Powered By Blogger

Minggu, 16 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (71)

Seharian ini nyaris saya habiskan untuk berbaring-baring saja di tempat tidur. Rasanya tubuh saya letih sehabis perjalanan ke Bandung untuk melayat kemarin dulu. Padahal kemarin sepulangnya dari RS saya sudah tidur-tiduran juga. Saya tak tahu apa sebabnya jadi begini. Tapi saya duga, batin saya lelah luar dalam. Apalagi mengingat dokter onkologi saya tak jelas kelangsungan prakteknya selagi operasi dan kemoterapi saya belum terlaksana. Dan satu hal penting lagi, pikiran saya melayang kepada anak-anak almarhumah Ina yang terbilang cucu saya sendiri. Saya teringat akan si bungsu, bocah sembilan tahun yang otaknya selalu berputar membuat tak ada hal yang tak ingin diketahuinya dan juga tak ada hal yang tidak menjadikannya penasaran. Kematian ibundanya yang meski telah diketahuinya sendiri akibat sakit, tetaplah peristiwa yang butuh penjelasan. Mengapa serangkaian pengobatan yang mahal, menyakitkan terutama jiwa bocahnya yang masih haus belaian dan kasih sayang tidak mendatangkan hasil yang baik.

Saya merenunginya di setiap saat. Baik ketika saya terjaga di tempat tidur, maupun ketika saya melakukan segala aktivitas harian saya. Pipi bulat, perut buncit dan ikal rambut lebat bocah itu bermain-main di pelupuk mata saya. Saya lantas teringat di malam pertama kematian ibundanya, dia menangis di atas pembaringannya sambil memeluk erat foto sang ibu. Di sisinya tante yang disayanginya tak mampu meredam kehilangan mendalam itu.

Di malam kedua, dia bahkan menangis di dalam mobil ketika tantenya pergi ke luar rumah membawanya menghilangkan kedukaan itu. Tangis itu tak mau hilang bahkan sesudah dia kembali ke pembaringannya dan memeluk foto ibundanya yang sejak kemarin tak boleh dipindahkan dari atas bantalnya. "Aku mau ke makam, aku mau sama Mama," rengeknya merintih membekaskan lara di hati siapa pun yang mendengarnya. Waktu itu saya berusaha membujuknya dengan memberikan pengertian bahwa malam hari makam tak ada penjaganya, sehingga orang tak boleh ke sana. Karena itu dia harus menghentikan tangisnya supaya tidak kelelahan untuk berziarah keesokan harinya. Saya bujuk dia untuk segera tidur meski kemudian saya dapat laporan dari bibinya itu bahwa akhirnya si bibi mendahului tidur karena si kecil terus saja menangis, bahkan akhirnya si kakak yang baru saja lulus SMP dengan nilai amat memuaskan juga menangis dalam diam. Ah, pedih rasanya hati ini. 

Begini rasanya jadi orang sakit. Stamina jauh berkurang. Dulu saya sanggup untuk bepergian jauh tanpa istirahat yang cukup selama itu. Namun sekarang, baru saja melaju ke Bandung yang jarak tempuhnya cuma 180 km saja seluruh tenaga saya rasanya terkuras habis. Apalagi selama dua hari di sana saya sama sekali mengabaikan acara baring-baring seperti yang diharuskan sinshe saya maupun dokter. Kelelahan ditambah beban pikiran ini amat menyusahkan saya. Tak habis-habisnya saya berdzikir memohon kekuatan saya dikembalikan olehNya.

***

Sambil berbaring saya mengenangkan kembali kisah sakitnya Ina. Waktu pertama kali dia merasa menemukan tumor di tubuhnya, ukurannya belum sebesar ukuran yang saya rasakan bertumbuh di tubuh saya. Tapi tumor kami sama-sama tumor yang teraba dengan tangan namun tak bisa bergerak-gerak ketika diraba dengan digoyangkan. Sebelum tumornya menjadi sakit seperti yang saya alami, Ina sudah lebih dulu waspada. Dia membawa kasusnya ke dokter umum yang kemudian merujuknya ke dokter bedah. Karena mendapat penjelasan bahwa dia terserang tumor, Ina lari ke pengobatan alternatif seperti halnya saya.

Dia menggunakan terapi juice dan herbal serta totok yang tidak sama dengan terapi yang digunakan sinshe saya. Tangan si terapis sama sekali tidak menyentuh kulit si sakit, sebagaimana yang dilakukan sinshe saya. Terapis ini bukan seorang sinshe, melainkan seorang pribumi. Satu tahun berobat dengan menghabiskan biaya yang sangat besar sebagaimana yang saya alami juga, penyakit Ina tidak kunjung membaik. Bahkan dia mulai merasakan sakit-sakit pada tulang belakangnya. Berbeda dari kondisi saya yang alhamdulillah sampai sekarang tidak pernah merasa sakit tulang. Sedangkan tumornya pun semakin membesar bagaikan tak tertangani.

Saya ingat waktu saya menengoknya dua tahun yang lalu, dia kemudian beralih ke dokter onkologi yang memeriksanya secara medis lebih teliti. Dari hasil biopsi, diketahui bahwa dia menderita kanker stadium II-C yang menyebar hingga ke tulang belakangnya. Berhubung tumor di payudaranya terawat baik sehingga tidak sampai luka pecah seperti tumor saya, dokter mendahulukan mengobati kanker tulangnya. Dia menerima serangkaian panjang kemoterapi, lebih dari sepuluh kali bahkan lebih dari selusin kali. Dalam pada itu saya ingat keluarganya masih terus memberinya juice termasuk juice sayuran yang terbuat dari brokoli dan entah sayur hijau apa namanya yang saya tidak hafal. Keyakinan keluarganya, juice itu bisa juga menjadi terapi penunjang si sakit. Tak ada bedanya dengan yang saya kerjakan sampai sekarang, sekali pun saya sudah diobati dokter onkologi, tetapi minum juice masih merupakan menu harian saya yang terbukti membantu mempertahankan sel-sel liar di payudara saya tidak sampai menyebar ke bagian tubuh lainnya. Selain itu, saya boleh dikata selalu fit sewaktu akan dan sudah menjalani kemoterapi.





Ina kemudian menjalani terapi untuk kanker payudaranya, dengan dibuang keseluruhan jaringan payudaranya yang sakit. Setelah itu dia menerima tujuh kali entah sembilan kali ~saya lupa~ kemoterapi yang membuatnya tidak menjadi semakin segar juga. Meskipun demikian semua diterimanya dengan baik, bahkan dia menyemangati saya untuk mau menjalani rutinitas kemoterapi itu. Katanya menjadi botak justru membuat seseorang tampil berbeda dan cantik karenanya. Saya sempat tersenyum simpul menyetujuinya. Ketika saya bertemu dengannya di sebuah perhelatan keluarga, dia memang terbukti semakin cantik sebab dia berkerudung yang serasi dengan baju yang dikenakannya saat itu. Wajahnya tak terlihat pucat, sebab dia tetap memolesnya dengan bedak tipis, perona pipi juga perona bibir. Tapi kuku-kuku jarinya, jelas saja membiru lebih biru daripada apa yang saya alami sekarang. Oleh sebab itu saya menduga terapi sinshe saya ada manfaatnya bagi pengobatan penyakit saya.

Setahun belakangan ini Ina mulai kesulitan bernafas. Dokter yang merawatnya memastikan kankernya sudah menjalar hingga ke paru-parunya. Untuk itu dia sering sekali keluar-masuk perawatan di RS. Sedangkan tabung oksigen tak pernah lepas dari hidungnya. Untuk menciptakan rasa ceria di hati si sakit, keluarganya sengaja membungkus tabung oksigen yang biru besar menyeramkan itu dengan semacam sarung guling bermotif ceria. Tapi keceriaan itu tak pernah tercapai, sebab setiap menjelang sore tabung besar itu habis isinya lalu kembali menyiksa si sakit. Betapa besar biaya yang dikeluarkan untuk perawatannya, saya ketahui dari terjualnya kedua buah rumah yang mereka miliki supaya masih bisa membayar biaya RS. Tak usah diragukan lagi, sebab kata dokter onkologi saya, setiap pasien kanker sebaiknya memang didanai dengan bantuan pemerintah, semacam Jamkes yang saya terima itu. Begitu pun kata istri sepupu saya yang bertugas sebagai perawat unit hemodyalisa (cuci darah) di sebuah RS di Bandung. Memang ada aturannya bahwa Jamkes diutamakan untuk mendanai pasien-pasien berpenyakit berat, terutama pasien gagal ginjal terminal yang harus dicuci darah dan pasien kanker. Sepupu saya bahkan nampak bersyukur ketika mengetahui bahwa saya sudah mendapat dana Jamkes dengan sendirinya tanpa bujukannya. Dia memuji saya yang cukup cerdik untuk menyiasati dana pengobatan saya. Ya, kanker itu mematikan tak saja manusianya, melainkan juga kehidupan di sekitarnya sebab dana yang ada akan selalu habis terpakai untuk pengobatan bahkan tak pernah mencukupi.

Soal dana Jamkes itu, tiba-tiba saya teringat keluhan keluarga almarhumah yang mengatakan sewaktu ide bergulir dari saya untuk memohon bantuan dana dari pemerintah keluarga kandung almarhumah melarang. Kata mereka Jamkes untuk menolong orang tidak punya. Di satu sisi saya rasa memang benar, tapi di sisi lain kami mempertanyakan kalau sampai sudah tidak punya harta benda lagi yang bisa digadaikan bukankah berarti keluarga si sakit juga termasuk orang tidak punya? Waktu itu sebersit pikiran kotor menghinggapi perasaan kami.

Ternyata ketika kemudian saya duduk dan berbicara baik-baik dengan kakak almarhumah yang bekerja sebagai pegawai RS dulunya, terkuaklah bahwa pelarangan mereka soal dana Jamkes bukan karena gengsi. Tetapi mengingat bobot tubuh si sakit tak mencapai tiga puluh kilogram, mereka kebingungan akan ditusukkan di mana jarum infus di RS seandainya almarhumah bisa dirawat dengan bantuan dana Jamkes. 

Betul sekali. Di akhir hayatnya pasien ini sama sekali tidak lagi bisa menerima asupan makanan lewat mulut. Sebagaimana umumnya pasien yang dikemoterapi, sariawan mengganggu mulai dari rongga mulut hingga ke kerongkongan si sakit. Ini adalah suatu hal yang patut saya syukuri pada diri saya, sebab tidak pernah saya alami karena saya justru merasakan gangguan di kulit kepala saya berupa tumbuhnya bisul-bisul kecil akibat meradangnya sel rambut yang terbakar obat kemoterapi. Akibat sariawan itu dia tidak lagi bisa makan sebagaimana normalnya. Belakangan malah tak ada seteguk air pun yang bisa masuk perutnya. Pasalnya, ketika paru-parunya terserang kanker, saluran nafasnya ikut tertutup, buntu sehingga mempersempit saluran makanan di dekatnya. Dalam keadaan seperti itu si sakit akhirnya mengeluh lelah menghadapi sakitnya, tak tahan lagi dan minta didoakan agar cepat-cepat diambil ke HaribaanNya. Sakitnya hati saya mengingat itu semua.

Kanker memang jahat. Diharapkan penderita dan keluarganya punya pengetahuan luas untuk bisa melawannya. Jadi ketika memerlukan terapi alternatif kita tak asal pilih mau mengikuti yang mana. Semua harus dipertimbangkan rasionalitasnya, untuk mencapai kesembuhan yang sempurna. Cermat-cermat lah di dalam menatalaksana penyakit mematikan ini. Tak ada yang tak mungkin kalau kita punya pengetahuan luas, bukan?!

(Bersambung)
 

8 komentar:

  1. Nyes...nyes...nyes.... rasanya baca tulisan bunda kali ini.
    Anaknya sebaya sama Semsem dan Debi berarti ya, Bund. Masih butuh banget kehadiran seorang Mama.

    Tapi Tuhan pastilah punya rencana yang terbaik. Semoga saja ujian ini membuat mereka tumbuh jadi anak-anak yang lebih kuat.

    Dan saya sekali lagi diingatkan untuk menghargai kesehatan yang dikasih sama Tuhan.
    Makasih Bund...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, yang sulung baru lulus SMP. Di hari pemakaman ibunya, dia terima penghargaan di sekolahnya ~salah satu SMPN~ karena hasil ujiannya memuaskan, walau tentunya bukan yang terbaik. Nilai terendahnya justru matematika yang dapat 7,25. Sedangkan si adik sudah lama mogok sekolah. Dulu waktu ibunya masih sanggup nganterin, dengan kursi rodanya dia berangkat nganter. Belakangan ketika duduk di kursi roda pun sudah menyiksa, ibunya nyerah lalu anak itu nggak mau sekolah.

      Sekarang saya lagi mengupayakan supaya anak itu bisa sekolah lagi, dengan cara mendekati kepala sekolahnya yang sekarang sudah tahu kenapa anak ini jadi aneh begitu. Nantinya saya mau minta tolong dibuatkan surat keterangan yang menyatakan bahwa karena ditinggal mati ibunya yang sempat sakit keras 4 tahun, dia nggak bisa lagi melanjutkan sekolah di sekolah umum. Jadi semoga ada sekolah untuk anak berkebutuhan khusus mau nerima dia. Tapi saya belum kepikiran kapan mau ke Bandung ngurus sekolah anak ini, soalnya berhubungan juga dengan kondisi kesehatan saya. Janji saya sih mau nemenin bapaknya ngadep kepala sekolahnya, soalnya dia udah nggak punya kakek-nenek. Kasihan memang ci, si bapaknya pun kebingungan nanganin anak ini. :-(

      Hihihihihi....... kerjaan saya usil ya, tukang ngingetin orang untuk menjaga kesehatan dan menghargai artinya sehat.

      Hapus
    2. Nggak ada lagi saudara dari pihak ayahnya yang bisa bantu, Bund?
      Mudah-mudahan pihak sekolah bisa kasih jalan ya..
      Mudah-mudahan dilancarkan semua usaha mereka, biar anak itu nggak tambah lagi bebannya.
      Saya beneran prihatin.

      Ih, itu bukan usil atuh... malah saya berterima kasih sama Bunda. Tiap masuk ke sini selain dapat pengetahuan baru tentang penyakit kanker, juga selalu diingatkan untuk menjaga kesehatan. Soalnya saya ini dari dulu suka agak cuek sama badan sendiri.
      Padahal sakit itu mahal ya, Bund...

      Hapus
    3. Nggak ada, tantenya yaitu adik bapaknya yang seorang di Yogya sih. Yang ada di dekat mereka sibuk ngurus keluarganya sendiri, anaknya juga kecil-kecil lebih banyak malahan.

      Saya juga prihatin betulan cik, sampe kebayang-bayang terus wajah keluarga mereka. Padahal udah diingetin orang banyak supaya saya jangan banyak pikiran. Tapi ya susah, soalnya saya punya kedekatan dengan mereka yang khusus gitu.

      Betul, sakit itu mahal sekali. Almarhumah mewariskan sebuah buku baru, yang ditulis tahun 2012 tentang pengalaman penderita Guillian Barre Syndrome. Di situ juga diceritakan bahwa harta orang tuanya habis-habisan dipakai menyembuhkan si sakit yang ujung-ujungnya malah lumpuh total. Nanti saya ceritain deh serba sedikit. Kisahnya inspiratif kok. Kayaknya almarhumah ingin menunjukkan bahwa yang sakit dan sengsara karena sakitnya nggak cuma dia seorang diri, jadi dia berbesar hati dalam menerima takdirnya. Itu yang kepengin ditularkan ke saya kayaknya sih.

      Hapus
  2. sugeng ndalu bun, inguk2 lha kok mak benduduk kabar lelayu....

    betapa mengerikannya penyakit itu....
    nasib orang memang tak ada yang tahu karena kematian dan kehidupan salah satu rahasia Tuhan, tapi niscaya Tuhan akan membantu keluarga yang ditinggalkannya dalam cobaan ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sugeng ndalu. Saya suka ngintip foto-fotonya yang serba menarik itu. Apa kabar ibu di Semarang? Semoga sudah baik ya.

      Iya saya aminkan doa panjenengan. Allah tentu Maha Tahu apa yang terbaik bagi ummatNya yang percaya. Matur nuwun.

      Hapus
  3. jadi ada masukan banyak cerita ya mbak segala pengobatan ada ragamnya.. kayanya jus ijo itu jus kaya pare bukan ya? buah simalakama itu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu juice brokoli campur mentimun jeng. Seger juga kok.

      Hapus

Pita Pink