Powered By Blogger

Minggu, 26 Januari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (170)

anuari kelabu. Stamina tubuh saya begitu rendah mengakibatkan saya semakin sulit bangkit dan berjalan. Akibatnya mulai hari Sabtu (18/01) saya terpaksa dilarikan ke rumah sakit dan menginap sementara. Celakanya lagi, ketika saya selesai dikemoterapi, saya ingin mencoba berjalan sendiri ke kamar kecil karena gerak peristaltik usus saya sudah terhenti selama 4 hari. Akibatnya, hanya dengan dituntun anak bungsu saya tanpa memanggil perawat, tubuh saya yang sangat lemah terjatuh di muka pintu kamar kecil mengakibatkan seketika itu juga tulang paha kiri saya patah. Rasa sakitnya jangan ditanya. Jauh melebihi yang ditimbulkan kanker saya.

Kebetulan pada hari itu dokter onkologi saya sedang tidak berpraktek di Bogor sehingga untuk sementara saya dilempar ditangani dokter spesialis bedah tulang. Kaki saya segera dipasangi kayu spalk untuk meluruskan paha yang bengkok kena patahan. Dua hari kemudian, spalk diganti dengan gips sambil menunggu waktu praktek onkologis saya hari Sabtu ini (25/01). Tapi setelah dokter onkologis dihubungi, kami diminta segera mencari kamar rawat inap di RSKD dengan pertimbangan supaya saya bisa segera dioperasi di tempat yang lebih baik agar pelaksanaan kemoterapi dilanjutkan radioterapi tidak tertunda. Namun sayang sampai sekarang belum ada tempat kosong. Dokter spesialis bedah tulang yaitu dr. Ahmad Sukmana, Sp.OT. yang masih muda dan amat religius meminta saya untuk terus memohon pertolongan Allah agar segera tersedia kamar untuk memindahkan saya ke RSKD. Pertimbangannya, saya adalah pasien kanker yang dalam kondisi sudah melemah karena metastase. Sehingga, jika operasi ditunda-tunda atau dilaksanakan sembarangan di sini tanpa dukungan peralatan dan staf ahli, kanker saya bisa dengan cepat meruyak dan mengganas di tulang. Selain itu, penerapan sistem pendanaan dengan BPJS di rumah sakit ini belum jelas. Sehingga, dikhawatirkan banyak tindakan operatif yang terpaksa ditinggalkan padahal sesungguhnya perlu. Amat ngeri saya mendengarnya.

***

Kanker itu memang amat menyusahkan. Setelah pasien dioperasi dan menjalani kemoterapi, tubuh pasien akan menjadi sangat lemah. Pada waktu di rumah, entah apa yang terjadi, saya sama sekali tidak bersentuhan dengan orang luar kecuali beberapa kerabat dan teman yang menjenguk. Selain itu, saya tidak keluar ke mana-mana sama sekali. Tapi nyatanya kanker saya yang sudah tumbuh kembali itu membuat tubuh saya kurang bernafsu makan dan merasa tidak sehat. Efek kemoterapi yang saya terima juga merusak otot-otot kaki saya sehingga saya hanya bisa berjalan tertatih-tatih dengan menggunakan sebelah kaki yaitu yang kanan. Itulah yang membuat saya tidak bisa tidur sehingga akhirnya saya mengiba-iba minta untuk dirawat inap. Untunglah dokter onkologi saya bersedia untuk secepatnya pulang dan memeriksa keadaan saya. Sialnya, hari Sabtu itu (18/01) hujan turun tidak berhenti-henti sehingga pada pukul 2 siang onkologis saya sengaja memberikan SMS pemberitahuan agar saya bersabar menunggu. Sebab, jalan tol dilanda banjir dan kemacetan yang parah. Pada pukul 2.30 siang, saya sudah bergegas menuju ke poliklinik rumah sakit. Di sana, belum begitu banyak pasien menunggu tapi mereka yang sudah mengantri juga merasa gelisah mengenang dokter terlambat tiba di poliklinik. Ketika saya umumkan SMS pemberitahuan dokter, mereka maupun perawat mengatakan kebiasaan dokter kami memang sulit untuk tepat waktu. Barulah setelah saya sadarkan bahwa menurut berita di televisi sebagian besar ruas jalan di Jakarta sulit dilalui, mereka bisa mengerti meski masih menggerutu. Sesungguhnya, saya mendapat giliran nomor 5. Akan tetapi, karena fisik saya tak bisa menanggung keadaan lagi, maka saya kembali mengiba-iba untuk dijadikan pasien nomor 1. Untunglah dokter saya baik budi dan mau mengerti. Maka begitu beliau tiba, mendekati pukul 5, saya langsung didorong ke poliklinik diperiksa sejenak untuk kemudian segera diperintahkan masuk ke ruang perawatan. Ternyata dokter sepakat dengan keinginan saya untuk dirawat inap.

Kondisi keluarga kami memang tak memungkinkan saya dirawat di rumah. Sebab, saya hanya tinggal bertiga dengan anak-anak lelaki saya tanpa ada orang lain maupun pembantu rumah tangga. Kendala kami adalah keterbatasan keuangan serta tenaga. Untunglah kami sudah sempat mengurus keanggotaan kami di JKN-BPJS yang berlaku nasional. Itulah sebabnya dengan mudah onkologis saya mengabulkan permohonan perawatan inap. Sayangnya kamar-kamar kelas 1 yang pas dengan keanggotaan JKN kami sudah penuh. Anak saya tak kehilangan akal. Dia mencoba minta dirawat di kelas VIP walaupun untuk itu kami harus menambah selisih tarifnya. Susahnya, kamar VIP pun terisi semua. Tinggal menyisakan satu kamar kosong di VVIP. Di situlah akhirnya saya dirawat dua malam demi supaya cepat ditangani. 

Mulai saat itu, sudah ada kerabat dan sahabat-sahabat yang datang menjenguk. Penjenguk pertama adalah kerabat mantan suami saya, dilanjutkan oleh sesama pasien onkologis. Di hari ke-dua, teman-teman sekolah, sepupu saya, dan kerabat kerja mantan suami saya juga datang menjenguk. Keesokan harinya, saya bisa dipindahkan ke kelas VIP. Di situlah saya menerima surprise karena teman-teman SMA mantan suami saya juga datang menjenguk. Setelah itu, sahabat SMP kakak saya Bang Charles tiba-tiba datang bersamaan dengan proses perpindahan kamar saya. Alhamdulillah sehingga semua ada yang membantu dan menjadi mudah. Di ruang VIP, semakin banyak lagi teman-teman saya yang datang. Tidak saja hanya teman SMP, ada juga teman SMA dan teman di perguruan tinggi. Entah apa yang menimbulkan simpati mereka. Saya dikemoterapi di ruang VIP pada malam harinya. 

Keesokan harinya, begitu kemoterapi habis dan kembali digantikan oleh infus nutrisi, perut saya yang sudah penuh karena tidak bisa buang air berhari-hari menuntut untuk dikosongkan. Sebagai orang yang selalu tak mau dibantu dan merasa diri perkasa, saya segera minta anak saya menuntun saya ke kamar kecil di dalam kamar rawat saya. Saya abaikan saja nasehat untuk meminta bantuan perawat. Akibatnya, baru beberapa langkah tubuh saya limbung lalu saya terjatuh mengakibatkan patahnya tulang paha kiri saya.

Peristiwa jatuhnya saya menjadi kehebohan di RS ini. Dokter onkologi saya segera dihubungi dan lalu menunjuk dokter spesialis bedah tulang untuk memeriksa dan menangani saya. Ketika dokter yang pertama visit yakni ahli penyakit dalam, beliau hanya mengatakan bahwa kaki saya bengkak tanpa indikasi apa-apa. Tapi saya sudah merasa sendiri ketika saya diangkat kembali ke tempat tidur kaki saya sangat nyeri. Sehingga, saya menduga pasti ada yang patah. Dokter Ahmad spesialis bedah tulang itu kemudian memasangkan spalk di kaki saya yang menimbulkan nyeri yang tak terkatakan. Beliau pun sepakat dengan saya untuk segera melakukan roengent. Sayang hari itu mesin roentgent di rumah sakit sedang dalam perbaikan sehingga tertunda sehari. Namun esoknya segera diketahui bahwa tulang paha kiri saya betul-betul patah menjadi dua. Patahan yang mengarah ke atas itulah yang menyebabkan paha saya terlihat bengkak. Dokter kemudian mengatakan bahwa dokter onkologi saya menghendaki saya segera dikirim ke RS Dharmais agar semua penanganan penyakit saya segera dan terpadu. Ternyata, Dharmais yang merupakan rumah sakit tipe terbesar (A) tidak punya kamar rawat inap lagi membuat saya harus menunggu di dalam daftar antrian yang panjang. Solusinya, dokter onkologi meminta dokter ahli bedah tulang untuk lebih dulu melakukan penyambungan tulang patah di tempat. Tetapi ini bukan hal yang mudah disebabkan tingkat operasi saya sangat rumit yang diistilahkannya sebagai tingkat dua yang kalau tidak ditangani dengan menggunakan peralatan yang canggih serta tim medis yang handal, tak mungkin dilakukan. Rumah sakit tempat perawatan saya ini bukan dari tipe A, membuat beliau tak bisa melakukannya. Menurut teorinya, jika penderita kanker menjadi patah tulang dan dioperasi dengan peralatan seadanya, maka dikhawatirkan penyebaran kankernya mencapai ke tulang, meruyak dan mengganas dengan cepat. Sedangkan onkologis saya lebih bertitik tolak pada kanker saya sudah makin menyebar yang harus segera dilanjutkan kemoterapinya tanpa jeda bahkan sangat boleh jadi diperkuat dengan resimen radioterapi. 

Agaknya saya memang dianggap pasien yang tangguh dan sangat bersemangat di RS ini. Ketika saya baru masuk ke kamar perawatan saya, zuster Shinta langsung menghampiri saya. Beliau adalah perawat yang sering bertugas di Ruang Kemoterapi. Begitu melihat koleganya mengantarkan pasien baru masuk pun beliau langsung mengenali siapa saya. Sayang saya tidak bertemu lagi dengan beliau karena beliau dirotasi ke ruangan lain. Semakin hari semakin banyak saja perawat-perawat yang sengaja menjenguk saya di sela-sela waktu tugasnya. Zuster Maria Linda Sitanggang Kepala Perawat di RS ini bersama zuster Umi pun langsung menjumpai saya. Begitu juga dengan kerabat saya zuster Ninik dan zuster Eeng yang saya kagumi karena keramahannya. Mereka semua berpesan agar saya di masa yang akan datang lebih berhati-hati di dalam melakukan tindakan apapun, bahkan bila perlu harus selalu meminta bantuan perawat. Itu akan saya jadikan patokan sepanjang masa sebab rasa sakit dan proses serta prosedur operasi tulang saya merupakan hal yang sangat sulit dan krusial. 

Genap seminggu sejak saya dirawat barulah onkologis datang untuk melihat kondisi saya setelah patah tulang. Anak saya diminta untuk segera mengurus kepindahan dan mencari kamar di RSKD. Sebetulnya itu sudah dilakukannya. Dia berangkat ke Jakarta sehari sebelumnya menembus kemacetan yang diakibatkan banjir tanpa menggerutu. Sayangnya, tak tersedia kamar kosong di sana. Menurut kerabat yang menengok saya, menunggu kamar kosong di RSKD bisa lebih dari dua minggu. Inilah yang menyebabkan onkologis saya terus saja memaksa anak saya untuk menghubungi nomor telepon RSKD, padahal untuk mengontak mereka sulitnya bukan main. Jaringan telepon mereka sepertinya tak pernah difungsikan untuk pihak luar. Dokter kemudian menyarankan untuk menghubungi dokter Maria Witjaksono penanggung jawab penanganan kesehatan saya di Dharma Wanita Persatuan Kementerian Luar Negeri (DWP Kemlu) untuk minta tolong. Ini pun sudah dilakukan anak saya tanpa hasil. Maklumlah ini RS rujukan nasional. Sehingga dengan nekat, onkologis saya mengatakan sebaiknya saya langsung saja menuju ke IGD agar mereka mempertimbangkan untuk memberikan kamar untuk saya. Nampak sekali kecemasan dalam diri dokter onkologis saya. Anak saya mengatakan langsung datang ke IGD pun tak akan mungkin didahulukan mendapat kamar. Selain itu, pengurusan administrasi JKN dengan sistem BPJS belum berlaku mulus. Keluarga pasien harus meraba-raba bagaimana prosedurnya agar cepat ditangani.

Pihak counter BPJS di RS mengatakan setiap pasien yang dirujuk ke RS lain harus terlebih dahulu mengurus surat rujukan dari counter BPJS di RSnya yang lama. Kami terkendala oleh waktu mengingat ini akhir pekan. Sehingga, anak saya hanya bisa menjanjikan untuk segera mengurus rujukan BPJS besok Senin. Pemindahan pun paling cepat bisa dilaksanakan Senin siang atau Selasa. Ini semakin menimbulkan kegalauan dokter saya. Tadi malam larut tengah malam beliau memberi tahu bahwa beliau sudah berhasil mendapatkan kamar untuk saya. Sehingga, jika urusan dengan BPJS segera selesai saya harus segera dilarikan ke RSKD. Begitulah sekali lagi bentuk perhatian dan kasih sayang orang-orang di sekitar saya termasuk para dokter yang bersimpati.

***

Akibat kesulitan buang air besar (BAB) selama beberapa hari, akhirnya saya minta dipompa enema oleh perawat. Upaya itu berhasil. Akan tetapi, perut saya masih belum merasa lega. Ini disebabkan saya belum bisa BAB tuntas. Untuk itu, secara refleks saya mengejan. Akibatnya, saya celaka sendiri. Otak saya terserang kejang dan saya tidak sadarkan diri. Saya sampai pada kondisi kritis di mana zuster sampai sudah mengajak berzikir menyebut keagungan namaNya "Allahu Akbar Ibu, Allahu Akbar, Allahu Akbar...". Di hari itu, anak saya yang bungsu belum datang dari rumah sehingga perlu segera dipanggil oleh kakaknya. Mungkin kepanikan suara kakaknya membuatnya begitu ketakutan. Dengan segera dia datang ke RS. Sesampainya dia di RS, saya belum sepenuhnya sadar. Padahal, dokter ahli saraf yang dulu sangat ingin saya berkunjung, yang wajahnya secantik Barbie, sudah diminta memeriksa saya dan memberi obat-obat anti-kejang saraf. Anak saya mengucap salam menyapa saya tapi saya tidak mengenalinya. Selanjutnya dia bertanya apa yang terjadi pada diri saya. Saya hanya bisa menggelengkan kepala sambil bertanya balik "Memangnya saya kenapa?". Selanjutnya saya juga menanyakan di mana keberadaan saya sekarang dan dalam keadaan sakit apa. Menurut anak saya, waktu itu saya mengira diri saya sedang berada di klinik dokter ahli bedah tulang. Sehingga, dia perlu menjelaskan bahwa saya ada di dalam kamar perawatan saya sendiri. Sejak itu, kesadaran saya berdikit-dikit pudar. Dokter ahli saraf yang cantik itu mengatakan saya tidak boleh terlalu keras mengejan bahkan kemudian pernafasan saya sudah dibantu oleh oksigen dengan tujuan agar tidak tejadi hipoksia yakni kekurangan oksigen di otak. Semua kejadian ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya sebagai penderita kanker bahwa tidak selalu tubuh yang nampak bugar pada penderita kanker stadium lanjut bisa diartikan sebagai tubuh yang kuat. Sekali lagi saya hanya bisa memasrahkan diri kepada Allah agar semua badai cepat berlalu. Tolong doakan saya agar bisa segera mengurus urusan administrasi perpindahan ke RSKD agar besok juga tim yang tangguh dan canggih peralatannya bisa segera mengoperasi saya memasangkan pen di paha yang patah. Sungguh patah tulang itu rasanya jauh lebih hebat dibandingkan sakit yang ditimbulkan kanker. Selamat malam!

Jurnal ini ditolong diketikkan oleh Andri anak saya karena ketidakberdayaan saya di Ruang Vanda nomor 6 RS Karya Bhakti Bogor.

(BERSAMBUNG)
 

2 komentar:

  1. Allahu Akbar ...
    Baru saja hati saya bertanya (di menjelang penghabisan tulisan Ibu),dengan kondisi Ibu sekarang, bagaimana Ibu masih bisa menulis begini lengkap dan detail. Tulisan sepanjang ini memerlukan tak cuma gagasan dan sedikit tenaga di jemari utk mengetik, melainkan juga tenaga yg cukup utk sekedar duduk menghadap laptop. Sedangkan Ibu dlm keadaan baru saja terjatuh dan patah tulang. Ya Rabb.

    Ternyata Ibu memiliki hati yg tangguh dan kesabaran besar, Ibu menitipkan gagasan pada jemari dik Andri, sehingga kami masih bisa membaca perjalanan panjang Ibu berjuang mengatasi kanker.

    Allahummasyfihaa,Anta asy-safii laa syifaa illaa syifaauka syifaa an laa yughaadira tsaqaaman.

    Allah bersama Ibu, selalu .....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Allah teh karena ada anak-anak saya yang mendampingi saya nyaris 24 jam. Jadi saya tekadkan untuk tidak merusak suasana dengan tetap menyebarkan pengalaman-pengalaman saya sakit di blog ini. Terima kasih atas perhatian teteh.

      Hapus

Pita Pink