Powered By Blogger

Sabtu, 15 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (70)






Malaikat itu telah menjemputnya Rabu (12/06) sore ketika dia berada di dalam gendongan suaminya. Tak seorang pun mampu mempertahankannya, setelah tubuh ringkihnya sendiri menolak untuk bertahan lebih lama lagi di dunia. Ya, saya bisa memakluminya sebab saya merasakan sendiri betapa nyerinya kanker mengganggu kehidupan seseorang. 

Senyum tetap disunggingkan di wajahnya, meski mata yang bulat bola itu sudah tak bisa mengungkapkan sinar kebahagiaan seperti yang biasanya terlihat ketika dia merasa senang. Tapi saya tahu, perempuan itu merasakan kesenangan yang abadi, sebab tak akan ada lagi rasa sakit yang menguras semua tenaganya. Dia telah berpulang ke Keabadian meninggalkan cinta pertamanya yang abadi beserta dua orang anak lelaki buah kasih mereka yang masih amat belia.

Sore itu saya baru saja menyelesaikan sembahyang. Saya masih berdzikir memohonkan mukjizat terjadi untuk perempuan itu, karena beberapa kali seharian itu saya berhubungan dengan keluarga di dekatnya memantau perkembangan kondisi si sakit. Tiba-tiba berita duka itu datang mengakhiri semuanya. Tapi sembahyang saya justru tak langsung berakhir. Saya lanjutkan kemudian dengan membaca Surah Yasiin yang saya khususkan untuk mengantarkan kepergiannya. Sementara itu air mata mengalir deras dari mata batin saya, tapi tak sampai ke permukaan. Ini memang kebiasaan yang muncul begitu saja sejak dulu ketika hati saya sangat berduka. Sedangkan anak-anak saya mulai sibuk mengirim berita duka cita ini melalui jejaring sosial milik mereka dan hubungan telepon ke berbagai pihak. Kesedihan datang menyergap membawa aroma banjir air mata ke segala penjuru. Tuhan tak menghendaki si sakit menderita lebih lama dari pengalaman sakitnya yang telah menyita waktu empat tahun hingga menelan semua kekayaan yang dimilikinya. Karena itu semua kerabat menangis untuknya.

***

Buru-buru saya mengontak dokter onkologi saya untuk minta izin melayat ke Bandung, seraya minta maaf terpaksa mengulur jadwal ke dokter. Padahal rencananya hari itu saya ke dokter untuk memeriksakan kesehatan saya pasca kemoterapi sesuai aturan, serta menetapkan rencana hari operasi. Saya berharap dokter bersedia meluangkan waktu untuk membaca SMS saya.

Anak saya sibuk mencari kendaraan yang bisa disewa. Sayang tak ada yang kosong, namun kami tertolong oleh travel langganan kami yang berpangkalan di perumahan kami juga untuk pemberangkatan pukul lima pagi. Jadi setelah melaksanakan sembahyang subuh, tanpa sarapan lagi kami langsung berangkat agar tidak ketinggalan pemakaman jenazah. Ada keinginan kuat kami untuk melihat jasadnya terakhir kali.

Sopir membawa kami menjemput dua penumpang lagi di perumahan yang jauh dari lokasi kami, yang akhirnya saya kenali sebagai perkampungan dengan jalan berlumpur batu-batu besar lagi licin di masa dulunya. Walau pun jalanan itu tetap sempit seperti semula, tetapi jangan ditanya keadaan sekitarnya. Sudah sangat banyak berdiri rumah-rumah batu bagus yang merupakan perumahan. Meski begitu saya kurang menikmati perjalanan ke situ karena saya justru ingin segera sampai di rumah duka. Untunglah kami bersepakat untuk mengambil jalur tol supaya tidak harus melalui Puncak yang berkelok-kelok dan terasa menjadikan jarak semakin jauh.

Sepanjang perjalanan meski para penumpang tenang bahkan ada yang terlelap, tapi saya tak bisa mengikutinya. Pikiran saya tertuju kepada kedua anak almarhumah yang masih kecil. Tanpa pelukan ibunda tentu mereka akan kesepian dan kehilangan kehangatan cinta yang selama ini senantiasa melingkupi mereka meski si pemiliknya sedang didera sakit. Berlompatan satu demi satu adegan di rumah tangga mereka yang dulu sering juga saya saksikan. Tak pelak lagi tangis di hati menggoda saya.

Untung pagi itu tak ada hambatan di jalan, dan keluarga kami merupakan penumpang kedua yang diturunkan di tujuan sehingga kami masih bisa menyaksikan si cantik dibaringkan di antara banyak pelayat yang sebagian masih melantunkan doa dengan mata yang merah basah. Tubuh di atas permadani tua di ruang keluarga itu betul-betul tak lagi saya kenali. Sangat jauh berbeda dari sosok si cantik yang tak pernah membosankan dipandang mata.





ALMARHUMAH INA LUFIANI DENGAN IBU MERTUANYA




Lihatlah pipi berisi itu yang menonjol dari wajah berseri-seri. Siapa sangka dia penderita kanker payudara stadium IIC di masa itu, yang kemudian menyebar hingga ke tulang belakangnya? Dan kini tak disangka, kanker yang diperanginya dengan segenap tenaga serta hartanya tega memisahkan dia dari keluarganya terutama anak-anak lelaki kecilnya setelah terlebih dulu melumpuhkan paru-paru dan sistem pernafasannya. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Semua barang bernyawa akan kembali ke Pemiliknya jua. Dia sudah tiba pada akhir hayatnya di dunia untuk menyongsong kehidupan barunya. Saya sadari, tak seorang pun yang berhak untuk menahannya. 

***

Tadi pagi giliran saya merawatkan penyakit saya ke RS. Tapi sebetulnya saya sudah terlambat dari jadwal yang semestinya. Seharusnya seminggu lalu saya sudah diperiksa onkologis saya pasca kemoterapi ke-empat yang direncanakannya menjadi kemoterapi terakhir saya menjelang dioperasi. Akan tetapi seperti yang saya keluhkan, onkologis saya tak datang berpraktek karena sibuk dengan tugas utamanya sebagai PNS di Jakarta. Saya diharapkan datang hari Rabu, karena beliau bilang beliau akan berpraktek. Sayang saya harus melawat, sehingga saya mengirim SMS minta izin datang di hari Sabtu, mundur seminggu lagi. Sayang SMS saya kali ini mengalami nasib sia-sia seperti kebanyakan SMS pasien lain. Tak ada jawaban dari beliau. 

Kemudian saya minta anak saya menghubungi asisten senior beliau untuk mendapatkan kejelasan mengenai hari praktek berikutnya. Ini pun tetap tak terjawab, karena sang asisten tak bisa menghubungi dokter super sibuk tadi. Padahal sebagai pasien pengguna Jamkes saya harus tahu persis surat rujukan Puskesmas akan saya pergunakan berobat di dokter yang mana. Rasanya saya nyaris putus asa. Untung saya teringat Zuster Maria, Perawat Kepala yang manis budi itu. Saya tanyai beliau dengan SMS sambil mengajukan pertanyaan kemana sebaiknya saya memeriksakan diri. Beliau ini cukup responsif sehingga saya bisa melangkah mantap ke RS mendatangi dokter spesialis bedah umum daripada nasib saya tak menentu dan penyakit saya tak tertangani dengan baik. Beginilah nasib jadi orang kecil penghuni kota kecil. Semua serba terbatas adanya.

Jadi tadi pagi saya berangkat untuk menemui dokter spesialis bedah umum itu. Ketika tahu bahwa dokter onkologis saya tak jelas kedatangannya, menantu saudara saya yang kebetulan perawat memberitahukan bahwa di masa datang dalam waktu dekat ketika izin operasi RS habis kemungkinan struktur RS akan berubah. Sangat mungkin harapan saya untuk mendapat RS ini sebagai RSU milik pemerintah tercapai. Tapi, dokter onkologis saya kata kemenakan tadi tak lagi akan dipertahankan, disebabkan kesibukannya di Jakarta itu tadi. Sekarang dalam wacana santer bergulir kabar bahwa onkologis hanya tinggal seorang, yang hingga saat ini menjadi dokter tetap PNS di salah satu RSUD di kota kami. Untuk itu saya disarankan untuk pindah dokter saja, meski dia tidak menyatakan ke siapa sebaiknya. Namun dia senang hari ini saya berkonsultasi ke dokter spesialis bedah umum. Pokoknya perawatan saya terus berlangsung dan dalam kendali pengawasan dokter bedah. 

Selepas makan pagi di kantin RS seperti biasanya, saya langsung menuju ke klinik. Di situ saya mendapat nomor giliran kecil sehingga alhamdulillah kebetulan dokter pun datang agak awal, saya diperiksa lebih pagi juga. Dokter yang cenderung tidak murah senyum namun ramah dan mau diajak berdiskusi ini sedikit terkejut mendapati saya di hadapannya. Setelah saya jelaskan kondisi terkini saya, dokter setuju menangani saya. Wajahnya menunjukkan kekecewaan sebab pasca kemoterapi saya terlambat dikontrol padahal kali ini kadar sel darah putih saya cukup rendah. Secara bergurau saya katakan bahwa kami mengharap beliau berkenan belajar sub spesialisasi kanker agar kelak beliau yang menangani pasien kanker di sini sekaligus memimpin RS ini dengan segala ketulusan hatinya yang setia mengabdi pada profesinya. Beliau cuma tersenyum sekilas, namun saya tahu beliau tertohok juga. 

Selanjutnya beliau memeriksa tumor saya tak kalah telitinya dari onkologis. Dilanjutkan dengan tanya jawab mengenai keluhan fisik saya pasca kemoterapi. Lalu beliau memutuskan untuk menangani saya dengan tulus, tapi tidak mengoperasi sekarang. Menurutnya tumor saya masih cukup besar untuk bisa dioperasi. Karena itu saya harus menjalani serangkaian kemoterapi lagi atas perintah dan pengawasannya. 

Apa boleh buat, tak ada rotan akar pun berguna. Tak ada onkologis, beliau pun ada manfaatnya untuk penanganan penyakit saya. Dengan senang hati saya menyetujui rencana ini. Bahkan saya tak takut menjalaninya. Yang saya takuti justru kematian kalau saja saya tak tertangani dengan cermat. Bahkan sempat saya tanyakan mengapa orang muda dengan stadium yang lebih rendah dari saya kankernya bisa menyebar dengan cepat dan tak merespons pengobatan yang diberikan meski dia sudah menjalani tujuh kali kemoterapi untuk kanker payudaranya dan lebih banyak lagi untuk kanker tulangnya. Dokter mengatakan faktor usia menentukan itu. Pasien dengan usia yang muda, lebih cepat menjadi agresif. Jadi saya seakan-akan diminta untuk tak terlalu memikirkan diri saya. Lewat keterangan medis yang bersifat teknis yang sulit saya terangkan di sini, beliau memberi gambaran bahwa ada faktor-faktor pemicu kanker tertentu yang membuat antara seorang pasien dengan pasien lainnya tidak sama progres penyakitnya. Begitu tenangnya beliau menjelaskan itu membuat hati saya jadi tertata baik. Ternyata untuk saya, selalu ada penghiburan di balik setiap kepedihan yang ditimbulkan oleh berbagai peristiwa memilukan di depan mata. Allah itu terbukti Maha Baik adanya. Alhamdulillah!

(Bersambung)
 

10 komentar:

  1. Semua yang bernyawa pasti mati. Innaa lillahi wa innaa ilaihi rooji'uun. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan,, aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuwun ya nak Umar. Saya kasihan lihat si bungsu waktu habis penguburan ibunya, dia teriak-teriak, "Mama nggak mati, mama nggak mati, tahuuuuu.........?!"

      Hapus
  2. Mudah-mudahan Tuhan memberi kekuatan dan penghiburan buat suami dan anak-anak yang ditinggalkan ya, Bund...
    Sedih saya bacanya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kaih doanya, saya aminkan ya ci. Kemarin dia dibawa tantenya tidur di rumah si tante yang punya anak sebaya dia. Biasanya waktu masih ada ibunya, anak ini rewel, tapi semalam katanya dia tidur nyenyak. Nempel di tubuh saudara-saudaranya, dan mulai manggil ibu dan ayah ke tante serta oomnya. Alhamdulillah.

      Hari ini dia dibiarkan di rumah orang tuanya sendiri, nggak disekolahkan lagi. Memang kasihan, sejak ibunya sakit dia sering bolos sekolah sampai terancam dikeluarkan. Nggak tahu nantinya gimana, setelah kepala sekolahnya tahu masalah yang dihadapi di rumah tangganya.

      Hapus
  3. almarhumah memang cantik ya bun.

    saya pernah baca dibeberapa artikel bunda. salah satu yg membuat pasien k berhasil melawan penyakitnya adalah kemauan kuat si pasien utk sembuh dan dukungan keluarga, handai tolan dan teman2. dan bunda memiliki ketiganya alhamdulillah.

    terus semangat bunda.

    doa dari jauh untuk kesembuhan bunda


    salam
    /kayka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga selamanya saya nggak patah semangat ya kak. Saya cuma mencoba aja berbesar hati meski sesungguhnya berat lho. Hari Selasa ini saya harus segera dioperasi tapi di Dharmais, karena RS saya nggak lengkap peralatan operasinya.

      Hapus
  4. aduh innalillahi.. baru baca sebelomnya biar diurus sktm [kasus yang sama kan mbak?] ternyata sudah "berangkat".. semoga keluarga pada tabah ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, dia sudah nyerah juga sih. Kasihan lihat dia nanggung sakitnya.

      Hapus

Pita Pink