Powered By Blogger

Minggu, 30 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (80)

Sejak kemarin sore saya batuk-batuk. Padahal sebelum dioperasi tidak, saya baik-baik saja tidak ketularan anak saya yang terkena influensa sambil merawat saya. Tenggorokan saya gatal, lendir tidak terlalu banyak. Jadi saya pikir batuk saya berasal dari efek samping anestesi. Tapi benarkah begitu, saya ragu sebab sejak kembali dari ruang operasi saya tak pernah batuk-batuk. Berdehem diikuti batuk kecil sih memang ada, cuma sesekali saja. Jadi, mengapakah saya?

Menurut pengalaman dan pengamatan saya sebagai pasien, batuk-batuk pasca operasi terjadi karena pasien dimasuki slang di jalan nafasnya sewaktu dianestesi. Tentu saja tindakan itu merangsang terbentuknya lendir yang mengakibatkan batuk. Untungnya kali ini operasi saya tidak di abdomen, sehingga sewaktu batuk saya tak merasa nyeri di perut. Anehnya, dada saya yang sedang luka ini pun tak ikut-ikutan sakit. Rasanya jadi menakjubkan sekali untuk saya.


Lengan saya yang sakit, pasca dioperasi masih saja bengkak walau sudah saya balut seperti perintah dokter di unit rehabilitasi medik. Sedihnya, bengkaknya semakin membesar dibandingkan saat keluar dari RS. Waktu penyuluhan dokter ahli rehabilitasi medik bilang, lengan dan tangan di sisi yang sakit harus digerak-gerakkan sebentar setiap pagi dan sore sesuai petunjuk dokter. Pasien diberi buku panduannya. Di situ juga harus dicatatkan lingkar lengan hingga tangan setiap hari, berikut catatan perkembangan aktivitas sehari-hari pasien menggunakan sisi yang sakit itu. Sebagai pelengkap pasien harus mencatatkan berapa banyaknya darah yang keluar dari bekas luka yang ditampung di dalam kantung drainase yang dilekatkan di tubuh pasien. Semua ini harus dilaporkan kepada dokter pada pemeriksaan pasca seminggu operasi. Pada diri saya, cairan darah yang keluar dari hari ke hari semakin sedikit, mendekati batas normalnya, 10-20 cc sehari. Ukuran yang tepat untuk dokter mencopot slang kateter yang menghubungkan tubuh saya dengan kantung drainase nantinya. Sayangnya bengkak di lengan dan tangan saya masih saja bandel belum mengempis. Padahal saya hanya menggunakan tangan yang sehat saja untuk beraktivitas. Sehingga garpu pun masih menganggur atau saya pakai dengan tangan kanan yang sehat.

Tapi saya di mata orang-orang jadi mencengangkan. Kakak kandung saya memuji saya dalam kunjungannya sewaktu saya di RS, juga sekarang melakui telepon. Katanya, sahabat-sahabatnya termasuk para bapak di antaranya yang menduda karena istrinya direnggut kanker salut melihat kondisi saya di ranjang RS semalam sehabis dioperasi. Mereka menanyai, apakah saya tidak merasa sakit sama sekali? Tentu saja jawaban saya, sejak tumor saya luka dulu rasanya sama saja, jadi saya lupa seperti apakah rasa sakit itu. Rasa sakit hati, merasa tersingkir dan terhina oleh ulah-ulah orang-orang tertentu justru lebih mendominasi saya.






Gambar di atas menunjukkan ilustrasi lengan saya yang terpaksa harus dibalut sehabis dioperasi karena jadi bengkak. Tentu saja mesti dibantu orang lain sewaktu membalut. Anak saya melakukannya setiap hari sambil mengelap tubuh saya dengan handdoek basah sebab luka bekas operasi maupun radiasi yang merupakan salah satu terapi kanker tidak boleh terkena air. Apalagi ada tanda-tanda memakai spidol yang dibuat onkologis di kulit saya sebagai panduan daerah-daerah yang masih belum bebas dari sel kanker. Konon di situ nanti sasaran tembak radiologis yang dititipi saya untuk diobati dengan sinar yang maha dahsyat.

 Mula-mula berat rasanya membersihkan tubuh dibantu orang lelaki. Tapi tak ada jalan lain karena kedua anak saya lelaki semua. Mereka pun ikhlas melakukannya, jadi mengapa tidak?! Dulu semasa habis dioperasi di bagian perut saya tidak pernah minta tolong. Mandi saya lakukan sendiri dengan cara terlebih dulu menutupi plaster penutup luka memakai lembaran plastik yang saya rekatkan dengan plaster ke kulit. Ketika itu, dokter-dokter saya tidak akan melakukan radiasi, jadi saya boleh menyiram daerah bekas operasi itu. Sekarang saya justru tak bisa melakukannya lagi. Inilah agaknya satu lagi pembeda rasa sehabis dioperasi di abdomen dengan di thorax.

***

Kemarin sore akhirnya kakak sulung saya yang dicurigai menderita kanker payudara stadium awal sudah pulang ke rumah. Beliau masuk RS untuk dibiopsi onkologis lain dengan cara disayat dibedah tumornya sebanyak seruas jari pada hari Kamis. Artinya beliau menginap sama lamanya dengan pembedahan besar membuang payudara serta kelenjar getah bening di ketiak saya. Yang membuat beliau menginap dua malam adalah rasa pusing dan muntah akibat anestesi yang diterimanya.

Soal biopsi dengan cara yang berbeda pada kami, ini ternyata disebabkan kondisi tumor dan stadium kami yang berbeda. Tumor kecil stadium awal tumbuhnya masih terlokalisasi. Jadi agar tak meruyak, sampel jaringannya harus diambil dengan hati-hati melalui bedah terbuka. Tujuannya agar akar-akar sel kanker itu tidak meluas ke daerah di sekitarnya. Adapun tumor besar apalagi yang sudah pecah, dianggap sudah menyebar luas ke sekitarnya. Jadi pengambilan sampel jaringannya lebih mudah, cukup dengan jarum biopsi yang dutusukkan ke tumor untuk menyedot sel tumor. Dan saya menjalaninya cuma di ruang klinik dokter bedah saja.

Biopsi kakak saya cuma makan waktu beberapa menit, persis biopsi di jaringan hati ibu saya yang berparut karena cirrhosis hepatitis. Tapi hasilnya sama saja dengan sampel sel ganas saya, harus dikerjakan seminggu di laboratorium patologi anatomi. Jadi, ketika besok saya sudah akan memeriksakan bekas operasi saya ke klinik, kakak saya baru akan tahu hasil biopsinya hari Jumat nanti. Menguntungkan bagi kami, karena artinya saya masih bisa menenteramkan hati kakak saya terlebih dulu. Sebab, kakak saya termasuk orang yang mudah panik lalu ketakutan yang membawa stress.


Hari ini adalah hari ketiga saya kembali ke rumah. Saya mulai bisa menggerakkan lengan bekas dioperasi itu ke samping, ke muka, dan ke belakang. Seharusnya menurut buku panduan saya mulai bisa menaikkan tangan lalu menyatukan dengan tangan satunya di atas kepala. Tapi masya Allah, rasanya masih cukup nyeri. Jadi artinya, saya manusia biasa yang tak berbeda dari orang-orang lainnya bukan?! Kalau begitu saya tidak luar biasa ah......... :-D


(Bersambung)

10 komentar:

  1. semoga bengkaknya kempes ya mbak tangannya..
    senang deh bacanya sampe sini.. anakanak benarbenar soleh..
    semoga mbakyunya juga ga terlalu panikan, langsung gampang berobat.. kenapa ga ke sinshe sekalian?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga ya. Mbakyu saya udah dari sono-sononye panikan. Dia milih pake obat herbal lain yang lagi booming itu lho. Ya nggak ada yang bisa maksa sih.

      Hapus
    2. herbal booming itu viamore bukan sih? yang diet golongan darah? yang supergreen?

      Hapus
  2. aku kagum ama anak-anak bunda..
    benar-benar anak yang baik...bersyukur punya anak yang sholeh (bener kata mbak tin..)

    aku juga pernah dimasukin selang pas operasi, rasanya tenggorokan kering dan kalo nelan agak sakit, tapi ga lama, paling 2 hari dah sembuh, tanpa lendir sama sekali..

    eniwei, get well soon bun..
    peluk sayang dari akuuhhh...♥

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah anak-anak saya mau nggak mai mesti rela melakukannya sih. BTW alhamdulillah saya dikaruniai mereka.

      Saya sering banget, nelan nggak sakit, cuma kerongkongan rasanya kering. Saya kalau makan biasa lho.

      Sama-ama ya, salam sehat sambil pelukan!

      Hapus
  3. Mama saya waktu habis operasi dulu nggak bisa ngangkat tangannya sampe ke atas. Sampe bekas operasi udah kering juga masih nggak bisa. Tapi dilatih dikit-dikit, akhirnya mah biasa lagi.
    Cepet sehat ya, Bund.

    Jadi ngetik ini juga pake sebelah tangan dong?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, sakit sih. Tadi fisioterapis bilang untuk pulih makan waktu sangat lama.

      BTW Mama dulu habis dioperasi diradiasi atau dikemo sih?

      Betul saya ngetik pake tangan satu aja, makanya typo mulu nih.

      Hapus
    2. Tiap hari selama sebulan ya? Mesti di Bandung atau bisa di Tasik aja? Ikut senang ya cik, puji Tuhan nggak relapsing.

      Hapus

Pita Pink