Aku seperti mencium asap nikotin dari sela-sela gigimu
Dan mendengar batukmu yang berkepanjangan di rongga dada
Dia racun yang telah mematikan cintamu
dan membunuhku mengikuti bayang-bayang waktu
"Dia sudah uzur," serapahnya
dengan telunjuk mengarah ke jantungku
Pandang itu, bukan kelu dan bukan juga jemu
Cuma cibiran bibir perempuan murahan
yang dibalut lipstick merah darah
Aku seperti mencermati dusta di kepalamu
yang kau sodorkan lewat mulutmu
Tapi kuyakinkan diri
Di suatu senja nanti kau cari arahmu pulang
Ke sarang bergelung kencang
Hanya pada kami :
Rumah sejati sayangmu.
(Penggalan renungan di sepertiga pagi ketika sajadah kutebar di lantai dingin, 4 Januari 2010)
wah, siang2 mencerna puisi ini sambil menghirup kopi...terasa nikmatnya :)
BalasHapusHmmmmm
BalasHapusTapi bagi saya yang terasa justru pahitnya kopi di cerita ini. Hiks!
BalasHapusAyo dong didandanin biar puisi saya rada bagusan, dan patut disebut puisi
Ayo pak guru, saya tunggu.......
Apa nduk? Nikmat? Atau ikutan nelangsa?
BalasHapusduh puisinya bunda membayangkan aku pada seorang laki2 tua yg kini entah dimana...
BalasHapussuka baca puisi tapi terkadang kurang bisa mengerti isi puisinya.
hebat juga bunda bikin puisi.
dalam banget puisinya bunda...
BalasHapusAh, biasa kok mbak Tiwik. Di site ini saya memang nulis sastra. Termasuk sejumlah puisi. Terima kasih ya udah mampir kesini.
BalasHapusSedalem lautan birukah????
BalasHapushahahaha...aku semakin tumpul sama puisi neh :) jadi terasa makin sulit menangkap kesan puisinya. anyway, pilihan dan penempatan kata per katanya bagus tante :)
BalasHapusNo answer, no reply. Selamat menikmati.
BalasHapus