Powered By Blogger

Kamis, 20 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (73)




"Hal-hal apa saja yang dicatatkan dalam......." demikian terbaca salah satu kata kunci yang tertera di dashboard saya minggu ini. Saya berasumsi pengunjung atau netter yang memasukkan kata-kata itu berniat ingin mencari tahu apa saja kiranya yang pantas dimasukkan ke dalam catatan harian seseorang. Bagi saya jawabannya adalah : "Segala hal yang terjadi dalam perjalanan hidup saya, baik atau kurang baik dengan tujuan untuk diambil sebagai pelajaran di masa yang akan datang."

Begitulah cara saya mengisi buku harian elektronik ini. Saya tuliskan semua hal yang saya alami, rasakan, yang menjadi sumber kegundahan bahkan tentu saja kebahagiaan saya. Seperti halnya kali ini saya sedang dalam pikiran yang amat berat sehubungan dengan kelanjutan penanganan penyakit saya. Maka saya menuliskan apa saja di sini, di dalam tempat perlindungan saya sehari-hari. Agar setelahnya saya merasakan sedikit kelegaan supaya bisa tetap melangkah melanjutkan kehidupan saya yang sarat beban.

Saya menyepertikan hidup saya akhir-akhir ini persis gambar yang saya temukan berkat jasa Google di atas, rimbun oleh peristiwa yang menaungi. Ibarat hutan rimba, kaki saya bingung hendak melangkah ke mana sebab saya dihadapkan kepada hal-hal yang masing-masing punya kekurangan dan kelebihan. Ceritanya tepatnya demikian :

Saya berobat ke RS atas kebaikan para kerabat saya, sesama anggota Dharma Wanita Persatuan Kementerian Luar Negeri. Semula tak sepeser pun saya menggunakan dana dari pihak lain. Bahkan ke dokter siapa saya sebaiknya berobat tidak jadi pikiran saya. Mereka atur sedemikian rupa dengan segala keikhlasan hati supaya saya bisa berobat dengan benar, teratur dan mudah. Inilah ciri persaudaraan di antara sesama anggota DWP Kemenlu yang tak saya lihat di tempat kakak saya bekerja.

Mula-mula saya dikonsultasikan ke RS Kanker Dharmais di Jakarta, kantor salah seorang di antara kami. Di sana semua pemeriksaan medis penunjang dilakukan. Hasilnya kemudian dikonsultasikan kepada seorang onkologis senior yang lalu menunjuk koleganya yang kebetulan penduduk Bogor berpraktek dua kali seminggu di Bogor. Tujuannya tentu saja untuk meringankan beban saya lagi. Maklum perjalanan dari Bogor ke Jakarta pulang pergi merupakan hal yang melelahkan untuk seseorang dengan penyakit berat. 

Di dokter yang satu ini saya merasa amat senang. Sebab selain masih muda dan tetangga kampung saya yang merupakan putra onkologis pertama di kota kami, beliau amat terbuka. Semua rencana pengobatan saya dipaparkan dengan baik, setelah beliau dengan cermat mencatat semua keluhan saya. Pada prinsipnya beliau tidak mau gegabah menerapi pasiennya, sehingga pengalaman pahit saya dibedah dari tahun ke tahun di masa lalu karena pertumbuhan sel-sel liar di tubuh saya dapat dihindari.

Beliau juga punya segudang kasih sayang untuk para pasiennya. Kebanyakan kami diarahkan untuk meminta bantuan Pemerintah Daerah dengan mengajukan permohonan kepesertaan Jaminan Kesehatan (Jamkes). Bahkan beliau hanya menginginkan yang terbaik untuk kami, warga wilayah kota dengan membantu memikirkan menembus barikade pertahanan Pemda Kabupaten agar kami bisa menikmati fasilitas pengobatan mereka yang lebih baik jika dibandingkan dengan fasilitas pengobatan di wilayah kota yang Penghasilan Asli Daerahnya jauh lebih kecil. Kalau dipikir-pikir, di zaman sekarang di mana egoisme manusia sangat menonjol sulit sekali bukan menemukan dokter yang bekerja dengan semangat kemanusiaannya? Saya jadi teringat penduduk lama yang mengenal metoda pengobatan yang diterapkan ayah beliau dulunya. Selalu mengacu kepada isi Kitab Suci Al Qur'an yang tak pernah lepas dari jangkauannya.

Ketika akhirnya saya harus menjalani kemoterapi lebih dulu sebelum kelak dioperasi, beliau sempat memikirkan mencarikan obat terbaik untuk saya dengan cara cuma-cuma. Saya disarankan ikut proyek penelitian koleganya di kantor mereka di Jakarta. Hanya sayangnya anak-anak saya berkeberatan mengingat mereka takut akan kegagalan yang bisa saja menghadang. Jadi sebagai alternatif penggantinya beliau terpaksa mengizinkan saya menerima obat-obat yang kualitasnya tidak seberapa baik yang diperoleh juga dengan cuma-cuma melalui dana Jamkesda. Yang ini, alhamdulillah ternyata juga bisa menolong saya mengecilkan tumor saya yang ketika baru dikonsultasikan kepadanya tercatat sebagai sangat besar dan meradang hebat.

Sayangnya onkologis saya ini merupakan dokter sibuk, jauh lebih sibuk dibandingkan koleganya di RS tempat saya berobat yang kebetulan merupakan PNS di daerah Bogor saja. Sehingga pelaksanaan kemoterapi para pasien onkologis saya tak bisa dikontrolnya sendiri. Untuk saya beliau menganjurkan agar kembali berobat di RSKD selamanya. Namun saya terkendala biaya yang sudah saya ceritakan di awal jurnal ini tadi, sehingga mau tidak mau beliau menyerah. Saya tetap dikemoterapi di Bogor, dengan catatan kemoterapi saya akan diawasi dokter lain yakni seorang ahli bedah umum senior yang merupakan Ketua dari Perhimpunan Para Dokter Spesialis.  

Sampai saat ini ketika kemoterapi saya sudah berlangsung empat kali sesuai rencana onkologis, pelaksanaan kemoterapi saya dilakukan oleh dokter spesialis bedah umum saja namun selalu dengan laporan dan atas sepengetahuan sang onkologis. Sampai sekarang kesehatan saya tetap baik. Tak ada keluhan berat sebagaimana yang dialami kebanyakan pasien yang dikemoterapi. Padahal ibaratnya, sekali-dua kali dokter bedah umum inilah yang meresepkan obat-obatan kemoterapi saya berdasarkan masukan dari onkologis saya. Sehingga kami semua berkesimpulan bahwa tanpa pengawasan ketat dari onkologis, toch penyakit saya tertangani dengan baik. Penatalaksanaan pengobatannya pun memenuhi standar dan memuaskan. Beruntung benar saya menjadi pasien onkologis sibuk ini.

Belakangan ini terbetik berita di media massa daerah bahwa izin operasional RS milik salah satu Parpol ini akan berakhir, sehingga Pemda berniat mengambil alih menjadikannya sebagai RS Pemerintah. Gagasan cemerlang ini memang impian warga masyarakat Bogor yang merindukan adanya RS Pemerintah di dalam kota yang selama ini selalu bernuansa "abu-abu". Bayangkan saja, sejak kemerdekaan diperoleh dari pemerintahan kolonial, kota kami yang cuma sepelemparan batu dari Jakarta dan memiliki istana kepresidenan tidak punya RS Pemerintah. Itu sebabnya lebih dari setengah abad yang lalu ibu saya melahirkan saya di RS PMI yang selalu berperan sebagai RS Pemerintah semacam RSU di daerah-daerah lain. Belakangan ada RS milik TNI yang kecil yang dulunya disebut RS Dinas Kesehatan Tentara, diperlengkapi dengan unit-unit pengobatan yang banyak. Kira-kira dua puluh lima tahun belakangan ini pasien umum di luar anggota TNI juga bisa diterima berobat di sana. Baru setelahnya ada RS Pemerintah yang merupakan peningkatan dari RS Jiwa menjadi RSU. Ini di latar belakangi oleh ketiadaan RS yang sanggup merawat pasien-pasien psikiatri di situ. Oleh sebab itu RS Jiwa tertua se Indonesia ini dijadikan RSU dengan menerima juga pasien-pasien umum. Sayangnya tak ada unit bedah tumor atau onkologi, sehingga para pasien yang dicurigai dokter bedah umum di situ mengidap tumor ganas dirujuk ke RS tempat saya berobat sekarang ini. Karenanya jika RS ini diambil alih pemerintah, alangkah bersyukurnya warga masyarakat kota Bogor dan sekitarnya. Sebab nyatanya RS ini juga menerima pasien rujukan dari RSUD yang tersebar di beberapa tempat di kabupaten kami.

***

Saya merasa khawatir dokter onkologi saya akan ditarik kembali ke unit tugasnya di RSKD secepat mungkin sebagai konsekuensi dari akan diambil alihnya kepemilikan RS tempat saya berobat ini oleh pemerintah. Artinya nanti saya akan ditangani onkologis satunya yang merupakan PNS di Pemda Bogor. Padahal beliau belum pernah menangani kasus saya sekali pun. Jadi, ketika saya tidak bisa rutin bertemu dengan onkologis saya, nekad lah saya  menghubungi teman Dharma Wanita Persatuan saya yang berprofesi sebagai dokter di RSKD untuk menyampaikan kegundahan saya. Beliau juga saya beritahu bahwa sejak kemoterapi terakhir saya belum bertemu dengan onkologis saya, jadi saya akan dikemoterapi lagi oleh dokter bedah umum. Sebagai pasien yang awam terhadap prosedur RS dan penatalaksanaan perawatan, saya sama sekali menyerahkan semuanya kepada dokter bedah umum itu. Walau saya tahu beliau seharusnya berkonsultasi dulu dengan onkologis saya yang menitipkan para pasiennya kepada beliau.

Teman DWP saya amat baik hati dan bertanggung jawab terhadap "penugasan" tidak resmi dari Ketua DWP untuk membantu pemantauan pengobatan saya. E-mail saya segera dibalas. Beliau bilang sudah bicara dengan onkologis saya di kantornya. Lalu saya diharap datang ke kantor beliau secepatnya, yakni Jumat ini (21/06) ~mungkin sekarang saat anda membaca jurnal ini~ sebab tidak ada kata lain saya harus dioperasi segera.

Saya menyanggupi sebab lelah menanggung penyakit ini. Tapi kebetulan semalam, Rabu (19/06) dokter saya datang berpraktek di Bogor, jadi saya langsung saja bisa bertemu beliau pada jam konsultasi. 

Benar saja berdasarkan pengamatan dan pemeriksaan beliau saya diharuskan segera dioperasi. Beliau minta saya dioperasi di RSK Dharmais, kantor beliau, sebab tumor saya menuntut penanganan operasi yang rumit sehingga hanya mungkin dilakukan di sana bersama satu team khusus pada hari Selasa minggu depan ini (25/06). Saya tak boleh menawar, meski saya tidak punya uang yang jumlahnya nyaris lima puluh juta sebab saya tidak bisa menggunakan Jamkesda/SKTM saya di RSKD karena tidak ada kerja sama antara Pemkot Bogor dengan RSKD. Penyakit saya sudah menuntut kesegeraan. Untuk itu saya disarankan mencari dana sekitar 25 juta sebab beliau akan menggratiskan biaya operasi dan jasa beliau sendiri sebagai wujud dari kepedulian beliau terhadap masyarakat di daerah tempat tinggalnya. Duh, terharu betul saya. Keluarga dokter yang baik budi dan dermawan ini dari dulu ternyata tidak pernah berubah sifat meski sudah menjadi dokter pada generasi kedua setelah ayah mereka berpulang. 

Timbul kerisauan saya, dari mana biaya 25 juta itu bisa saya dapat? Saya menggigit bibir. Dokter kemudian membuatkan surat rujukan yang ditujukan kepada pejabat DKK menyatakan bahwa saya harus segera dioperasi di Jakarta, dan mohon agar bisa didanai. Usulan "bodoh" ini terlontar dari saya akibat kebingungan saya. Di benak saya cuma ada satu pikiran, operasi di Jakarta ditolak DKK lalu saya akan mati, atau saya nekad dimarahi pejabat DKK karena lancang minta bantuan yang tidak semestinya. Saya memilih lancang dengan pertimbangan saya akan mengemukakan alasan bahwa untuk selanjutnya saya bersedia dikemoterapi di Bogor, tapi setiap bulan hasilnya saya laporkan kepada dokter di Jakarta. Dengan menjalani kemoterapi di Bogor saya tidak menyalahi aturan Jamkesda.

Jadi setelah semalam saya tidur kemalaman karena pulang dari RS sudah jam setengah sebelas, saya nekad menggusur badan saya yang lemas ke DKK ditemani kedua anak saya yang juga galau. Bahkan kegalauan saya sudah nampak sejak semalam tanpa saya sadari dengan mengirim serangkaian SMS tidak perlu tidak bermutu kepada Perawat Kepala yang amat baik kepada saya.

Saya mulai "keluhan dan upaya mengemis" saya dengan mendatangi Kelurahan tempat tinggal saya. Pak Abas yang baik budi, Kasi Kesejahteraan Rakyat mengatakan beliau tak bisa menolong merubah Jamkesda saya menjadi Jamkesmas karena itu hak prerogratif Kadinkes Kota Bogor. Untuk itu saya diminta langsung bicara dengan pejabat yang berwenang di DKK. Tapi beliau mengapresiasi niat dokter saya yang juga warga setempat yang akan menggratiskan separuh biayanya itu. Kemudian juga dikemukakan bahwa berdasarkan rapat dinas dengan pihak DKK pada periode yang akan datang Jamkesmas diprioritaskan untuk penderita penyakit serius semisal kanker dan gagal ginjal terminal, jadi kemungkinan besar nama saya sudah termasuk di dalam daftar penerima Jamkesmas nantinya. Agak lega saya mendengarnya meski toch belum terbayang apakah DKK bersedia mengucurkan dana Jamkesmas untuk saya sekarang juga. 

Di dalam angkutan kota saya teringat kisah perjalanan semalam pulang dari RS. Rasanya mustahil saya dapat dengan mudah beroleh angkot ke rumah soalnya mendekati tengah malam. Tapi nyatanya mudah sekali. Begitu pun siang ini menuju ke DKK angkot sepertinya sudah tersedia untuk kami, langsung tancap gas saja seakan-akan tahu saya diburu waktu.

Di DKK kebetulan tak banyak masyarakat yang butuh dana, sehingga pelayanan pun jadi cepat. Sayang ternyata dugaan kami benar, mereka tak mengizinkan saya menggunakan Jamkesmas sekarang ini. Artinya operasi saya tetap harus dilaksanakan di Bogor atau saya berganti dokter lalu dioperasi di RSCM dengan dana Jamkesda. Tentu saja menyedihkan kami, mengingat saya tidak mau berganti-ganti dokter yang artinya nanti kasus saya harus diulang pemeriksaan dan penatalaksanaan pengobatannya dari awal lagi. Saya berpacu melawan waktu, dan itu memperlambat kesembuhan yang terus sedang dicoba kami gapai.

Separuh mengisak saya tanyakan, andaikata saya bisa berutang kepada seseorang apakah saya diizinkan melakukan operasi di RSKD itu dengan biaya pribadi lalu melanjutkan kemoterapi seperti biasanya di RS di Bogor ini. Alhamdulillah, mereka setuju. Saya diizinkan melakukan itu. Ada secercah harapan untuk saya di balik rimbunnya dedauan di rimba raya permasalahan saya. Ah, tak mengapa, saya akan mencoba segera mencari pinjaman dari sanak kerabat saya. Semoga kali ini ada lagi yang tergerak menolong saya. Saya tengadahkan tangan saya ke Hadirat Illahi Rabbi disertai permohonan, "Allahuma la illa majaaltahu sahlaw wa anta taj'alul husna idza syita sahlan. Innamaa amruhu idza arada syaiayaqqulallahu kun fayakun. La haula wala quwwatta illa billaaaah........... amin." Allah ada beserta manusia yang selalu memohon hanya kepadaNya untuk menyelesaikan kesulitan hidupnya. Insya Allah doa saya makbul seperti yang sudah-sudah.

(Bersambung)



2 komentar:

  1. kalu rumah sakitnya berganti "pemilik" emangnya dokter dan suster juga semua yang bekerja di rs itu ikutan berganti mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya enggak sih, tapi kan satu unit nggak mungkin dipegang dua chief, jadi perkiraan saya seorang di antaranya mesti dimutasi.

      Hapus

Pita Pink