Powered By Blogger

Senin, 06 Januari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (162)

unyi petasan masih berdentuman di udara hingga tadi malam. Kilat cahaya juga berpendaran mewarnai langit yang pekat meski tak lagi bersambungan hingga beberapa jam. Tapi saya tak habis pikir, betapa di tengah-tengah himpitan kesulitan ekonomi sebagian rakyat Indonesia sekarang, masih ada juga penduduk yang tak sayang membelanjakan uang mereka untuk kesenangan sesaat seperti itu. "Uang kok dibakari......," gerutu di dalam hati saya yang nyaris hidup dengan bantuan belas kasihan orang lain belaka.

Hati saya cukup terluka. Sakitnya tak kalah dengan nyeri yang ditimbulkan tumor saya, termasuk pusing kepala ringan yang acap bertandang mengeruhkan suasana. Bayangkan, di saat saya dan banyak pasien lain tak sanggup berobat ke RS sehingga pasrah menahan kesakitan yang sangat, mereka yang berlebih justru dengan gaduh memamerkan kekayaan mereka. Caranya yang amat memekakkan telinga itu menambah rasa sakit saya. Ah, di mana rasa solidaritas dan keprihatinan mereka? Sebab kebanyakan justru teman-teman dari kalangan biasa-biasa saja yang tergerak mengulurkan bantuan kepada kami, bukan kalangan mereka. Termasuk bu Linda, relawan kanker yang pensiunan dan cuma mengandalkan kakinya untuk menjangkau kami. Tuhan Maha Agung! Dengan tuntunan KuasaNya lah mereka sanggup mencapai tempat kami membawakan semangat hidup serta bantuan materi yang tak ternilai. Semoga Allah selamanya memberkahi hidup mereka.


ercermin. Itu yang saya lakukan setiap bangun tidur pagi sambil mengambil air sembahyang di washtafel kamar mandi. Itu juga yang saya lakukan tadi pagi. Namun kali ini saya tersentak sendiri. Sebab kepala saya nampak semakin licin saja tergerus obat-obat kemoterapi yang baru saya terima lagi dua kali. Alis saya pun tinggal separuh dari aslinya yang mirip alis burung hantu. Dan sedihnya, kumis tipis saya yang saya inginkan bisa ikut rontok tidak bergeming. Tetap di tempatnya semula. Hiks!

Sudah lah tak cantik, sekarang saya makin tidak menarik pula. Untung saya nenek tua yang tak perlu cari jodoh, jadi ya apa adanya saya terima saja. :-D Tapi jangan dikira semua orang mampu seperti saya lho.

Di RSKD sana banyak pasien yang tak berjilbab mengenakan rambut palsu alias wig. Modelnya aneka rupa, umumnya pendek lurus sehingga terlihat sangat kaku. Tebal dan hitamnya itu lho tidak alami. Sedangkan kaum muslimah mengenakan kerudung-kerudung cantik. Rasa-rasanya ini memang tepat untuk meningkatkan rasa percaya diri pasien yang dikemoterapi. Apalagi yang diradiasi sehingga kulitnya ikut menghitam terbakar sinar super kuat itu.

Mengingat itu, maka jangan mengira semua orang sakit kanker seperti saya. Kata anak saya sih, saya ini perkecualian. Cuek seperti bebek. Mau ke luar ke halaman rumah tanpa kerudung pun tetap pe-de jaya. Lha dalam batin saya kalau mereka terganggu, oleh sebab apanya saya coba? Muka-muka gua, body-body gua, kepala-kepala gua, apa sangkutannya ama mereka coba?! He....he....he..... Ya, begitulah antara lain kiat saya menerima takdir dan nasib saya. Tepatnya menerima keadaan saya. Inilah mungkin antara lain yang membuat saya bisa bertahan dalam sakit saya yang menurut dokter onkologi saya harus segera diobati sebab tak memberi banyak kesempatan hidup buat saya. Allahu Akbar! Allah Maha Agung! Di TanganNya saya menambatkan jiwa-raga saya selalu.

Jiwa-raga saya yang hanya satu-satunya kini lagi-lagi menghadapi ujiannya. Senin pagi saya mengambil hasil pemeriksaan laboratorium dan EKG untuk bahan pertimbangan kemoterapi saya minggu ini. Alangkah sedihnya saya, begitu mengetahui bilangan sel darah putih/leukosit saya terus saja menurun meski tiga minggu yang lalu saya sudah langsung diobati dokter dengan suntikan yang mahal itu sebagai antisipasi. Kali ini bilangannya malah mencapai titik nadir, hanya 1.750/ml saja. Padahal normalnya bilangan terendah adalah 5.000. Pantas saja akhir-akhir ini saya merasa tidak sehat. Lemas, cepat lelah dan agak pusing.

Akibat rendahnya leukosit, saya tertolak dengan sendirinya untuk dikemoterapi. Saya harus memperbaiki keadaan dulu, apalagi sel darah merah saya bilangannya pun agak rendah sedikit di bawah normal, yakni cuma 9.5 gram %. 

Dengan kaki yang agak terpincang-pincang sebelah saya menghadap dokter ahli penyakit dalam. Beliau membenarkan bahwa kondisi saya tidak siap untuk dikemoterapi. Meski kali ini saya tidak bergantung pada kursi roda, tapi nyata benar saya orang sakit. Beliau mengatakan bahwa saya harus segera disuntik lagi. 

Saya katakan sebetulnya saya sudah mempersiapkan diri untuk disuntik. Obat suntik itu sudah ada, hanya saya terlupa membawanya dari koelkast di rumah. Memang tidak mudah menperlakukan sebuah obat suntikan. Diperlukan suhu yang amat dingin untuk penyimpanannya hingga tiba saatnya digunakan. Rencana saya semula obat itu akan saya bawa ke RS dimasukkan ke dalam plastik bersama-sama dengan bongkahan makanan dari dalam koelkast. Nanti setibanya di RS segera kami titipkan di koelkast apotek agar tetap dalam suhunya semula. Saya yakin menitipkan obat akan diizinkan karena staff apotek sudah mengenal kami dengan baik. Tapi sayang, rupanya diam-diam si bungsu tak memahami rencana saya. Dia bilang kepada kakaknya, kalau obat itu tak dimasukkan ke thermos es bersama-sama es batu obat akan rusak. Apalagi dia tak yakin saya bisa menitipkannya kemudian di apotek. Ah, gara-gara itu akhirnya saya tak bisa langsung disuntik.

Tapi tak hanya itu juga sih. Dokter ahli penyakit dalam mungkin juga tak berwewenang menyuntik sendiri. Menurut aturan RS memang hanya dokter/perawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang boleh melakukannya. Jadi tadi saya ditanyai beliau, dari mana asal obat di koelkast rumah saya itu. Lalu ketika saya jawab bahwa saya sudah diresepi onkologis saya dua ampul sebagai persiapan, beliau seperti berpikir sejenak. Sehingga akhirnya bertanya, apa rencana onkologis saya dengan obat itu.

Kata saya, obat-obat itu sengaja dipersiapkan untuk mengantisipasi melorotnya leukosit saya segera setelah kemoterapi atau bahkan menjelang dikemoterapi. Dokter di dalam protokol kemoterapinya mengakhiri tindakan dengan instruksi penyuntikan obat Leucogen itu. Jika perawat kemoterapi tak bersedia melakukannya, dokter onkologi akan melaksanakannya sendiri di klinik.

"Jadi, kalau kejadiannya seperti ini, sebelum dikemo sudah perlu disuntik bagaimana?" Pancing dokter itu.

"Ya saya akan disuntik dokter onkologi dulu, dok," jawab saya.

"Kapan?" Tanyanya lagi. Kelihatannya sih beliau juga menghendaki segera agar program kemoterapi tak terhambat-hambat.

"Lusa dok, insya Allah beliau ada. Untuk kepastiannya saya akan berkirim SMS dan E-mail dulu sekalian sebagai laporan, malam nanti," terang saya.

"Oh ya silahkan kalau begitu. Hati-hati jaga kesehatan ya bu," pesan dokter saya menutup sesi pemeriksaan saya. 

Memang saya kurang bisa merawat diri sendiri agaknya. Asupan makanan saya tidak benar. Akibatnya nilai gizi saya tidak memadai. 

Sementara itu di belakang saya anak-anak saya ribut mendiskusikan keadaan saya. Kedengaran mereka menuduh kekeliruan saya tidak makan daging-dagingan. Juga kurang sayur-mayur. Saya terdiam sejenak. Tapi otak dan kata hati saya membenarkan. Jadi insya Allah mulai besok saya akan mulai mengonsumsi daging lagi dan meningkatkan jumlah sayuran meski tentu saja perut saya tak begitu dapat menerimanya. Apa boleh buat, suntikan mahal saja itu ternyata tidak cukup untuk memelihara kesehatan dan kebugaran tubuh saya. Di tahun baru ini saya harus bisa merubah kebiasaan, sambil tentu saja berpasrah terus pada Kehendak dan TuntunanNya. Insya Allah!

Salam sehat!

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink