epat lelah, capek dan cenderung lesu merajai hari-hari saya sekarang. Penyebabnya sudah ketahuan dari hasil pemeriksaan darah dan air seni saya kemarin. Leukosit si pelawan infeksi dan haemoglobin saya turun. Terutama leukosit itu, drastis sekali.
Pelawannya pun sudah disiapkan, seampul suntikan Leucogen serta makanan bergizi. Tapi sialnya nafsu makan saya justru sedang ikut-ikutan turun. Sedangkan dokter onkologi saya besok tidak dapat membuka klinik disebabkan ada tugas lain yang perlu didahulukan sehingga saya tidak bisa disuntiknya sendiri sebagaimana biasa. Namun dicarikan solusinya, saya diminta menghadap dokter ahli bedah umum untuk itu. Padahal saya ragu-ragu takut akan ditolak, sebab prosedur resminya di RS tempat saya berobat adalah penyuntikan itu dilakukan di Instalasi Gawat Darurat, bukan di poliklinik. Meski dokter onkologi saya selalu melanggar aturan khusus untuk saya. *Mata saya basah membayangkan sosok almarhumah bu Yati yang sudah mendahului yang dulu selalu perlu disuntik di klinik dr. Sp. BU*
Dulu saya cuma bisa menaruh rasa prihatin dan iba kepada sesama pasien bernama ibu Yati. Usianya kelihatan lebih muda dibandingkan saya. Tapi kanker payudara stadium III B ~seperti kasus saya~ tidak memberinya kesempatan untuk hidup bugar. Sehingga rencana dokter untuk mengoperasinya tak pernah terlaksana. Sebab, jangankan mempersiapkan diri untuk operasi, untuk dikemoterapi pun persyaratan lulus test kesehatan tak pernah terjangkau. Leukositnya selalu di bawah normal ditambah transfusi darah terus-menerus akibat haemoglobinnya yang juga turun drastis menjadi penghalang. Satu demi satu kekuatannya rontok sehingga tumornya dengan cepat merambah paru-parunya, membuatnya takluk hingga saya tak sempat mengucapkan selamat jalan padanya. Dia menghadap Illahi Rabbi meninggalkan keluarganya yang terjerat masalah keuangan demi membiayai sakitnya dulu.
Apa pun adanya, penyakit kanker memang tidak main-main. Hingga hari ini belum ada obatnya yang diproduksi serta dijual secara murah. Belum lagi ditambah komponen biaya pemeriksaan penunjang dan tindakan operasi serta radiasi bila diperlukan. Penyakit ini potensial memiskinkan orang.
Semalam dalam perdebatan soal program jaminan kesehatan yang baru di sebuah stasion TV swasta, diingatkan oleh anggota DPR pro rakyat tentang kriteria masyarakat miskin. Ternyata sama dengan pendapat saya yang saya tulis di jurnal terdahulu. Orang miskin itu tidak selamanya mereka yang tak berpenghasilan. Sebab orang dengan penghasilan rendah atau tak menentu, meski disebut pekerja, tak mampu mendanai perawatan penyakit-penyakit berat. Contohnya ya sakit kanker ini. Karenanya tak heran jika suami bu Yati yang bekerja di sebuah koran lokal sampai harus menjual rumah tinggalnya dan berhutang demi mencukupi biaya pengobatan istrinya.
Waktu anak saya pulang dari DKK lewat tengah hari kedapatan dia tidak membawa surat rujukan saya untuk ke dokter. Alasannya hari itu penuh pasien. Menjelang pukul dua belas nomor antrian kami masih jauh. Artinya kami baru akan dilayani menjelang tutup kantor.
Hal ini membuatnya galau. Sebab adiknya sedang kuliah, padahal dia belum menyiapkan makan siang saya. Dalam ketiada berdayaan saya, dia tahu tak mungkin saya menyiapkan makan siang saya sendiri, sehingga kemudian dia memutuskan untuk membatalkan urusan. Tapi dia berjanji akan kembali besok pagi-pagi sekali supaya saya bisa cepat ke RS. Soalnya onkologis telah mewanti-wanti supaya saya segera disuntik tanpa mengulur-ulur waktu. Pesannya, saya tak boleh keluar rumah sebelum kondisi saya dipulihkan terlebih dulu. Termasuk tak boleh menerima tetamu. Itu cerita anak saya yang entah benar entah tidak, namun saya mempercayainya.
Dalam ceritanya, anak saya diterima langsung oleh dokter kepala Puskesmas desa kami sewaktu akan meminta surat rujukan. Beliau seorang dokter senior yang keibuan. Ketika dulu istri Walikota kami datang berkunjung ke rumah bersama Lurah desa kami, beliau juga mengiringi. Sehingga secara pribadi ada beberapa kali saya bertemu dengan beliau dan mengobrol. Kesan saya tentang beliau adalah sosok yang ramah dan tidak menakutkan masyarakat. Beliau ini juga yang dulu menjelaskan maksud kunjungan istri Walikota kepada warga. Yakni melihat dari dekat keberadaan dan kondisi para pengguna Jamkesmas dan Jamkesda untuk dasar penetapan Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam program jaminan kesehatan yang baru (JKN).
Saya adalah pengguna Jamkesda yang mendapatkan hak saya melalui pemberian Surat Keterangan (warga) Tidak Mampu (SKTM) oleh Lurah desa. Kebetulan untuk mengurus permohonan penerbitan SKTM di kota Bogor tidak sulit. Lurah desa dan perangkatnya termasuk dokter di Puskesmas bijak di dalam menetapkan warga mana yang layak memperoleh, dan mana pula yang tertolak. Mengacu kepada keadaan sosial keluarga kami, meski saya tinggal di rumah milik sendiri yang didapat anak-anak saya sebagai hibah pasca ditinggal pergi ayah mereka, tetapi keadaan sakit saya yang tergolong keras serta keadaan anak-anak saya yang masih menganggur membuat mereka menutup mata. Saya ~tanpa anak-anak~ diberi hak berobat dengan SKTM. Perangkat desa kami memang masih membawa sifat-sifat halus budi yang lembut serta penuh belas kasih pembawaan masyarakat Tatar Priangan.
Di Puskesmas kemarin, dokter mengatakan bahwa SKTM saya masih diizinkan dipakai mengingat kartu peserta JKN/BPJS saya belum ada. Tapi beliau memperingatkan bahwa kebijaksanaan ini belum tentu selaras dengan ketetapan RS swasta tempat saya berobat.
Demi mendengar penjelasan itu anak saya menyampaikan bahwa Kepala Counter Jamkesda di Dinas Kesehatan Kota (DKK) mengatakan SKTM akan tetap berlaku sebab pemerintah kota belum memutuskan keikutsertaan kota Bogor dalam program JKN itu. Semula pernyataan ini dipertanyakan warga yang kritis, bagaimana mungkin program nasional tidak pasti berlaku. Tetapi pihak DKK menjawab mungkin saja, sebab hingga hari itu mereka belum memperoleh instruksi apa-apa dari atasan mereka.
Ternyata Kepala Puskesmas Desa kami juga menyangsikan keterangan pejabat DKK. Beliau bilang mustahil program nasional boleh tidak diikuti oleh daerah-daerah. Wah benar juga ya, untuk apa disebut program nasional kalau ada daerah yang tidak mau ikut. Tapi dalam hal saya pengguna Jamkesda melalui SKTM ya mungkin saja sih. Soalnya barangkali kuota penerima JKN terutama sektor PBI sangat terbatas. Namun saya jadi berpikir ulang, kalau dugaan saya benar lalu untuk apa dulu ditegaskan Kasi Kesra Kelurahan bahwa setelah ditinjau istri Walikota maka nama saya langsung diprioritaskan masuk sebagai peserta PBI. Artinya secara logika 'kan program JKN pasti diikuti kota kami meski nantinya Walikota yang baru yang belum juga dilantik itu punya program kerja sendiri. Saya pikir beliau setuju dengan JKN mengingat program ini bertujuan baik, sedangkan pos APBD kota kami terbatas, tidak terlalu makmur.
Seperti biasa anak saya selalu bercerita apa saja, termasuk laporan pandangan matanya. Padatnya pengunjung digambarkan luar biasa. Nomor antrian bahkan mendekati 100. Para pasien kanker yang akan dikemoterapi ditengarai cukup banyak.
Saya agak terheran-heran dari mana dia tahu yang mana saja pasien kanker. Dengan polos anak saya menjawab, bahwa tadinya dia sendiri tidak tahu. Namun ternyata ketika dia baru tiba sebagian orang menyapanya dengan ramah, mempersilahkan anak saya berbagi tempat duduk dengan mereka dan menanyakan keadaan saya. Ada yang menerangkan kepada mereka di situ bahwa anak saya sudah sangat berpengalaman mengurus rujukan pasien kanker. Sebab dia sendiri dulu diajari anak saya bagaimana pengurusan kemoterapinya. Anak saya sampai tercengang mendengarkan itu. Tapi dia jujur mengakui bahwa dia "pemain" lama yang seringkali juga merasa diperlakukan tidak adil. Antara lain dengan akan dihentikannya kemoterapi saya tiba-tiba meski kami sudah banyak mengalah kepada kemauan pemerintah.
"Jadi mas juga pernah ditolak untuk minta bantuan obat kemoterapi yang murahan?" Tanya salah seorang di antara mereka yang dibenarkan anak saya.
"Nah kalau obat-obat selain itu yang murahan pernah ditolak juga mas?" Tanya lainnya penasaran.
"Wah, dulu-dulu enggak tuh. Tapi sekarang iya juga sebab semurah-murahnya harga obat kemo ibu saya tetap lebih mahal daripada obat yang dulu, yang biasa dipakai pasien di sini," terang anak saya. "Jadi sekarang sih obat pra kemonya disuruh beli sendiri. Ya nggak 'pa'pa juga daripada itu yang dibayari tapi obat kemonya justru enggak," beber anak saya lagi.
"Wah iya memang keterlaluan mas. Obat murahan juga ditolak," sahut orang itu lagi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak saya katanya cuma tersenyum kecut membayangkan mereka yang memang tak seberuntung kami masih mempunyai sumber dana lain yang tidak tetap namun bisa datang tak terduga dengan sendirinya. Itu lho yang saya istilahkan sebagai "Jamkes Kasiho" alias tanda simpati pemberian teman-teman dan kerabat termasuk onkologis saya sendiri.:-)
Tiba-tiba anak saya melihat seorang wanita yang berjalan terseok-seok di halaman DKK. Dan perempuan paruh baya itu menebar senyum. Setelah dekat dia menegur anak saya, "apa kabar pak? Ibunya mau kontrol ke dr. Bayu juga ya?"
"Alhamdulillah, kabar baik. Enggak bu, ibu saya mau ke dr. Hadian, 'kan dr. Bayu besok nggak praktek di poli," jawab anak saya. "Ibu saya sih sebetulnya mau dikemo, tapi leukositnya drop lagi, jadi mesti disuntik dulu dan ini disuruhnya di poli dr. Hadian saja ."
"Lho?! Kok tahu pak, dr. Bayu besok nggak praktek?" Mulut perempuan itu ternganga, kakinya berhenti melangkah.
"Ya, dr. Bayu bilang sendiri, ibu saya disuruh ke dr. Hadian biar cepat bisa dikemo," jelas anak saya.
"Ooooohhhhh....., ya sudah kalau begitu. Duh buat apa saya sakit-sakit ke sini hari ini sih?" Perempuan itu menyahut dengan gerutuannya. "Terima kasih infonya ya pak, sampai ketemu lagi," katanya seraya balik badan diikuti pandang mata anak saya dan rasa ibanya yang tiba-tiba terbit membayangkan jika perempuan itu adalah saya.
Tiba-tiba seseorang bertanya pula, "oh, ibunya pasien dr. Bayu ya mas, bukan dokter yang satunya?"
"Ya, bukan. Dokter ibu saya baik sih. Waktu kami kesusahan minta obat kemo beliau tulis surat ke sini menjelaskan bahwa jika obat kemahalan kami bersedia dikurangi semacam dan turun kualitas asal diberi yang cocok, terus dikabulkan deh," ungkap anak saya.
"Oh.... gitu? Baik bener tuh. Dokter istri saya mana pernah begitu, semua saya pikirin sendiri mas, nggak ada dibantu-bantu gitu," sahut orang itu mengeluarkan isi hatinya.
Kalau dipikir-pikir dia benar. Sebab mana ada ya dokter yang rela berkorban apa saja demi mempermudah urusan pasiennya. Termasuk memberitahu soal beliau berencana tidak buka klinik dan karenanya saya harus mengunjungi klinik siapa. Haiya, saya ini orang sangat beruntung sekali, bukan?! Alhamdulillah!
(Bersambung)
test comments
BalasHapusKok pake ngetest sih? Memangnya kenapa bang?
BalasHapusbu Julie sangat beruntung di rawat oleh dokter yang amat sangat baik itu. O iya bu...sekedar intermezo aja, tante saya minggu kemarin mau ke acara pernikahan, saat dlm perjalanan dia pusing hebat dan akhirnya lgs dilarikan ke rmh sakit, pd saat di UGD lgs terserang stroke. Singkat cerita, keadaan saat ini malah tambah buruk, tidak sadar. Usia nya baru 44th, seorang dokter, amat sangat menjaga asupan makanan. Temuan terakhir ada penyumbatan di batang otak sehingga tidak bisa di operasi. keluarga mau bawa berobat ke Sing, tetapi kondisi pasien tidak bisa krn tidak stabil, dan di bilang kalo RSPP pun saat ini bkrjsama dng rmh sakit yg mau di tuju di Sing tsb. itupun mau di pindah dr MMC ke RSPP tdk bisa krn kondisi pasien yg tdk stabil..dan mau dioperasi pun saat ini blm bisa karena letak penyumbatan nya itu di batang otak.. Pesan moral yg saya dpt adalah, Walau ada uang utk berobat tapi apabila Allah belum mengijinkan tetap tdk bisa ya bu...Subhanallah...... Bu julie...selalu semangat ya bu....walau "perjuangan ibu dan anak2" amat sangat capek dengan birokrasi yg ribet itu...semangat utk sembuh ya bu!
BalasHapusMbak Evi cantik, saya doakan tantenya cepat tertolong oleh mukjizatNya. Saya ikut prihatin sekali. Ya, dokter 'kan juga manusia ya. Adik ibu saya dulu meninggal umur segituan juga, dia dokter T
HapusNI. Penyebabnya infeksi nosokomial. Ajaib banget, dokter bedah meninggal karena infeksi nosokomial tercemar di RS tempat tugasnya. :- 9
Mbak, saya udah habis-habisan berobat di Singapura, dari tahun ke tahun PA saya dibilang bersih, jinak. Nyatanya cuma berobat di RSKD tapi pelaksanaan pengobatannya di RS kecil di kampung, penyakit saya ketahuan ganas. Makanya saya salut dan respek sama dr. Bayu dan para seniornya.
Saran saya sebelum ke Sgp googling dulu pengalaman orang berobat di Sgp. Almarhumah teman saya pasien lung cancer, yang deteksi RS di Sgp. Dikemo di sana nggak sembuh, pulang ke RSPP, semakin parah, dibawa balik ke Sgp ganti RS yang ngetop di kalangan orang Indonesia, ya wafat juga. Umurnya juga waktu itu belum 50 tahun. Intinya Sgp bukan rajanya yang terpinter mbak.
Salam hormat untuk tantenya.
iya bener bu.. setuju spt yg ibu bilang...Sgp bukan rajanya yg terpinter.....
BalasHapusCuman...ya itu bu...di satu sisi saya baca2 blogspot ibu yang amat dengan susah payah supaya bisa di kemoterapi..alhamdulillah walau dengan susah payah itu ALLAH tetap mengijinkan ibu utk kemo...sementara di satu sisi...si tante yg alhamdulillah ada rejekinya..tapi tetep ga bisa di obatin secara maksimal...mau di operasi pun tdk bisa...mau pindah rmh sakit pun sesama di jkt tdk bisa...apalagi mau ke LN?,,,benar2 rahasia ALLAH ya bu...tawakal...doa....hanya ALLAH yg tau jalan yg terbaik buat kita...tapi kadang jalan itu harus susah payah dulu kita jalanin nya...he he he jd sok tua ya saya bu...
gimana bu keadaan ibu saat ini? mudah2an suatu waktu bisa ketemu langsung sama bu julie ya....insya ALLAH. amin
Bener banfet. Banyak pasien mampu tapi nggak punya harapan menjangkau kesembuhan. Sebaliknya ornga nggak punya kalau mau berusaha nyatanya bisa dapat pertolongan. Gpp jadi kayak sok tua, 'kan ksyaknya kita perlu belajar jadi tua deh sebelum tua beneran :-D
HapusInsya Allah ada jalannya ya, sekali waktu kita ketemuan di RSKD. Saya setiap sebulan sekali masih ke sana kok. Sekarang saya lagi lemas-lemasnya, mudah-mudahan besok membaik.
amin...mudah2an besok ga lemes lagi ya bu...semangat bu!
BalasHapuskalo ke RSKD biasanya di tanggal berapa bu? nanti aku deh yg ngikutin jadwal ibu ke RSKD nya ....insya Allah bisa ketemuan.
Semangat terus ya bu
Saya ke RSKD nunggu seminggu setelah kemo. Dan sampai sekarang saya belum bisa dikemo, makanya makin drop. Nanti kalau saya udahg dikemo saya kasih tahu jadwalnya ya, atau bisa ngikutin dari jurnal saya. Sekali terima kasih perhatiannya.
HapusTadi relawan kanker itu datang ngantar obat sinshe. Dia cerita ada pasien di RS lain di Jakarta, tapi orang Bogor. Karena kecewa sama onkologisnya, ketambahan dengar sosok onkologis saya dia berniat ganti dokter. Sayangnya dia ke RS di Bogor pas dokter saya nutup poli terus. Akhirnya saking nggak tahan Senin kemarin dia nyari ke RSKD. Rupanya berangkatnya udah kesiangan, jadi kehabisan nomor. Memang saya akui, Rabu kemarin juga dia nutup poli di Bogor karena sulit pulang kampung, pasien di UDT meluap hampir 50-an orang. Akhirnya si pasien itu ndompleng sama pasien lama orang Bogor juga sih. Jadilah dia masuk tanpa terdaftar. Hahahaha...... sampe sebegitunya?! Saya pikir bagus juga tuh kalau sampe dibentuk Paguyuban Pasien dr. Bayu hehehehe....... Memang kami para pasien akrab sih dan sharing dengan sesamanya.
Tunggu saatnya kita ketemuan ya?! Tapi kayaknya saya ke poli Cendana aja sekarang, udah nggak kuat ngantri sampe menjelang sore.