Powered By Blogger

Sabtu, 06 Februari 2010

RUANG KOSONG SEBUAH HATI YANG BERNODA

Tak baik duduk melamun saja, demikian yang kuingat dari penggalan kehidupan di rumah orang tuaku dulu. Aku terlahir sebagai anak satu-satunya dari sepasang orang tua yang sudah renta. Entah mengapa Tuhan memberikanku ke dalam asuhan mereka. Yang pasti, aku aman di tangan beliau. Lelaki tua dan istrinya yang aku sayang dan hormati dengan sebutan Bapak dan Mama.

Bapak, panggilan biasa untuk suku kami, seorang pensiunan pegawai negeri yang jujur. Meski bukan pegawai tinggi, tetapi aku yakin bapakku tidak suka berurusan dengan hal-hal yang di luar kewenangannya, agar beliau dapat beristirahat dengan tenang di masa tuanya.

Dan karena itu, Mamaku, -sebutan yang kuadopsi dari sebutan orang-orang elite kepada ibundanya- bekerja sebagai pembuat kue yang handal. Akulah anak lelaki satu-satunya yang kemudian bertugas mengantarkan hasil karya ibuku kepada para pelanggan kami, baik nyonya-nyonya gedongan maupun orang biasa yang doyan mengudap kue kering dengan kopi mereka.

Salah seorang pelanggan setia Mama, istri seorang terpelajar yang punya kedudukan cukup baik di kota kami, memiliki anak gadis yang lumayan menarik. Walau dia tidak cantik, tetapi kulitnya bersih dan caranya bergaul sangat menyenangkan. Gadis ramah yang nyaris sebaya denganku ini, kemudian mencuri hatiku.

Aku sangat suka jika dia membukakan pintu untuk sepeda kumbangku serta menyapaku hangat lewat sorot mata dan senyum malu-malu kucing di bibirnya. Ah, gadis itu, dia memikatku untuk berlama-lama di sana.

---------

Rumah perempuan itu sungguh bertolak belakang dari rumahku yang tersudut di balik dinding-dinding megah rumah tetangga, di dalam sebuah gang, Di balik tembok beton milik seorang jenderal ternama, aku tumbuh dan berkembang, selagi gadis yang mencuri ingatanku bebas merdeka berteriak-teriak menyanyikan lagu kesukaannya di dalam rumahnya yang luas dikelilingi taman dan sepetak kebun.

Tapi aku tidak mengiri kepadanya. Sebab, dia tidak punya kebebasan seperti yang kumiliki. Dia tidak bisa keluar rumah kemanapun dia mau disembarang waktu, mengingat ayahnya mempunyai serentetan aturan ketat yang membentenginya untuk jadi anak rumahan yang baik-baik.

Aku sangat yakin, selagi aku senang berkecipak di derasnya arus sungai yang mulai kotor kecokelatan, dia harus puas dengan duduk-duduk mencakung dan membaca di halaman rumahnya, atau sejauh-jauhnya di Kebon Kembang -taman milik negara-, di samping rumahnya.

Itulah penggalan kehidupan masa lalu kami, aku dan ibunya anak-anakku. Hampir empat puluh tahun yang lalu aku mengecap semua peristiwa itu. Dan kini manisnya sudah memudar entah mengapa.

-----------

Aku pernah memanggilnya "manis", mirip nama kucing kesayangannya, "Manisah". Dan kucing itu juga yang pernah mendekatkan kami satu sama lain.

Binatang berbulu putih hitam itu sangat lengket dengan roda sepedaku. Jika aku membunyikan loncengnya yang terbuat dari logam, serta merta kucing itu berlari menghampiriku. Lalu kakinya digaruk-garukkannya ke pipa celanaku, seperti minta belas kasihan berupa gendonganku.

Setelah itu, gadis mungil kesayanganku akan muncul dari balik pintu rumahnya, dan menebar senyum serta menyambut bungkusan yang kukeluarkan dari dalam keranjang sepedaku. "Ayo Manis," bujuknya, Turun. Kaki-kaki dan bulumu kotor." Kemudian dia meraih si Manisah dari gendonganku, sekedar untuk menyentuhkan lengannya ke tanganku. Aduhai mesranya masa-masa itu.

Entah kemana sekarang semuanya ini berlalu. Manisah tentu sudah mati. Tapi perempuan yang sangat amat kukagumi ini juga seperti sudah mati dari kehidupanku.

Sekarang sejalan dengan berlalunya waktu, aku tak lagi bisa mengingatnya dengan baik. Lekuk-liku tubuhnya, bahkan tahi lalat di atas bibirnya tak ada lagi dalam bayangaku.

Aku khawatir diriku telah melupakannya. Lebih tepat lagi seperti katanya menyindirku, aku telah melarikan diri dari kenyataan hidupku. Ah, alangkah ngerinya bila saja itu terjadi.

---------

Lebaran kemarin menjadi saat yang sangat menakutkan. Sepertinya neraka jahanam sedang mengintaiku. Dan mengharap lewat doa-doa syaithon untuk menggelincirkanku ke dalam apinya yang panas.

Aku hampir menjadi seperti Bang Toyib. Kulupakan keluargaku. Dan kususuri sendiri jalan hidupku tanpa pernah menoleh ke belakang serta berjingkat meninjau kejauhan di muka sana.

Namun di balik istriku, si gadis yang kini tak lagi pemalu serta menurutku seperti tak punya harga diri lagi, ada anak-anakku yang mengikatku untuk kembali. Lalu kulangkahkan kakiku ke rumah walau cuma sejenak.

Kucumbui satu persatu mereka, termasuk kenangan-kenangan kami yang lekat pada setiap sudut rumah dan benda-benda yang dulu kuperoleh dengan perahan tenagaku. Tapi hanya sejenak.

Syaithon itu kembali membujukku. Dia merajuk memintaku segera enyah dari singgasana abadi yang dulu kubuat sendiri. Astaghfirullahaladzim. Batinku menyeru dengan keras, selagi hawa nafsuku tetap membelot kepadanya. Ah, kemana kiranya larinya akal sehatku?

Sepiring daging yang dulu diproduksi Mamaku untuk ibu gadisku ada juga di meja makan kami. Istriku, si mungil yang dulu gadis pemalu itulah yang kini menyiapkannya, tidak untuk siapa-siapa melainkan hanya untuk diriku sendiri.

Dulu, dia selalu menerima daging dari dapur ibundaku dengan senang hati. Selagi aku juga mengantungi uang pemberian ibunya dengan kebahagiaan yang sama. Karena itu artinya, besok aku boleh menikmati makanan lezat dan bekal sekolah seadanya sebagai penambah hasil pensiunan almarhum ayahku, Bapak yang kuhormati.

Tapi masya Allah, kebencian syaithon pada sosok istriku telah meracuniku. Maka hari lebaran yang suci mulia ini kunodai sendiri dengan tak menyentuh hidangan yang disajikan istriku berbekal keterampilannya memasak yang diperolehnya dulu dari Mamaku. Aku meninggalkannya di meja makan kami dengan linangan air mata yang terasa lewat getaran kata-katanya waktu dia mencium tanganku untuk menyatakan kerinduan dan baktinya.

---------

Hari mulai merambat ke petang. Aku tak jua menyadarinya. Hatiku benar-benar telah lari entah kemana, dengan membawa semua kenangan masa kecilku yang banyak dengannya. "Ma'afkan aku, kekasih," sorot mataku mengatakan itu. "Izinkan aku mengubur saja semua masa lalu kita, karena aku sekarang akan segera pergi lagi. Pergi yang tak akan pernah kembali........."

Lalu kututup pintu rumahku sendiri. Dentamannya yang keras, sempat mengejutkanku sedikit. Namun lagi-lagi suara syaithon di luaran sana berdengung begitu keras. Gaungnya merajai telingaku, merusak semua ketenteramanku dan tanpa dapat dicegah dia telah membawaku pergi menjauhi diriku sendiri. Sehingga aku menjadi seseorang yang tertolol di dunia ini.

Aku tak berhasil memenuhi nasehat ibundaku. Duduk melamun kini bahkan jadi keseharianku. Itulah hasil panen di kebun amalku, karena aku hanyalah seorang manusia biasa yang kurang beriman dan lalai pada kewajiban seorang manusia.

Semoga tak seorangpun meniru langkah keliruku. Terlebih-lebih anak-anak buah cintaku dengan si Manis, kucingku sayang yang di mataku kini tiba-tiba menjelma sosok anjing penjaga yang setia. Oh ya, dia penjaga rumahku dan hatiku yang sedang kosong ditinggalkan penghuninya. Semoga Allah menyeretku kembali kepadanya di suatu hari nanti. SEMOGALAH.

12 komentar:

  1. Terima kasih mbak cantik. Saya lagi belajar nulis kok. Tapi malu kalau di motivasiku hahaha.........

    Kalau mau baca cerbung saya, silahkan tengok yang baru tammat kemarin (ditulis sejak Juni) di site saya yang satunya. Tahu 'kan ya?

    Itu juga hasil belajar membuat karangan begitu. Ayo mbak, nulis yang banyak ya? Jangan takut dikritik mas Agus.

    BalasHapus
  2. Kabulkanlah do'a anakku yang baik ini ya Rabb!

    BalasHapus
  3. hehhehe sama bunda, mia juga masih belajar
    kalau untuk saat ini masih sibuk dikit
    kalau ada waktu baru mia nulis
    beda dengan dulu
    kalau dulu kerjaan sedikit jadi waktu luang untuk menulis lumayan banyak
    sayangnya site mia yang dulu dah terdelete
    disana banyak mia belajar bersama bang suga and seorang dosen dari surabaya
    karya bunda sangat bagus
    mia suka cara bunda merangkai di setiap kata-katanya...

    BalasHapus
  4. Bagus... bagus.... (kata Pak Tino)

    BalasHapus
  5. Adouw! Duh, asa aya nu nyiwit! Si akang mah tiasaan wae ih.
    Puguh nuju diajar keneh oge.
    Nuhun ah......... (lho, saya lupa ganti baju, nggak apa-apa ya?)

    BalasHapus
  6. Semoga kita dijauhkan dari kondisi seperti ini. Semoga Allah selalu mendekatkan kita dengan orang2 yang kita sayangi ya bu

    BalasHapus
  7. Iya, itulah harapan ynag tersirat di dalamnya.
    Terima kasih ya udah mampir kesini. Apa kabar winter tahun ini?
    Anginnya kenceng ya?

    BalasHapus
  8. Amin. semoga Allah mengembalikannya pada keluarganya.....

    BalasHapus
  9. Amin-amin-amin. Terima kasih ya bu Bachtiar. Tapi yang elbih tepat sebetulnya, semoga dia kembali kepada jalan ynag diridhai Allah Swt. Begitu 'kan ya?

    BalasHapus
  10. Yup....Insya Allah jika itu kehendakNya.....mbak.

    BalasHapus

Pita Pink