Powered By Blogger

Minggu, 03 Januari 2010

RENJANA PULANG PETANG

Aku seperti mencium asap nikotin dari sela-sela gigimu
Dan mendengar batukmu yang berkepanjangan di rongga dada
Dia racun yang telah mematikan cintamu
dan membunuhku mengikuti bayang-bayang waktu

"Dia sudah uzur," serapahnya
dengan telunjuk mengarah ke jantungku
Pandang itu, bukan kelu dan bukan juga jemu
Cuma cibiran bibir perempuan murahan
yang dibalut lipstick merah darah

Aku seperti mencermati dusta di kepalamu
yang kau sodorkan lewat mulutmu
Tapi kuyakinkan diri
Di suatu senja nanti kau cari arahmu pulang
Ke sarang bergelung kencang
Hanya pada kami :
Rumah sejati sayangmu.

(Penggalan renungan di sepertiga pagi ketika sajadah kutebar di lantai dingin, 4 Januari 2010)

10 komentar:

  1. wah, siang2 mencerna puisi ini sambil menghirup kopi...terasa nikmatnya :)

    BalasHapus
  2. Tapi bagi saya yang terasa justru pahitnya kopi di cerita ini. Hiks!
    Ayo dong didandanin biar puisi saya rada bagusan, dan patut disebut puisi
    Ayo pak guru, saya tunggu.......

    BalasHapus
  3. Apa nduk? Nikmat? Atau ikutan nelangsa?

    BalasHapus
  4. duh puisinya bunda membayangkan aku pada seorang laki2 tua yg kini entah dimana...

    suka baca puisi tapi terkadang kurang bisa mengerti isi puisinya.

    hebat juga bunda bikin puisi.

    BalasHapus
  5. Ah, biasa kok mbak Tiwik. Di site ini saya memang nulis sastra. Termasuk sejumlah puisi. Terima kasih ya udah mampir kesini.

    BalasHapus
  6. hahahaha...aku semakin tumpul sama puisi neh :) jadi terasa makin sulit menangkap kesan puisinya. anyway, pilihan dan penempatan kata per katanya bagus tante :)

    BalasHapus
  7. No answer, no reply. Selamat menikmati.

    BalasHapus

Pita Pink