riday was yesterday, and fight for cancer is my only aim for today. Hari ini jadwal praktek klinik onkologis saya di kampung sehingga seakan-akan suatu hari raya yang amat dinanti-nanti para pasiennya.
Semalam saya sudah meminta anak saya untuk berangkat mendaftar ke RS sepagi mungkin. Entah mengapa menyimak obrolan anak saya dan juga relawan kanker kemarin saya berkesimpulan bahwa hari ini pasien akan meluap. Begitu saya ke dapur tadi pagi ~yang sebetulnya juga agak kesiangan~ saya lihat kamar mandi anak saya masih terisi. Artinya dia belum berangkat ke RS. Tapi saya masih merasa lega karena baru pukul lima lewat seperempat. Dan dia melangkah ke luar rumah dua puluh menit kemudian dengan hasil yang mencengangkan. Kami mendapat nomor antrian 14, sedangkan karena jadwal operasi besar jatuh pada hari ini maka poliklinik hanya menerima 15 pasien saja.
Sebetulnya kami sangat beruntung jika dibandingkan mereka yang tertolak dan harus pulang menanggung kekecewaan lagi. Tapi di dalam hati kecil anak saya bersusah juga sebab kebanyakan pasien datang dari wilayah kabupaten yang sangat jauh. Meski begitu pasien yang dititipkan bu Linda relawan kanker ke tangan kami sudah terdaftar sebagai pasien nomor 2. Agaknya bu Linda benar-benar menyampaikan pesan saya untuknya agar mendaftar selepas sembahyang subuh. ~Maaf jurnal terhenti semalam dikarenakan buruknya kondisi saya~
Belum sampai ada pengumuman jadwal poliklinik onkologi hari itu, SMS anak saya masuk lagi. Dengan empatinya yang tinggi dia menyayangkan para pasien tidak kebagian nomor yang pulang balik ke rumah masing-masing. Sebab ternyata akhirnya dokter menambah jumlah pasien menjadi 20 orang demi menyadari minggu lalu beliau bercuti.
Hal ini persis seirama dengan rasa syukur seorang ibu bertubuh gempal berumur 42 tahun yang mengajak saya mengobrol sore harinya sambil menunggu giliran konsultasi. Namanya Ita, penderita kanker payudara stadium III yang baru berobat setengah tahun. Sebelumnya dia menderita kista payudara yang dibedah ahli bedah umum. Setelah itu dia kembali merasakan benjolan solid yang dirujukkan ke poliklinik onkologi. Dokter kami memeriksa dengan teliti hingga mendapat diagnosa bahwa itu benjolan ganas. Kanker payudara grade II yang artinya tak seberapa ganas, yang kemungkinan diwarisi secara genetis sebab almarhum ayahnya adalah penderita kanker kelenjar getah bening.
Bu Ita wiraswastawati berputra 3 orang dengan jarak yang jauh satu sama lainnya, tinggal di wilayah terujung kabupaten kami. Jarak tempuhnya ke kota dalam keadaan normal tak kurang dari 2 jam. Tetapi lebih sering menjadi 4 jam. Itu sebabnya dia merasa bersyukur ketika pasien hari itu dinaikkan jumlahnya. "Minggu yang dua minggu lalu saya rugi bu. Saya sudah beruntung dapat nomor, tiba-tiba petugas informasi mengumumkan dokter nggak jadi praktek. Ya sudah saya pulang. Eh, sudah setengah jalan disusuli pengumuman ralat, dokternya mau buka praktek. Ya nggak mungkin lah saya balik lagi. Kan macet banget tuh..... Tapi ya apa boleh buat, saya balik juga. Eh, pas sampai sini lagi, Satpam bilang dokternya baru aja selesai praktek dan baru pulang........."
Keluhannya itu menguak lagi keterlibatan saya dalam insiden itu. Jadi ceritanya, saya sampaikan pengumuman pembatalan praktek langsung kepada dokter berikut alasan bagian pendaftaran bahwa dokter berhalangan ke poli. Hal ini tentu saja mengejutkannya yang merasa siap memeriksa pasien rawat jalan diakhiri dengan pelaksanaan pembedahan. Beliau rupanya amat tersinggung sehingga menghubungi pihak RS untuk membantah. Dari situ terungkaplah kendala tutupnya poli, yakni diakibatkan oleh kurangnya tenaga paramedis yang memang sebagian bercuti. Tentu saja beliau merasa dicurangi dan tidak dihargai, sehingga pihak RS kalang kabut lalu mencabut pengumumannya. Dokter menyatakan terima kasih atas informasi saya. Untuk itu saya minta maaf kepada bu Ita. Dia cuma tersenyum kecut sambil melanjutkan ceritanya bahwa hari ini pun bukan hari baik baginya. Ibu mertuanya yang lanjut usia sedang dirawat di dalam sana karena tiba-tiba menderita gagal ginjal terminal dan menunggu kesiapan operasi ginjalnya besok Senin. Menurut pengakuannya dia merupakan orang kesayangan ibu mertuanya, sehingga tak pernah bisa lepas dari sisinya.
Derita atas cobaan hidup ternyata dialami banyak orang. Tak hanya saya seorang. Bahkan yang lebih menderita dibandingkan saya pun ternyata banyak. Saya cuma bisa memohon keselamatan dan kekuatan batin dan raga untuk kami semua.
Kasus penyakit bu Ita serupa tapi tak sama dengan kasus saya. Sel jahat itu didapatnya secara turun-temurun. Dia dari ayahnya, saya dari saudara-saudara sekandung perempuan saya. Sifatnya berupa kista yang didiagnosa kista jinak. Hanya saja kista bu Ita bersarang di payudaranya, sedangkan kista saya di indung telur (ovarium).
Kista adalah benjolan mengandung cairan pada organ tubuh manusia. Kista ini umumnya jinak. Di indung telur, kista ini berjenis-jenis. Ada yang ganas ada yang jinak. Bahkan yang jinak bisa menghilang dengan sendirinya. Kista saya kemungkinan besar bersifat ganas, sebab pertumbuhannya sangat cepat.
Biasanya setelah dioperasi kista itu diperiksakan di Laboratorium Pathologi Anatomi untuk memeriksa karakteristik dan keganasannya. Waktu itu dokter saya di Singapura yang mengoperasi dan merawat saya dari tahun ke tahun selalu mengatakan hasilnya jinak. Sehingga saya tak pernah diobati dengan kemoterapi. Ini amat disayangkan onkologis saya sekarang. Sebab menurutnya, jika kista itu terus saja tumbuh dari tahun ke tahun dengan cepat membesar dokter harus mencurigai keganasan. Seharusnya pada saat itu saya dikemoterapi.
Pada bu Ita, dokter yang membedahnya adalah ahli bedah umum. Onkologis kami menyayangkan mengapa bu Ita tidak langsung berkonsultasi kepadanya. Padahal mereka berpraktek di RS yang sama. Seharusnya pada waktu pertama tumbuh, tidak langsung dioperasi. Namun apa hendak dikata. Manusia tetap lah manusia yang bisa berbuat salah.
Sore itu saya memeriksakan kembali sel darah merah, darah putih dan kepingan darah saya setelah saya disuntik. Alhamdulillah 15 menit kemudian saya menerima hasilnya yang dinyatakan sudah teratasi. Karenanya ketika saya masuk ke ruang konsultasi, yang pertama saya sampaikan adalah terima kasih kepada pak Omrin yang menyuntik saya seraya mengatakan bahwa suntikannya yang menyakitkan itu membahagiakan saya. Saya serasa lulus ujian saja karenanya. "Tapi terus terang, suntikan bapak yang ini ~seraya menunjuk pak Omrin~ lebih sakit dibandingan suntikan bapak yang itu ~seraya menunjuk onkologis~. Padahal udah pake senjatanya mas Bayu lho.....," ujar saya seraya mengambil posisi duduk.
"Senjata saya apa sih?" Dokter bertanya seraya nyengir-nyengir geli.
"Srrrrrtttt..... srrrrrttttt.....!" Ucap saya sambil memeragakan semprotan alkohol yang lebih mirip air es itu sehingga mereka berdua tertawa serempak.
"Udah kemo, bu?" Tanya dokter langsung ke pokok persoalan.
"Belum, lha nggak dikasih-kasih kabar dari apotik," jawab saya terang-terangan. "Obatnya belum ada tuh. Mereka bilang yang dulu dosis tinggi itu susah didapat," jujur saya ungkapkan apa kata mereka selaku penanggung jawab pengadaan obat.
"Walah! Dulu kasusnya ribet di birokrasi, sekarang apotik ikut-ikutan menghambat. Coba obat apa sih yang nggak ada stocknya?" Sambut dokter saya nampak amat kecewa.
"Ya mbuh, coba nDrie tolong ke apotek tanya bu Daisy," perintah saya kepada anak saya yang sudah sangat dikenali nyaris sebagian besar staff RS.
Anak saya beranjak pergi, tapi segera dicegah zuster Umi yang akrab kami sapa sebagai budhe karena senioritasnya. "Nggak usah nak, saya telepon aja," lalu dengan cekatan beliau sudah tersambung serta mengobrol.
"Mas Andrie, mereka tanya berkas resepnya sudah di apotek belum ya?" Kedengaran zuster Umi menanyai anak saya.
"Sudah budhe. Ini biar saya bawakan copy-an nya ke sana, biar jelas wong sudah di acc di DKK," jawab anak saya.
Tak lama kemudian anak saya sudah kembali lagi bersama petugas apotek. Di tangan petugas sudah ada berkas aslinya. Dia menjelaskan bahwa obat saya di akhir tahun kemarin baru dapat satu. Sisa satunya waktu itu masih dicari. Sekarang walau pun ada tak bisa diproses karena DKK sudah mengakhiri klaim Jamkesda sehingga kelak obat ini diproses di BPJS dengan dana JKN.
"Oh...., kok saya nggak dikasih tahu sih? 'Kan kalau masalahnya dana, saya akan upayakan cari sendiri ~saya bicara seraya menatap mata dokter budiman di seberang saya~ yang penting dikemo," sesal saya diperkuat ucapan dokter saya.
Dokter langsung membenarkan seraya berujar bahwa patokan kemo tidak bisa dilanggar semaunya. Kalau di Bogor caranya begini, beliau akan mengupayakan saya diobati di RSKD saja lagi entah dengan modal kekuatan apa. Dalam pada itu petugas apotek yang belia itu menunduk entah malu entah takut-takut.
"Mbak, kalau saya upayakan beli sendiri ke Jakarta, boleh?" Tanya saya.
"Jangan bu, dananya yang nggak bisa dikeluarkan" katanya dibenarkan dokter saya.
"Bukan begitu, saya cari uang sendiri, saya pergi beli, kemonya di sini," ujar saya meluruskan maksud saya.
"Oh iya kalau gitu. Silahkan bu, nanti obatnya segera disampaikan ke saya, supaya registrasi ruang kemonya bisa cepat diatur bu Maria," perempuan itu berkata melegakan.
"Ya bener gitu aja bu. Beli di YKI sekalian ibu CT Scan lagi ya ke Dharmais, saya kuatir tuh lihat kondisi tumor ibu gara-gara birokrasi lamban," perintah dokter saya separuh menggerutu. "Berapa sih harga Carboplatinnya?"
"Empat juta lima ratus dok," jawab perawat dan anak saya bersamaan yang saya tutup dengan janji akan segera mendapatkan dananya.
"Udah ngurus ke BPJS?" Tanya dokter beralih topik selepas petugas apotek kembali ke posnya, seraya menghampiri saya mulai memeriksa tumor saya yang kian membesar dan menyakiti.
Tangan dokter saya terasa dingin ketika disentuhkan. Wajahnya pun mengernyit serius. "Waduh, sudah segini. Gara-gara dulu telat sebulan, sekarang seminggu. Ya, ini sih harus kembali ke RSKD bu, kita perlu sekali penanganan team, ngurus BPJS ya, mumpung masih belum tertata baik saya pikir BPJS berlaku nasional sekarang saya bisa bawa ibu dengan enak," katanya.
"Ya mas, belum sempat ke BPJS. Kemarin dipakai ngurus rujukan ke sini, tapi besok sudah janjian mau ngurus bareng pak Nedi," jawab anak saya menjanjikan.
"Ya, segerakan. Ibu lusa dengan adik CT Scan di Dharmais terus beli obat. Kemonya di sini dulu memanfaatkan Paclitaxel yang sudah di apotek. Selanjutnya kembali ke kantor saya," pesan dokter saya terinci rapi. Ah, bahagia dan bangganya saya berada di bawah pengawasan beliau. Bertolak belakang dari bu Ita yang kecewa demi mendengar selentingan dari para pasien bahwa di RS yang baru nanti yang lebih dekat ke desa bu Ita dokter kami tidak akan ikut pindah. Beliau akan tetap berada di sini bersama kami. Mungkin dokter lain akan direkrut menggenapi kekosongan poliklinik beliau di lokasi baru calon RSUD.
Pemeriksaan malam itu berakhir di sini ditutup dengan penjelasan atas pertanyaan saya bahwa apakah ada suplemen atau obat yang bisa menutrisi pasien yang malas makan dan kekurangan gizi. Jawabannya dulu ada, tapi kini dilarang. Sebab ternyata mudharatnya lebih terasa dibandingkan manfaatnya.
"Ya sudah, terima kasih mas Bayu, assalamu'alaikum," saya minta diri diiringkan beliau yang biasa menyalami dan mengguncang-guncang bahu saya hingga ke pintu ruang prakteknya. Eh, tapi tiba-tiba Andrie anak saya usil membocorkan erangan saya di waktu malam ketika nyeri itu datang mengusik nyenyaknya tidur, "nih nanti malam ibu akan ngoceh, aduh....., sakit mas Bayu...... sakit......"
"Hahahaha......." gemuruh perawat dan dokter serempak tertawa. Sebagai pengusir malu, saya sahuti, "ya masa' ibu ngeluh sakit mas Drie..... atau sakit Adik...... kalian 'kan nggak bisa apa-apa. Lha kalau ibu bilang sakit pak Omrin...., sakit budhe Umi..... ya percuma wong di sini masternya dokter Bayu je."
"Oh ya dok, congratz ya! Dokter Bayu makin populer. Sekarang di site saya banyak lho yang searching dengan key words dr. Bayu Brahma, onkologis di Bogor, dr. Bayu Brahma praktek di mana, RS Karya Bhakti, dr. Bayu Brahma onkologis RS Karya Bhakti, sampai yang nyeleneh, istri dokter Bayu Brahma hahaha.......Yuk ah, selamat malam semuanya," ucap saya menuju ke luar ke kegelapan malam yang mulai datang. Hujan masih saja lebat di luar sana, selebat tangis di hati saya menyadari saya tak bisa lagi ditangani hanya di kampung saja.
Bismillahirahmanirrahim, la haula wala quwwata..........
(Bersambung)
Semoga lekas membaik yah Bunda, berlimpah berkah dan rejeki Aamiin :)
BalasHapussalam silaturahmi...
Terima kasih doa kasih sayang dan sapaannya ya mbak Eti. Eh, panggilannya apa sih? Salam kenal dan salam hangat dari Kota Hujan yang sejuk.
BalasHapus*salaman*
Blognya sudah sya follow ..ditunggu follbacknya ..salam kenal ya mbk
BalasHapusYa, terima kasih mas Valent. Ini diary saya aja kok....... :-D
HapusSalam kenal ya.
Panggil Tika aja Bunda, salam hangat penuh cinta dari Parepare Sulsel :)
BalasHapusOh gitu. Terima kasih infonya. Wah tinggalnya jauh sekali dari Jawa, jadi kita sulit ketemuan dong. Btw nemu diary saya ini dari mana?
Hapus