Powered By Blogger

Minggu, 23 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (77)



Jurnal ini bernomor 77 pada serialnya. Persis angka tahun masuknya saya ke Perguruan Tinggi dulu. Semula saya kira jurnal saya akan istirahat dulu di nomor ke 76. Tapi ternyata berhubung pak Djamil kenalan kami yang biasanya bersedia dengan senang hati mengantarkan kami dengan mobil tetangganya kali ini tak ada di tempat, maka anak saya pagi-pagi berniat mencari taksi. Berhubung kota kami yang cuma lima puluh empat kilometer jaraknya dari Jakarta tidak punya taksi kota, maka kami agak kerepotan mencari. Ada sih taksi yang mangkal di perumahan kami, taxi terkenal yang biru itu lho, tapi ternyata sudah habis dipesan semua. Begitu pun dengan taksi lainnya yang berpangkalan di sebuah hotel, sudah tidak punya stock sisa. 

Bingung saya memikirkannya. Sampai-sampai saya bertekad untuk naik kereta saja ke Jakarta. Kami bisa turun di Stasiun Cawang lalu menyambung dengan taksi sampai RS. Tapi barang bawaan kami cukup banyak, mengingat saya takut menginap seminggu seperti pengalaman pasien yang saya tanyai waktu bertemu di RS kemarin dulu. Belum lagi kedua anak saya menginginkan tinggal bersama saya di Jakarta. Yang seorang menginap di RS, menjaga saya, yang seorang ditawari pulang ke rumah kost sahabatnya di malam hari. Jadi, mereka masing-masing pun membawa perlengkapannya sendiri-sendiri. Tak terkira banyaknya tas-tas yang harus kami angkut, yang akan makan tempat dan merepotkan jika dibawa dengan kereta listrik.

Dalam kebingungan itu, sahabat saya satu "gank" di Kemenlu menanyai keberadaan saya di RS. Saat itu juga beliau dengan suaminya yang baru purna tugas ingin menemui saya di RS untuk menanyakan kesiapan operasi besok. Agaknya mereka berencana mengatur jadwal mendampingi saya di Hari Besar itu. Saya jawab bahwa saya masih di rumah, sebab belum dapat angkutan ke Jakarta. Serta merta mereka berdua menawarkan diri untuk menjemput saya ke Bogor. Terbayang bukan, betapa merepotkannya rencana itu? Dengan segera saya menolak kebaikan mereka yang tulus. Di dalam hati, saya mohon terus kepada Allah supaya dapat kendaraan alternatif apa pun itu bentuknya.

Ternyata tak lama kemudian kedengaran anak bungsu saya sedang menjelaskan arah rumah kami di telepon kepada seseorang yang saya yakin tidak kami kenal. Kemudian dengan berseri-seri dia mengatakan bahwa dia mendapat sebuah kendaraan bekas taksi yang kini disewa-sewakan setelah dia sibuk mencari-cari informasi ke sana-sini. Dan kendaraan itu bersedia menjemput pukul dua belas nanti. Ya, alhamdulillah, sekali lagi Allah membukakan jalan bagi kesulitan kami. Saya yakin berkat doa yang saya ucapkan terus selama ini untuk menyingkirkan kesulitan kami. Saya sudah sering membuktikan keajaiban hasilnya.

Tak terkira bukan betapa besarnya perhatian orang-orang di luar keluarga saya terhadap saya? Apalagi ketika keluarga saya sendiri sudah sama-sama sakit dan tak punya daya untuk menemani saya menjalani operasi yang tidak ringan ini, itu adalah penyemangat saya yang utama. Lihat saja, tak hanya teman-teman satu gerombolan saya saja yang sibuk menanyai saya, bahkan mantan anak buah saya di DWP dulu juga sibuk menanyakan nomor kamar rawat inap saya. Siang ini dia berencana menengok saya karena kebetulan akan mengantarkan ayahnya memeriksakan kondisi jantungnya yang sudah dioperasi by pass dua tahun lalu di RS Harapan Kita, tetangga sebelah RSK Dharmais. "Ibu di ruang berapa? Saya pengin ketemu ibu sekarang juga," rengek Rita junior saya itu meski sudah saya sampaikan saya belum masuk RS masih menunggu adanya kendaraan yang siap mengantar. Saya yakin, besok atau lusa dia pasti akan datang betulan bersama sahabat-sahabatnya menjenguk saya.

Ini mengingatkan saya pada peristiwa manis tujuh tahun lalu ketika saya sakit di Singapura. Waktu itu, sehabis sebelah indung telur saya dibuang, tiba-tiba saya mengalami pendarahan hebat dari mulut saya. Padahal seumur-umur selama mengalami beragam operasi saya tak pernah sampai terkendala oleh pendarahan. Akibatnya Andrie anak saya yang sengaja datang dari Bogor untuk menjagai saya di RS kebingungan dan panik. Segera setelah dia melaporkan kondisi saya kepada petugas RS, akhirnya saya dibawa kembali ke ruang radiologi untuk diperiksa. CT Scan yang saya jalani dalam kondisi separuh sadar sebab saya mulai mengarah kepada kehilangan kesadaran, menunjukkan bahwa usus halus saya terluka sebelas senti. Luka yang nyatanya sudah membusuk itu diduga sudah lama ada di sana, bukan luka baru tertusuk peralatan dokter yang mengambil indung telur saya. Akibatnya mau tak mau saya harus dioperasi sekali lagi guna membuangnya, yang berakhir dengan tertidurnya saya di ruang ICU selama tiga hari. Saya baru tersadar penuh bahwa saya ada di ruang ICU bukan di kamar 825 yang seakan-akan sudah jadi kamar pribadi saya saking seringnya saya huni, ketika saya mendapati wajah sepasang suami-istri purna karyawan Duta Besar mantan pimpinan mantan suami saya yang menetap di Jakarta. Beliau menyapa lembut, lalu menyunggingkan senyum, mengusap-usap kepala saya sambil berdoa yang indah-indah untuk saya. Sedangkan beberapa hari sesudah itu, datang pula menjenguk saya sepasang lagi lainnya, kawan beliau yang sesungguhnya malah saya tidak kenal karena bukan mantan pimpinan mantan suami saya lagi pula berbeda bidang tugas. Jauh-jauh dari Jakarta, si ibu cantik yang tak kelihatan sudah sepuh itu datang menyemangati saya. Bahkan suaminya yang konon juga terkenal keras di kantornya tak segan-segannya mengajak saya mengobrol menyemangati saya juga. 

Waktu itu saya antara percaya dan tidak. Sebab saya hanyalah orang rendahan belaka, bukan pula pegawai, cuma anggota Dharma Wanita Persatuan. Tak ada bakti saya di kantor apalagi bagi negara, juga pada keluarga mereka. Tapi, betapa relanya beliau dua pasang itu terbang khusus dari Jakarta demi menjenguk saya. Tak terbayangkan dan tak bisa dipercaya begitu saja, bukan?!

Mantan pimpinan mantan suami saya memang bersifat kebapakan. Tapi istrinya, dulu semasa kami besama-sama di DWP amat disegani cenderung kami takuti, karena jarang tersenyum. Namun entah mengapa, teman-teman saya dulu sempat bertanya-tanya, mengapa menghadapi saya beliau amat ramah. Sehingga seringkali kalau kami bepergian berombongan beliau memilih ditemani saya di mobil dinas jabatan suaminya. Bukan ibu-ibu yang lain, yang memang benar juga sih, kikuk berada di dekat beliau. Jawabannya tak pernah saya ketahui hingga sekarang.

 ***

Ternyata masuk menginap di RS sekarang bisa saya gambarkan butuh persiapan yang terencana. Pertama kita harus tahu pukul berapa kita diharapkan tiba di RS, kemudian prosedur apa yang masih harus dilakukan sebelum masuk kamar perawatan. Sehingga kita tidak akan dianggap terlambat atau kesiangan. Dalam hati saya ketika mengetikkan jurnal ini, terus terang saya agak was-was ditolak pihak administrasi pendaftaran pasien rawat inap RS mengingat tidak datang pagi. Padahal hari ini masih harus menjemput dulu hasil-hasil pemeriksaan kesehatan penunjang yang kemarin dulu kami lakukan.

Ketika hari Jumat dokter saya memberikan catatan pemesanan kamar, anak saya langsung menghadap ke bagian administrasi pendaftaran pasien rawat inap. Tapi rupanya dia tidak mendapat bon tanda bukti pemesanan kamar. Cuma dikatakan akan ditelepon oleh pihak RS nantinya. Nyatanya hingga pukul sebelas pagi ini kami tidak mendapat kabar apa pun sehingga saya khawatir tak dapat kamar untuk siang atau sore ini.

Inilah antara lain satu pembeda lagi antara tata cara pemesanan kamar di RS yang biasa saya lakukan di luar negeri dengan di Indonesia. Di LN biasanya kamar mudah didapat pada harinya dokter menyuruh rawat inap. Sesuai jadwal yang ditetapkan dokter, RS akan mengupayakan dapat kamar rawat untuk saya. Biasanya saya akan ditelepon sehari sebelum hari perawatan oleh pihak RS yang menetapkan saya harus datang keesokan harinya pada pukul berapa ke mana. Semua serba mudah dan pasti. Beda sekali ternyata dengan prosedur di Indonesia. Bodohnya saya baru menyadarinya sekarang.

Walhasil, jurnal yang saya buat kali ini hanyalah sekedar curahan hati murni yang akan saya jadikan patokan untuk masa yang akan datang seandainya saya ternyata masih perlu dirawat inap lagi. Sebab nasib manusia, tak pernah kita tahu akan bagaimana. Semua bergantung kepada Tuhan, bagaimana jalannya. Namun sesungguhnya kali ini saya amat berharap bahwa kemudian hari saya akan jadi sehat lagi selamanya. Saya jujur saja sih, amat merindukan kesehatan itu. Wajar dan manusiawi sekali bukan?!

(Bersambung) 

6 komentar:

  1. Tuhan besertamu, Bunda sayang....
    Cepet sembuh. Saya pasti kangen cerita Bunda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin-amin-amin. Kemarin betul-betul ngebetein deh. Si rental yang ditemukan anak saya ternyqtq rental bodong. Sampai jam satu siang gak dateng. Untung akhirnya dapat taksi.

      Begitu sampai du RS baru sadar bahwa berkas-berkas RS ketinggalan di rumah. Untung ada teman bapaknya yang stand by di RS jadi anak saya pulang dulu ambil berkas diantar beliau. Sampai di RS lagi udah jam 11 malam. Duh kasihan.......... pengorbanan begitu besar buat saya.

      Hapus
  2. Ditengok wkt sakit apalagi di opname itu rasanya agak mengurangi kadar sakit ya bun :)
    Mgk krn itu Rasulullah berpesan untk menengok jika ada sdra yg sakit ya bun :)
    Smg bunda dimudahkan selalu dlm sgla proses pengobatan.
    آمِيّنْ... آمِيّنْ آمِّيْنَ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ

    Btw kmrn sya wktu mau opname dipesenin teman yang jadi karu di sebelah ruang rwt inap saya :D hehehe... Jadi bisa cpt dpt. Sempat wktu itu penuh n g dpt tempat tp alhamdulillah cpt dpt :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sakit itu yang meringankan rasanya memang perhstian orang-orang di dekat kita ya?

      Hapus
  3. iya tuh soal rawat inap, beda sama di luar ya..
    senang ya mbak banyak yang nengokin..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sampai hari ini aja masih ada yang datang. Mula-mula teman-teman SMP. terus nyusul sebagian lagi bawa teman-teman SMA.

      Hapus

Pita Pink