengajak saya mengobrol. Padahal tadinya dia asyik sendiri berbicara dengan saudara-saudaranya yang juga duduk di dekat saya. Pertanyaannya yang pertama adalah mengenai diri saya. Dia merasa tak yakin bahwa saya penderita kanker. Sebab menurutnya penampilan saya jauh dari kesan memprihatinkan. Tubuh saya nampak gemuk, bugar dan lagi tidak pucat pasi. Tapi menyimak percakapan saya dengan Yanti dia terperangah karenanya.

Saya kemudian membuka diri sejujurnya. Saya katakan kondisi penyakit saya apa adanya. Bahkan kemudian saya ungkapkan apa yang membuat saya berhasil bertahan seperti sekarang. Yaitu saya merangkap pengobatan saya dengan terapi herbal serta totok syaraf pada seorang sinshe selama kurang lebih hampir setahun. Dia semakin terperangah lagi diikuti seruan dan pertanyaan anggota keluarganya lainnya. Berebutan mereka menanyai saya tentang metoda pengobatan sinshe saya dan berapa biaya yang saya keluarkan setiap berobat padanya.

Akhirnya bagaikan juru iklan, saya memamerkan "kehebatan" terapi itu. Yakni pasien hanya disentuh dengan menggunakan jari-jemari sinshe tanpa bantuan alat apa pun, serta mengonsumsi jamu yang telah dimodernisasi menjadi ekstrak dalam bentuk pil, tablet serta kapsul. Saya perlihatkan semua jejamuan itu karena memang selalu ada di dalam tas saya kemana pun saya pergi. Singkat cerita akhirnya mereka minta alamat sinshe ini, lalu saya pun memberikannya dengan senang hati. Saya berharap dia dapat sembuh juga di sana. Walau ternyata saya salah duga, sebab, yang sakit bukan ibu itu melainkan suaminya!

Begitulah agaknya, pasien kanker bisa tampil "bugar" semacam saya, sedangkan keluarga yang merawat justru bisa nampak "layu" seperti ibu yang saya temui di RSKD kemarin itu. Sungguh saya tak mengira bahwa bukan beliau pasiennya, sebab beliau seperti kehilangan sinar di wajahnya. Agaknya dalam menghadapi keluarga menderita penyakit berat, jiwa seseorang bisa ikut-ikutan sakit, terpengaruh menjadi layu. Ah, saya sungguh kasihan kepadanya. Lebih kasihan lagi menyaksikan begitu banyak pasien yang terduduk pasrah di atas kursi roda dengan balutan luka di sana-sini maupun tidak. Ya, datang ke RS Kanker ternyata butuh persiapan mental yang kuat. Jika tidak, kita sendiri akan ikut-ikutan menjadi sakit karena stress. Sungguh, saya tidak mau begitu!

(Bersambung)

4 komentar:

  1. kalau menurutku bunda tetep aja gunakan dana jamkesda
    lha kalo bunda merasa ga enak ati mungkin bunda bisa menggunakan dana donatur sebagian untuk membantu yang lain?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu juga pendapat kerabat saya yang dulu pegawai asuransi. Bisa juga dana donatur saya pakai bantu yang lain, tapi yang mau dibantu bilang nggak enak hati karena mereka yang fund raising tujuannya untuk bantu anak-anak saya menyelenggarakan perawatan saya.

      Apa kabar ibunda di Semarang sekarang jeng? Sudah sehat lagikah? Itulah doa dan harapan saya.

      Hapus
  2. iya tuh mbak, yang sakit suami yang hilang jiwa istri.. kalu yang sakit istri, yang hilang jiwa bukan suami, tapi anak2.. pernah hal gini dibahas sih..
    semoga anak2 mbakjulie kuat dan tabah sekuat ibundanya yang selalu berjuang ya..

    susah ya mbak kalu pasien statusnya jamkesda.. semoga dimudahkan segala urusan mbakjulie.. amin..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Allah bisa deh anak-anak menghadapi penyakit saya. Mereka sejak SD aja udah biasa ngadepin saya kesakitan sih. Sekali lagi terima kasih ya atas doanya. Saya cuma bisa mengaminkan lagi.

      Hapus

Pita Pink